Senin, 27 November 2023

Obrolan sang Teratai : Value (2)

“Dalam sebuah acara kontes joged, seorang komedian diundang dan bertanya pada penonton, 'Apa yang gemoy, keadaannya tetap seperti baru, dan ada tujuh benjolan kecil di dalamnya ...?'
Menggelengkan kepala tapi tersenyum, para penonton kepo.
'Selaput dara Putri Salju,' pungkas sang komedian.

"We are no dwarfs!" pekau sang Teratai. "So, kita dapat memandang Value itu, dari beragam perspektif, dari Filosofi, Psikologi, Neurosains, Sosiologi, bahkan Ekonomi. Dan dari sudut pandang ilmu Ekonomi, kita bisa mengawalinya dengan membuat pertanyaan—sebagaimana para pengambil Kebijakan memulainya—semisal, 'Adakah 'gorong-gorong' antara 'pembiayaan' Ibukota baru dan 'pendanaan' banner atau spanduk?'
Ilmu Ekonomi itu, disiplin ilmu yang dahsyat, kata Dino Levy dan Paul Glimcher. Ia didasarkan pada definisi, aksioma, dan rumus matematika yang jelas dan tepat. Dalam banyak persoalan, teori ekonomi telah berhasil digunakan menginformasikan Kebijakan, memprognosis perilaku manusia, dan menyusun sistem keuangan. Dalam 300 tahun terakhir, telah terjadi kemajuan yang mengagumkan dalam teori ekonomi; dari ide-ide revolusioner Daniel Bernoulli, David Ricardo, dan Adam Smith melalui teori Vilfredo Pareto, Paul Samuelson, John von Neumann, dan Oskar Morgenstern, hingga pendekatan yang lebih baru dari Herbert Simon, Daniel Kahneman, dan Amos Tversky, dan banyak lagi yang lain. Namun, salah satu gagasan paling mendasar dalam ilmu ekonomi, bahwa tujuan dasar teori ekonomi itu, 'memprediksi.' Para ekonom memperoleh data perilaku yang dapat diamati dan memprakirakan melalui teori yang terdefinisi dengan baik. Yang mereka pedulikan ialah seberapa baik mereka dapat memprediksikan. Sebagai suatu disiplin ilmu, mereka tak tertarik memahami mekanisme yang mendasari, mengapa estimasi berada pada tingkat tertentu dalam situasi tertentu. Kendati mereka mengakui bahwa perilaku manusia itu, hasil dari aktivitas saraf, mereka tetap agnostik terhadap mekanisme sebenarnya yang ada dalam sistem saraf, yang bertanggungjawab atas perilaku tersebut. Mirip dengan komunitas behaviorisme di bidang psikologi pada tahun 1940-an, para ekonom pada umumnya tak tertarik pada 'the Black Box'.
Akan tetapi, bila kita ahli neuroekonomi, kita bakalan sangat tertarik pada 'Kotak Hitam' itu, dan pingin memahami mekanisme saraf apa yang mendasari instantiasi Value dan Choice. Kita amat yakin bahwa pendekatan ini, memberi keuntungan tertentu. Yang pertama dan terpenting, punya lebih banyak data daripada lebih sedikit, selalu bermanfaat dalam berupaya memahami mekanisme apa pun. Kedua, memahami mekanisme saraf Value dan Choice, akan menetapkan batasan fisiologis pada teori ekonomi apa pun. Sebuah teori yang tak mempertimbangkan batasan-batasan ini, secara apriori bakal keliru, setidaknya pada tingkat analisis tertentu. Selain itu, menambahkan batasan-batasan ini ke dalam teori ekonomi saat ini, kita yakin, akan membuat teori tersebut lebih akurat dalam prediksinya. Ketiga, jika contoh semua perilaku bertumpu pada aktivitas saraf, maka memahami mekanisme pilihan yang mendasarinya, akan membantu kita membangun teori-teori baru yang tak didasarkan pada aksioma sembarangan, melainkan aksioma alami yang merupakan hasil dari prinsip-prinsip fisiologis umum dan dasar yang mengatur aktivitas saraf, dan karenanya, perilaku.
Dalam perspektif ini, dalam banyak kejadian, 'choices' yang kita buat, mempengaruhi 'well-being' orang lain, dan 'pilihan' orang lain, akan berpengaruh pada 'well-being' kita. Ada beberapa perilaku manusia lainnya, yang juga memerlukan kemampuan agar lebih memilih keuntungan orang lain dan meningkatkan utilitas dengan mengorbankan keuntungan diri sendiri. Perilaku semacam ini, secara kolektif dikenal sebagai perilaku altruistik atau preferensi terhadap hal lain, dan dalam banyak peristiwa, perilaku ini didorong oleh keyakinan moral. Tatkala orang mengalami masalah pengambilan keputusan seperti ini, mereka harus mengevaluasi dan membandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk memberikan sesuatu, yang bisa berupa imbalan materi, waktu, atau bahkan kerja fisik, dengan nilai yang mereka peroleh dari gagasan abstrak melakukan sesuatu yang baik atau mencegah sesuatu yang buruk terjadi pada orang lain atau, dalam beberapa perkara, nilai yang diperoleh berupa tujuan, prinsip, atau keyakinan yang abstrak.
Paul Samuelson dan koleganya, membuktikan hampir seabad yang lalu, bahwa setiap pengambil keputusan, yang secara internal konsisten dalam pilihannya, akan berperilaku, selama periode dimana mereka konsisten, persis 'seolah-olah' mereka menggunakan skala umum yang tetap sebagai representasi dari Value. Maknanya, jika seorang pemilih bersifat rasional, setidaknya terdapat satu fungsi utilitas (fungsi yang menyatakan bagaimana nilai obyektif diubah menjadi representasi nilai subyektif internal, yang memandu pilihan individu tersebut) yang dapat menggambarkan pilihannya. Kedua, jika pengambil keputusan menunjukkan preferensi yang tak konsisten, yaitu berperilaku tak rasional, maka hal ini dapat dieksploitasi dengan mengambil uang dari pemilih yang tak rasional, bahkan ketika pemilih tersebut secara hati-hati dan tepat, mengambil keputusan dengan informasi yang lengkap.
​Nah, balik ke pertanyaan 'gorong-gorong' tadi, akan sangat mungkin ada tanggapan, 'Gak ada hubungannya!' atau 'Gak mungkin!' atau 'Itu fitnah!' atau mungkin, ada yang menitikkan air-mata bak Evita Peron mempidatokan 'Don't Cry for Me Argentina' menggunakan versi Madonna yang memukau, ataupun ala-ala almarhumah Sinead O'Connor yang mempesona, melagukan, 'And as for fortune, and as for fame, I never invited them in, though it seemed to the world, they were all I desired.'
Dan maafkan bila aku meresponsnya dengan mengutip ucapan seorang rekan yang berbunyi, 'Pale loe peang!'

Teori hukum alam menyebutkan bahwa manusia hanya dapat hidup dengan baik, jika mereka mengenali kebajikan-kebajikan yang alami bagi manusia dan memahami bagaimana kebajikan-kebajikan tersebut menghasilkan kewajiban dan kerelaan, yang bersama-sama menjadi ciri sistem pedoman praktis, yang kita sebut Moralitas, kata David S. Oderberg dan Timotius Chappell. Katakanlah engkau menganggap dirimu lucu, Sally Hogshead memberi contoh. Bagimu, selera humor itu, salah satu sifat terbaikmu. Cuman, ada satu masalah: orang lain, gak menganggapmu lucu.
Memang sih, ini jadi problem. Humor itu, pertukaran dua sisi. Yaitu, umpan balik antara dikau sebagai penutur lelucon dan audiensmu. Humor tak terjadi dalam ruang hampa. Tidaklah cukup hanya mempertimbangkan caramu memandang diri sendiri. Seyogyanya, engkau mempertimbangkan juga bagaimana dunia memandangmu. Kalaulah tiada orang lain yang menganggapmu lucu ... yaah, boleh jadi, dikau memang gak lucu.
Humor ada di mata yang menyaksikannya. Begitu pula sifat disukai, kepemimpinan, dan serangkaian kualitas subjektif lainnya, yang berakar pada persepsi orang lain. Engkau boleh beroleh suara, tapi para pendengarmu, punya hak veto kaan.
Sebagai contoh lagi, engkau mungkin melihat dirimu sebagai orang yang menyenangkan, tapi jika dunia memandangmu sebagai orang yang berhati-dingin, itu berarti, ada keterputusan. Engkau mungkin mengira bahwa dikau dihormati, atau mandiri, atau praktis, namun jika gak ada yang sepakat, maka, dirimu kurang beruntung. Engkau mungkin pula menganggap dirimu baik dalam menghadapi anak-anak, namun bila anak-anak kecil itu, menangis dan lari ke seberang jalan saat melihatmu, maka ada kesenjangan (serta hambatan gawat terhadap aspirasi karier apa pun yang mungkin dikau miliki agar menjadi badut pesta ulang tahun).
Dengan melihat dirimu dari luar ke dalam, dan secara sistematis mengukur pengaruhmu terhadap pendengar, engkau dapat meningkatkan hasil. Baik dikau seorang komedian, guru taman kanak-kanak, maupun negosiator krisis, dirimu bisa menjadi lebih sukses dengan memahami bagaimana dunia melihatmu, mendengarmu, dan meresponsmu.

Banyak teori dasar kebajikan mendesak dua hal berikut, kata Christopher Tollefsen. Pertama, landasan tindakan manusia terletak pada pemahaman praktis yang dimiliki oleh seluruh pelaku sejati atas kebajikan dasar manusia, yakni pemahaman mereka akan peluang-peluang dasar bagi kemajuan umat manusia. Teori kebajikan yang berbeda memberikan penjelasan yang agak bersenjang mengenai apa yang dimaksud dengan kebajikan, namun daftarnya secara umum mencakup kehidupan dan kesehatan manusia, pengetahuan, keparipurnaan dalam bekerja dan bermain, persahabatan, integritas dan kewajaran praktis. Desakannya ialah bahwa dalam beberapa hal, seluruh agen punya kesadaran akan hal-hal yang hendaklah dikejar; pengetahuan seperti ini, tak semata dimiliki segelintir orang, namun merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas manusia pada umumnya.
Desakan kedua berkaitan dengan desakan pertama. Kebajikan dasar dipandang dikehendaki oleh para agennya, sebab menawarkan janji kesejahteraan manusia; para agen tersebut, punya pemahaman praktis bahwa mereka akan lebih baik jika berpartisipasi dalam kebajikan dasar. Dan semua ini karena 'kita bukanlah, para makhluk cebol!' Wallahu a'lam."

Pertanda sang Fajar menjelang telah terlihat, malam akan beralih ke hari yang baru, dan sang Teratai pun bersenandung,

Gimme, gimme, gimme a man, after midnight
[Beri, beri, beri daku seseorang, usai tengah malam
Won't somebody help me chase the shadows away?
[Tiadakah yang dapat membantuku mengusir bayangan itu?]
Gimme, gimme, gimme a man, after midnight
[Beri, beri, beri daku seseorang, usai tengah malam]
Take me through the darkness to the break of the day *)
[Bawa daku melewati kegelapan, hingga fajar menyingsing]
Kutipan & Rujukan:
- David S. Oderberg & Timothy Chappell (Ed.), Human Values: New Essays on Ethics and Natural Law, 2004, Palgrave
- Sally Hogshead, How the World Sees You: Discover Your Highest Value Through the Science of Fascination, 2014, HarperCollins Publishers
- Tobias Brosch and David Sander (Ed.), Handbook of Value: Perspectives from Economics, Neuroscience, Philosophy, Psychology, and Sociology, 2016, Oxford University Press
*) "Gimme! Gimme! Gimme! (A Man After Midnignight)" karya Benny Andersson & Bjoern K Ulvaeus
[Bagian 1]

Jumat, 24 November 2023

Obrolan sang Teratai : Value (1)

"Di sebuah negeri, yang sedang berada di bawah rezim lucu-lucuan, di sebuah laboratorium yang didanai rezim itu, seorang ilmuwan mengubah seekor Harimau putih menjadi seekor Kuda putih. Melihat ini, sang penilik mengernyitkan kening. Tahu bahwa keadaannya bakalan bawa masalah, sang ilmuwan mencoba menenangkannya, 'Jangan khawatir, kondisinya stabil kok!'"

