Senin, 27 November 2023

Obrolan sang Teratai : Value (2)

“Dalam sebuah acara kontes joged, seorang komedian diundang dan bertanya pada penonton, 'Apa yang gemoy, keadaannya tetap seperti baru, dan ada tujuh benjolan kecil di dalamnya ...?'
Menggelengkan kepala tapi tersenyum, para penonton kepo.
'Selaput dara Putri Salju,' pungkas sang komedian.

"We are no dwarfs!" pekau sang Teratai. "So, kita dapat memandang Value itu, dari beragam perspektif, dari Filosofi, Psikologi, Neurosains, Sosiologi, bahkan Ekonomi. Dan dari sudut pandang ilmu Ekonomi, kita bisa mengawalinya dengan membuat pertanyaan—sebagaimana para pengambil Kebijakan memulainya—semisal, 'Adakah 'gorong-gorong' antara 'pembiayaan' Ibukota baru dan 'pendanaan' banner atau spanduk?'
Ilmu Ekonomi itu, disiplin ilmu yang dahsyat, kata Dino Levy dan Paul Glimcher. Ia didasarkan pada definisi, aksioma, dan rumus matematika yang jelas dan tepat. Dalam banyak persoalan, teori ekonomi telah berhasil digunakan menginformasikan Kebijakan, memprognosis perilaku manusia, dan menyusun sistem keuangan. Dalam 300 tahun terakhir, telah terjadi kemajuan yang mengagumkan dalam teori ekonomi; dari ide-ide revolusioner Daniel Bernoulli, David Ricardo, dan Adam Smith melalui teori Vilfredo Pareto, Paul Samuelson, John von Neumann, dan Oskar Morgenstern, hingga pendekatan yang lebih baru dari Herbert Simon, Daniel Kahneman, dan Amos Tversky, dan banyak lagi yang lain. Namun, salah satu gagasan paling mendasar dalam ilmu ekonomi, bahwa tujuan dasar teori ekonomi itu, 'memprediksi.' Para ekonom memperoleh data perilaku yang dapat diamati dan memprakirakan melalui teori yang terdefinisi dengan baik. Yang mereka pedulikan ialah seberapa baik mereka dapat memprediksikan. Sebagai suatu disiplin ilmu, mereka tak tertarik memahami mekanisme yang mendasari, mengapa estimasi berada pada tingkat tertentu dalam situasi tertentu. Kendati mereka mengakui bahwa perilaku manusia itu, hasil dari aktivitas saraf, mereka tetap agnostik terhadap mekanisme sebenarnya yang ada dalam sistem saraf, yang bertanggungjawab atas perilaku tersebut. Mirip dengan komunitas behaviorisme di bidang psikologi pada tahun 1940-an, para ekonom pada umumnya tak tertarik pada 'the Black Box'.
Akan tetapi, bila kita ahli neuroekonomi, kita bakalan sangat tertarik pada 'Kotak Hitam' itu, dan pingin memahami mekanisme saraf apa yang mendasari instantiasi Value dan Choice. Kita amat yakin bahwa pendekatan ini, memberi keuntungan tertentu. Yang pertama dan terpenting, punya lebih banyak data daripada lebih sedikit, selalu bermanfaat dalam berupaya memahami mekanisme apa pun. Kedua, memahami mekanisme saraf Value dan Choice, akan menetapkan batasan fisiologis pada teori ekonomi apa pun. Sebuah teori yang tak mempertimbangkan batasan-batasan ini, secara apriori bakal keliru, setidaknya pada tingkat analisis tertentu. Selain itu, menambahkan batasan-batasan ini ke dalam teori ekonomi saat ini, kita yakin, akan membuat teori tersebut lebih akurat dalam prediksinya. Ketiga, jika contoh semua perilaku bertumpu pada aktivitas saraf, maka memahami mekanisme pilihan yang mendasarinya, akan membantu kita membangun teori-teori baru yang tak didasarkan pada aksioma sembarangan, melainkan aksioma alami yang merupakan hasil dari prinsip-prinsip fisiologis umum dan dasar yang mengatur aktivitas saraf, dan karenanya, perilaku.
Dalam perspektif ini, dalam banyak kejadian, 'choices' yang kita buat, mempengaruhi 'well-being' orang lain, dan 'pilihan' orang lain, akan berpengaruh pada 'well-being' kita. Ada beberapa perilaku manusia lainnya, yang juga memerlukan kemampuan agar lebih memilih keuntungan orang lain dan meningkatkan utilitas dengan mengorbankan keuntungan diri sendiri. Perilaku semacam ini, secara kolektif dikenal sebagai perilaku altruistik atau preferensi terhadap hal lain, dan dalam banyak peristiwa, perilaku ini didorong oleh keyakinan moral. Tatkala orang mengalami masalah pengambilan keputusan seperti ini, mereka harus mengevaluasi dan membandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk memberikan sesuatu, yang bisa berupa imbalan materi, waktu, atau bahkan kerja fisik, dengan nilai yang mereka peroleh dari gagasan abstrak melakukan sesuatu yang baik atau mencegah sesuatu yang buruk terjadi pada orang lain atau, dalam beberapa perkara, nilai yang diperoleh berupa tujuan, prinsip, atau keyakinan yang abstrak.
Paul Samuelson dan koleganya, membuktikan hampir seabad yang lalu, bahwa setiap pengambil keputusan, yang secara internal konsisten dalam pilihannya, akan berperilaku, selama periode dimana mereka konsisten, persis 'seolah-olah' mereka menggunakan skala umum yang tetap sebagai representasi dari Value. Maknanya, jika seorang pemilih bersifat rasional, setidaknya terdapat satu fungsi utilitas (fungsi yang menyatakan bagaimana nilai obyektif diubah menjadi representasi nilai subyektif internal, yang memandu pilihan individu tersebut) yang dapat menggambarkan pilihannya. Kedua, jika pengambil keputusan menunjukkan preferensi yang tak konsisten, yaitu berperilaku tak rasional, maka hal ini dapat dieksploitasi dengan mengambil uang dari pemilih yang tak rasional, bahkan ketika pemilih tersebut secara hati-hati dan tepat, mengambil keputusan dengan informasi yang lengkap.
​Nah, balik ke pertanyaan 'gorong-gorong' tadi, akan sangat mungkin ada tanggapan, 'Gak ada hubungannya!' atau 'Gak mungkin!' atau 'Itu fitnah!' atau mungkin, ada yang menitikkan air-mata bak Evita Peron mempidatokan 'Don't Cry for Me Argentina' menggunakan versi Madonna yang memukau, ataupun ala-ala almarhumah Sinead O'Connor yang mempesona, melagukan, 'And as for fortune, and as for fame, I never invited them in, though it seemed to the world, they were all I desired.'
Dan maafkan bila aku meresponsnya dengan mengutip ucapan seorang rekan yang berbunyi, 'Pale loe peang!'

