Rabu, 22 November 2023

Obrolan sang Teratai : Silence

"Seorang dosen memanggil salah seorang mahasiswa barunya dan bertanya, 'K'napa sih, papermu kosong sama sekali?'
Dengan wajah datar, sang mahasiswa merespons, 'Sometimes, Silence is the best answer!'"

"Dan semakin ke sini, semakin kemari, di sinilah aku lagi," lanjut sang Teratai, "duduk diam, bersila di atas kolam, menunggu sang Rembulan yang mungkin masih berdekam. Aku dapat melihat dengan jelas dari sini, di luar sana, para lelaki, yang bertelanjang-dada, mengenakan celana hitam, bertangkupkan kain kotak-kotak hitam putih sebatas lutut, baru saja selesai mementaskan 'the Amazing Wild Kecak', 'Tarian Kera', paduan suara para lelaki yang berceloteh 'cak cak cak'. Dari sini aku bisa melihat, sang 'Kera Putih' sedang melintasi bara-api.
Bentuk kecak yang modern, kini dapat dilihat oleh hampir setiap wisatawan. Versi yang lebih kecil dari paduan suara lelaki yang mendesis dan berceloteh, sebelumnya merupakan bagian dari bentuk tarian ritual sakral yang dikenal sebagai Sanghyang. Pada tahun 1931, Walter Spies menjabat sebagai penasihat teknis 'Island of the Demons', sebuah film buatan Jerman tentang sebuah desa yang terancam dilantakkan oleh Rangda, sang penyihir. Bersama Wayan Limbak, seorang seniman, mereka punya gagasan memperluas paduan suara Kecak dan menggabungkannya dengan alur cerita Ramayana, sehingga menghasilkan versi standar saat ini. Hasilnya, sebuah seni-tari sekuler yang sangat berbeda dari tarian Bali sebelumnya. Seperti yang kusaksikan, Kecak senada dengan tarian Janger.

Di saat pentas telah usai, dan walau Noise tak dapat hilang sama sekali, atau biarpun beberapa tukang survei, dapat menjadikan kebenarannya tertutupi, Silence tetap hendak berbagi. Selalu terngiang dalam benakku, firman Sang Hyang, 'Do your standing and prostating, in the last-third part of the night, because I will come.'
Dikala Silence tiba, ia menjadi penawar kegalauan. Tentu saja, kegalauan telah lama menjadi hal yang penting bagi kelangsungan hidup kita, kata R. Reid Wilson. Moyang manusia gua kita, yang berjalan-jalan santuy di tepi sungai, menikmati keindahan pagi musim gugur, tiba-tiba dimakan oleh harimau bertaring tajam—bukan para Dinosaurus, lantaran rupanya, mereka vegetarian. Gen mereka hilang. Nenek moyang kita yang paranoid, 'mungkin ada bahaya dimana-mana', para 'pelindung keluarga', yang ingin berkembang biak, mewariskan kepada kita, bentuk kegalauan yang selalu hendak melindungi.
Wilson kemudian menyatakan bahwa kegalauan pada tingkat tertentu, sebenarnya baik bagi kita, sebab kegalauan dapat membantu kita bangkit dari penolakan, dan dapat sebagai pendorong agar memprioritaskan tugas-tugas kita. Yang terpenting, kegalauan dirancang sebagai respons awal, sebagai 'Langkah Awal' dalam proses pemecahan masalah. Seyogyanya, hal ini sebagai upaya kita untuk mulai menemukan solusi dengan memicu proses analitik kita: mengevaluasi keadaan saat ini, menghasilkan opsi respons, memilih di antara opsi tersebut, memilih salah satu, dan kemudian menerapkannya. Bila kemajuan ini berjalan dengan baik, kita dapat menyimpulkan analisis kita dengan pesan semisal, 'Aku sedang galau menyelesaikan proyek ini, dan sekarang aku bakalan bertindak. Beginilah caraku menyelesaikannya—inilah rencanaku.' Nah kaan, itulah manfaat kegalauan.
Apa jadinya jika kita tak menempatkan kegalauan kita dalam proses penyelesaian masalah? Saat kita mulai membayar biaya emosional yang tinggi atas kegalauan yang gak penting, dan bila kegalauan kita terlalu sering muncul di benak kita, maka pikiran-pikiran itu, menyakiti kita. Kegalauan mengarah pada kecemasan. Semakin kita galau, kita makin cemas dan waswas, baik mengenai keluarga, masalah keuangan, pekerjaan maupun sekolah, atau penyakit. Jika kita tak mengatasi kegalauan seperti ini dan menemukan cara mengendalikannya, kita akan terus-terusan merasa cemas.
Dan so pasti, kegalauan bakal menghambat kinerja kita. Selama proyek apa pun, kita hendaklah memusatkan perhatian kita pada tugas kita. Namun dikala perhatian kita terus dialihkan pada kegalauan yang tak membantu, kita jadi mementingkan diri sendiri. 'Bagaimana cara aku melakukannya? Bagaimana jika aku gagal? Itu terlalu menyakitkan bagiku. Aku gak boleh gagal!' Pemikiran seperti ini, sesuatu yang memaksakan, dan siapa pun bakalan sulit melepaskan diri darinya.