"Dan lagi-lagi, aku masih di sini," kata sang Teratai. "Tik-tik tik-tik, kata jeng Titiek, hujan rintik-rintik; semoga ada yang bisa kupetik, lalu di ketik. Dan tahukah engkau apa yang kuketik? Janger, yaq, tari Janger. Sebenernya sih, banyak hal menarik yang bisa engkau temukan di Bali, namun Janger, membuatku lebih tertarik ketimbang mistik Leyak—ya benner, mereka memang ada, sama seperti pulau-pulau lainnya di Indonesia, namun aku tak punya cukup rujukan untuk membuktikannya, lagian, mereka bukanlah maksud arah pembicaraanku.

Nah, menurut I Wayan Dibia dan Rucina Ballinger, 'Janger' bermakna 'berada di luar pusaran'. Mengacu pada masa-masa sengkarut tatkala tarian ini berada pada puncaknya. Bermula pada akhir tahun 1920-an oleh I Gde Dharna di Bali Utara, tarian ini mencapai puncaknya pada tahun 1940-an dan 1950-an pada masa revolusi melawan Belanda, dan sebelum percobaan kudeta pada tahun 1965, sebagai alat penyampaian pesan dari berbagai partai politik. Yaq, Janger sesungguhnya pernah mengalami sisi kelam, karena kepopulerannya, pada masa Kediktatoran tahun 1960-an, Janger mulai dipentaskan dalam kancah partai politik, tak terkecuali kaum Komunis, yang banyak melibatkan propaganda dan seni. Setelah periode tersebut, Janger mengalami kemunduran, lalu pulih usai memasuki masa Kediktatoran selanjutnya, sekitar tahun 1970-an. Lalu, akan adakah masa Kediktatoran berikutnya di Indonesia? Bila ada yang berambisi dan tak ada yang tega menghentikannya, who knows!
Sejarah itu, kisah peristiwa, dengan pujian atau celaan. 'Dalam sejarah, terdapat segala rahasia tatanegara,' kata Konfusius. Benjamin Franklin bilang, '...tiga orang dapat menyimpan rahasia jika dua di antaranya mati....' Engkau dan engkau sendirilah orang terbaik, yang menyimpan rahasiamu sendiri.
Clifford Geertz menulis sejarah menarik tentang Bali abad ke-19. Ia menyebutkan, 'Penulisan sejarah jenis terakhir ini, sangat bergantung pada kemungkinan membangun model proses sosio-kultural yang sesuai, yang tepat secara konseptual dan berdasarkan empiris, yang kemudian dapat digunakan untuk menafsirkan hal-hal yang tersebar dan fragmen-fragmen ambigu dari arkeologi masa lalu. Ada beberapa cara melakukan hal ini. Kita dapat memanfaatkan apa yang diketahui tentang rangkaian perkembangan yang sebanding, namun dipelajari secara lebih menyeluruh di tempat lain—dalam kasus yang ada, semisal di Amerika pra-Columbus atau Timur Dekat kuno. Atau seseorang dapat memformulasikan, berdasarkan sosiologi sejarah yang luas, paradigma tipikal ideal yang mengisolasi ciri-ciri utama dari kelompok fenomena yang relevan—pendekatan yang tentu saja dipopulerkan oleh Max Weber. Atau seseorang dapat mendeskripsikan dan menganalisis secara rinci struktur dan fungsi sistem yang ada saat ini (atau baru-baru ini) yang diyakini mempunyai kemiripan dengan sistem yang ingin direkonstruksi, menerangi wilayah yang lebih terpencil dengan sedikit cahaya dari sistem tersebut.'

Kembali pada tarian Janger, janger merujuk kepada penari wanitanya. Dibia dan Ballinger berpendapat bahwa sebelum awal tahun 1980-an, sulit sekali menemukan pemusik atau dalang perempuan. Peran perempuan di Bali secara tradisional, sebagai pembantu rumah tangga dan ibu, dan mereka hanya punya sedikit waktu luang untuk melakukan hal lain. Tahun 1980-an membawa banyak perubahan dalam dunia seni, dengan adanya kolaborasi dan pertemuan antar seniman pertunjukan dari seluruh dunia. Perempuan dipandang sebagai kekuatan kreatif yang aktif, dan penabuh gamelan serta dalang perempuan menjadi lebih umum karena peran artistik mereka yang baru, semakin mendapat kredibilitas.
Peran gender di Bali telah ditentukan dan dipotretkan secara ketat. Budaya patriarki memastikan perempuan memenuhi harapan. Selain melakukan tugas rumah tangga biasa, perempuan menghabiskan banyak waktu membuat persembahan di kuil dan melakukan aktivitas ritual. Mereka tak punya banyak waktu luang dan hal ini menjadi kendala dalam kelangsungan kelompok gamelan perempuan.

Para penari lelaki-nya disebut Kecak, mencelotehkan kata-kata seperti kecak, byang dan byuk, lalu menggoda para wanitanya. Gerak-tari para lelakinya, beda dengan Janger: lengan bergerak berirama ke depan dan jari bergetar; siku bertumpu pada lutut, kepala di atas tangan; tinju menepis telapak tangan; bahu terangkat. Sebaliknya, para wanitanya, mengayun-ayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, memutar kipasnya, dan menggeser kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil bernyanyi. Terkadang disisipi lakon menggunakan cerita semisal Arjuna Wiwaha, Gatutkaca Seraya, Sunda Upasunda dan Legodbawa.
Pada mulanya, penari Janger dan Kecak mengenakan pakaian sehari-hari. Celana pendek, kemeja dengan tanda pangkat, sepatu dan kaos kaki buat lelakinya, dapat dilihat pada tahun 1930-an dalam bentuk serupa yang disebut stamboel. Yang wanita mengenakan kebaya lengan panjang. Seiring waktu, keduanya mulai mengenakan pakaian kuil. Hiasan kepala khas wanita (petitis) merupakan modifikasi dari mahkota pernikahan. Kini, sebagian besar penari Janger-Kecak mengenakan jubah berlapis emas (saput), penutup kepala (destar), kalung besar (badong) dan kain panjang yang terbuat dari kain tenun tradisional Bali. Janger mengenakan kain berlapis emas dari dada hingga mata kaki, kalung beludru bermanik-manik, dan ban lengan kulit.
Janger lebih merupakan paduan suara ketimbang bentuk tarian. 10 hingga 12 pasang pemuda dan pemudi saling berhadapan di area panggung, para pemuda duduk bersila, pemudinya duduk bertumpu pada tumit. Senandung para pemudi tersebut, berasal dari tembang-tembang yang digunakan membuat penari Sanghyang kesurupan, kendati liriknya telah banyak diubah. Kidungannya acapkali berkisah tentang cinta, meski ada juga langgam tentang patriotisme, olahraga, dan tentang membangun perdamaian di Indonesia pada masa pergolakan pasca-Soeharto. Seringkali para pemudinya, ng'ledekin para pemudanya dengan bertanya, 'Pada kemana sih cowok-cowok gantteng ittu?'

Mengapa 10 atau 12 pasang? Dibia dan Ballinger tak menyebutkan alasannya. Tapi angka gak pernah bo'ong, kaan? Yang terpenting angka-angka itu menunjukkan apa dibaliknya? Kebenarankah, atau kepalsuan?
Selama para manusia hidup di muka bumi, mereka perlu menunjukkan angka, kata Gabriel Esmay. Petani menghitung hasil panenan dan ternak. Para insan melacak waktu. Pedagang melacak barang. Pengembang mengukur struktur. Maka, orang-orang di masa lalu menciptakan sistem bilangan.
Piramida Besar telah berdiri di Mesir selama lebih dari empat ribu tahun. Inilah satu-satunya keajaiban dunia kuno yang masih berdiri. Tentu saja, tiada alat modern yang digunakan. Namun para pengembang tak sendirian. Mereka punya matematika dan sistem bilangan yang mendukung. Simbol Mesir adalah glyph [sebuah piktograf berbentuk gasing] atau semacam gambar, yang diukir pada batu. Sama seperti sekarang ini, 10 merupakan angka kunci. Glyph diukir berkali-kali untuk menunjukkan angka yang lebih besar. Agar menunjukkan angka 50, glyph 10 diukir lima kali.
Belakangan, orang Mesir mulai menulis pada papirus, kertas awal yang terbuat dari tetumbuhan. Sistem tak menggunakan 'place value' [nilai tempat]. Maka, simbol bisa ditulis dalam urutan apa pun. Namun tetap saja, orang Mesir menggunakan simbol tersebut untuk menghitung. Mereka bisa menambah dan mengurangi. Mereka bahkan bisa mengali dan membagi. Akan tetapi, ada satu hal yang tak ditemukan di dalamnya—nol! Bangsa Mesir gak punya simbol angka nol.
Angka Romawi terkadang masih digunakan sampai sekarang. Tapi, tiada simbol untuk nol. Dan tak ada cara mudah menuliskan bilangan besar. Maka, sistem lain telah lebih banyak digunakan.
Sistem bilangan Babel cuma menggunakan dua simbol. Tapi, masih banyak angka yang dapat terbentuk. Seperti di Mesir, simbol diukir untuk menulis angka, dan masih belum ada simbol angka nol. Namun, ada satu perbedaan besar antara sistem-sistem tersebut. Urutan simbol-simbol dalam sistem Babel sangat penting. Inilah pertama kalinya 'place value' digunakan.

Sistem bilangan modern menjadi mungkin oleh Kenihilan. Ya, ia dimungkinkan oleh konsep dan simbol ketiadaan—nol. Ia menggunakan 'place value.' Dan nol bisa digunakan untuk menunjukkan suatu tempat yang tak ada nilainya. Sistem ini terbentuk di India sekitar tahun 650 M. Namun, bangsa Arablah yang pertama kali membawanya ke Eropa. Sistem Hindu-Arab mengubah semua ini. Ia didasarkan pada kelompok 10. Digitnya berkisar dari 0 hingga 9, seperti digit yang digunakan sekarang. Dengan menggunakan angka dan kelompok 10, semua angka, baik kecil maupun besar, dapat ditulis lebih cepat. Tak lama kemudian, orang-orang menyadari betapa bermanfaatnya sistem ini. Sekelompok orang kuno perlu menyatakan angka. Jadi, mereka membuat simbol-simbol yang sesuai buat mereka. Kita berhutang banyak pada orang-orang di masa lalu. Place value, simbol, dan nol, membuka jalan bagi cara kita menggunakan angka saat ini. Tapi sistem bilangan masih berubah.
Komputer menggunakan sistem bilangan yang didasarkan pada kelompok 2, bukan 10. Sistem biner cuma punya dua digit: 0 dan 1. Komputer menggunakannya untuk menyimpan data dan memecahkan masalah. Jadi, apa pun yang diketik pengguna, komputer akan mengubah semuanya menjadi 0 dan 1. Sistem bilangan telah berubah sebelumnya. Akankah berubah lagi? Kini, banyak orang meyakini bahwa kita seyogyanya menggunakan kelompok berisi 12 anggota, bukan 10 anggota. Namun ada 'satu' hal yang jelas. Bagaimanapun angka-angka itu ditulis atau ditampilkan, kita akan selalu membutuhkannya. Tapi, ngomong-ngomong, tadi angka 3 kemana yaq?