Teori hukum alam menyebutkan bahwa manusia hanya dapat hidup dengan baik, jika mereka mengenali kebajikan-kebajikan yang alami bagi manusia dan memahami bagaimana kebajikan-kebajikan tersebut menghasilkan kewajiban dan kerelaan, yang bersama-sama menjadi ciri sistem pedoman praktis, yang kita sebut Moralitas, kata David S. Oderberg dan Timotius Chappell. Katakanlah engkau menganggap dirimu lucu, Sally Hogshead memberi contoh. Bagimu, selera humor itu, salah satu sifat terbaikmu. Cuman, ada satu masalah: orang lain, gak menganggapmu lucu.
Memang sih, ini jadi problem. Humor itu, pertukaran dua sisi. Yaitu, umpan balik antara dikau sebagai penutur lelucon dan audiensmu. Humor tak terjadi dalam ruang hampa. Tidaklah cukup hanya mempertimbangkan caramu memandang diri sendiri. Seyogyanya, engkau mempertimbangkan juga bagaimana dunia memandangmu. Kalaulah tiada orang lain yang menganggapmu lucu ... yaah, boleh jadi, dikau memang gak lucu.
Humor ada di mata yang menyaksikannya. Begitu pula sifat disukai, kepemimpinan, dan serangkaian kualitas subjektif lainnya, yang berakar pada persepsi orang lain. Engkau boleh beroleh suara, tapi para pendengarmu, punya hak veto kaan.
Sebagai contoh lagi, engkau mungkin melihat dirimu sebagai orang yang menyenangkan, tapi jika dunia memandangmu sebagai orang yang berhati-dingin, itu berarti, ada keterputusan. Engkau mungkin mengira bahwa dikau dihormati, atau mandiri, atau praktis, namun jika gak ada yang sepakat, maka, dirimu kurang beruntung. Engkau mungkin pula menganggap dirimu baik dalam menghadapi anak-anak, namun bila anak-anak kecil itu, menangis dan lari ke seberang jalan saat melihatmu, maka ada kesenjangan (serta hambatan gawat terhadap aspirasi karier apa pun yang mungkin dikau miliki agar menjadi badut pesta ulang tahun).
Dengan melihat dirimu dari luar ke dalam, dan secara sistematis mengukur pengaruhmu terhadap pendengar, engkau dapat meningkatkan hasil. Baik dikau seorang komedian, guru taman kanak-kanak, maupun negosiator krisis, dirimu bisa menjadi lebih sukses dengan memahami bagaimana dunia melihatmu, mendengarmu, dan meresponsmu.

