Senin, 20 November 2023

Obrolan sang Teratai : Noise

"Suatu malam, usai santap bersama keluarga, tiga generasi sedang duduk-duduk ngobrol. Cucu perempuan berusia empat tahun, sedang duduk di pangkuan kakeknya. Dengan kiyut, ia bertanya, 'Eyang, bisakah eyang bersuara bising seperti kodok?'
Sang kakek terpana, 'Apah?'
Sang cucu kembali bertanya, 'Bisakah eyang bersuara bising seperti kodok?'
Sang kakek berkata, 'Kenapa minta eyang bersuara seperti itu, nduk?'
Sang cucu menjawab, 'Soalnya, tadi malam bapak ngomong, kalau eyang 'ngerok', kita semua bisa pergi ke Disneyland,'" bunga Teratai memulai percakapan, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.

“Nah, di sinilah aku,” kata sang Teratai, “duduk di atas kolam menunggu Wulandari, sang Rembulan. Saat ini, waktu ‘Sanja’, kata orang Bali, waktu setengah gelap seusai 'sunset'. Aku bisa melihat dengan jelas dari sini, di sana, Pure Tanah Lot, 'home to the ancient Hindu', Sanja mulai bersalin. Tapi kemana Wulandari, ia belum tampak? Adakah sesuatu yang terjadi padanya?
Anything can happen. 'Lightning could strike!' kata Brad Pitt saat berjumpa dengan sang dokter cantik. 'Everything that can happen, does happen,' kata Brian Cox dan Jeff Forshaw kala bercakap tentang 'the Quantum Universe'. 'Banyak masalah terlalu rumit dipecahkan dalam satu lompatan mental, dan pemahaman mendalam, jarang muncul dalam momen 'eureka',' kata mereka lagi.
Cox dan Forshaw bilang—saat mengulas mengapa E=mc2—bahwa jarak dalam ruang-waktu merupakan invarian, yang bermakna, terdapat konsensus di seluruh alam semesta mengenai panjang jalur melalui ruang-waktu. Para Fisikawan sangat menuntut persamaan fundamentalnya, sebab mereka ngotot bahwa semua orang di alam semesta, semestinta menyetujui persamaan tersebut. Namun, sebagai ilmuwan yang baik, kita hendaklah selalu mengakui bahwa alam tak ragu mengejutkan kita, dan nyatanya, memang demikian. Segala sesuatu yang ada, boleh jadi, ada dalam ruang-waktu, maka, di kala kita menuliskan sebuah persamaan—semisal persamaan yang menggambarkan bagaimana suatu benda berinteraksi dengan lingkungannya—maka kita seyogyanya menemukan cara menyatakan persamaan itu secara matematis, menggunakan besaran invarian. Hanya dengan cara inilah, semua insan di alam semesta, bakalan sepakat.
Cox dan Forshaw lebih lanjut menuturkan, 'Contoh yang baik ialah dengan memperhatikan panjang seutas tali. Kita dapat melihat bahwa kendati seutas tali merupakan benda yang bermakna, kita sebaiknya menghindari menuliskan persamaan yang semata membahas panjangnya dalam ruang. Sebaliknya, kita hendaklah lebih ambisius dan membicarakan panjangnya ruang-waktu, sebab itulah cara ruang-waktu. Tentu saja, bagi fisikawan yang menetap di bumi, akan lebih mudah jika menggunakan persamaan yang menyatakan hubungan antara panjang di ruang angkasa dan hal-hal sejenis lainnya—tentu saja para insinyur menganggap cara seperti itu, amat berguna. Cara yang benar melihat persamaan yang cuma menggunakan panjang dalam ruang atau waktu yang diukur dengan jam adalah bahwa persamaan tersebut, merupakan perkiraan yang valid jika kita berhadapan dengan objek yang bergerak sangat lambat, relatif terhadap batas kecepatan kosmik, yang biasanya (namun tak selalu) berlaku bagi masalah teknik sehari-hari. Contoh yang telah kita temui dimana hal ini tidaklah benar, adalah akselerator partikel, dimana partikel subatom berputar-putar dengan kecepatan yang sangat mendekati kecepatan cahaya, dan sebagai hasilnya, mereka hidup lebih lama. Jika pengaruh teori Einstein tak diperhitungkan, akselerator partikel akan berhenti bekerja dengan baik. Fisika fundamental adalah tentang pencarian persamaan fundamental, dan itu berarti hanya bekerja dengan representasi matematis dari objek yang bermakna universal dalam ruang-waktu. Pandangan lama tentang ruang dan waktu sebagai sesuatu yang berbeda, mengarah pada cara memandang dunia yang mirip dengan mencoba menonton sandiwara panggung dengan hanya melihat bayangan yang ditimbulkan oleh lampu sorot di atas panggung. Urusan yang sebenarnya, melibatkan aktor tiga dimensi yang bergerak dan bayangan menangkap proyeksi dua dimensi dari drama tersebut. Dengan hadirnya konsep ruang-waktu, kita akhirnya mampu mengangkat pandangan kita dari bayang-bayang. Segala pembicaraan tentang objek di ruang-waktu, mungkin terdengar agak abstrak, tapi, ada benarnya.'