Dalam Matematika, kita menemukan Value, dalam Ilmu Komputer, kita temukan pula Value, dalam Semiotika, terdapat pula Value, demikian pula di bidang Ekonomi, Marketing, Investing dll, dengan pengertiannya masing-masing.
Seorang filsuf menyukai perbedaan, sama seperti ahli teori lainnya, kata Christine Tappolet dan Mauro Rossi. Saat ditanya apa itu 'Value'—nilai, harkat, mutu, kualitas, bobot, makna, norma, dsbnya—para filsuf cenderung menunjukkan bahwa pertanyaan ini, terbagi menjadi beberapa pertanyaan berbeda, tergantung pada apa yang dipertimbangkan. Dalam bahasa umum, pembicaraan tentang Value seringkali tentang apa yang dianggap baik, semisal saat kita mengatakan bahwa Ilmu, atau Keadilan, merupakan nilai-nilai yang hendaknya diusung. Pembicaraan tentang values, acapkali pula merupakan pembicaraan tentang cita-cita yang memandu tindakan seseorang, seperti tatkala kita berpendapat bahwa demokrasi dan otonomi, merupakan 'Western values', atau ketika kita berbicara tentang keandalan dan integritas sebagai 'personal values.' Cita-cita, hal-hal yang dianggap baik dan lebih umum, klaim substantif tentang 'values,' merupakan topik-topik penting dalam filosofi dan etika, namun hal-hal tersebut bukanlah semata-wayang. Fokus utama dalam philosophy of values ialah pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih abstrak. Para filsuf umumnya membedakan antara konsep evaluatif, penilaian evaluatif, kalimat evaluatif, dan fakta evaluatif.
Topik 'Value' seperti ini, akan kita bicarakan pada bagian selanjutnya dari sesi ini, bi 'idznillah."

Dan sebelum berpindah ke bagian berikut, sang Teratai berdendang,

Sepucuk surat yang wangi
Warnanya pun merah hati
Bagai bingkisan pertama
Tak sabar kubuka
Satu, dua, dan tiga
Kumulai membaca *)
Kutipan & Rujukan:
- I Wayan Dibia and Rucina Ballinger, Balinese Dance, Drama & Music, 2004, Tuttle Publishing
- John Coast, Dancing Out of Bali, 2004, Periplus
- Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali, 1980, Princeton University Press
- Geoffrey Robinson, The Darkside of Paradise: Political Violance in Bali, 1998, Cornell University Press
- Gabriel Esmay, The History of Number Systems: Place Value, 2017, Teacher Created Materials
- Tobias Brosch and David Sander (Ed.), Handbook of Value: Perspectives from Economics, Neuroscience, Philosophy, Psychology, and Sociology, 2016, Oxford University Press
*) "Surat Cinta" karya Ida Laila

Rabu, 22 November 2023

Obrolan sang Teratai : Silence

"Seorang dosen memanggil salah seorang mahasiswa barunya dan bertanya, 'K'napa sih, papermu kosong sama sekali?'
Dengan wajah datar, sang mahasiswa merespons, 'Sometimes, Silence is the best answer!'"

"Dan semakin ke sini, semakin kemari, di sinilah aku lagi," lanjut sang Teratai, "duduk diam, bersila di atas kolam, menunggu sang Rembulan yang mungkin masih berdekam. Aku dapat melihat dengan jelas dari sini, di luar sana, para lelaki, yang bertelanjang-dada, mengenakan celana hitam, bertangkupkan kain kotak-kotak hitam putih sebatas lutut, baru saja selesai mementaskan 'the Amazing Wild Kecak', 'Tarian Kera', paduan suara para lelaki yang berceloteh 'cak cak cak'. Dari sini aku bisa melihat, sang 'Kera Putih' sedang melintasi bara-api.
Bentuk kecak yang modern, kini dapat dilihat oleh hampir setiap wisatawan. Versi yang lebih kecil dari paduan suara lelaki yang mendesis dan berceloteh, sebelumnya merupakan bagian dari bentuk tarian ritual sakral yang dikenal sebagai Sanghyang. Pada tahun 1931, Walter Spies menjabat sebagai penasihat teknis 'Island of the Demons', sebuah film buatan Jerman tentang sebuah desa yang terancam dilantakkan oleh Rangda, sang penyihir. Bersama Wayan Limbak, seorang seniman, mereka punya gagasan memperluas paduan suara Kecak dan menggabungkannya dengan alur cerita Ramayana, sehingga menghasilkan versi standar saat ini. Hasilnya, sebuah seni-tari sekuler yang sangat berbeda dari tarian Bali sebelumnya. Seperti yang kusaksikan, Kecak senada dengan tarian Janger.

Di saat pentas telah usai, dan walau Noise tak dapat hilang sama sekali, atau biarpun beberapa tukang survei, dapat menjadikan kebenarannya tertutupi, Silence tetap hendak berbagi. Selalu terngiang dalam benakku, firman Sang Hyang, 'Do your standing and prostating, in the last-third part of the night, because I will come.'
Dikala Silence tiba, ia menjadi penawar kegalauan. Tentu saja, kegalauan telah lama menjadi hal yang penting bagi kelangsungan hidup kita, kata R. Reid Wilson. Moyang manusia gua kita, yang berjalan-jalan santuy di tepi sungai, menikmati keindahan pagi musim gugur, tiba-tiba dimakan oleh harimau bertaring tajam—bukan para Dinosaurus, lantaran rupanya, mereka vegetarian. Gen mereka hilang. Nenek moyang kita yang paranoid, 'mungkin ada bahaya dimana-mana', para 'pelindung keluarga', yang ingin berkembang biak, mewariskan kepada kita, bentuk kegalauan yang selalu hendak melindungi.
Wilson kemudian menyatakan bahwa kegalauan pada tingkat tertentu, sebenarnya baik bagi kita, sebab kegalauan dapat membantu kita bangkit dari penolakan, dan dapat sebagai pendorong agar memprioritaskan tugas-tugas kita. Yang terpenting, kegalauan dirancang sebagai respons awal, sebagai 'Langkah Awal' dalam proses pemecahan masalah. Seyogyanya, hal ini sebagai upaya kita untuk mulai menemukan solusi dengan memicu proses analitik kita: mengevaluasi keadaan saat ini, menghasilkan opsi respons, memilih di antara opsi tersebut, memilih salah satu, dan kemudian menerapkannya. Bila kemajuan ini berjalan dengan baik, kita dapat menyimpulkan analisis kita dengan pesan semisal, 'Aku sedang galau menyelesaikan proyek ini, dan sekarang aku bakalan bertindak. Beginilah caraku menyelesaikannya—inilah rencanaku.' Nah kaan, itulah manfaat kegalauan.
Apa jadinya jika kita tak menempatkan kegalauan kita dalam proses penyelesaian masalah? Saat kita mulai membayar biaya emosional yang tinggi atas kegalauan yang gak penting, dan bila kegalauan kita terlalu sering muncul di benak kita, maka pikiran-pikiran itu, menyakiti kita. Kegalauan mengarah pada kecemasan. Semakin kita galau, kita makin cemas dan waswas, baik mengenai keluarga, masalah keuangan, pekerjaan maupun sekolah, atau penyakit. Jika kita tak mengatasi kegalauan seperti ini dan menemukan cara mengendalikannya, kita akan terus-terusan merasa cemas.
Dan so pasti, kegalauan bakal menghambat kinerja kita. Selama proyek apa pun, kita hendaklah memusatkan perhatian kita pada tugas kita. Namun dikala perhatian kita terus dialihkan pada kegalauan yang tak membantu, kita jadi mementingkan diri sendiri. 'Bagaimana cara aku melakukannya? Bagaimana jika aku gagal? Itu terlalu menyakitkan bagiku. Aku gak boleh gagal!' Pemikiran seperti ini, sesuatu yang memaksakan, dan siapa pun bakalan sulit melepaskan diri darinya.

Dunia semakin berisik, sebab kendaraan darurat harus bersuara cukup keras menerobos kebisingan di sekitarnya, volume tanda-bahayanya merupakan representasi yang baik untuk menentukan tingkat kebisingan lingkungan secara keseluruhan. Kita tahu; betapa klise merenungkan kerasnya kehidupan. Kita membayangkan orang-orang selalu mengungkapkan kekesalan yang sama.
Emily Thompson membaca teks-teks Buddhis awal yang menggambarkan betapa berisiknya kehidupan di kota besar di Asia Selatan sekitar tahun 500 SM. Ia menggambarkan 'gajah, kuda, kereta, genderang, tabor, kecapi, nyanyian, simbal, gong, dan orang-orang yang berseru 'Makan dan minumlah engkau!' Dalam Epik Gilgamesh, para dewa, saking bosannya dengan para insan yang laguh-lagah, mereka lalu mengirimkan banjir bandang yang memusnahkan kita semua. Lebih dari seabad yang lalu, J. H. Girdner membuat katalog 'Wabah Kebisingan Kota', termasuk kendaraan yang ditarik kuda, penjaja, musisi, binatang, dan lonceng. Jika ada yang namanya omelan yang tiada henti, mungkin itulah kebisingan. Namun, kini ada sesuatu yang berbeda, dari masa mana pun dalam sejarah yang diketahui. Saat ini, suaranya tak cuma berisik. Ada peningkatan stimulasi mental yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Segala sesuatu di alam semesta kita terus bergerak dan bergetar. Bahkan benda yang tampak diam pun, sebenarnya bergetar, berosilasi, beresonansi, pada frekuensi yang berbeda-beda, kata Tam Hunt. Pada akhirnya, seluruh materi hanyalah getaran dari berbagai bidang yang mendasarinya.
Segala sesuatu dalam hidup ini, merupakan getaran. Demikian pula kutipan Albert Einstein yang bernas dan pedih, kendati mungkin apokrif. Terlepas dari apakah sang guru mengatakannya atau tidak, batas-batas ilmu fisika modern menunjukkan bahwa pernyataan itu benar. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Jika hal ini merupakan hakikat realitas, dapatkah segala sesuatu diam secara sempurna? Adakah yang namanya Silence, atau hening, atau lengang?
Konsepsi kita tentang Silence, bukanlah ketiadaan suara sama sekali. Bukanlah ketiadaan pemikiran sama sekali. Ruang antara dan di luar rangsangan pendengaran, informasi, dan internal yang mengganggu kejelasan persepsi dan niat kita. Quiet is whatever someone thinks quiet is. Ada yang namanya Silence. Ia penuh dengan kehidupan dan kemungkinan. Ia secara alami menghuni alam semesta dimana segala sesuatunya berdenyut, berosilasi, dan berdengung.

Noise menyebabkan stres, terutama jika kita kurang atau tak bisa mengendalikannya, jelas Mathias Basner. Tubuh akan mengeluarkan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol yang menyebabkan perubahan komposisi darah kita—dan pembuluh darah kita, yang sebenarnya terbukti menjadi lebih kaku setelah satu malam terpapar Noise.
'Belajarlah dalam kelengangan,' Pythagoras menasihati murid-muridnya. 'Biarkan pikiranmu yang tenang mendengarkan dan menyerap keheningan.' Ada yang bilang Pythagoras orang pertama yang memenuhi panggilan formal filosofis, 'seorang pecinta Hikmah.' Pythagoras memaksudkan sesuatu yang spesifik dengan istilah 'bijak': 'pemahaman tentang sumber atau penyebab segala sesuatu.' Menurut pandangannya, guna memperoleh Hikmah, perlu 'meningkatkan kecerdasan ke suatu titik dimana ia secara intuitif mengenali hal-hal yang tak kasat mata, yang bermanifestasi secara lahiriah melalui hal-hal yang terlihat,' mencapai titik dimana ia bisa menjadi 'mampu membawa dirinya selaras dengan semangat segala sesuatu, bukan dengan semangat bentuknya.' Pythagoras memelopori pemahaman tentang proporsi numerik dan lima benda beraturan dalam geometri, yang masih menjadi konsep dasar dalam matematika modern. Ia menemukan sistem penyetelan musik dimana proporsi frekuensi antar nada didasarkan pada rasio tiga banding dua—sebuah sistem yang oleh banyak pakar dipandang selaras secara unik, dengan proporsi di alam. Pythagoras orang pertama yang membagi bumi menjadi lima zona iklim yang masih digunakan dalam meteorologi hingga kini. Ia dengan tepat mengidentifikasi bintang pagi dan bintang malam sebagai planet yang sama, Venus. Ia secara luas diyakini sebagai orang pertama dalam sejarah yang mengajarkan bahwa Bumi itu bulat, bukan datar.
Mengapa Pythagoras memandang Silence sebagai kunci Hikmah? Mengapa ia mengharuskan murid-murid terdekatnya menghabiskan waktu lima tahun tanpa berbicara sebelum memulai studi formal mereka? Tiada catatan yang diketahui tentang pemikiran pastinya mengenai topik tersebut atau alasan spesifik di balik persyaratan bagi anggota lingkaran sekolah. Tapi mari kita lihat apakah kita bisa memahami alasannya. Dalam retret meditasi, waktu yang lama di alam terbuka, dan periode latihan kontemplatif lainnya dalam Silence, kita mendapatkan beberapa petunjuk. Tentulah, Silence memaksa kita menghadapi diri sendiri. Tanpa gangguan, kita harus belajar bagaimana mengatasi Noise internal kita sendiri. Hal ini memungkinkan kita memahami apa yang sebenarnya terjadi, baik di dalam diri kita maupun di luar diri kita. Tanpa adanya judgement, dugaan, dan kinerja, pikiran berputar secara magnetis, seperti kompas, menuju kebenaran.
Namun kita tak ingin menyatakan bahwa ini merupakan proses yang mudah. Dalam 'hening' yang mendalam, pertama-tama kita membakar tumpukan pola kebiasaan dan bentuk pemikiran serta fantasi dan ambisi, serta nafsu dan khayalan. Dalam 'hening', kita merasakan kehendak yang kuat untuk berlari, melakukan apa pun guna mengisi ruang tersebut.
Agar merasa nyaman dengan keheningan yang mendalam ialah dengan duduk sendirian di ruangan dengan segala ketidaknyamanan dan menarik energi dari bagian-bagian otak—seperti korteks prefrontal medial dan korteks cingulate posterior—yang berspesialisasi dalam melindungi dan menghiasi rasa 'aku' yang berbeda.