Banyak teori dasar kebajikan mendesak dua hal berikut, kata Christopher Tollefsen. Pertama, landasan tindakan manusia terletak pada pemahaman praktis yang dimiliki oleh seluruh pelaku sejati atas kebajikan dasar manusia, yakni pemahaman mereka akan peluang-peluang dasar bagi kemajuan umat manusia. Teori kebajikan yang berbeda memberikan penjelasan yang agak bersenjang mengenai apa yang dimaksud dengan kebajikan, namun daftarnya secara umum mencakup kehidupan dan kesehatan manusia, pengetahuan, keparipurnaan dalam bekerja dan bermain, persahabatan, integritas dan kewajaran praktis. Desakannya ialah bahwa dalam beberapa hal, seluruh agen punya kesadaran akan hal-hal yang hendaklah dikejar; pengetahuan seperti ini, tak semata dimiliki segelintir orang, namun merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas manusia pada umumnya.
Desakan kedua berkaitan dengan desakan pertama. Kebajikan dasar dipandang dikehendaki oleh para agennya, sebab menawarkan janji kesejahteraan manusia; para agen tersebut, punya pemahaman praktis bahwa mereka akan lebih baik jika berpartisipasi dalam kebajikan dasar. Dan semua ini karena 'kita bukanlah, para makhluk cebol!' Wallahu a'lam."

Pertanda sang Fajar menjelang telah terlihat, malam akan beralih ke hari yang baru, dan sang Teratai pun bersenandung,

Gimme, gimme, gimme a man, after midnight
[Beri, beri, beri daku seseorang, usai tengah malam
Won't somebody help me chase the shadows away?
[Tiadakah yang dapat membantuku mengusir bayangan itu?]
Gimme, gimme, gimme a man, after midnight
[Beri, beri, beri daku seseorang, usai tengah malam]
Take me through the darkness to the break of the day *)
[Bawa daku melewati kegelapan, hingga fajar menyingsing]
Kutipan & Rujukan:
- David S. Oderberg & Timothy Chappell (Ed.), Human Values: New Essays on Ethics and Natural Law, 2004, Palgrave
- Sally Hogshead, How the World Sees You: Discover Your Highest Value Through the Science of Fascination, 2014, HarperCollins Publishers
- Tobias Brosch and David Sander (Ed.), Handbook of Value: Perspectives from Economics, Neuroscience, Philosophy, Psychology, and Sociology, 2016, Oxford University Press
*) "Gimme! Gimme! Gimme! (A Man After Midnignight)" karya Benny Andersson & Bjoern K Ulvaeus
[Bagian 1]