Kamis, 16 November 2023

Cerita Aloe tentang Politik Kerabat (4)

"Seorang penerima tamu muda, yang belum pernah berpartisipasi dalam sebuah pesta pernikahan, bertanya kepada seorang tamu yang datang, 'Bu, maaf, ibu teman dari calon pengantin pria atau wanita?'
'Oh, aku teman dari keduanya,' jawab sang tamu.
'Maaf, Bu,' jawab sang penerima tamu muda tersebut, 'sekali lagi maaf, ibu seharusnya memlih salah satu dari kedua pihak. Soalnya, aku belum diberitahu, dimana kursi yang netral.'"

"Let's keep going!" seru Aloe. “Tentulah, bakalan timbul pertanyaan, mengapa Dinasti, atau, apa penyebab Politik Dinasti? Salah satu penjelasan atas fenomena dinasti demokrasi, kata Smith, menuding pada dominasi elit dalam kehidupan politik secara lebih umum. Para pakar elit politik dan kekuasaan, telah sejak lama berargumentasi bahwa kelas penguasa suatu masyarakat, dapat melanggengkan statusnya atas massa yang kurang terorganisir, bahkan di dalam negara demokrasi. Di Amerika, dinasti-dinasti yang paling terkemuka mempunyai latar belakang yang kurang lebih sama, yang mungkin dianggap sebagai 'the best butter' dalam politik Amerika.
Di Jepang, merupakan hal yang lumrah bagi anggota dinasti Jepang, bergelar sarjana dari universitas terbaik (atau pernah belajar di luar negeri), dan banyak dari mereka berasal dari latar belakang kaya. Misalnya, kakak-beradik Hatoyama Yukio dan Kunio, merupakan pewaris kekayaan Bridgestone Corporation melalui ibu mereka. Bahkan di negara demokrasi, keluarga elit mungkin terus mendominasi proses politik semata karena keunggulan pendapatan, pendidikan, dan koneksi mereka. Keunggulan-keunggulan ini, bisa dibilang memberi kandidat lama kelebihan dibandingkan kandidat non-warisan dalam membangun karier politik.
Jenis teori dominasi elit dalam politik dinasti ini, teramat mungkin, berkekuatan sangat besar dalam menjelaskan dinasti di negara demokrasi berkembang, dimana elit politik biasanya menikmati standar hidup yang lebih tinggi dibanding konstituennya, dan partai politik memainkan peran yang lebih kecil dalam mengatur dan membiayai persaingan politik. Di Filipina, misalnya, yurisdiksi yang diwakili oleh anggota parlemen lama cenderung dikaitkan dengan kemiskinan yang lebih tinggi, lapangan kerja yang lebih rendah, dan kesenjangan ekonomi yang lebih besar. Sebagian besar dinasti juga tercatat terjadi di negara demokrasi berkembang di Amerika Latin, seperti Meksiko dan Nikaragua, dan di negara demokrasi berkembang di Asia Selatan seperti India dan Bangladesh.

Jika memegang jabatan politik mendatangkan keuntungan pribadi, yang melebihi apa yang dapat diperoleh dari profesi lain, maka boleh jadi, keluarga elit berupaya mempertahankan kekuasaan melalui manipulasi langsung dalam proses pemilu atau seleksi kandidat. Misalnya, Pablo QuerubĂ­n menemukan bahwa batasan masa jabatan di Filipina tak menghentikan keberlangsungan dinasti—sebaliknya, dinasti tersebut dibiarkan menyebar karena politisi cenderung mencari jabatan yang lebih tinggi dan membuat kerabat mereka terpilih menduduki posisi mereka sebelumnya. Pradeep Chhibber melihat suksesi dinasti dalam kepemimpinan partai di India melalui lensa serupa. Ia berpendapat bahwa suksesi kepemimpinan dinasti lebih mungkin terjadi pada partai-partai yang tak punya ikatan organisasi yang lebih luas dengan kelompok-kelompok di masyarakat dan memiliki keuangan partai yang terpusat pada kepemimpinan puncak. Partai-partai yang dipersonalisasi seperti itu, dapat disamakan dengan perusahaan keluarga, yang mempunyai insentif agar tetap mempertahankan kepemimpinan dan kendali atas partai tersebut di dalam keluarga (serta mengetahui adanya penyimpangan keuangan).