Engkau pasti pernah mendengar maksim 'Speech is silvern, Silence is golden,' atau 'Speech is of Time, Silence is of Eternity'. Walau pembicaraan tentang perak dan emas, tentang waktu dan kekekalan, mungkin terdengar seperti perbandingan—seolah-olah yang satu lebih berharga daripada yang lain—kita belum tentu memahaminya seperti itu. Sama seperti perak yang merupakan logam mulia, waktu merupakan pula misteri sakral. Namun waktu adalah sebuah misteri, yang kita sebagai manusia, ukur dan kelola, dengan cara praktis, dalam kehidupan sehari-hari kita. Ucapan, seperti halnya waktu, bersifat imanen. Dan Silence, sama seperti Kelanggengan, bersifat transenden.
Saat ini, di tengah maraknya stimulasi mental, jelas bahwa kita menghadapi kurangnya Silence. Di seluruh dunia, tradisi spiritual dan filosofis menekankan keseimbangan antara ucapan dan diam, sebagai keadaan yang mengalir antar dunia. Kendati tradisi keagamaan seringkali berpendapat bahwa kitab suci tertulis—seperti Alkitab, Alquran, dan sutra Buddha—adalah kesakralan, sebagian besar tradisi keagamaan juga mengakui kekeramatan ruang dimana kata-kata dan konsep larut dalam ketidaktahuan.
Banyak tradisi agama dan filosofi besar tak semata memandang Silence sebagai jalan menuju Hikmah. Dalam praktik kontemplatif terdalam lintas tradisi, kita menemukan pengakuan akan Silence sebagai esensi Hikmah itu sendiri. Rumi menyebut Silence sebagai 'suara Tuhan' dan yang lain sebagai 'terjemahan yang buruk'. Black Elk, seorang ahli pengobatan visioner yang hebat dari masyarakat Oglala Lakhota, bertanya, 'Karena bukankah Silence itu suara dari Jiwa Yang Agung?' Tao Te Ching berkata bahwa 'nama yang bisa engkau ucapkan bukanlah nama sebenarnya,' dan analisis Kabbalah berbicara tentang 'kekosongan yang sunyi dan subur' sebagai 'Sumber' dan 'rahim ilahi segala makhluk.'

Silence sering dilukiskan sebagai ketiadaan suara, namun merupakan pula suara yang amat kuat. Kita menghabiskan banyak waktu mencari kebahagiaan ketika dunia di sekitar kita penuh dengan ketertakjuban. Bisa hidup dan berjalan di bumi merupakan sebuah keajaiban, namun sebagian besar dari kita berlari seolah-olah ada tempat lain yang lebih baik untuk dikunjungi. Ada keindahan yang memanggil kita setiap hari, setiap jam, namun kita jarang berada dalam posisi mendengarkan.
Sekalipun kita berusaha berada di saat ini, banyak dari kita yang terganggu dan merasa hampa, seolah-olah ada ruang hampa di dalam diri kita. Kita mungkin merindukan sesuatu, mengharapkan sesuatu, menunggu sesuatu tiba agar membuat hidup kita sedikit lebih menyenangkan. Kita mengantisipasi sesuatu yang akan mengubah keadaan, lantaran kita melihat situasi saat ini sebagai hal yang membosankan—tiada yang istimewa, tiada yang menarik.
Syarat dasar bagi kita agar bisa mendengar panggilan keindahan itu dan menyikapinya ialah Silence. Jika kita tak punya Silence dalam diri kita—pikiran kita, tubuh kita, dipenuhi oleh Noise—maka kita tak dapat mendengar seruan keindahan.
Dan akhirnya, jika engkau dapat mendengar seruan itu, engkau akan temukan 'Value.'
Kita akan bicarakan 'Value' ini, pada sesi selanjutnya. Bi 'idznillah."

Wulandari belum muncul juga, maka sebelum melangkah ke sesi berikutnya, sang Teratai bersenandung,

As I watched your vision forming
[Saat kulihat visimu terbentuk]
carried away by the moonlight shadow
[terbawa oleh bayang sinar rembulan]
Stars move slowly in a silvery night
[Bintang-bintang bergerak pelan di malam keperakan]
far away on the other side *)
[jauh di seberang sana]
Kutipan & Rujukan:
- Robert Pringle, A Short History of Bali: Indonesia's Hindu Realm, 2004, Allen & Unwin
- Reid Wilson Ph. D., Stopping the Noise in Your Head: The New Way to Overcome Anxiety and Worry, 2016, Biblica
- Justin Zorn & Leigh Marz, Golden: The Power of Silence in a World of Noise, 2022, Harper Wave
- Thich Nhat Hanh, Silence: The Power of Quiet in a World Full of Noise, 2015, HarperOne
*) "The Moonlight Shadow" karya Michael Gordon Oldfield

Senin, 20 November 2023

Obrolan sang Teratai : Noise

"Suatu malam, usai santap bersama keluarga, tiga generasi sedang duduk-duduk ngobrol. Cucu perempuan berusia empat tahun, sedang duduk di pangkuan kakeknya. Dengan kiyut, ia bertanya, 'Eyang, bisakah eyang bersuara bising seperti kodok?'
Sang kakek terpana, 'Apah?'
Sang cucu kembali bertanya, 'Bisakah eyang bersuara bising seperti kodok?'
Sang kakek berkata, 'Kenapa minta eyang bersuara seperti itu, nduk?'
Sang cucu menjawab, 'Soalnya, tadi malam bapak ngomong, kalau eyang 'ngerok', kita semua bisa pergi ke Disneyland,'" bunga Teratai memulai percakapan, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.

“Nah, di sinilah aku,” kata sang Teratai, “duduk di atas kolam menunggu Wulandari, sang Rembulan. Saat ini, waktu ‘Sanja’, kata orang Bali, waktu setengah gelap seusai 'sunset'. Aku bisa melihat dengan jelas dari sini, di sana, Pure Tanah Lot, 'home to the ancient Hindu', Sanja mulai bersalin. Tapi kemana Wulandari, ia belum tampak? Adakah sesuatu yang terjadi padanya?
Anything can happen. 'Lightning could strike!' kata Brad Pitt saat berjumpa dengan sang dokter cantik. 'Everything that can happen, does happen,' kata Brian Cox dan Jeff Forshaw kala bercakap tentang 'the Quantum Universe'. 'Banyak masalah terlalu rumit dipecahkan dalam satu lompatan mental, dan pemahaman mendalam, jarang muncul dalam momen 'eureka',' kata mereka lagi.
Cox dan Forshaw bilang—saat mengulas mengapa E=mc2—bahwa jarak dalam ruang-waktu merupakan invarian, yang bermakna, terdapat konsensus di seluruh alam semesta mengenai panjang jalur melalui ruang-waktu. Para Fisikawan sangat menuntut persamaan fundamentalnya, sebab mereka ngotot bahwa semua orang di alam semesta, semestinta menyetujui persamaan tersebut. Namun, sebagai ilmuwan yang baik, kita hendaklah selalu mengakui bahwa alam tak ragu mengejutkan kita, dan nyatanya, memang demikian. Segala sesuatu yang ada, boleh jadi, ada dalam ruang-waktu, maka, di kala kita menuliskan sebuah persamaan—semisal persamaan yang menggambarkan bagaimana suatu benda berinteraksi dengan lingkungannya—maka kita seyogyanya menemukan cara menyatakan persamaan itu secara matematis, menggunakan besaran invarian. Hanya dengan cara inilah, semua insan di alam semesta, bakalan sepakat.
Cox dan Forshaw lebih lanjut menuturkan, 'Contoh yang baik ialah dengan memperhatikan panjang seutas tali. Kita dapat melihat bahwa kendati seutas tali merupakan benda yang bermakna, kita sebaiknya menghindari menuliskan persamaan yang semata membahas panjangnya dalam ruang. Sebaliknya, kita hendaklah lebih ambisius dan membicarakan panjangnya ruang-waktu, sebab itulah cara ruang-waktu. Tentu saja, bagi fisikawan yang menetap di bumi, akan lebih mudah jika menggunakan persamaan yang menyatakan hubungan antara panjang di ruang angkasa dan hal-hal sejenis lainnya—tentu saja para insinyur menganggap cara seperti itu, amat berguna. Cara yang benar melihat persamaan yang cuma menggunakan panjang dalam ruang atau waktu yang diukur dengan jam adalah bahwa persamaan tersebut, merupakan perkiraan yang valid jika kita berhadapan dengan objek yang bergerak sangat lambat, relatif terhadap batas kecepatan kosmik, yang biasanya (namun tak selalu) berlaku bagi masalah teknik sehari-hari. Contoh yang telah kita temui dimana hal ini tidaklah benar, adalah akselerator partikel, dimana partikel subatom berputar-putar dengan kecepatan yang sangat mendekati kecepatan cahaya, dan sebagai hasilnya, mereka hidup lebih lama. Jika pengaruh teori Einstein tak diperhitungkan, akselerator partikel akan berhenti bekerja dengan baik. Fisika fundamental adalah tentang pencarian persamaan fundamental, dan itu berarti hanya bekerja dengan representasi matematis dari objek yang bermakna universal dalam ruang-waktu. Pandangan lama tentang ruang dan waktu sebagai sesuatu yang berbeda, mengarah pada cara memandang dunia yang mirip dengan mencoba menonton sandiwara panggung dengan hanya melihat bayangan yang ditimbulkan oleh lampu sorot di atas panggung. Urusan yang sebenarnya, melibatkan aktor tiga dimensi yang bergerak dan bayangan menangkap proyeksi dua dimensi dari drama tersebut. Dengan hadirnya konsep ruang-waktu, kita akhirnya mampu mengangkat pandangan kita dari bayang-bayang. Segala pembicaraan tentang objek di ruang-waktu, mungkin terdengar agak abstrak, tapi, ada benarnya.'

Dan kini, Sanja telah beranjak pergi, datanglah Malam menemaniku. Dan melewati ruang-waktu bersama sang Malam, aku tak perlu menggunakan uraian Cox dan Forshaw yang rada syulit, lantaran pada ujungnya, segala kesimpulan tetap berpulang kepada 'Sunnatullah', kendati mereka menjelaskannya dengan 'scientific explanation'.
Aku tak begitu tahu seperti apa ruang-waktu itu, yang kutahu, bahwa melihat Malam itu, ibarat memicingkan mata melihat sebuah lukisan: mengapanya, kapannya, bagaimananya, apanya dan untuk apanya. Melewati Malam itu, aku bakalan menemukan tiga hal: Noise, Silence, dan Value. Itulah sebabnya, Malam memperbaiki apa yang telah terjadi di Siang-hari. Lalu esoknya, akan ada yang baru, ada yang berubah.
Berjalan bersama sang Malam, pertama-tama akan muncul rasa-takut. Rasa-takut itu, beragam. Ada yang takut akan kehilangan, ada yang takut akan kenyataan, ada yang takut akan makhluk garib, dan masih banyak lagi. Semua ini, akan menghasilkan 'Noise' [gaduh, bising, berisik, hiruk-pikuk, laguh-lagah, hingar-bingar, dsbnya]. Noise biasanya, tak dikehendaki, boleh jadi, sebuah penolakan. Kita mungkin menghabiskan 99,9 persen waktu kita, mengkhawatirkan hal-hal keseharian—kenyamanan materi dan persoalan afektif—dan hal ini dapat dipahami, sebab kita memang perlu memenuhi kebutuhan dasar kita, agar merasa aman. Namun banyak di antara kita yang galau, jauh melebihi terpenuhinya kebutuhan kita. Secara fisik kita aman, rasa lapar kita terpuaskan, kita punya tempat tinggal, dan kita punya keluarga yang penuh kasih-sayang; dan kita masih saja, merasa was-was.

