Kutipan dan Rujukan:"Mengapa organisasi membutuhkan para pemimpin? Dan mengapa para pemimpin dalam organisasi tak memperhatikan soal etika?" sang Purnama melanjur dengan pertanyaan. “Seperti yang engkau sekalian ketahui, etika itu, berkaitan dengan moral, ya kan? Sedangkan moral, berkaitan dengan karakter atau watak atau dengan membedakan antara benar dan salah, yang kita sebut moralitas.Tindakan etis didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang universal, sebab memasukkan nilai-nilai fundamental semisal kebenaran, kebaikan, keindahan, keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai ini, ditemukan dalam semua budaya, walau mungkin tiap-tiap budaya, berbeda dalam hal penerapan nilai-nilainya.Teori-teori etika, secara umum, menyajikan garis-pedoman untuk membuat keputusan moral dengan mengartikulasikan standar-moral yang menjadi dasar perilaku-moral.Salah satu ciri standar-moral, yang membedakannya dengan standar-standar yang lain, bahwa standar-moral menyangkut perilaku yang dapat berdampak mendalam bagi manusia, dan kesejahteraan manusia. Norma-moral menolak kebohongan, pencurian, dan pembunuhan, yang berkaitan dengan perbuatan yang dapat merugikan manusia; dan prinsip-moral yang mengharuskan manusia agar diperlakukan dengan hormat, yang meninggikan harkat-martabat para insan. Keabsahan standar-moral tergantung pada kecukupan asas yang mendukung, atau yang membenarkan standar tersebut. Moral atau etika, melebihi adab atau etiket, protokol atau adat-istiadat, dan bahkan ketaatan pada hukum negara. Ia tak mempertanyakan tentang suatu perbuatan yang legal atau ilegal, melainkan baik atau durjanakah perbuatan itu. SUATU PERBUATAN HUKUM, SECARA MORAL, BELUM TENTU MERUPAKAN PERBUATAN YANG BAIK.Lantas, mengapa organisasi membutuhkan pemimpin? Organisasi punya struktur; anggota organisasi yang memangku atau mengemban kewajiban, peran, dan tingkatan status berbeda dalam organisasi, guna mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Struktur organisasi menyiratkan bahwa ada pemimpin dan pengikut. Para pemimpin diharapkan memberi arahan, menjalankan kontrol, dan secara umum, menjalankan fungsi-fungsi yang diperlukan agar mencapai tujuan organisasi.Dalam organisasi yang sukses, perilaku kepemimpinan sejati—dalam makna memimpin orang-lain—lebih dari sekadar aktivitas pemeliharaan rutin seperti mengalokasikan sumber daya, memantau dan mengarahkan karyawan, dan membangun 'esprit de corps' organisasi. Kepemimpinan sejati terkait dengan menggerakkan pengikut menuju realisasi visi yang telah dirumuskan pemimpin demi memenuhi misi organisasi. Jelas, organisasi membutuhkan kepemimpinan. Tanpa pemimpin, organisasi bagaikan kapal tanpa kemudi, terombang-ambing dalam alam yang bergejolak.Dan mengapa para pemimpin dalam organisasi tak memperhatikan soal etika? Sejumlah besar organisasi atau institusi yang ada di sektor bisnis dan pemerintahan, boleh dikata, nggak peduli-peduli amat dengan soal etika atau moralitas. Argumennya, barangkali bahwa etika dan moralitas, semata bagi urusan perlindungan organisasi-organisasi keagamaan secara ekslusif, dan mungkin, organisasi-organisasi pendidikan. Tatkala moralitas masuk ke dalam organisasi bisnis, ia berpotensi mengalihkan para pemimpin bisnis dari tujuan utama organisasi dan, sebagai akibatnya, jadi tak efisien dan menghilangkan pengembalian yang semestinya kepada para pemegang saham. Sudah barang tentu, sang pendiri perusahaan, tak memulai bisnisnya untuk memasarkan moralitas, melainkan mendapatkan keuntungan