Dan kini, Sanja telah beranjak pergi, datanglah Malam menemaniku. Dan melewati ruang-waktu bersama sang Malam, aku tak perlu menggunakan uraian Cox dan Forshaw yang rada syulit, lantaran pada ujungnya, segala kesimpulan tetap berpulang kepada 'Sunnatullah', kendati mereka menjelaskannya dengan 'scientific explanation'.
Aku tak begitu tahu seperti apa ruang-waktu itu, yang kutahu, bahwa melihat Malam itu, ibarat memicingkan mata melihat sebuah lukisan: mengapanya, kapannya, bagaimananya, apanya dan untuk apanya. Melewati Malam itu, aku bakalan menemukan tiga hal: Noise, Silence, dan Value. Itulah sebabnya, Malam memperbaiki apa yang telah terjadi di Siang-hari. Lalu esoknya, akan ada yang baru, ada yang berubah.
Berjalan bersama sang Malam, pertama-tama akan muncul rasa-takut. Rasa-takut itu, beragam. Ada yang takut akan kehilangan, ada yang takut akan kenyataan, ada yang takut akan makhluk garib, dan masih banyak lagi. Semua ini, akan menghasilkan 'Noise' [gaduh, bising, berisik, hiruk-pikuk, laguh-lagah, hingar-bingar, dsbnya]. Noise biasanya, tak dikehendaki, boleh jadi, sebuah penolakan. Kita mungkin menghabiskan 99,9 persen waktu kita, mengkhawatirkan hal-hal keseharian—kenyamanan materi dan persoalan afektif—dan hal ini dapat dipahami, sebab kita memang perlu memenuhi kebutuhan dasar kita, agar merasa aman. Namun banyak di antara kita yang galau, jauh melebihi terpenuhinya kebutuhan kita. Secara fisik kita aman, rasa lapar kita terpuaskan, kita punya tempat tinggal, dan kita punya keluarga yang penuh kasih-sayang; dan kita masih saja, merasa was-was.

