Jumat, 24 November 2023

Obrolan sang Teratai : Value (1)

"Di sebuah negeri, yang sedang berada di bawah rezim lucu-lucuan, di sebuah laboratorium yang didanai rezim itu, seorang ilmuwan mengubah seekor Harimau putih menjadi seekor Kuda putih. Melihat ini, sang penilik mengernyitkan kening. Tahu bahwa keadaannya bakalan bawa masalah, sang ilmuwan mencoba menenangkannya, 'Jangan khawatir, kondisinya stabil kok!'"

"Dan lagi-lagi, aku masih di sini," kata sang Teratai. "Tik-tik tik-tik, kata jeng Titiek, hujan rintik-rintik; semoga ada yang bisa kupetik, lalu di ketik. Dan tahukah engkau apa yang kuketik? Janger, yaq, tari Janger. Sebenernya sih, banyak hal menarik yang bisa engkau temukan di Bali, namun Janger, membuatku lebih tertarik ketimbang mistik Leyak—ya benner, mereka memang ada, sama seperti pulau-pulau lainnya di Indonesia, namun aku tak punya cukup rujukan untuk membuktikannya, lagian, mereka bukanlah maksud arah pembicaraanku.

Nah, menurut I Wayan Dibia dan Rucina Ballinger, 'Janger' bermakna 'berada di luar pusaran'. Mengacu pada masa-masa sengkarut tatkala tarian ini berada pada puncaknya. Bermula pada akhir tahun 1920-an oleh I Gde Dharna di Bali Utara, tarian ini mencapai puncaknya pada tahun 1940-an dan 1950-an pada masa revolusi melawan Belanda, dan sebelum percobaan kudeta pada tahun 1965, sebagai alat penyampaian pesan dari berbagai partai politik. Yaq, Janger sesungguhnya pernah mengalami sisi kelam, karena kepopulerannya, pada masa Kediktatoran tahun 1960-an, Janger mulai dipentaskan dalam kancah partai politik, tak terkecuali kaum Komunis, yang banyak melibatkan propaganda dan seni. Setelah periode tersebut, Janger mengalami kemunduran, lalu pulih usai memasuki masa Kediktatoran selanjutnya, sekitar tahun 1970-an. Lalu, akan adakah masa Kediktatoran berikutnya di Indonesia? Bila ada yang berambisi dan tak ada yang tega menghentikannya, who knows!
Sejarah itu, kisah peristiwa, dengan pujian atau celaan. 'Dalam sejarah, terdapat segala rahasia tatanegara,' kata Konfusius. Benjamin Franklin bilang, '...tiga orang dapat menyimpan rahasia jika dua di antaranya mati....' Engkau dan engkau sendirilah orang terbaik, yang menyimpan rahasiamu sendiri.
Clifford Geertz menulis sejarah menarik tentang Bali abad ke-19. Ia menyebutkan, 'Penulisan sejarah jenis terakhir ini, sangat bergantung pada kemungkinan membangun model proses sosio-kultural yang sesuai, yang tepat secara konseptual dan berdasarkan empiris, yang kemudian dapat digunakan untuk menafsirkan hal-hal yang tersebar dan fragmen-fragmen ambigu dari arkeologi masa lalu. Ada beberapa cara melakukan hal ini. Kita dapat memanfaatkan apa yang diketahui tentang rangkaian perkembangan yang sebanding, namun dipelajari secara lebih menyeluruh di tempat lain—dalam kasus yang ada, semisal di Amerika pra-Columbus atau Timur Dekat kuno. Atau seseorang dapat memformulasikan, berdasarkan sosiologi sejarah yang luas, paradigma tipikal ideal yang mengisolasi ciri-ciri utama dari kelompok fenomena yang relevan—pendekatan yang tentu saja dipopulerkan oleh Max Weber. Atau seseorang dapat mendeskripsikan dan menganalisis secara rinci struktur dan fungsi sistem yang ada saat ini (atau baru-baru ini) yang diyakini mempunyai kemiripan dengan sistem yang ingin direkonstruksi, menerangi wilayah yang lebih terpencil dengan sedikit cahaya dari sistem tersebut.'

Kembali pada tarian Janger, janger merujuk kepada penari wanitanya. Dibia dan Ballinger berpendapat bahwa sebelum awal tahun 1980-an, sulit sekali menemukan pemusik atau dalang perempuan. Peran perempuan di Bali secara tradisional, sebagai pembantu rumah tangga dan ibu, dan mereka hanya punya sedikit waktu luang untuk melakukan hal lain. Tahun 1980-an membawa banyak perubahan dalam dunia seni, dengan adanya kolaborasi dan pertemuan antar seniman pertunjukan dari seluruh dunia. Perempuan dipandang sebagai kekuatan kreatif yang aktif, dan penabuh gamelan serta dalang perempuan menjadi lebih umum karena peran artistik mereka yang baru, semakin mendapat kredibilitas.
Peran gender di Bali telah ditentukan dan dipotretkan secara ketat. Budaya patriarki memastikan perempuan memenuhi harapan. Selain melakukan tugas rumah tangga biasa, perempuan menghabiskan banyak waktu membuat persembahan di kuil dan melakukan aktivitas ritual. Mereka tak punya banyak waktu luang dan hal ini menjadi kendala dalam kelangsungan kelompok gamelan perempuan.

