Senin, 10 Oktober 2022

Hanoman Obhong : Nunjukin

"'Nunjukin' dan 'Ngomongin,' dua kata dengan dua makna berbeda," sang Purnama membicarakan sebuah pokok pembicaraan, "Dan mengapa, mengapa 'nunjukin' biasanya lebih baik ketimbang 'ngomongin'? Mari kita lihat beberapa ilustrasi tentang 'nunjukin' dan 'ngomongin.'
  • Ngomongin, bermakna bahwa engkau—pembicara, penutur atau penulis—memberikan kesimpulan dan interpretasi kepada para pendengar—atau pembaca; engkau memberitahukan kepada mereka, apa yang seyogyanya dipikirkan, daripada membiarkan mereka berpikir sendiri.
  • Nunjukin, bermakna bahwa engkau memberi pembacamu, detail yang cukup jelas dan konkret, sehingga mereka dapat menarik kesimpulannya sendiri.
  • Ngomongin ibarat menyajikan kepada pendengar, paparan tak langsung.
  • Nunjukin memungkinkan pendengar mengalami peristiwa secara langsung, melalui panca indera sang pelaku.
  • Ngomongin, semata bagaikan membaca tentang peristiwa di koran sehari setelah kejadian.
  • Nunjukin bagaikan menyaksikan peristiwa pada saat terjadinya, mendengar tembakan gas air-mata dan jeritan orang terhimpit.
  • Ngomongin merangkum peristiwa yang terjadi di masa lalu atau memberikan pernyataan umum yang tak terjadi pada waktu tertentu.
  • Nunjukin memungkinkan para pendengar menyaksikan peristiwa secara real-time, dalam adegan aktual dengan aksi dan dialog. Kita tetap berada di masa sekarang, berakar kuat dalam pengalaman sudut pandang sang pelaku.
  • Ngomongin itu, abstrak.
  • Nunjukin membentuk gambaran konkret dan spesifik dalam benak pendengar.
  • Ngomongin menyediakan fakta.
  • Nunjukin membangkitkan emosi.
  • Ngomongin juga disebut ringkasan naratif.
  • Nunjukin itu, melakonkan.
  • Ngomongin, menjauhkan pendengar dari peristiwa dalam cerita dan dari para pelaku, dan menjadikan mereka sebagai penerima informasi yang pasif.
  • Nunjukin melibatkan pendengar dalam cerita dan menjadikan mereka peserta aktif.
Sekarang, coba bayangkan kalimat-kalimat berikut,
  • 'Tunjukin dong pada kite-kite bahwa die gadis nyang manis-manjah; jangan asal bicara!'
  • 'Tunjukin dong pada kite-kite bahwa die tinggal di gedung apartemen yang rusak; jangan asal ngomong!'
  • 'Tunjukin dong pada kite-kita bahwa die marah ame temennye; jangan omong doang!'
Nah, aku telah ngomongin apa perbedaannya, perkenankan aku nunjukin padamu sebuah contoh:
'Tina marah.'
Kalimat ini, ngomongin. Sang penulis menyajikan kesimpulan kepada pembaca.
'Tina membanting pintu hingga tertutup dan bergegas ke dapur. 'Loe pikir gue siyaapah?''
Kalimat ini, nunjukin. Ia mempertontonkan kepada para pembaca, tindakan konkret dan dialog sang pelaku, sehingga mereka bisa sampai pada kesimpulan bahwa Tina marah, tanpa perlu sang penulis nyatakan.

Ngomongin, tak selalu buruk, tentu ada fungsinya, namun dalam banyak situasi, engkau 'pingin nunjukin. Kenapa?
Coba pikirkan tentang, mengapa kita membaca novel. Tak seperti pembaca nonfiksi, pembaca fiksi tak membaca guna mendapatkan informasi. Mereka membaca agar terhibur dan berlari-lepas ke dalam dunia lain.
Hal yang sama berlaku bagi orang yang hendak menonton film (tapi bukan film dokumenter). Sekarang coba refleksikan, engkau sedang duduk di bioskop, menunggu film diputar, dan sebaliknya, orang di sebelahmu, ngomongin tentang semua penggalan menarik dari film tersebut. Berani taruhan, engkau enggak bakalan puas, ya kan? Engkau tak ingin diomongin tentang film itu; engkau pingin nonton sendiri filmnya dan terpikat ke dalamnya, hingga sementara waktu, ngelupain yang lain. Jadi, pembaca juga sama. Mereka maunya, mengalami sendiri ceritanya dan berbagi perjuangan sang pelaku—dan itu semata bisa dicapai dengan nunjukin, bukan ngomongin.
Ngomongin, tak mewujudkan sketsa dalam benak pembaca. Ia menafsirkan informasi bagi pembaca dan merampas kesempatan mereka agar berpikir dan menemukan dunia cerita buat diri mereka.
Nunjukin, menjadikan para pembaca berperan-aktif lantaran mereka perlu memikirkan apa yang mereka baca dan menafsirkan apa yang sedang terjadi, dibanding secara pasif tersaji oleh kesimpulan. Itulah sisi menariknya dan bikin mereka, membalik halaman berikutnya, sebab mereka aktif mengajukan pertanyaan dan membaca, kepo banget dengan jawabannya.
Jadi, agar sepenuhnya membenamkan para pembacamu ke dalam ceritamu dan agar membuat mereka mengalami peristiwa bersama dengan protagonisnya, engkau perlu menguasai keterampilan buat nunjukin.