dan menghasilkan kekayaan. Pertanyaan serupa, dapat pula diajukan tentang peran etika dalam organisasi nirlaba, termasuk pemerintah–organisasi terbesar di negeri ini.Awal tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, dapat ditelusuri ke Politik Aristoteles. Aristoteles mengamati bahwa negara terbentuk dengan tujuan menyediakan hukum dan ketertiban yang berkesinambungan, demi hukum yang baik, ketertiban yang baik, dan perbuatan yang bermartabat. Dalam nada yang sama, 'raison d'etre' organisasi manusia—struktur dan mekanisme, norma dan aktivitasnya—untuk mendukung seberapa 'baik' dan sesuai dengan 'fadilat tertingginya.' Seperti yang dicermati Peter Drucker, 'Apa yang terpenting ialah, manajemen menyadari bahwa ia hendaknya mempertimbangkan dampak dari setiap kebijakan bisnis dan tindakan bisnis terhadap masyarakat. Ia seyogyanya mempertimbangkan, akankah tindakan tersebut kemungkinan memajukan kebajikan publik, untuk mengedepankan kepercayaan dasar masyarakat kita, agar berkontribusi pada stabilitas, kekuatan, dan keharmonisannya.’Seluruh anggota organisasi, memikul tanggungjawab guna memastikan bahwa tujuan organisasi dicapai dengan cara yang konsisten dengan cita-cita ini dan menyajikan kesejahteraan bagi mereka sendiri, beserta kepentingan masyarakat yang lebih besar.Namun, tugas dan tanggung jawab utama untuk memberikan arahan yang tepat dan standar kinerja yang tinggi, terutama terletak pada pemimpin organisasi. Sesungguhnya, pemimpin itu, jiwa organisasi. Visi pemimpin, menginspirasi dan mengartikulasikan misi organisasi; memberikan dasar bagi tujuan dan sasaran organisasi; mengkomunikasikan keyakinan dan nilai-nilai yang mempengaruhi dan membentuk budaya organisasi serta norma-norma perilaku; dan meletakkan dasar bagi strategi, kebijakan, dan prosedur organisasi. Namun, prinsip moral dan integritas pemimpinlah, yang memberikan legitimasi dan kredibilitas pada visi dan mempertahankannya. Manakala integritas moral pemimpin, diragukan, maka visi pemimpin, seberapapun adiluhungnya, walau diukir dengan baik, dan diartikulasikan, bakal dipandang dengan skeptis oleh para pengikutnya, kehilangan kekuatannya, dan takkan mampu menggerakkan mereka, berfungsi menuju pengejewantahannya.Saat ini, ada kesadaran yang semakin meningkat bahwa para pemimpin bisnis, perlu lebih bertanggungjawab, tak semata kepada para stock-holder, namun juga kepada para stakeholder lainnya—konsumen, karyawan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat. Walau tak ada yang bakal menyangkal bahwa bisnis harus menghasilkan keuntungan, semata asyik dengan cuan namun mengesampingkan atau mengabaikan pertimbangan lain, tak lagi dapat diterima. Laba–yang dulunya menjadi segalanya, dan akhir dari segala macam bisnis–sekarang dipandang sebagai sarana melayani kepentingan masyarakat yang lebih besar, yang, pada dasarnya, menyiratkan bahwa keputusan bisnis seyogyanya didasarkan pada standar kinerja ekonomi dan etika yang tinggi. Sebuah survei terhadap eksekutif sumber daya manusia menemukan bahwa 67 persen responden, mengobservasi bahwa etika, ke depannya, akan lebih penting bagi organisasi.Kini, ada kesadaran yang meningkat bahwa para pemimpin organisasi, perlu lebih peka terhadap kewajiban moral mereka kepada masyarakat yang lebih luas, yang mencakup seluruh pemangku kepentingan [stakeholders] seperti konsumen, karyawan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat. Pengakuan kewajiban inilah, yang mendorong beberapa perusahaan besar merumuskan kode-etik, membentuk