Konon, Noise itu, kata lain dari suara. Thich Nhat Hanh, seorang biksu Buddha asal Vietnam, berkata bahwa 'Everything begins with the sound.' Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Awalokiteswara berkemampuan mendengarkan segala jenis suara. Ia dapat pula mengeluarkan lima jenis suara berbeda yang mampu memulihkan sang mayapada.
Yang pertama, Suara menakjubkan, suara ajib kehidupan yang memanggilmu. Suara ini, suara unggas, suara hujan, dan sebagainya.
Suara kedua, Suara yang mengamati dunia. Inilah suara mendengarkan, suara keheningan.
Suara ketiga, Suara Transendental, yang bersejarah panjang dalam pemikiran spiritual India. Tradisinya ialah suara berkekuatan bawaan untuk menciptakan dunia. Ceritanya, kosmos, dunia, alam semesta tercipta oleh suara. Injil Yohanes punya gagasan yang sama, 'Pada mulanya ada firman' (Yohanes 1:1). Menurut Weda, kitab Hindu tertua, sabda penciptaan dunia ini, a mystic syllable, mantra mistis 'om.' Dalam tradisi Veda India, suara inilah Realitas atau 'Zat' tertinggi, yakni Sang Ilahi. Dalam perspektif Islam, tatkala Allah menciptakan Al-Qalam (pena takdir), Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman, 'Tulislah segala yang akan terjadi!'
Banyak astronom modern meyakini hal serupa. Mereka telah mencari permulaan waktu, permulaan kosmos, dan berhipotesis bahwa permulaan alam semesta merupakan 'big bang'.
Suara keempat, Suara pasang-surut. Suara ini, suara simbolis, yang dapat menghilangkan kesalahpahaman, melenyapkan penderitaan, dan mengubah segalanya. Ia semerawang dan mengena.
Suara kelima, Suara yang melampaui segala suara di Dunia. Inilah bunyi ketidakkekalan, sebuah pengingat agar kita tak terjebak atau terlalu terikat pada kata atau bunyi tertentu.
Jika engkau dapat menemukan 'Silence'—hening, bening, lengang, tenang, sepi, sunyi, senyap, diam; you can choose it whatever you like—dalam dirimu, engkau dapat mendengar kelima suara ini.

Nah, itulah sudut pandang Thich Nhat Hanh. Sudut pandang lain dihaturkan Cecile Malaspina. Ia menulis bahwa penggunaan kata Noise, dengan tanda petik, telah menjadi hal yang lumrah, dalam sejumlah konteks yang tak berkaitan dengan suara, seringkali bertentangan dengan informasi. Oleh karenanya, bukan 'Noise' bursa saham yang menarik perhatian kita tatkala kita berbicara tentang 'Noise' di bidang keuangan, namun ketakpastian terkait dengan variasi acak di bursa saham. 'Noise' telah menjadi sebuah konsep intrinsik dalam analisis statistik variabilitas data di hampir setiap domain penyelidikan empiris. Bahkan akustik dapat dikatakan baru muncul sepenuhnya pada tahun 1950-an, ketika 'Noise' dapat direpresentasikan sebagai grafik frekuensi dan amplitudo perubahan sinyal sementara seiring waktu. Bahwa kedua dimensi konseptualisasi 'Noise' ini, sebagai suara dan sebagai variasi acak, saling berbicara tanpa dapat direduksi.
Noise selalu, kata Malaspina, tampak menempati posisi negatif dalam dikotomi, baik dalam keteraturan dan ketidakteraturan, dalam kerja fisik dan penyebaran energi dalam keadaan entropi, atau dalam keadaan normal dan abnormal. Dengan kata lain, kebisingan paling baik diasosiasikan dengan tak adanya ketertiban,di tempat kerja, atau ketiadaan norma—baik itu norma statistik, moral atau estetika—dan yang paling buruk, Noise diidentifikasi sebagai ancaman terhadap norma dan bersifat subversif terhadap pekerjaan dan urutan: gangguan, hilangnya energi yang tersedia untuk bekerja, sebuah parasit. Dengan demikian, Noise merupakan sebuah kata yang secara implisit berperan dalam keseluruhan daftar gagasan, ide, dan konsep, serta melakukannya dengan memobilisasi daftar linguistik, sejarah, sosiopolitik, dan tak terkecuali, seluruh daftar epistemologis.

Daniel Kahneman, Olivier Sibony, dan Cass R. Sunstein berpendapat bahwa Noise merupakan sebuah cacat dalam 'judgement' kita. Ada judgement yang bersifat bias; yang secara sistematis melenceng dari sasaran. Judgement lainnya cukup 'noisy,' lantaran orang-orang yang diharapkan sepakat, berakhir pada titik yang jauh dari sasaran. Sayang, banyak organisasi yang terkena dampak Bias dan Noise. Sifat umum Noise ialah engkau dapat mengenali dan mengukurnya tanpa mengetahui apa pun tentang target atau biasnya. Saat dokter menawarkan diagnosis yang berbeda bagi pasien yang sama, kita dapat mempelajari ketidaksepakatan mereka tanpa mengetahui apa yang membuat pasien sakit. Kala para eksekutif film memperkirakan pasar sebuah film, kita dapat mempelajari variabilitas jawaban mereka tanpa mengetahui seberapa besar produksi film tersebut atau bahkan apakah film tersebut diproduksi. Bias-lah bintang pertunjukannya. Noise sedikit terdengar, biasanya di luar panggung. Kita tak perlu tahu siapa yang benar mengukur seberapa besar perbedaan putusan dalam kasus yang sama. Yang hendaklah kita lakukan guna mengukur Noise ialah melihat bagian belakang target. Dalam pengambilan keputusan di dunia nyata, jumlah Noise seringkali sangat tinggi.
Lantas, berapa tingkat Noise yang tepat? Level yang tepat bukanlah nol. Di beberapa area, menghilangkan Noise tak mungkin dilakukan. Di area lain, biayanya terlalu mahal. Di area lainnya lagi, upaya mengurangi Noise akan mengkompromikan nilai-nilai penting yang beradu.

Kemudian, menjelajahi Malam, kukan temukan 'Nightlife' ... 'Kehidupan Malam'. Berbagai aktivitas ada di sini. Tapi, mengapa kita hendaklah peduli dengan Malam, apalagi Kehidupan Malam? Jordi Nofre dan Adam Eldridge berpendapat bahwa ketakutan akan hilangnya langit malam karena penerangan yang berlebihan, hilangnya tempat hiburan malam, atau semakin kaburnya batas-batas yang memisahkan siang dan malam, telah menjadi bahan perdebatan yang umum dan banyak disampaikan kepada kita tentang apa seharusnya malam itu dan untuk siapa: waktu bermain, istirahat, bekerja, atau gelap, semuanya merupakan wacana yang sama-sama berapit tentang kota di saat temaram. Paling tidak, hanya ada sedikit bukti bahwa kehidupan malam ada di luar beberapa jalan utama di sebagian besar kota, dan penelitiannya sendiri cuma menemukan sedikit bukti yang menunjukkan adanya perluasan lapangan kerja di malam hari.
Kita mungkin keliru karena berasumsi bahwa pusat-pusat kota di negara-negara yang disebut negara maju, di negara-negara Barat, terbuka dan ramai selama dua puluh empat jam sehari, dan ini terjadi semata lantaran kita bisa minum, berjoget, atau berbelanja sepanjang waktu.
Saat kita memasuki malam hari, pilihan yang ditawarkan semakin berkurang, dan kota menyusut dan tampak mengembun menjadi beberapa kelompok jalan dimana kita menemukan konsentrasi pencahayaan dan animasi. Kota-kota yang sering dicirikan sebagai 24/7 [dua puluh empat jam sehari dalam seminggu; sepanjang hari] akan lebih tepat disebut sebagai 24/2 [persediaan untuk dua produk selama 24 jam]. Di banyak kota, mungkin benar bahwa malam hari merupakan waktu dimana kebanyakan orang tidur atau melakukan tugas rumah tangga. Malam itu mahal, dan rasa keberagaman sosial dan generasi, hanyalah sebuah ilusi.

Malam perkotaan masih diartikulasikan dengan rasa takut dan risiko, namun diartikulasikan pula dengan modernitas, kemajuan, kosmopolitanisme, dan urbanitas. London telah memiliki layanan bus malam selama lebih dari satu abad, namun ketika jaringan kereta bawah tanah kota ini dibuka sepanjang malam pada akhir pekan pada tahun 2016, timbul rasa bangga, perasaan bahwa London akhirnya bergabung dengan kota-kota modern penting lainnya seperti Tokyo atau New York. Kemampuan berbelanja, mengunjungi gym, mengikuti kelas malam, atau potong rambut sepertinya sudah menjadi penanda kemajuan dan modernitas masa kini.
Tak hanya di London, Nihad H. ÄŒengić dan Jordi Martín-Díaz memaparkan bahwa perekonomian petang dan malam di Sarajevo pasca-sosialis, telah meluas dan berkembang sejak berakhirnya Perang Bosnia (1992–1995). Hal ini disebabkan oleh gabungan praktik ekonomi sosialis dan kebijakan liberalisasi yang dipromosikan oleh aktor-aktor internasional yang melakukan intervensi dalam misi pembangunan perdamaian. Ibu kota Bosnia menjadi tuan rumah bagi sebagian besar organisasi internasional yang beroperasi di negara tersebut selama dan setelah perang, dan kehadiran sejumlah tentara internasional, diplomat, pembuat kebijakan, dan aktor asing lainnya mendukung perluasan dan komoditisasi kehidupan malam.
Tahun 1970-an dan 1980-an menjadi saksi berkembangnya rekreasi malam hari di Sarajevo. Sementara di banyak kota-kota kapitalis di Eropa Barat, terjadi proses ekspansi dan komoditisasi rekreasi kaum muda yang cepat dan intens selama Swinging Sixties, kota-kota sosialis menunjukkan perbedaan besar dalam konsepsi, makna dan semiotika ‘waktu senggang’.
Malam ini penting karena alasan di luar manfaat pasar apa pun yang mungkin ditimbulkannya; ada ruang-ruang, tempat-tempat dan jaringan-jaringan yang beroperasi pada malam hari dimana kita merasa memiliki tempat-tempat yang penting bagi pembentukan identitas kita, bagi munculnya gerakan-gerakan politik, bagi bersosialisasi dan bersenang-senang. Baik mengacu pada tempat-tempat yang terkait dengan komunitas etnis minoritas, atau pub lokal, kehidupan malam berfungsi sebagai konteks berbagai gerakan sosial, politik, dan budaya. Bila tempat atau bahkan seluruh area terancam, rasanya seolah-olah sebagian dari biografi kita terhapus. Tanpa ingin melukiskan gambaran yang terlalu romantis tentang malam itu, mungkin ada saatnya malam itu, serasa tak terlalu dikomodifikasi dan direduksi menjadi wacana dan alasan yang didorong oleh pasar.