Para penari lelaki-nya disebut Kecak, mencelotehkan kata-kata seperti kecak, byang dan byuk, lalu menggoda para wanitanya. Gerak-tari para lelakinya, beda dengan Janger: lengan bergerak berirama ke depan dan jari bergetar; siku bertumpu pada lutut, kepala di atas tangan; tinju menepis telapak tangan; bahu terangkat. Sebaliknya, para wanitanya, mengayun-ayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, memutar kipasnya, dan menggeser kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil bernyanyi. Terkadang disisipi lakon menggunakan cerita semisal Arjuna Wiwaha, Gatutkaca Seraya, Sunda Upasunda dan Legodbawa.
Pada mulanya, penari Janger dan Kecak mengenakan pakaian sehari-hari. Celana pendek, kemeja dengan tanda pangkat, sepatu dan kaos kaki buat lelakinya, dapat dilihat pada tahun 1930-an dalam bentuk serupa yang disebut stamboel. Yang wanita mengenakan kebaya lengan panjang. Seiring waktu, keduanya mulai mengenakan pakaian kuil. Hiasan kepala khas wanita (petitis) merupakan modifikasi dari mahkota pernikahan. Kini, sebagian besar penari Janger-Kecak mengenakan jubah berlapis emas (saput), penutup kepala (destar), kalung besar (badong) dan kain panjang yang terbuat dari kain tenun tradisional Bali. Janger mengenakan kain berlapis emas dari dada hingga mata kaki, kalung beludru bermanik-manik, dan ban lengan kulit.
Janger lebih merupakan paduan suara ketimbang bentuk tarian. 10 hingga 12 pasang pemuda dan pemudi saling berhadapan di area panggung, para pemuda duduk bersila, pemudinya duduk bertumpu pada tumit. Senandung para pemudi tersebut, berasal dari tembang-tembang yang digunakan membuat penari Sanghyang kesurupan, kendati liriknya telah banyak diubah. Kidungannya acapkali berkisah tentang cinta, meski ada juga langgam tentang patriotisme, olahraga, dan tentang membangun perdamaian di Indonesia pada masa pergolakan pasca-Soeharto. Seringkali para pemudinya, ng'ledekin para pemudanya dengan bertanya, 'Pada kemana sih cowok-cowok gantteng ittu?'

Mengapa 10 atau 12 pasang? Dibia dan Ballinger tak menyebutkan alasannya. Tapi angka gak pernah bo'ong, kaan? Yang terpenting angka-angka itu menunjukkan apa dibaliknya? Kebenarankah, atau kepalsuan?
Selama para manusia hidup di muka bumi, mereka perlu menunjukkan angka, kata Gabriel Esmay. Petani menghitung hasil panenan dan ternak. Para insan melacak waktu. Pedagang melacak barang. Pengembang mengukur struktur. Maka, orang-orang di masa lalu menciptakan sistem bilangan.
Piramida Besar telah berdiri di Mesir selama lebih dari empat ribu tahun. Inilah satu-satunya keajaiban dunia kuno yang masih berdiri. Tentu saja, tiada alat modern yang digunakan. Namun para pengembang tak sendirian. Mereka punya matematika dan sistem bilangan yang mendukung. Simbol Mesir adalah glyph [sebuah piktograf berbentuk gasing] atau semacam gambar, yang diukir pada batu. Sama seperti sekarang ini, 10 merupakan angka kunci. Glyph diukir berkali-kali untuk menunjukkan angka yang lebih besar. Agar menunjukkan angka 50, glyph 10 diukir lima kali.
Belakangan, orang Mesir mulai menulis pada papirus, kertas awal yang terbuat dari tetumbuhan. Sistem tak menggunakan 'place value' [nilai tempat]. Maka, simbol bisa ditulis dalam urutan apa pun. Namun tetap saja, orang Mesir menggunakan simbol tersebut untuk menghitung. Mereka bisa menambah dan mengurangi. Mereka bahkan bisa mengali dan membagi. Akan tetapi, ada satu hal yang tak ditemukan di dalamnya—nol! Bangsa Mesir gak punya simbol angka nol.
Angka Romawi terkadang masih digunakan sampai sekarang. Tapi, tiada simbol untuk nol. Dan tak ada cara mudah menuliskan bilangan besar. Maka, sistem lain telah lebih banyak digunakan.
Sistem bilangan Babel cuma menggunakan dua simbol. Tapi, masih banyak angka yang dapat terbentuk. Seperti di Mesir, simbol diukir untuk menulis angka, dan masih belum ada simbol angka nol. Namun, ada satu perbedaan besar antara sistem-sistem tersebut. Urutan simbol-simbol dalam sistem Babel sangat penting. Inilah pertama kalinya 'place value' digunakan.