komite-etika, sistem-komunikasi bagi karyawan guna melaporkan pelanggaran atau meminta petunjuk, program pelatihan etika, petugas etika, dan proses pendisiplinan. Kode-etik dapat menjadi pengingat penting bahwa individu, bukan organisasi, terlibat dalam praktik etis atau tidak-etis.Namun, kode-etik dan struktur seperti itu, semestinya lebih dari sekadar 'window dressing'; apalagi keunggulan bisnis yang kompetitif menjadi latarbelakangnya. Karakteristik khusus dari program etika atau kepatuhan formal, kurang penting daripada persepsi yang lebih luas tentang orientasi program terhadap nilai-nilai dan aspirasi etis. Yang paling membantu ialah, konsistensi antara kebijakan dan tindakan serta dimensi budaya-etis dalam organisasi, semisal kepemimpinan beretika. Kode-etik organisasi, menetapkan prinsip-prinsip etika yang seyogyanya mengatur keputusan dan perilaku pemimpin agar pemimpin dapat memenuhi misi, mengangkat iklim-moral organisasi. Melalui perilaku mereka yang menitikberatkan pada prinsip, orang-orang dalam posisi kepemimpinan, menentukan kualitas moral anggota organisasi, dan dengan demikian, berkontribusi pada penguatan, atau kemerosotan, serat moral masyarakat.Sungguh sangat disayangkan bahwa organisasi bisnis telah menjadi sasaran banyak kritik. Kita berutang banyak kepada korporasi bisnis. Ia memberikan produk dan layanan yang kita butuhkan, serta dengan peluang mengembangkan dan memanfaatkan bakat, pengetahuan, dan kemampuan kita. Ia berkontribusi pula pada perekonomian, dan tanpa organisasi bisnis kontemporer, kita takkan dapat membayangkan standar hidup yang kita nikmati. Banyaknya terobosan yang bermanfaat dan vital di bidang kedokteran, pendidikan, dan teknologi, dihasilkan dari upaya atau dukungan korporasi bisnis. Namun litani duka-cita yang telah ada, agak-agaknya memunculkan pengamatan bahwa masyarakat kita telah kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai dasar kalangan ekonomi, dan bahwa kita membutuhkan kebangkitan spiritualitas dalam industrial leadership.Ada pemahaman yang berkembang bahwa prinsip-prinsip etika, seyogyanya mengatur keputusan para pemimpin kita. Tidaklah cukup bahwa para manajer itu, cerdas, rajin, dan kompeten dalam konteks spesialisasi teknis mereka, sebab penelitian menunjukkan bahwa, kendatipun kualitas ini yang dikendaki, boleh jadi, tak efektif, lantaran mereka dipandang arogan, pendendam, tak dapat dipercaya atau tak amanah, egois, emosional, kompulsif atau suka memaksa, terlalu mengontrol, tidak peka, dan kasar. Selain kualitas etika individu, lingkungan moral organisasi, sama pentingnya.Kualitas hidup dan kelangsungan hidup masyarakat manusia, bergantung pada kualitas moral para anggotanya. Namun, kualitas moral para anggota, sangat ditentukan oleh mereka yang menduduki posisi kepemimpinan. Cara dimana para pemimpin berfungsi dalam posisi pengaruh ini, dapat secara langsung berkontribusi pada penguatan, atau malah kemerosotan, serat moral masyarakat–dan sebagai seorang Muslim/Muslimah, kita dapat belajar dari Sirah tentang kehidupan kekasih kita, Rasulullah (ﷺ), dan pula guna menambah wawasan, bisa disebutkan beberapa biografi antara lain Socrates, Buddha Siddhart-Gautam, Lao-Tzu, Gandhi, Ibu Teresa, yang membuktikan pengaruh fadilat masing-masing di eranya, dan juga, sepanjang zaman. Peran seorang pemimpin selalu membawa tanggungjawab yang berat dan ruwet. Di zaman kita, beban peran ini, menimbulkan tantangan yang agak unik dan berbobot, lantaran perubahan mendasar dalam norma-norma dan nilai-nilai