Dunia semakin berisik, sebab kendaraan darurat harus bersuara cukup keras menerobos kebisingan di sekitarnya, volume tanda-bahayanya merupakan representasi yang baik untuk menentukan tingkat kebisingan lingkungan secara keseluruhan. Kita tahu; betapa klise merenungkan kerasnya kehidupan. Kita membayangkan orang-orang selalu mengungkapkan kekesalan yang sama.
Emily Thompson membaca teks-teks Buddhis awal yang menggambarkan betapa berisiknya kehidupan di kota besar di Asia Selatan sekitar tahun 500 SM. Ia menggambarkan 'gajah, kuda, kereta, genderang, tabor, kecapi, nyanyian, simbal, gong, dan orang-orang yang berseru 'Makan dan minumlah engkau!' Dalam Epik Gilgamesh, para dewa, saking bosannya dengan para insan yang laguh-lagah, mereka lalu mengirimkan banjir bandang yang memusnahkan kita semua. Lebih dari seabad yang lalu, J. H. Girdner membuat katalog 'Wabah Kebisingan Kota', termasuk kendaraan yang ditarik kuda, penjaja, musisi, binatang, dan lonceng. Jika ada yang namanya omelan yang tiada henti, mungkin itulah kebisingan. Namun, kini ada sesuatu yang berbeda, dari masa mana pun dalam sejarah yang diketahui. Saat ini, suaranya tak cuma berisik. Ada peningkatan stimulasi mental yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Segala sesuatu di alam semesta kita terus bergerak dan bergetar. Bahkan benda yang tampak diam pun, sebenarnya bergetar, berosilasi, beresonansi, pada frekuensi yang berbeda-beda, kata Tam Hunt. Pada akhirnya, seluruh materi hanyalah getaran dari berbagai bidang yang mendasarinya.
Segala sesuatu dalam hidup ini, merupakan getaran. Demikian pula kutipan Albert Einstein yang bernas dan pedih, kendati mungkin apokrif. Terlepas dari apakah sang guru mengatakannya atau tidak, batas-batas ilmu fisika modern menunjukkan bahwa pernyataan itu benar. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Jika hal ini merupakan hakikat realitas, dapatkah segala sesuatu diam secara sempurna? Adakah yang namanya Silence, atau hening, atau lengang?
Konsepsi kita tentang Silence, bukanlah ketiadaan suara sama sekali. Bukanlah ketiadaan pemikiran sama sekali. Ruang antara dan di luar rangsangan pendengaran, informasi, dan internal yang mengganggu kejelasan persepsi dan niat kita. Quiet is whatever someone thinks quiet is. Ada yang namanya Silence. Ia penuh dengan kehidupan dan kemungkinan. Ia secara alami menghuni alam semesta dimana segala sesuatunya berdenyut, berosilasi, dan berdengung.