Kanchan Chandra berargumen serupa tentang akses terhadap sumber daya negara dan lemahnya kontrol partai atas nominasi, guna menjelaskan kasus di India, namun ia mempertimbangkan bukan hanya pemimpin partainya, melainkan seluruh anggota parlemen yang terpilih di parlemen saat itu. Chandra bercerita bahwa di India, landasan formal pemerintahan dinasti dihapuskan tiga kali seusai India memperoleh kemerdekaan pada tahun 1947, pertama dengan integrasi 'princely states' ke dalam persatuan India, kemudian saat India bahkan memutuskan hubungan simbolis dengan Inggris. memahkotai dengan mendeklarasikan dirinya sebagai republik, dan akhirnya dengan undang-undang yang menghapuskan sistem zamindari, atau kepemilikan lahan secara turun-temurun. Namun dinasti baru muncul melalui proses demokrasi, menggantikan dinasti yang tersingkir. Kini, pada abad kedua puluh satu, rata-rata sekitar seperempat anggota parlemen di majelis rendah parlemen India (Lok Sabha) yang dipilih secara langsung, berlatar-belakang dinasti: 20% di parlemen tahun 2004, 30% di parlemen tahun 2009, dan 22% di parlemen tahun 2014.
'Dinasti-dinasti demokratis' ini, kata Chandra, merupakan fenomena modern, yang berbeda dari aristokrasi tradisional dalam satu hal utama: ketergantungan mereka pada dukungan pemilu. Dalam aristokrasi tradisional, asal kelahiran sudahlah cukup menjamin diendors. Namun dalam aristokrasi demokratis, anggotanya, mesti pulak menang pemilu.

Chandra berpendapat bahwa dinasti-dinasti demokratis ini, bukan merupakan hasil dari kecenderungan budaya terhadap politik berbasis keluarga, melainkan hasil dari tingginya keuntungan yang diperoleh dari jabatan negara dan kelemahan organisasi partai politik. Ia kemudian berpendapat bahwa pengaruh politik dinasti terhadap demokrasi, beragam. Hal ini memperkuat beberapa bentuk eksklusi sekaligus menciptakan peluang inklusi. Namun, baik eksklusi maupun inklusi bukanlah hasil dari properti yang melekat pada dinasti politik, melainkan hasil dari lingkungan kelembagaan dimana politik dinasti muncul di India. Dinasti, bisa jadi, tak muncul sama sekali di negara-negara demokrasi yang struktur institusinya berbeda, dan jika ada, dinasti mungkin berdampak yang berbeda terhadap politik demokrasi.
Politik dinasti di India, tersebar luas di berbagai wilayah. Daerah pemilihan di seluruh wilayah utama India telah mengirimkan sejumlah besar anggota dinasti parlement ke parlemen, dengan tingkat dinasti yang berbeda-beda antar wilayah dan pemilihan umum. Pada pemilu tahun 2004 dan 2009, wilayah Barat Laut secara menonjol lebih dinamis dibandingkan wilayah lainnya. Namun pada tahun 2014, semua wilayah kecuali wilayah Barat, mengirimkan anggota parlemen dinasti dengan persentase yang kira-kira sama ke parlemen. Selanjutnya, beberapa daerah pemilihan di banyak daerah, seperti yang akan saya bahas nanti, beralih dari anggota parlemen dari dinasti ke non-dinasti dan kembali lagi pada pemilu. Anggota parlemen dinasti dipilih dari daerah pemilihan 'umum' dan 'cadangan', meskipun terdapat variasi yang cukup berarti dalam dinasti di antara daerah pemilihan tersebut. Anggota parlemen dinasti, ditemukan pula dalam proporsi yang berarti di seluruh kategori gender. Yang terakhir, anggota parlemen berdasarkan dinasti, tersebar di seluruh kategori etnis, dengan tingkat dinasti yang berbeda-beda di antara mereka.

Di Indonesia, Zaldi Rusnaedy menjelaskan, bahwa kemunculan fenomena dinasti politik ditandai dengan partisipasi suami, istri, anak, dan kerabat petahana lainnya dalam kancah politik, baik pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, maupun penempatan jabatan penting lainnya. Meningkatnya kekuatan dinasti politik menunjukkan gejala yang disebut neopatrimonialisme, yakni raja-raja kecil di daerah semakin memperluas kekuasaan politiknya melalui jaringan kekerabatan. Zaldi berpendapat bahwa dinasti politik merupakan upaya melanggengkan kekuasaan dengan melibatkan anggota keluarga (atas, samping, dan bawah) demi menduduki jabatan politik yang sama atau berbeda. Dinasti politik terjadi oleh sebab petahana mengalami 'post power syndrome' dan 'status quo,' lantaran tak mau kehilangan jabatannya. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya menutupi 'beberapa borok' pada masa kepemimpinan sang petahana, sehingga jika ada anggota 'kerabat' yang terpilih, itu dapat ditutupi.
Lebih lanjut, Zaldi menuturkan, akar sejarah feodalisme dan tradisi kerajaan-kerajaan di Indonesia menjadi penyebab lain maraknya dinasti politik. Transformasi dari era kerajaan ke era demokrasi menyisakan berbagai permasalahan. Keengganan melepaskan kekuasaan yang dimiliki para 'grandparents' sebelumnya sebagai penguasa kerajaan, memicu anggota keluarga agar melanjutkan kekuasaan tersebut. Sindrom pasca kekuasaan dan status quo menggambarkan bahwa tradisi feodalisme dan kerajaan, sungguh tak dapat dihilangkan dalam sistem politik modern kita. Kedua hal tersebut, lalu bertransformasi di era demokrasi dengan membentuk kerajaan politik modern, yang kemudian kita kenal sebagai dinasti politik.
Zaldi menambahkan pula, maraknya tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan praktik dinasti politik, dan diperkuat dengan beberapa dinasti politik yang melakukan tindakan korupsi. Oleh karenanya, bebarapa analis politik selalu mengaitkan dinasti politik dan korupsi, punya titik irisan yang baplang. Dinasti politik berpotensi lebih kuat melakukan tindakan korupsi, ketimbang non-dinasti.