masyarakat.Sekarang, kembali ke buku-lima alegori naratif Ramayana, Sundara Kanda, Wibisana sedang berjalan menuju markas terdalam Rahwana. Ia bertemu dengan Trisirah, putra Rahwana dan Danyamalini—dari namanya saja, bahasa Sansekerta, kita tahu bahwa ia punya tiga kepala. Tak diketahui bisakah ia bermultitasking dengan ketiga kepalanya, tapi yang pasti, salah satu kepalanya menjawab sapaan Wibisana, dua lainnya, asyik membaca berita. Melihat bahwa ia sedang sibuk, Wibisana mempercepat langkahnya menuju markas. Wibisana, adik Rahwana, nama di KTP : Gunawan Wibisana, bertempat tinggal di Kasatrian Parangkantara, RT 5 RW 3, Kelurahan Cici Faramida, Kecamatan Dangdut Jadul, Daerah Khusus Trikuta, Alengka. Dari KK-nya, diketahui ia memperistri Rakshasi bijak, Sarama, dan berputri, Trijata.Kemudian ia melangkah ke sebuah ruangan luas nan mewah, dimana Rahwana dan Kumbakarna duduk, ditemani oleh tiga putra Rahwana lainnya—dan merangkap pula sebagai buzzerp dan influencerp—Atikaya, Narantaka, dan Dewantaka. Kumbakarna berkata, 'Yang Mulia, radikalisme akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, dipicu oleh dinamika politik dan politik identitas yang kemungkinan muncul....' Tiba-tiba, dua orang pengawal datang beserta seorang wanita yang mengenakan hijab dan niqab baru, namun tampak linglung. Seorang dari mereka melapor, 'Yang mulia, kami barusan menangkap seseorang yang berusaha menerobos Istana. Ia membawa empat senjata dan Kitab Suci. Ia diduga tertular oleh K* Kl*x Klan.' Seketika, Kumbakarna menyela, 'Tuh kaan! Baruuu aja diomongin.' Atikaya menimpali, 'Parah nih!' Narantaka malah senang, 'Mayan, ada proyek baru!' Dewantaka menambahkan, 'Ya, ada bahan buat rayuan dan gorengan!' Tapi, Wibisana cuma berkomentar, 'Kok bisa ya?' Namun, dalam batinnya bergumam, 'Sialan, gue di undang dimari, cuman dijadiin kambing-congek, buat ngomongin soal ginian doang!'Sementara itu, di asokawana, Indrajit berhadapan dengan Hanoman. Indrajit dielu-elukan oleh pengikutnya dewek a.k.a para rakshasa. Bersemangat-tarung, ia dengan antusias mempersiapkan diri berlaga. Putra penguasa rakshasa itu, meng keren-kece bro, matanya bak kelopak bunga teratai. Sang jiwa energik muncul, laksana lautan di bulan purnama. Indrajit mengendarai sebuah kereta yang kecepatannya, tak dapat dijajal. Ia dipasangkan pada empat Yali—sejenis binatang buas dan dapat berupa harimau, singa, macan tutul, gajah, atau bahkan sejenis reptil. Yali di kereta Indrajit biasanya dipasangkan harimau—yang bagaikan raja unggas dengan kecepatan terlajaknya, dengan taring tajam dan runcing. Yang terbaik dari yang terbaik di antara para pemanah, berada di kereta itu. Ia tahu tentang senjata dan yang paling tahu dari yang paling tahu di antara mereka yang paling tahu tentang senjata. Di kereta itu, ia dengan cepat maju menuju tempat dimana Hanoman berada.Terdengar suara kereta. Ada suara dentingan busur. Mendengarnya, sang wanara pemberani, semangkin daripada yang mana seneng. Agar perlagaan cepat kelar, Indrajit mengambil busur raksasa dan anak panah tajamnya yang dapat melesat dengan cepat. Ia maju mendekat ke Hanoman. Dengan bersukaria, dengan busur di tangan, ia maju menuju medan pertikaian. Segala sudut memucat. Marga-satwa melolong ketakutan. Para ular dan yaksha bergerombol, seperti yang dilakukan para maharshi dan siddha. Kawanan besar burung menutupi langit dan sangat gembira, mulai saling-memanggil. Sang wanara melihat kereta Indrajit sedang melaju. Sang wanara kuat mengaum keras dan memperbesar ukuran tubuhnya. Indrajit