Selama dua dekade terakhir, sebagian besar penelitian mengenai konsumsi alkohol, tercatat dalam konteks meningkatnya perekonomian malam hari, yang cenderung berfokus pada wilayah perkotaan, tulis Samantha Wilson. Walau penelitian telah dilakukan terhadap wilayah peminum alkohol di pedesaan, tujuan liburan, dan kebiasaan minum di rumah, sangat sedikit penelitian yang membahas tentang praktik minum minuman beralkohol di tempat umum di pinggiran kota, khususnya di kalangan generasi muda. Atmosfer sensorik tertentu yang terdiri dari penciuman, cahaya dan kegelapan, suara dan suhu sangat penting bagi pilihan minuman anak muda di pinggiran kota. Kaum muda tidaklah pasif terhadap suasana seperti itu; mereka agen aktif yang punya kapasitas menciptakan lingkungan minuman, praktik minum, dan pengalaman minum mereka sendiri.
Tempat rekreasi seperti klub malam, sejak tahun 1990an, telah menjadi tempat istimewa bagi penggunaan narkoba dan eksperimen di kalangan anak muda. Terdapat bukti bahwa penggunaan narkoba lebih tinggi pada kelompok demografi tertentu dan bahwa klub narkoba memainkan peran penting dalam sosialisasi remaja.
Kondisi ekonomi, sosial, politik, iklim, dan fasilitas perkotaan, mempengaruhi cara masyarakat memanfaatkan kota, baik sebelum maupun pada saat malam-temaram. Kehidupan malam telah menjadi sebuah industri, seperti halnya orang-orang yang pernah bekerja di kehidupan malam—memakai istilah seperti 'industry night' dan ajukan pertanyaan seperti, 'Berkecimpungkah engkau dalam industri ini?' buat menegosiasikan status, orang dalam atau orang luar. 'Civilization has a tendency to repeat its own mistakes,' kata Kevin Tucker.

Kemudian, usai memintasi 'Noise', aku akan sampai pada tahap Silence. Akan kita percakapkan 'Silence' ini, pada sesi berikutnya. Bi 'idznillah."

Selagi menanti sang Rembulan yang belum juga datang, sang Teratai bersenandung,

I wanna know, have you ever seen the rain?
[Kuingin tahu, pernahkah engkau melihat hujan?]
I wanna know, have you ever seen the rain,
[Kuingin tahu, pernahkah engkau melihat hujan,]
coming down on a sunny day? *)
[yang turun di hari yang cerah?]
Kutipan & Rujukan:
- Brian Cox & Jeff Forshaw, The Quantum Universe (And Why Anything Can Happen, Does), 2011, DaCapo Press
- Brian Cox & Jeff Forshaw, Why E=mc2 (And Why We Should Care?), 2009, DaCapo Press
- Brian Cox & Andrew Cohen, Forces of Nature, 2017, William Collins
- Thich Nhat Hanh, Silence: The Power of Quiet in a World Full of Noise, 2015, HarperOne
- Cecile Malaspina, An Epistomology of Noise, 2018, Bloomsbury Academic
- Daniel Kahneman, Olivier Sibony, and Cass R. Sunstein, Noise: A Flaw in Human Judgement, 2021, Little, Brown Spark
- Jordi Nofre & Adam Eldridge (Ed.), Exploring Nightlife: Space, Society and Governance, 2018, Rowman & Littlefield International Ltd
- Kenneth Sebastian León, Corrupt Capital: Alcohol, Nightlife, and Crimes of the Powerful, 2021, Routledge
*) "Have You Ever Seen the Rain" karya John Cameron Fogerty

Kamis, 16 November 2023

Cerita Aloe tentang Politik Kerabat (4)

"Seorang penerima tamu muda, yang belum pernah berpartisipasi dalam sebuah pesta pernikahan, bertanya kepada seorang tamu yang datang, 'Bu, maaf, ibu teman dari calon pengantin pria atau wanita?'
'Oh, aku teman dari keduanya,' jawab sang tamu.
'Maaf, Bu,' jawab sang penerima tamu muda tersebut, 'sekali lagi maaf, ibu seharusnya memlih salah satu dari kedua pihak. Soalnya, aku belum diberitahu, dimana kursi yang netral.'"

"Let's keep going!" seru Aloe. “Tentulah, bakalan timbul pertanyaan, mengapa Dinasti, atau, apa penyebab Politik Dinasti? Salah satu penjelasan atas fenomena dinasti demokrasi, kata Smith, menuding pada dominasi elit dalam kehidupan politik secara lebih umum. Para pakar elit politik dan kekuasaan, telah sejak lama berargumentasi bahwa kelas penguasa suatu masyarakat, dapat melanggengkan statusnya atas massa yang kurang terorganisir, bahkan di dalam negara demokrasi. Di Amerika, dinasti-dinasti yang paling terkemuka mempunyai latar belakang yang kurang lebih sama, yang mungkin dianggap sebagai 'the best butter' dalam politik Amerika.
Di Jepang, merupakan hal yang lumrah bagi anggota dinasti Jepang, bergelar sarjana dari universitas terbaik (atau pernah belajar di luar negeri), dan banyak dari mereka berasal dari latar belakang kaya. Misalnya, kakak-beradik Hatoyama Yukio dan Kunio, merupakan pewaris kekayaan Bridgestone Corporation melalui ibu mereka. Bahkan di negara demokrasi, keluarga elit mungkin terus mendominasi proses politik semata karena keunggulan pendapatan, pendidikan, dan koneksi mereka. Keunggulan-keunggulan ini, bisa dibilang memberi kandidat lama kelebihan dibandingkan kandidat non-warisan dalam membangun karier politik.
Jenis teori dominasi elit dalam politik dinasti ini, teramat mungkin, berkekuatan sangat besar dalam menjelaskan dinasti di negara demokrasi berkembang, dimana elit politik biasanya menikmati standar hidup yang lebih tinggi dibanding konstituennya, dan partai politik memainkan peran yang lebih kecil dalam mengatur dan membiayai persaingan politik. Di Filipina, misalnya, yurisdiksi yang diwakili oleh anggota parlemen lama cenderung dikaitkan dengan kemiskinan yang lebih tinggi, lapangan kerja yang lebih rendah, dan kesenjangan ekonomi yang lebih besar. Sebagian besar dinasti juga tercatat terjadi di negara demokrasi berkembang di Amerika Latin, seperti Meksiko dan Nikaragua, dan di negara demokrasi berkembang di Asia Selatan seperti India dan Bangladesh.

Jika memegang jabatan politik mendatangkan keuntungan pribadi, yang melebihi apa yang dapat diperoleh dari profesi lain, maka boleh jadi, keluarga elit berupaya mempertahankan kekuasaan melalui manipulasi langsung dalam proses pemilu atau seleksi kandidat. Misalnya, Pablo Querubín menemukan bahwa batasan masa jabatan di Filipina tak menghentikan keberlangsungan dinasti—sebaliknya, dinasti tersebut dibiarkan menyebar karena politisi cenderung mencari jabatan yang lebih tinggi dan membuat kerabat mereka terpilih menduduki posisi mereka sebelumnya. Pradeep Chhibber melihat suksesi dinasti dalam kepemimpinan partai di India melalui lensa serupa. Ia berpendapat bahwa suksesi kepemimpinan dinasti lebih mungkin terjadi pada partai-partai yang tak punya ikatan organisasi yang lebih luas dengan kelompok-kelompok di masyarakat dan memiliki keuangan partai yang terpusat pada kepemimpinan puncak. Partai-partai yang dipersonalisasi seperti itu, dapat disamakan dengan perusahaan keluarga, yang mempunyai insentif agar tetap mempertahankan kepemimpinan dan kendali atas partai tersebut di dalam keluarga (serta mengetahui adanya penyimpangan keuangan).

Kanchan Chandra berargumen serupa tentang akses terhadap sumber daya negara dan lemahnya kontrol partai atas nominasi, guna menjelaskan kasus di India, namun ia mempertimbangkan bukan hanya pemimpin partainya, melainkan seluruh anggota parlemen yang terpilih di parlemen saat itu. Chandra bercerita bahwa di India, landasan formal pemerintahan dinasti dihapuskan tiga kali seusai India memperoleh kemerdekaan pada tahun 1947, pertama dengan integrasi 'princely states' ke dalam persatuan India, kemudian saat India bahkan memutuskan hubungan simbolis dengan Inggris. memahkotai dengan mendeklarasikan dirinya sebagai republik, dan akhirnya dengan undang-undang yang menghapuskan sistem zamindari, atau kepemilikan lahan secara turun-temurun. Namun dinasti baru muncul melalui proses demokrasi, menggantikan dinasti yang tersingkir. Kini, pada abad kedua puluh satu, rata-rata sekitar seperempat anggota parlemen di majelis rendah parlemen India (Lok Sabha) yang dipilih secara langsung, berlatar-belakang dinasti: 20% di parlemen tahun 2004, 30% di parlemen tahun 2009, dan 22% di parlemen tahun 2014.
'Dinasti-dinasti demokratis' ini, kata Chandra, merupakan fenomena modern, yang berbeda dari aristokrasi tradisional dalam satu hal utama: ketergantungan mereka pada dukungan pemilu. Dalam aristokrasi tradisional, asal kelahiran sudahlah cukup menjamin diendors. Namun dalam aristokrasi demokratis, anggotanya, mesti pulak menang pemilu.

Chandra berpendapat bahwa dinasti-dinasti demokratis ini, bukan merupakan hasil dari kecenderungan budaya terhadap politik berbasis keluarga, melainkan hasil dari tingginya keuntungan yang diperoleh dari jabatan negara dan kelemahan organisasi partai politik. Ia kemudian berpendapat bahwa pengaruh politik dinasti terhadap demokrasi, beragam. Hal ini memperkuat beberapa bentuk eksklusi sekaligus menciptakan peluang inklusi. Namun, baik eksklusi maupun inklusi bukanlah hasil dari properti yang melekat pada dinasti politik, melainkan hasil dari lingkungan kelembagaan dimana politik dinasti muncul di India. Dinasti, bisa jadi, tak muncul sama sekali di negara-negara demokrasi yang struktur institusinya berbeda, dan jika ada, dinasti mungkin berdampak yang berbeda terhadap politik demokrasi.
Politik dinasti di India, tersebar luas di berbagai wilayah. Daerah pemilihan di seluruh wilayah utama India telah mengirimkan sejumlah besar anggota dinasti parlement ke parlemen, dengan tingkat dinasti yang berbeda-beda antar wilayah dan pemilihan umum. Pada pemilu tahun 2004 dan 2009, wilayah Barat Laut secara menonjol lebih dinamis dibandingkan wilayah lainnya. Namun pada tahun 2014, semua wilayah kecuali wilayah Barat, mengirimkan anggota parlemen dinasti dengan persentase yang kira-kira sama ke parlemen. Selanjutnya, beberapa daerah pemilihan di banyak daerah, seperti yang akan saya bahas nanti, beralih dari anggota parlemen dari dinasti ke non-dinasti dan kembali lagi pada pemilu. Anggota parlemen dinasti dipilih dari daerah pemilihan 'umum' dan 'cadangan', meskipun terdapat variasi yang cukup berarti dalam dinasti di antara daerah pemilihan tersebut. Anggota parlemen dinasti, ditemukan pula dalam proporsi yang berarti di seluruh kategori gender. Yang terakhir, anggota parlemen berdasarkan dinasti, tersebar di seluruh kategori etnis, dengan tingkat dinasti yang berbeda-beda di antara mereka.