Ada beberapa teori yang dapat dikaitkan dengan politik dinasti. Robert A. Dahl memandang kesetaraan politik sebagai ciri khas sistem politik demokratis. Pada saat yang sama, ia menyadari bahwa pasti ada distribusi 'sumber daya politik' yang tak merata di masyarakat mana pun, yang pada gilirannya, akan mengakibatkan perbedaan dalam sejauh mana individu dapat memperoleh pengaruh politik. Fakta mendasar ini, arkian menimbulkan pertanyaan berikut, 'Sumber daya politik' macam apa yang seyogyanya menentukan akses terhadap pengaruh politik? Teori demokrasi tak memberi kita jawaban pasti atas pertanyaan ini. Namun, konsekuensi logis dari banyak teori keadilan distributif dan kesetaraan politik adalah, bahwa sumber daya politik yang bukan merupakan produk dari tindakan atau keputusan individu, tak boleh menentukan akses terhadap pengaruh politik. Sebaliknya, jika seseorang memperoleh jabatan publik dengan mengambil tindakan yang disengaja guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan politiknya, jalan menuju kekuasaan ini akan sesuai dengan jenis kesetaraan politik yang, menurut teori-teori ini, semestinya ada dalam masyarakat.
Apa implikasi normatif teori-teori ini terhadap politik dinasti? Salah satu implikasi yang dikemukakan, kata Anjali Thomas Bohlken, ialah keberadaan dinasti di ranah politik tak serta merta melanggar prinsip kesetaraan politik. Faktanya, jika mereka yang punya hubungan kerabat dalam politik, berkecenderungan yang lebih besar memperoleh pengetahuan dan keterampilan, yang memungkinkan mereka memperoleh pengaruh publik, maka prevalensi politisi yang berhubungan kerabat dalam politik, mungkin sangat sesuai dengan cita-cita kesetaraan politik.
Namun, yang secara normatif akan menjadi masalah, jika individu-individu yang punya hubungan kekerabatan dalam politik, berpeluang lebih besar mencapai keberhasilan dalam arena politik ketimbang individu lain, tanpa menaiki tangga institusional, serta memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam perjalanan tersebut.
Mempertanyakan dapatkah dinasti memperoleh kekuasaan tanpa melalui jalur masuk yang 'normal', yang seyogyanya dilalui oleh non-dinasti, berimplikasi praktis pula. Seorang politisi yang beroleh jabatan politik semata oleh hubungan kekerabatan, boleh jadi, kurang mampu menjalankan tugasnya dengan baik sebab mereka tak punya keterampilan atau latar belakang yang mungkin dimiliki oleh seorang politisi, yang 'secara sah mendapatkan' jabatannya.