Nunjukin itu, seni, tapi sebenarnya, ada juga sih yang boleh dikata, 'lebay banget nunjukinnya.' Jika engkau mengambil anjuran 'tunjukin, jangan omongin' terlalu berlebihan, dan menunjukkan kepada pembacamu setiap detail kecil, bahkan yang enggak perlu-perlu amat, ceritamu bakalan enggak-gerak sama sekali.
Tak perlu membebani pembacamu dengan gulungan deskripsi yang panjang, yang bahkan mungkin tak dibutuhkan. Terlalu banyak detail mengalihkan perhatian pembaca dari cerita dan membuat paparanmu menjemukan. Agar setiap kalimat yang engkau tuturkan, tanyakan pada dirimu, sungguhkah para pembacamu membutuhkan informasi ini. Berkontribusikah pada tujuan adegan, mengungkapkan sesuatu yang menarik tentang para pemeranmu, atau menumbuhkan alur-cerita? Jika jawabannya tidak, tinggalkan informasi ini.
Secara khusus, cobalah menyimpan detail yang tak penting dari pembuka ceritamu. Alangkah menjemukannya bila memulainya dengan kegiatan biasa-biasa saja, semisal cuma, si Doel bangun dan siap-siap siap-siap berangkat kuliah—kecuali sesuatu yang menarik terjadi, guna menyela rutinitas itu.
Secara umum, nunjukin itu, bagus, tapi jangan dong lebay, atau ia akan memperlambat laju ceritamu. Tunjukkan apa yang perlu, dan buang sisanya."

"Dan Sundara Kanda pun berlanjut," sang Purnama menyambung, "Hanoman sang Wanara, memutuskan agar dapat mengulik kekuatan dan strategi Rahwana. Ada empat strategi buat dapetin hasil yang lumayan, pertama, persuasi; kedua, uang-sogok; ketiga, adu-domba, dan keempat, perang-terbuka. Dalam babak ini, ia memutuskan melanjur dengan strategi keempat. Ia berkata pada diri-sendiri, 'Aku melintasi samudera demi menemukan Sita dan aku telah mendapatinya, mengharukan dan lebih terhormat dibanding yang kubayangkan. Namun aku tak boleh meninggalkan Alengka layaknya bajing-loncat. Aku perlu menjadikan kehadiranku, terasakan. Aku kudu menghadirkan kekhawatiran dalam hati para rakshasa itu. Ksatria terbaik itu, ksatria yang melebihi yang ditargetkan. 'Aku telah menunaikan tugasku. Aku telah melompati gulungan ombak, menemukan Sita dan menyerahkan cincin titipan Rama. Aku hendak mencapai lebih banyak lagi dengan memancing pasukan rakshasa dan mengintip kekuatannya. Akan lebih cerdik bila aku bertatapan-muka langsung dengan Rahwana.’
Ia tahu, itu berbahaya, namun suara hati mendesaknya bertindak intuitif. Hanoman memutuskan secara naluriah, 'Asokawana ini, mestilah taman kesukaan Rahwana. Itulah sebabnya mengapa ia menawan Sita di sini. Aku akan membongkar-bangkir taman yang indah ini. Ketika Rahwana mendengarnya, ia bakal mengirim pengawalnya guna menyerangku. Saat aku menghancurkan pasukan itu, sang Rakshasa akan gemetar di singgasananya. Karenanya, jika aku dapat melakukan ini, dan ternyata aku hanyalah seorang utusan, apa yang akan terbayang olehnya, andai Rama tiba dengan pasukan Sugriwa dan Jembawan?’
Tumbuh meraksasa dalam sekejap, dan mengaum oleh rasa-amarah atas cobaan berat Sita, Hanoman mulai mengobrak-abrik asokawana. Ia mengaduk pusaran air di kolam teratai, yang merusak tepiannya, mengotori air yang menghablur. Ia melumat bebatuan yang tertumpuk dengan rapi. Dalam waktu singkat, ia memporak-porandakan asokawana. Lanjut dengan wujud monyet-kecil, ia memanjat ke puncak datar pilar batu dan duduk menunggu kabar agar sampai ke Rahwana. Para rakshasi di kuil itu, terkejut oleh kegemparan di asokawana. Mereka ketakutan melihat sang wanara hebat, laksana prahara-kencana, menghancurkan taman sang raja. Kerumunan para unggas yang bertengger di taman, terbang mendedau ke langit, laksana kabut-petaka. Rusa, merak, dan makhluk jinak lainnya, berhamburan, panik.