Di Indonesia, Zaldi Rusnaedy menjelaskan, bahwa kemunculan fenomena dinasti politik ditandai dengan partisipasi suami, istri, anak, dan kerabat petahana lainnya dalam kancah politik, baik pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, maupun penempatan jabatan penting lainnya. Meningkatnya kekuatan dinasti politik menunjukkan gejala yang disebut neopatrimonialisme, yakni raja-raja kecil di daerah semakin memperluas kekuasaan politiknya melalui jaringan kekerabatan. Zaldi berpendapat bahwa dinasti politik merupakan upaya melanggengkan kekuasaan dengan melibatkan anggota keluarga (atas, samping, dan bawah) demi menduduki jabatan politik yang sama atau berbeda. Dinasti politik terjadi oleh sebab petahana mengalami 'post power syndrome' dan 'status quo,' lantaran tak mau kehilangan jabatannya. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya menutupi 'beberapa borok' pada masa kepemimpinan sang petahana, sehingga jika ada anggota 'kerabat' yang terpilih, itu dapat ditutupi.
Lebih lanjut, Zaldi menuturkan, akar sejarah feodalisme dan tradisi kerajaan-kerajaan di Indonesia menjadi penyebab lain maraknya dinasti politik. Transformasi dari era kerajaan ke era demokrasi menyisakan berbagai permasalahan. Keengganan melepaskan kekuasaan yang dimiliki para 'grandparents' sebelumnya sebagai penguasa kerajaan, memicu anggota keluarga agar melanjutkan kekuasaan tersebut. Sindrom pasca kekuasaan dan status quo menggambarkan bahwa tradisi feodalisme dan kerajaan, sungguh tak dapat dihilangkan dalam sistem politik modern kita. Kedua hal tersebut, lalu bertransformasi di era demokrasi dengan membentuk kerajaan politik modern, yang kemudian kita kenal sebagai dinasti politik.
Zaldi menambahkan pula, maraknya tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan praktik dinasti politik, dan diperkuat dengan beberapa dinasti politik yang melakukan tindakan korupsi. Oleh karenanya, bebarapa analis politik selalu mengaitkan dinasti politik dan korupsi, punya titik irisan yang baplang. Dinasti politik berpotensi lebih kuat melakukan tindakan korupsi, ketimbang non-dinasti.

Ada beberapa teori yang dapat dikaitkan dengan politik dinasti. Robert A. Dahl memandang kesetaraan politik sebagai ciri khas sistem politik demokratis. Pada saat yang sama, ia menyadari bahwa pasti ada distribusi 'sumber daya politik' yang tak merata di masyarakat mana pun, yang pada gilirannya, akan mengakibatkan perbedaan dalam sejauh mana individu dapat memperoleh pengaruh politik. Fakta mendasar ini, arkian menimbulkan pertanyaan berikut, 'Sumber daya politik' macam apa yang seyogyanya menentukan akses terhadap pengaruh politik? Teori demokrasi tak memberi kita jawaban pasti atas pertanyaan ini. Namun, konsekuensi logis dari banyak teori keadilan distributif dan kesetaraan politik adalah, bahwa sumber daya politik yang bukan merupakan produk dari tindakan atau keputusan individu, tak boleh menentukan akses terhadap pengaruh politik. Sebaliknya, jika seseorang memperoleh jabatan publik dengan mengambil tindakan yang disengaja guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan politiknya, jalan menuju kekuasaan ini akan sesuai dengan jenis kesetaraan politik yang, menurut teori-teori ini, semestinya ada dalam masyarakat.
Apa implikasi normatif teori-teori ini terhadap politik dinasti? Salah satu implikasi yang dikemukakan, kata Anjali Thomas Bohlken, ialah keberadaan dinasti di ranah politik tak serta merta melanggar prinsip kesetaraan politik. Faktanya, jika mereka yang punya hubungan kerabat dalam politik, berkecenderungan yang lebih besar memperoleh pengetahuan dan keterampilan, yang memungkinkan mereka memperoleh pengaruh publik, maka prevalensi politisi yang berhubungan kerabat dalam politik, mungkin sangat sesuai dengan cita-cita kesetaraan politik.
Namun, yang secara normatif akan menjadi masalah, jika individu-individu yang punya hubungan kekerabatan dalam politik, berpeluang lebih besar mencapai keberhasilan dalam arena politik ketimbang individu lain, tanpa menaiki tangga institusional, serta memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam perjalanan tersebut.
Mempertanyakan dapatkah dinasti memperoleh kekuasaan tanpa melalui jalur masuk yang 'normal', yang seyogyanya dilalui oleh non-dinasti, berimplikasi praktis pula. Seorang politisi yang beroleh jabatan politik semata oleh hubungan kekerabatan, boleh jadi, kurang mampu menjalankan tugasnya dengan baik sebab mereka tak punya keterampilan atau latar belakang yang mungkin dimiliki oleh seorang politisi, yang 'secara sah mendapatkan' jabatannya.

Hendry C. Hart berpendapat bahwa pemimpin yang beroleh kekuasaan di eselon atas hierarki politik dengan menaiki tangga institusional, cenderung berkualitas yang lebih tinggi dibanding pemimpin yang beroleh kekuasaan melalui suksesi dinasti lantaran kelompok pemimpin sebelumnya, perlu menunjukkan orientasi tertentu. dan keterampilan guna mengambil setiap langkah menaiki tangga. Para pemimpin yang mengambil jalur ini, cenderung merupakan 'orang dalam' yang lambat laun menjadi lebih sadar akan 'aturan main' kala mereka menduduki jabatan dalam hierarki politik. Karenanya, para pemimpin ini, cenderung berorientasi tertentu, yang menjadikan mereka pemimpin yang efektif, seperti menghargai 'perlunya organisasi partai yang kuat agar menjangkau para pemilih' dan 'staf dan prosedur birokrasi yang mampu memberikan layanan dan melaksanakan kebijakan hingga pelaksanaannya'. Oleh setiap jenjang jabatan bersifat kompetitif, jalur menuju kekuasaan ini, juga dapat memberikan pemimpin tersebut lebih banyak legitimasi bagi jebatan tersebut di antara para pesaing lainnya. Jika karakterisasi jalur institusional menuju kekuasaan ini, akurat, dan jika para dinasti cenderung mampu menghindari jalur institusional atau jalur internal menuju kekuasaan politik, maka dinasti akan cenderung pula mengalami kekurangan pengetahuan dan keterampilan politik. dan legitimasi dibanding dengan politisi lainnya.
Patrick French memaparkan pidato Rahul Gandhi pada pertemuan mahasiswa di Madhya Pradesh sebagai berikut, 'Ada tiga-empat cara agar masuk ke dunia politik.... 'Pertama, jika punya uang dan kekuasaan. Kedua, melalui hubungan keluarga. Akulah contohnya. Ketiga, jika mengenal seseorang di bidang politik. Dan keempat, dengan bekerja keras demi rakyat.' Pernyataan Rahul Gandhi, yang mengaku dirinya seorang dinasti politik, mencerminkan persepsi umum bahwa ikatan dinasti dapat berfungsi sebagai pengganti cara-cara lain agar masuk ke dalam politik seperti kekayaan, koneksi, atau pengalaman politik. Kendati kita tak dapat memastikan apa yang hendak disampaikan Rahul Gandhi melalui pernyataan ini, salah satu pemahamannya bahwa, ikatan dinasti hendaklah berfungsi sebagai pengganti pengalaman politik agar menjadi anggota parlemen, namun ikatan keluarga semata salah satu cara yang dapat dicapai seorang anggota parlemen bagi kesuksesan politiknya, tanpa perlu 'bekerja keras demi rakyat'.

Bagaimana dengan batasan usia? Dalam penelitian Bohlken, angka usia menunjukkan apa yang dapat dikonstruksikan sebagai aspek positif dari politik dinasti—bahwa hal ini membawa generasi muda ke dalam ranah politik nasional yang kemungkinan besar akan membawa serta ide-ide dan keterampilan baru. Kendati politik dinasti bertanggungjawab dalam menghasilkan parlemen yang lebih muda, hal ini belum tentu merupakan keuntungan yang wajar, dan bahkan mungkin, bisa menjadi beban-kerugian.

Nah, bagaimana pun 'bolak-balik' dicari pembenarannya, selalu saja ada argumen beserta pembuktian, membantah Politik Dinasti. Thomas Pain berkata, 'Namun yang menjadi perhatian umat manusia bukanlah kemustahilan, melainkan keburukan suksesi turun-temurun. Jika hal ini menjamin adanya ras manusia yang baik dan bijak, maka hal tersebut bermeteraikan Otoritas Ilahi, namun karena hal ini membuka pintu bagi orang-orang yang ahmak, bangpak, dan tak layak, maka hal tersebut bersifat zalim. Orang yang menganggap dirinya dilahirkan memerintah, dan orang lain menaatinya, akan segera menjadi gak-waras; dipilih dari umat manusia lainnya, pikiran mereka sejak dini diracuni oleh kepentingan; dan dunia dimana mereka bertindak, sangat berbeda dari dunia pada umumnya, sehingga mereka hanya punya sedikit kesempatan memahami kepentingan sebenarnya, dan di saat mereka berhasil, pemerintahannya acapkali menjadi yang terbebal dan tak cakap, di sepanjang masa kekuasaannya.'
Wallahu a'lam.”

Malam semakin larut, namun pesta baru saja dimulai, dan anggur sudah dituangkan. Aloe dan Wulandari mengakhiri podcastnya, dan berbarengan, mereka melagukan sebuah tembang dari negeri Dayak,

Tagal haranan duit dan jabatan
[Hanya karena duit dan jabatan]
Balalu cinta mu bapindah pilihan
[Lalu cintamu berpindah pilihan]
Aku je susah, kalah saingan
[Aku yang susah, kalah saingan]
Tasingkir mundur, buhau kan saran ***)
[Tersingkir mundur, mojok ke samping]
Kutipan & Rujukan:
- Claude Chidamian, The Book of Cacti and Other Succulents, 1984, Timber Press
- Linda Brand (Ed.), Cactus and Succulents, 1978, Lane Publishing
- Akshay Chopra, The Magic of Aloevera, 2021, We R Stupid
- Zaldy Rusnaedy, Dinasti Politik di Aras Lokal, 2020, Deepublish
- Kanchan Chandra (Ed.), Democratic Dynasties: State, Party and Family in Contemporary Indians Politics, 2016, Cambridge University Press
- Daniel M. Smith, Dynasties and Democracy: The Inherited Incumbency Advantage in Japan, 2018, Stanford University Press
- Stephen Hess, America's Political Dynasties, 1997, Routledges
*) "Jangan Bicara" karya Iwan Fals
**) "Jangan Ada Dusta di Antara Kita" karya Harry Tasman
***) "Malihi Janji" karya Dian P Angga & Adv Habibi B.A, SH.

[Sesi 3]
[Sesi 1]

Rabu, 15 November 2023

Cerita Aloe tentang Politik Kerabat (3)

“’Mbah kung,’ tanya seorang bocil sepulang dari les privat Sejarah, lantaran mata pelajaran Sejarah di sekolah, bakalan ditiadakan, ‘apa mbah kung, mbah putri, bapak, simbok, pakpuh, bupuh, paklik, bulik, ada di Bahtera Nuh? '
'Yo mesti wae enggak to le!,' tukas sang kakek rada-rada sebel.
'Lha kok, gak pada tenggelam ya mbah?' sanggah sang bocil kepo."

"Now, let's move on!" ucap Aloe melanjutkan sesi podcast. "Lantas, adakah sisi baik dari Politik Dinasti? Sejauh ini, aku belum menemukan ada penulis yang memberikan ulasan positif mengenai topik ini.