Noise menyebabkan stres, terutama jika kita kurang atau tak bisa mengendalikannya, jelas Mathias Basner. Tubuh akan mengeluarkan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol yang menyebabkan perubahan komposisi darah kita—dan pembuluh darah kita, yang sebenarnya terbukti menjadi lebih kaku setelah satu malam terpapar Noise.
'Belajarlah dalam kelengangan,' Pythagoras menasihati murid-muridnya. 'Biarkan pikiranmu yang tenang mendengarkan dan menyerap keheningan.' Ada yang bilang Pythagoras orang pertama yang memenuhi panggilan formal filosofis, 'seorang pecinta Hikmah.' Pythagoras memaksudkan sesuatu yang spesifik dengan istilah 'bijak': 'pemahaman tentang sumber atau penyebab segala sesuatu.' Menurut pandangannya, guna memperoleh Hikmah, perlu 'meningkatkan kecerdasan ke suatu titik dimana ia secara intuitif mengenali hal-hal yang tak kasat mata, yang bermanifestasi secara lahiriah melalui hal-hal yang terlihat,' mencapai titik dimana ia bisa menjadi 'mampu membawa dirinya selaras dengan semangat segala sesuatu, bukan dengan semangat bentuknya.' Pythagoras memelopori pemahaman tentang proporsi numerik dan lima benda beraturan dalam geometri, yang masih menjadi konsep dasar dalam matematika modern. Ia menemukan sistem penyetelan musik dimana proporsi frekuensi antar nada didasarkan pada rasio tiga banding dua—sebuah sistem yang oleh banyak pakar dipandang selaras secara unik, dengan proporsi di alam. Pythagoras orang pertama yang membagi bumi menjadi lima zona iklim yang masih digunakan dalam meteorologi hingga kini. Ia dengan tepat mengidentifikasi bintang pagi dan bintang malam sebagai planet yang sama, Venus. Ia secara luas diyakini sebagai orang pertama dalam sejarah yang mengajarkan bahwa Bumi itu bulat, bukan datar.
Mengapa Pythagoras memandang Silence sebagai kunci Hikmah? Mengapa ia mengharuskan murid-murid terdekatnya menghabiskan waktu lima tahun tanpa berbicara sebelum memulai studi formal mereka? Tiada catatan yang diketahui tentang pemikiran pastinya mengenai topik tersebut atau alasan spesifik di balik persyaratan bagi anggota lingkaran sekolah. Tapi mari kita lihat apakah kita bisa memahami alasannya. Dalam retret meditasi, waktu yang lama di alam terbuka, dan periode latihan kontemplatif lainnya dalam Silence, kita mendapatkan beberapa petunjuk. Tentulah, Silence memaksa kita menghadapi diri sendiri. Tanpa gangguan, kita harus belajar bagaimana mengatasi Noise internal kita sendiri. Hal ini memungkinkan kita memahami apa yang sebenarnya terjadi, baik di dalam diri kita maupun di luar diri kita. Tanpa adanya judgement, dugaan, dan kinerja, pikiran berputar secara magnetis, seperti kompas, menuju kebenaran.
Namun kita tak ingin menyatakan bahwa ini merupakan proses yang mudah. Dalam 'hening' yang mendalam, pertama-tama kita membakar tumpukan pola kebiasaan dan bentuk pemikiran serta fantasi dan ambisi, serta nafsu dan khayalan. Dalam 'hening', kita merasakan kehendak yang kuat untuk berlari, melakukan apa pun guna mengisi ruang tersebut.
Agar merasa nyaman dengan keheningan yang mendalam ialah dengan duduk sendirian di ruangan dengan segala ketidaknyamanan dan menarik energi dari bagian-bagian otak—seperti korteks prefrontal medial dan korteks cingulate posterior—yang berspesialisasi dalam melindungi dan menghiasi rasa 'aku' yang berbeda.