Hendry C. Hart berpendapat bahwa pemimpin yang beroleh kekuasaan di eselon atas hierarki politik dengan menaiki tangga institusional, cenderung berkualitas yang lebih tinggi dibanding pemimpin yang beroleh kekuasaan melalui suksesi dinasti lantaran kelompok pemimpin sebelumnya, perlu menunjukkan orientasi tertentu. dan keterampilan guna mengambil setiap langkah menaiki tangga. Para pemimpin yang mengambil jalur ini, cenderung merupakan 'orang dalam' yang lambat laun menjadi lebih sadar akan 'aturan main' kala mereka menduduki jabatan dalam hierarki politik. Karenanya, para pemimpin ini, cenderung berorientasi tertentu, yang menjadikan mereka pemimpin yang efektif, seperti menghargai 'perlunya organisasi partai yang kuat agar menjangkau para pemilih' dan 'staf dan prosedur birokrasi yang mampu memberikan layanan dan melaksanakan kebijakan hingga pelaksanaannya'. Oleh setiap jenjang jabatan bersifat kompetitif, jalur menuju kekuasaan ini, juga dapat memberikan pemimpin tersebut lebih banyak legitimasi bagi jebatan tersebut di antara para pesaing lainnya. Jika karakterisasi jalur institusional menuju kekuasaan ini, akurat, dan jika para dinasti cenderung mampu menghindari jalur institusional atau jalur internal menuju kekuasaan politik, maka dinasti akan cenderung pula mengalami kekurangan pengetahuan dan keterampilan politik. dan legitimasi dibanding dengan politisi lainnya.
Patrick French memaparkan pidato Rahul Gandhi pada pertemuan mahasiswa di Madhya Pradesh sebagai berikut, 'Ada tiga-empat cara agar masuk ke dunia politik.... 'Pertama, jika punya uang dan kekuasaan. Kedua, melalui hubungan keluarga. Akulah contohnya. Ketiga, jika mengenal seseorang di bidang politik. Dan keempat, dengan bekerja keras demi rakyat.' Pernyataan Rahul Gandhi, yang mengaku dirinya seorang dinasti politik, mencerminkan persepsi umum bahwa ikatan dinasti dapat berfungsi sebagai pengganti cara-cara lain agar masuk ke dalam politik seperti kekayaan, koneksi, atau pengalaman politik. Kendati kita tak dapat memastikan apa yang hendak disampaikan Rahul Gandhi melalui pernyataan ini, salah satu pemahamannya bahwa, ikatan dinasti hendaklah berfungsi sebagai pengganti pengalaman politik agar menjadi anggota parlemen, namun ikatan keluarga semata salah satu cara yang dapat dicapai seorang anggota parlemen bagi kesuksesan politiknya, tanpa perlu 'bekerja keras demi rakyat'.

Bagaimana dengan batasan usia? Dalam penelitian Bohlken, angka usia menunjukkan apa yang dapat dikonstruksikan sebagai aspek positif dari politik dinasti—bahwa hal ini membawa generasi muda ke dalam ranah politik nasional yang kemungkinan besar akan membawa serta ide-ide dan keterampilan baru. Kendati politik dinasti bertanggungjawab dalam menghasilkan parlemen yang lebih muda, hal ini belum tentu merupakan keuntungan yang wajar, dan bahkan mungkin, bisa menjadi beban-kerugian.

Nah, bagaimana pun 'bolak-balik' dicari pembenarannya, selalu saja ada argumen beserta pembuktian, membantah Politik Dinasti. Thomas Pain berkata, 'Namun yang menjadi perhatian umat manusia bukanlah kemustahilan, melainkan keburukan suksesi turun-temurun. Jika hal ini menjamin adanya ras manusia yang baik dan bijak, maka hal tersebut bermeteraikan Otoritas Ilahi, namun karena hal ini membuka pintu bagi orang-orang yang ahmak, bangpak, dan tak layak, maka hal tersebut bersifat zalim. Orang yang menganggap dirinya dilahirkan memerintah, dan orang lain menaatinya, akan segera menjadi gak-waras; dipilih dari umat manusia lainnya, pikiran mereka sejak dini diracuni oleh kepentingan; dan dunia dimana mereka bertindak, sangat berbeda dari dunia pada umumnya, sehingga mereka hanya punya sedikit kesempatan memahami kepentingan sebenarnya, dan di saat mereka berhasil, pemerintahannya acapkali menjadi yang terbebal dan tak cakap, di sepanjang masa kekuasaannya.'
Wallahu a'lam.”

Malam semakin larut, namun pesta baru saja dimulai, dan anggur sudah dituangkan. Aloe dan Wulandari mengakhiri podcastnya, dan berbarengan, mereka melagukan sebuah tembang dari negeri Dayak,

Tagal haranan duit dan jabatan
[Hanya karena duit dan jabatan]
Balalu cinta mu bapindah pilihan
[Lalu cintamu berpindah pilihan]
Aku je susah, kalah saingan
[Aku yang susah, kalah saingan]
Tasingkir mundur, buhau kan saran ***)
[Tersingkir mundur, mojok ke samping]
Kutipan & Rujukan:
- Claude Chidamian, The Book of Cacti and Other Succulents, 1984, Timber Press
- Linda Brand (Ed.), Cactus and Succulents, 1978, Lane Publishing
- Akshay Chopra, The Magic of Aloevera, 2021, We R Stupid
- Zaldy Rusnaedy, Dinasti Politik di Aras Lokal, 2020, Deepublish
- Kanchan Chandra (Ed.), Democratic Dynasties: State, Party and Family in Contemporary Indians Politics, 2016, Cambridge University Press
- Daniel M. Smith, Dynasties and Democracy: The Inherited Incumbency Advantage in Japan, 2018, Stanford University Press
- Stephen Hess, America's Political Dynasties, 1997, Routledges
*) "Jangan Bicara" karya Iwan Fals
**) "Jangan Ada Dusta di Antara Kita" karya Harry Tasman
***) "Malihi Janji" karya Dian P Angga & Adv Habibi B.A, SH.

[Sesi 3]
[Sesi 1]