Stephen Hess menulis panjang lebar tentang sejarah politik dinasti di Amrik, mulai dari dinasti Adams, Lee, Livingston, Washburn, Muhlenberg, Roosevelt, Harrison, Breckinridge, Byard, Taft, Frelinghuysen, Tucker, Stockton, Long, Lodge, dan Kennedy.
Hess, dengan satire, 'nulis gini, 'Konstitusi [di Amrik maksudnya] sangat spesifik: 'Tiada gelar kebangsawanan yang boleh diberikan oleh Amerika Serikat.' Namun, dalam hampir dua abad sejak kalimat ini ditulis, rakyat Amrik, kendati ada penolakan resmi, telah memilih bangsawan politik. Dari generasi ke generasi mereka telah menyerahkan kepemimpinan pada keluarga-keluarga tertentu. 'People's Dukes,' Stewart Alsop menyebutnya begitu.
Namun, para akademisi politik, tak terlalu memperhatikan fenomena ini. Seolah-olah etos tulen—'semua manusia diciptakan sama'—melarang perhatian pada fakta bahwa ada beberapa keluarga yang punya lebih banyak kebolehan atau lebih menarik bagi para pemilih; yang, singkatnya, jauh lebih setara ketimbang orang lain di gerbang awal politik. Sebagaimana yang ditulis oleh John Fischer, salah seorang dari sedikit penulis yang mengabdikan dirinya pada titik buta kesetaraan ini, 'Gagasan bahwa orang-orang yang eksepsional semestinya beroleh perhatian yang eksepsional pula—dan bahwa kemampuan mereka mungkin diturunkan melalui keturunan—dirasa sangat tak demokratis dan gak Amrik banget.'
Kemudian pada pertengahan abad ke-20, mendadak, secara mengejutkan, mengguncangkan, pergolakan politik Amerika menampakkan sebagian besar dihuni oleh keluarga-keluarga unik tersebut. Mereka ada di sekitar kita; kita hampir tak bisa menghindarinya—Kennedys, Lodges, Longs, Tafts, Roosevelts. Senat Amerika Serikat sendiri saat ini [US Senate 89th Congress], berisi delapan belas anggota yang punya hubungan dinasti tertentu.
Tren ini, mungkin disebabkan oleh pelayanan publik telah menjadi tradisi keluarga, seperti yang telah lama terjadi di Inggris; atau karena politik sedang menampilkan 'a rich man's game' dan dinasti biasanya mampu memainkannya; atau orang Amerika memilih anak laki-lakinya dengan kesan bahwa mereka memilih ayah—atau kakeknya; atau lantarn kita merasa yakin bahwa 'People's Dukes' tak akan turut-serta dalam urusan kasir; atau gara-garanya, ada suatu kemampuan yang dapat diturunkan melalui gen; atau semata karena para pemilih tak-berdaya terhadap dinasti.'
Hess juga menceritakan mengapa ia menyarankan penelitiannya, bahwa 'penelitian ini bersifat menarik perhatian, mencatat. Tujuannya untuk pertama kalinya menyatukan panorama dinasti politik Amerika dari masa kolonial hingga saat ini; mengkaji peran mereka dalam membentuk bangsa; dan menceritakan kehidupan sekitar dua ratus individu yang sering kali berperan, biasanya ambisius, terkadang brilian, dan terkadang tak bermoral.'

Menurut Hess, sebuah Dinasti ialah 'keluarga mana pun yang punya, setidaknya empat anggota, atas nama yang sama, yang terpilih menduduki jabatan federal.' Kata 'terpilih' hendaknya ditekankan, sebab para elit ini, tak ada yang melalui 'hak ilahi' atau nepotisme. Ia telah dipilih secara bebas. Lebih lanjut, Hess mengatakan bahwa 'Dinasti politik Amerika merupakan sesuatu yang nafta, berubah-ubah. Ada yang bakal mati. Ada yang bakal lahir.' Dinasti-dinasti tersebut, tajir, tak jarang yang punya cuan dan harta berlimpah. Terlebih lagi, lantaran angka kelahiran yang tinggi merupakan ciri khas dinasti, uang mereka cenderung dihamburkan melalui penyebaran.
Ya, emang bener sih bahwa keluarga-keluarga elit politik Amerika, berhasil pula melahirkan penyair, novelis, ilmuwan, penemu, pendeta, pendidik, dan pedagang. Walau keluarga Roosevelt sekarang dikenal karena bakat-bakat lainnya, mereka dengan bangga dapat menunjuk pada penemu organ listrik, inovator kapal uap awal, pionir konservasionis, filantropis New York, ekonom radikal, dan koneksi dengan Mother Seton. Empat dinasti lainnya juga mengklaim sebagai tokoh agama penting, namun dinasti-dinasti tersebut tak luput dari penyakit-jiwa, bunuh-diri, kecanduan minuman-keras, keterbelakangan mental, kemunduran finansial, penggelapan, dan skandal seksual.

Yang paling mengejutkan adalah tingginya mobilitas dinasti-dinasti tersebut. Sebab keluarga-keluarga ini berkecukupan dan punya koneksi yang baik, dapat diasumsikan bahwa 'the sons' akan memilih tetap tinggal di rumah mereka yang terpelihara dengan baik. Namun padang rumput yang lebih hijau, tak hanya menarik bagi mereka yang rumputnya terbakar habis. Boleh jadi, mencerminkan nafsu berkelana di negaranya, dinasti politik merupakan kelompok yang tak banyak bergerak.
Hess kemudian mengatakan, ada ciri-ciri tertentu yang umumnya ditemukan pada semua politisi—apa pun profesi 'bapaknya'—misalnya, ambisi, suka berteman, energik, sering kali daya tarik fisik, dan keuletan. Mengingat 'kepribadian politik', seseorang mungkin tertarik pada kehidupan publik dan publik mungkin tertarik padanya. Bisakah sifat seperti ini, diwariskan? Akankah suatu kepribadian politik, melalui gen dan kromosom, menghasilkan kepribadian politik yang lain? Penulisnya bukanlah ahli genetika atau ahli biologi dan teka-teki tentang pengasuhan alam sangatlah kompleks. Namun penelitian terbaru sepakat bahwa, kendati ciri-ciri kepribadian tak diwariskan secara absolut, potensi-potensi tertentu diwariskan. 'Warisan biologis,' tulis Profesor Kluck-hohn dan Murray, 'menyediakan hal-hal yang membentuk kepribadian dan, sebagaimana diwujudkan dalam fisik pada titik waktu tertentu, menentukan tren dan menetapkan pembatasan variasinya.' Oleh karenanya, sebuah dinasti mungkin dimulai dengan kecenderungan yang diwariskan, dan pada titik inilah, lingkungan ikut berperan. Banyak dinasti yang didirikan, atau sangat diperkuat, oleh satu kepribadian yang dominan.
Di era ketika negara menghasilkan lebih banyak pemimpin yang punya keunggulan sosial, ekonomi, dan politik yang diwariskan, kata Hess, dibandingkan masa-masa sebelumnya sejak Revolusi Amerika, pertanyaan tentang kepemimpinan kelas dalam demokrasi patut dicermati dengan saksama. 'Sejarah,' kata E. EMgby Baltzell kepada kita, 'merupakan kuburan kelas-kelas yang lebih memilih hak istimewa kasta daripada kepemimpinan.' Di negara-negara dimana aristokrasi yang membusuk masih tetap memegang kendali pemerintahan, hal ini dapat menimbulkan masalah yang serius. Namun hal ini bukanlah kebiasaan orang Amerika. Alih-alih mencemari aliran darah politik, para pewaris dinasti politik yang dulunya kuat dan sadar kasta, telah terbukti tak berbahaya dan agak menyedihkan. Satu abad setelah seorang bijak dan sederhana terpilih sebagai Presiden, salah seorang keturunan lelaki terakhir Abraham Lincoln berkata dengan nada meremehkan, 'Aku tak pernah mengambil bagian dalam politik. Tak satu pun dari keluarga ini yang melakukannya.'
Lebih dari setengah abad yang lalu, presiden Harvard, Charles W. Eliot, menulis, 'Jika masyarakat secara keseluruhan ingin memperoleh keuntungan melalui mobilitas dan keterbukaan struktur, maka mereka yang bangkit hendaklah tetap bertahan dalam generasi-generasi berikutnya, sehingga lapisan masyarakat yang lebih tinggi dapat terus-menerus dapat diperbesat….” Kendati ia merasa bahwa keluargalah, bukan individu, yang merupakan unit sosial yang penting, ia tak mengkhotbahkan doktrin eksklusivitas. Ia bukanlah orang yang sombong dan bukan seorang Brahmana yang apologis. Sebaliknya masyarakat idealnya membayangkan semua keluarga sebagai 'awal yang bebas', dengan aristokrasi yang berubah-ubah, yang memberikan ruang bagi 'bakat-bakat baru.'

Ada yang menarik dari esai R. D. Laing tentang Keluarga, sebelum beralih ke Politik Keluarga. Ia menulis, 'Kita berbicara tentang keluarga seolah-olah kita semua tahu apa itu keluarga. Kita mengidentifikasi, sebagai keluarga, jaringan orang-orang yang hidup bersama selama jangka waktu tertentu, yang punya saling keterikatan perkawinan dan kekerabatan. Semakin banyak seseorang mempelajari dinamika keluarga, semakin tak jelas pula, bagaimana dinamika keluarga dibandingkan dan dikontraskan dengan dinamika kelompok lain yang tak disebut keluarga, apalagi perbedaan dalam keluarga itu sendiri. Seperti halnya dinamika, demikian pula dengan struktur (pola, lebih stabil dan bertahan lama dibandingkan yang lain): sekali lagi, perbandingan dan generalisasi hendaknya bersifat tentatif.
Dinamika dan struktur yang terdapat pada kelompok yang disebut keluarga dalam masyarakat kita, mungkin tak terlihat pada kelompok yang disebut keluarga di tempat dan waktu lain. Relevansi dinamika dan struktur keluarga dengan pembentukan kepribadian, tak mungkin konstan dalam masyarakat yang berbeda, atau bahkan dalam masyarakat kita.
[...] Apa fungsi 'keluarga' dalam hubungan anggota keluarga? 'Keluarga', keluarga sebagai sebuah struktur fantasi, mencakup jenis hubungan antara anggota keluarga dengan tatanan yang berbeda dari hubungan mereka yang tak saling berbagi di dalam 'keluarga' itu.
'Keluarga' bukanlah sebuah objek yang diintrojeksi, melainkan serangkaian relasi yang diintrojeksi.
'Keluarga', sebagai suatu sistem internal yang ada di dalam diri seseorang, mungkin tak dapat dibedakan dengan jelas dari sistem-sistem serupa lainnya, yang semata dapat diberikan dengan nama-nama yang tak memadai seperti 'rahim', 'payudara', 'tubuh ibu', dan seterusnya. . Hal ini dapat dirasakan sebagai hidup, sekarat atau mati, binatang, mesin, seringkali merupakan wadah pelindung atau perusak manusia seperti gambar rumah berwajah yang digambar anak-anak. Sekumpulan elemen inilah, dengan partisi di mana diri berada, yang didalamnya, bersama dengan orang lain yang memilikinya.
Keluarga dapat dibayangkan sebagai sebuah jaring, bunga, makam, penjara, kastil. Diri mungkin lebih menyadari gambaran keluarga dibandingkan keluarga itu sendiri, dan memetakan gambaran tersebut ke dalam keluarga.
Ruang dan waktu 'keluarga' mirip dengan ruang dan waktu mistis, karena ia cenderung tersusun melingkari suatu pusat dan berjalan dalam siklus yang berulang. Siapa, apa, di mana pusat keluarga?
[...] Keadaan yang paling umum, yang kutemui dalam keluarga ialah ketika apa yang menurutku sedang terjadi hampir tiada kemiripan dengan apa yang dialami atau dipikirkan oleh siapa pun dalam keluarga, terlepas dari sesuaikah hal itu dengan akal-sehat atau tidak.
Mungkin tiada yang tahu apa yang sedang terjadi. Namun, ada satu hal yang sering kali jelas bagi orang luar: ada penolakan keluarga mengetahui apa yang sedang terjadi, dan ada strategi rumit yang membuat semua orang tak tahu apa-apa, dan mereka tak tahu apa-apa.
Kita akan mengetahui lebih banyak tentang apa yang sedang terjadi jika kita tak diperbolehkan melakukannya, dan tak diperbolehkan menyadari bahwa kita tak diperbolehkan melakukannya.
Di antara kebenaran dan kebohongan, terdapat gambaran dan gagasan yang kita bayangkan dan anggap nyata, yang melumpuhkan imajinasi dan pemikiran kita dalam upaya melestarikannya.
[...] Salah satu cara agar membuat seseorang melakukan apa yang diinginkannya adalah dengan memberi perintah. Agar membuat seseorang menjadi apa yang diinginkannya, atau mengira ia memang seperti itu, atau apa yang ditakutinya (entah ini yang diinginkannya atau tidak), yakni membuatnya mewujudkan proyeksinya, merupakan soal lain.
[..] Apa yang kita tunjukkan, sebenarnya merupakan sebuah instruksi bagi sebuah drama: sebuah skenario.'"

"Okeh, aku rasa cukup untuk sesi kali ini. Topik ini akan kita lanjut pada sesi berikutnya, bi 'idznillah."

Aloe hendak lanjut ke sesi selanjutnya, namun sebelumnya, ia melantunkan tembangnya Broery Marantika dan Dewi Yull,

Bukankah ini ku tanyakan padamu oh kasih?
Takkan kecewakah kau pada diriku?
Takkan menyesalkah kau hidup denganku nanti? **)
[Sesi 4]
[Sesi 2]