Sistem bilangan modern menjadi mungkin oleh Kenihilan. Ya, ia dimungkinkan oleh konsep dan simbol ketiadaan—nol. Ia menggunakan 'place value.' Dan nol bisa digunakan untuk menunjukkan suatu tempat yang tak ada nilainya. Sistem ini terbentuk di India sekitar tahun 650 M. Namun, bangsa Arablah yang pertama kali membawanya ke Eropa. Sistem Hindu-Arab mengubah semua ini. Ia didasarkan pada kelompok 10. Digitnya berkisar dari 0 hingga 9, seperti digit yang digunakan sekarang. Dengan menggunakan angka dan kelompok 10, semua angka, baik kecil maupun besar, dapat ditulis lebih cepat. Tak lama kemudian, orang-orang menyadari betapa bermanfaatnya sistem ini. Sekelompok orang kuno perlu menyatakan angka. Jadi, mereka membuat simbol-simbol yang sesuai buat mereka. Kita berhutang banyak pada orang-orang di masa lalu. Place value, simbol, dan nol, membuka jalan bagi cara kita menggunakan angka saat ini. Tapi sistem bilangan masih berubah.
Komputer menggunakan sistem bilangan yang didasarkan pada kelompok 2, bukan 10. Sistem biner cuma punya dua digit: 0 dan 1. Komputer menggunakannya untuk menyimpan data dan memecahkan masalah. Jadi, apa pun yang diketik pengguna, komputer akan mengubah semuanya menjadi 0 dan 1. Sistem bilangan telah berubah sebelumnya. Akankah berubah lagi? Kini, banyak orang meyakini bahwa kita seyogyanya menggunakan kelompok berisi 12 anggota, bukan 10 anggota. Namun ada 'satu' hal yang jelas. Bagaimanapun angka-angka itu ditulis atau ditampilkan, kita akan selalu membutuhkannya. Tapi, ngomong-ngomong, tadi angka 3 kemana yaq?

Dalam Matematika, kita menemukan Value, dalam Ilmu Komputer, kita temukan pula Value, dalam Semiotika, terdapat pula Value, demikian pula di bidang Ekonomi, Marketing, Investing dll, dengan pengertiannya masing-masing.
Seorang filsuf menyukai perbedaan, sama seperti ahli teori lainnya, kata Christine Tappolet dan Mauro Rossi. Saat ditanya apa itu 'Value'—nilai, harkat, mutu, kualitas, bobot, makna, norma, dsbnya—para filsuf cenderung menunjukkan bahwa pertanyaan ini, terbagi menjadi beberapa pertanyaan berbeda, tergantung pada apa yang dipertimbangkan. Dalam bahasa umum, pembicaraan tentang Value seringkali tentang apa yang dianggap baik, semisal saat kita mengatakan bahwa Ilmu, atau Keadilan, merupakan nilai-nilai yang hendaknya diusung. Pembicaraan tentang values, acapkali pula merupakan pembicaraan tentang cita-cita yang memandu tindakan seseorang, seperti tatkala kita berpendapat bahwa demokrasi dan otonomi, merupakan 'Western values', atau ketika kita berbicara tentang keandalan dan integritas sebagai 'personal values.' Cita-cita, hal-hal yang dianggap baik dan lebih umum, klaim substantif tentang 'values,' merupakan topik-topik penting dalam filosofi dan etika, namun hal-hal tersebut bukanlah semata-wayang. Fokus utama dalam philosophy of values ialah pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih abstrak. Para filsuf umumnya membedakan antara konsep evaluatif, penilaian evaluatif, kalimat evaluatif, dan fakta evaluatif.
Topik 'Value' seperti ini, akan kita bicarakan pada bagian selanjutnya dari sesi ini, bi 'idznillah."

Dan sebelum berpindah ke bagian berikut, sang Teratai berdendang,

Sepucuk surat yang wangi
Warnanya pun merah hati
Bagai bingkisan pertama
Tak sabar kubuka
Satu, dua, dan tiga
Kumulai membaca *)
Kutipan & Rujukan:
- I Wayan Dibia and Rucina Ballinger, Balinese Dance, Drama & Music, 2004, Tuttle Publishing
- John Coast, Dancing Out of Bali, 2004, Periplus
- Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali, 1980, Princeton University Press
- Geoffrey Robinson, The Darkside of Paradise: Political Violance in Bali, 1998, Cornell University Press
- Gabriel Esmay, The History of Number Systems: Place Value, 2017, Teacher Created Materials
- Tobias Brosch and David Sander (Ed.), Handbook of Value: Perspectives from Economics, Neuroscience, Philosophy, Psychology, and Sociology, 2016, Oxford University Press
*) "Surat Cinta" karya Ida Laila