Para rakshasi berlarian menemui Sita, berseru, 'Siapakah makhluk ini?' Namun Sita menjawab, 'Ia pastilah rakshasa, yang bisa berwujud apapun yang ia suka. Aku tak tahu apa-apa tentangnya dan aku takut padanya, sama sepertimu.’ Lalu, mereka bergegas mengadu ke Rahwana tentang monyet yang telah menghancurkan asokawana. 'Kami melihat Sita bersama makhluk itu,' kata mereka, 'tapi sekarang, ia nggak mau ngaku soal monyet itu. Mungkin ia salah satu pelayan musuhmu, Kubera atau Indra, datang memata-matai kotamu. Atau, boleh jadi, ia utusan Rama, sebab ia duduk berbicara dengan Sita. Jika engkau tak mempercayai kami, Yang Mulia, datang dan lihatlah sendiri ke asokawana.’
Rahwana merajuk, matanya memerah oleh amarah. Ia menepukkan tangannya dan memerintahkan sekelompok pengawal istananya mengurus Hanoman. Rahwana mengirimkan delapan ratus Kinkara, yang ahli dalam menggunakan segala jenis senjata. Mereka tampak seperti kabut-gelap yang disambar petir. Para Kinkara menyerang Hanoman dengan palu-gada, palu-godam, palu-arit dan segala jenis senjata tajam, tombak dan lembing, termasuk pisau-dapurnya simbah yang lagi jualan pecel-pincuk. Mereka nggak pakai gas air mata, sebab bakalan di semprit oleh FIFA. Lalu, mereka mengitari sang monyet yang duduk 'ngoceh dan menggeram pada mereka, di pilar bundar di luar taman. Awalnya, mereka terbahak-bahak melihat betapa enteng musuhnya; mereka tak percaya ia telah merusak asokawana sendirian. Mereka meneriakkan yel-yel, 'Sang raja hebat ... Sang raja baik ... Sang raja adalah kita!'
Namun pada saat para rakshasa hendak menangkap sang monyet kecil, ia berdiri, meregangkan tubuh, dan dalam sekejap, wujudnya jadi sangat besar. Kepalanya menggapai langit dan, mata-emasnya menyala-nyala, ia menggeram ke arah mereka dengan menakutkan. Sang wanara raksasa menepuk-nepuk dadanya dan suaranya bergema ke seluruh Alengka, mengguncang istana Rahwana hingga ke pondasinya.
Hanoman mengaum pada para Kinkara, 'Kemulian bagi Rama dan Laksmana bersama raja Sugriwa dari kaum wanara! Aku Hanoman, putrabayu, dan aku mengabdi pada Rama. Aku terbang melintasi laut demi menemukan Sita dan aku akan membuatmu menyesal sebelum aku meninggalkan kota jahanammu.’
Ada juga sih di antara mereka, yang mampu membesar, dan para rakshasa tersebut memburu ke arah Hanoman. Namun, Hanoman menarik pilar tempatnya duduk dan melumatkan mereka dengannya, membunuh gelombang serangan para setan. Jeritan bergema di udara laut; darah dan otak-kosong mereka, berceceran di taman yang sudah amburadul; cairan merah-tua mengalir ke sungai. Dalam sekejap, ruaarrr-biasa, seluruh pasukan tergeletak awut-awutan dan tak bernyawa. Auman kemenangan Hanoman bergema di seluruh Alengka, dan kota itupun kembali bergegar.