Engkau pasti pernah mendengar maksim 'Speech is silvern, Silence is golden,' atau 'Speech is of Time, Silence is of Eternity'. Walau pembicaraan tentang perak dan emas, tentang waktu dan kekekalan, mungkin terdengar seperti perbandingan—seolah-olah yang satu lebih berharga daripada yang lain—kita belum tentu memahaminya seperti itu. Sama seperti perak yang merupakan logam mulia, waktu merupakan pula misteri sakral. Namun waktu adalah sebuah misteri, yang kita sebagai manusia, ukur dan kelola, dengan cara praktis, dalam kehidupan sehari-hari kita. Ucapan, seperti halnya waktu, bersifat imanen. Dan Silence, sama seperti Kelanggengan, bersifat transenden.
Saat ini, di tengah maraknya stimulasi mental, jelas bahwa kita menghadapi kurangnya Silence. Di seluruh dunia, tradisi spiritual dan filosofis menekankan keseimbangan antara ucapan dan diam, sebagai keadaan yang mengalir antar dunia. Kendati tradisi keagamaan seringkali berpendapat bahwa kitab suci tertulis—seperti Alkitab, Alquran, dan sutra Buddha—adalah kesakralan, sebagian besar tradisi keagamaan juga mengakui kekeramatan ruang dimana kata-kata dan konsep larut dalam ketidaktahuan.
Banyak tradisi agama dan filosofi besar tak semata memandang Silence sebagai jalan menuju Hikmah. Dalam praktik kontemplatif terdalam lintas tradisi, kita menemukan pengakuan akan Silence sebagai esensi Hikmah itu sendiri. Rumi menyebut Silence sebagai 'suara Tuhan' dan yang lain sebagai 'terjemahan yang buruk'. Black Elk, seorang ahli pengobatan visioner yang hebat dari masyarakat Oglala Lakhota, bertanya, 'Karena bukankah Silence itu suara dari Jiwa Yang Agung?' Tao Te Ching berkata bahwa 'nama yang bisa engkau ucapkan bukanlah nama sebenarnya,' dan analisis Kabbalah berbicara tentang 'kekosongan yang sunyi dan subur' sebagai 'Sumber' dan 'rahim ilahi segala makhluk.'

Silence sering dilukiskan sebagai ketiadaan suara, namun merupakan pula suara yang amat kuat. Kita menghabiskan banyak waktu mencari kebahagiaan ketika dunia di sekitar kita penuh dengan ketertakjuban. Bisa hidup dan berjalan di bumi merupakan sebuah keajaiban, namun sebagian besar dari kita berlari seolah-olah ada tempat lain yang lebih baik untuk dikunjungi. Ada keindahan yang memanggil kita setiap hari, setiap jam, namun kita jarang berada dalam posisi mendengarkan.
Sekalipun kita berusaha berada di saat ini, banyak dari kita yang terganggu dan merasa hampa, seolah-olah ada ruang hampa di dalam diri kita. Kita mungkin merindukan sesuatu, mengharapkan sesuatu, menunggu sesuatu tiba agar membuat hidup kita sedikit lebih menyenangkan. Kita mengantisipasi sesuatu yang akan mengubah keadaan, lantaran kita melihat situasi saat ini sebagai hal yang membosankan—tiada yang istimewa, tiada yang menarik.
Syarat dasar bagi kita agar bisa mendengar panggilan keindahan itu dan menyikapinya ialah Silence. Jika kita tak punya Silence dalam diri kita—pikiran kita, tubuh kita, dipenuhi oleh Noise—maka kita tak dapat mendengar seruan keindahan.
Dan akhirnya, jika engkau dapat mendengar seruan itu, engkau akan temukan 'Value.'
Kita akan bicarakan 'Value' ini, pada sesi selanjutnya. Bi 'idznillah."

Wulandari belum muncul juga, maka sebelum melangkah ke sesi berikutnya, sang Teratai bersenandung,

As I watched your vision forming
[Saat kulihat visimu terbentuk]
carried away by the moonlight shadow
[terbawa oleh bayang sinar rembulan]
Stars move slowly in a silvery night
[Bintang-bintang bergerak pelan di malam keperakan]
far away on the other side *)
[jauh di seberang sana]
Kutipan & Rujukan:
- Robert Pringle, A Short History of Bali: Indonesia's Hindu Realm, 2004, Allen & Unwin
- Reid Wilson Ph. D., Stopping the Noise in Your Head: The New Way to Overcome Anxiety and Worry, 2016, Biblica
- Justin Zorn & Leigh Marz, Golden: The Power of Silence in a World of Noise, 2022, Harper Wave
- Thich Nhat Hanh, Silence: The Power of Quiet in a World Full of Noise, 2015, HarperOne
*) "The Moonlight Shadow" karya Michael Gordon Oldfield