berada dalam kereta ajaib itu, dengan busurnya yang berwarna-warni bagai pelangi. Ia mengayunkan busurnya dan mengeluarkan suara gemuruh. Keduanya sangat piawai. Keduanya sangat kuat dan tak takut adu-kekuatan. Sang wanara dan putra raja para rakshasa terikat dalam pertikaian, seperti Indra para dewa melawan Indra para asura. Hanoman tak tertakar dan bergerak dalam jejak ayahnya, memperbesar lagi ukuran tubuhnya.Mereka berlaga di luar istana Rahwana, pangeran rakshasa dan wanara penggempur yang lebih tinggi dari pohon Hyperion. Bagai badai petir yang bertabrakan, mereka bertarung, menderu dengan riuh-rendah, ruang di antara mereka sarat oleh anak-panah Indrajit dan bebatuan beserta pepohonan lontaran Hanoman. Adakalanya, keduanya berhenti, ngos-ngosan tapi nggak sampai amsyong, keduanya tak sudi menyerahkan sejengkalpun lahan. Indrajit kagum pada sang monyet besar, yang tak pedulikan gotri mematikannya. Dan Hanoman kepoin sang rakshasa muda, yang tak terluka oleh rentetan segala sesuatu yang berat, yang bisa ia pegang. Ia merobek batu-ubin dan tangga-batu, dan melemparkannya, berputar laksana cakra, ke putra Rahwana; hanya untuk melihat semuanya lebur jadi bubur.Akhirnya, Indrajit menarik anak-panah istimewa dari tabungnya. Ia memejamkan mata, menyebut sebuah nama tiga kali: Bento ... Bento ... Bento. Indrajit punya astranya sendiri, yang diberikan oleh Brahma. Hanoman terpaku di dalam mantra Brahma; ia melipat tangannya. Sang astra menyala, tertuju padanya melalui awang-awang. Karena bhaktinya, menghormati senjata Brahma, Hanoman tak mau menghindarinya, tapi malah membiarkannya, mengikatnya dalam cahaya melingkar. Ia tergeletak di tanah, seolah takluk. Hanoman berbisik pada dirinya, 'Bocah ini tak tahu bahwa, atas anugerah Brahma sendiri padaku, astranya cuma bisa menahanku 'bentar. Namun, aku hendak bertemu-muka dengan Rahwana, sebelum terbang meninggalkan Alengka, dan inilah peluangku. Aku tak takut.'Ia berbaring santuy tanpa protes, sedang mereka mengira, kesaktian astra telah menaklukkannya. Para rakshasa berkerumun, dan mengikatnya sekali lagi dengan tali dan potongan kulit kayu terpanjang yang bisa mereka temukan. Saat gelungan tali menyentuh tubuh Hanoman, gulungan astra itu lenyap. Betapapun angkuhnya seluruh astra; tiada yang bakal bertahan lama kecuali bagi pemiliknya sendiri. Tatkala Indrajit melihat para rakshasa menyongong sang kera, yang tersungkur dengan tali yang mengekangnya, Indrajit berteriak kepada tentaranya agar berhenti. Namun mereka tak menghiraukannya dalam hiruk-pikuk seperti itu.Putra Rahwana mengira bahwa sekarang, takkan perlu lagi membendung Hanoman. Namun, ada sesuatu yang membuatnya terperanjat, sang wanara yang berbaring di tempatnya menggelangsar, tapi membiarkan dirinya, diikat dan diseret ke hadapan Raja Alengka di istananya, dan malahan, berdangdut-ria,Sambal ijo pedas rasanyaNamun tak sepedas hatiku yang lukaJanji manis yang kau berikanTak sepahit yang selalu ku rasakanSambal ijo pedasmu membuat diriku, jadi meranaSemua cara kau rayu dirikuSaat kau mengharapkan cintakuSetelah kau dapatkan dirikuKini kau pergi tinggalkan akuSambel ijo, itulah dirikuSeperti cintaku yang pedes di awalDan hilang berlalu *)Gelagapan, Indrajit menyusul sang kera ke majelis sang babe."
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Manuel Mendonca & Rabindra N. Kanungo, Ethical Leadership, edited by Chris Brotherton, Open University Press
*) "Sambal Ijo" karya Berry dan diaransemen oleh Capoenk, Arthur, Cepi
[Bagian 16]
[Bagian 14]