Sampailah kabar terkini ke telinga Rahwana, dan ia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia memanggil putra patihnya, Jambumali, putra Prahasta. Prahasta sendiri, paman Rahwana, yang sebenarnya putra mahkota Alengka. Karena pengecut, takut akan kekuatan Rahwana, ia menyerahkan tahta kepada Rahwana, dan menempatkan dirinya sebagai patih. Jambumali, salah seorang komandan-muda Rahwana yang paling cakap, ia mengutusnya dengan kekuatan yang lebih besar.
Mengaum lagi sembari berkata bahwa ia abdi sri Rama, Hanoman memusnahkan legiun ini, menggebuknya dengan pilar sampai babak-belur. Jambumali sendiri, seorang pendekar yang hebat, kuat tapi brutal, tampan tapi belagu. Ia masuk ke medan laga dengan mengaum, yang hanya diperbolehkan bagi para rakshasa yang terlahir dari kalangan bangsawan. Ia menembakkan anak-panah yang mendesis ke arah Hanoman.
Bulu-bulunya bergetar, Hanoman tegak diam pada hunjaman pertama yang diterimanya. Senyum-ngeledek perlahan menyebar di wajahnya dan cuma seperti duri, satu per satu, ia mencabuti patil-patil Jambumali dari dagingnya. Kemudian, duel yang menggetarkan, membara di antara mereka. Mencengkam batu-batu besar dari bebatuan asokawana yang telah tercalar, Hanoman melemparkannya ke arah sang rakshasa. Namun, anak-panah Jambumali berupa sihir, dan menghembus batu jadi debu. Setelah itu, Hanoman memutar pilar di atas kepalanya dan melontarkannya laksana lembing ke arah sang rakshasa muda, membenturkannya ke dinding, meremukkan dadanya; dan ia gugur dengan ekspresi mengernyitkan kening di wajahnya.

Dari jendela-kamarnya, Rahwana menyaksikan dengan amarah yang memuncak. Ia menderam kepada menterinya agar mengirim legiun lain melawan Hanoman, yang berdiri menjulang dan senang di bawah pancaran matahari yang mengucur. Sisa-sisa dari dua kekuatan pertama tergeletak di sekitar kakinya, darah-hidup para rakshasa memercik kemana-mana, seolah-olah sebuah persembahan yang mengerikan. Lima menteri mengirim lima putra pejuang sebagai kepala detasemen terbesar. Mereka merupakan jenderal-jenderal yang sangat penting: Wirupaksa, Yupaksa, Durdara, Pragasa dan Basakama. Mereka berbaris di jalan-jalan berbatu Alengka, bagaikan guruh yang menggelegar, untuk memadamkan Hanoman. Tapi, lagi-lagi sang wanara, keras-kepala; ia tak tertandingi.
Durdara menyerang Hanoman dengan lima anak-panah berapi yang mengenai Hanoman di kepala. Terluka oleh panah, Hanoman mengaum, melebarkan tubuhnya, dan melompat ke arah kereta Durdara dengan kekuatan dahsyat. Hanoman mengeremus kereta Durdara. Dengan hantaman keras Hanoman, nyawa Durdara melayang. Melihat kematian Durdara, Yupaksa dan Wirupaksa menempur Hanoman dengan melompat ke atasnya. Mereka menusuk Hanoman dengan tombak-sakti mereka. Hanoman mencabut pohon Sal yang besar dan membunuh kedua iblis itu dengan gagah berani. Pragasa dan Basakarna juga menerjang Hanoman dari kedua sisi. Mereka menancapkan Hanoman dengan tombak dan panah. Tubuh Hanoman terluka oleh serangan setan-setan ini. Seketika Hanoman menarik sebuah puncak gunung dan mencampakkannya ke arah dua setan itu. Dua setan memuncratkan darah dan mati. Setelah membunuh para jenderal, Hanoman membunuh pula bala-tentara yang masih tersisa. Ia melebuk kontingen itu, semudah yang lain.
Hanoman menikmatinya sendiri. Bulu-bulunya diwarnai oleh darah-mati para rakshasa dan ia menari-nari di antara yang mati, masih meneriakkan nama Rama dan bahwa ia seorang abdi sri Rama. Ia berseru bahwa ia hanyalah satu di antara ribuan wanara, kebanyakan dari mereka lebih besar darinya, yang akan segera mendarat ke Alengka. Dan seolah menjawab yel-yel pasukan Kinkara yang kali-pertama diremukkannya, Hanoman berdendang,

And yeah, yeah, the king is great
[Dan ya, ya, rajanya hebat]
Yeah, yeah, the king is good
[Ya, ya, rajanya baik]
Yeah, yeah, yeah-yeah-yeah
[Ya, ya, ya-ya-ya]
What if the king was one of us?
[Bagaimana jika rajanya, seseorang dari kita?]
Just a slob like one of us?
[Cuma pemalas-jorok seperti seseorang dari kita?]
Just a stranger on the bus?
[Cuma orang yang tak dikenal di dalam bus?]
Tryin' to make his way home? *)
[Yang lagi bingung nyari jalan pulang?]

Kemudian ia berhenti, berteriak, 'Tunjukkan pada kami bahwa engkaulah orangnya, jangan cuma omdo! Duit ora payu!'
Rahwana tercengang; belum pernah ia menemukan kehebatan seperti itu, kecuali sempat sekali, dulu sekali. Ia berseru, 'Hubungi Aksa ... Aksayakumara, segera!'"
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Sandra Gerth, Show, Don't Tell, Ylva 
*) "One of Us" karya Eric Bazilian, agak diplesetin.