Konon, Noise itu, kata lain dari suara. Thich Nhat Hanh, seorang biksu Buddha asal Vietnam, berkata bahwa 'Everything begins with the sound.' Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Awalokiteswara berkemampuan mendengarkan segala jenis suara. Ia dapat pula mengeluarkan lima jenis suara berbeda yang mampu memulihkan sang mayapada.
Yang pertama, Suara menakjubkan, suara ajib kehidupan yang memanggilmu. Suara ini, suara unggas, suara hujan, dan sebagainya.
Suara kedua, Suara yang mengamati dunia. Inilah suara mendengarkan, suara keheningan.
Suara ketiga, Suara Transendental, yang bersejarah panjang dalam pemikiran spiritual India. Tradisinya ialah suara berkekuatan bawaan untuk menciptakan dunia. Ceritanya, kosmos, dunia, alam semesta tercipta oleh suara. Injil Yohanes punya gagasan yang sama, 'Pada mulanya ada firman' (Yohanes 1:1). Menurut Weda, kitab Hindu tertua, sabda penciptaan dunia ini, a mystic syllable, mantra mistis 'om.' Dalam tradisi Veda India, suara inilah Realitas atau 'Zat' tertinggi, yakni Sang Ilahi. Dalam perspektif Islam, tatkala Allah menciptakan Al-Qalam (pena takdir), Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman, 'Tulislah segala yang akan terjadi!'
Banyak astronom modern meyakini hal serupa. Mereka telah mencari permulaan waktu, permulaan kosmos, dan berhipotesis bahwa permulaan alam semesta merupakan 'big bang'.
Suara keempat, Suara pasang-surut. Suara ini, suara simbolis, yang dapat menghilangkan kesalahpahaman, melenyapkan penderitaan, dan mengubah segalanya. Ia semerawang dan mengena.
Suara kelima, Suara yang melampaui segala suara di Dunia. Inilah bunyi ketidakkekalan, sebuah pengingat agar kita tak terjebak atau terlalu terikat pada kata atau bunyi tertentu.
Jika engkau dapat menemukan 'Silence'—hening, bening, lengang, tenang, sepi, sunyi, senyap, diam; you can choose it whatever you like—dalam dirimu, engkau dapat mendengar kelima suara ini.

Nah, itulah sudut pandang Thich Nhat Hanh. Sudut pandang lain dihaturkan Cecile Malaspina. Ia menulis bahwa penggunaan kata Noise, dengan tanda petik, telah menjadi hal yang lumrah, dalam sejumlah konteks yang tak berkaitan dengan suara, seringkali bertentangan dengan informasi. Oleh karenanya, bukan 'Noise' bursa saham yang menarik perhatian kita tatkala kita berbicara tentang 'Noise' di bidang keuangan, namun ketakpastian terkait dengan variasi acak di bursa saham. 'Noise' telah menjadi sebuah konsep intrinsik dalam analisis statistik variabilitas data di hampir setiap domain penyelidikan empiris. Bahkan akustik dapat dikatakan baru muncul sepenuhnya pada tahun 1950-an, ketika 'Noise' dapat direpresentasikan sebagai grafik frekuensi dan amplitudo perubahan sinyal sementara seiring waktu. Bahwa kedua dimensi konseptualisasi 'Noise' ini, sebagai suara dan sebagai variasi acak, saling berbicara tanpa dapat direduksi.
Noise selalu, kata Malaspina, tampak menempati posisi negatif dalam dikotomi, baik dalam keteraturan dan ketidakteraturan, dalam kerja fisik dan penyebaran energi dalam keadaan entropi, atau dalam keadaan normal dan abnormal. Dengan kata lain, kebisingan paling baik diasosiasikan dengan tak adanya ketertiban,di tempat kerja, atau ketiadaan norma—baik itu norma statistik, moral atau estetika—dan yang paling buruk, Noise diidentifikasi sebagai ancaman terhadap norma dan bersifat subversif terhadap pekerjaan dan urutan: gangguan, hilangnya energi yang tersedia untuk bekerja, sebuah parasit. Dengan demikian, Noise merupakan sebuah kata yang secara implisit berperan dalam keseluruhan daftar gagasan, ide, dan konsep, serta melakukannya dengan memobilisasi daftar linguistik, sejarah, sosiopolitik, dan tak terkecuali, seluruh daftar epistemologis.

Daniel Kahneman, Olivier Sibony, dan Cass R. Sunstein berpendapat bahwa Noise merupakan sebuah cacat dalam 'judgement' kita. Ada judgement yang bersifat bias; yang secara sistematis melenceng dari sasaran. Judgement lainnya cukup 'noisy,' lantaran orang-orang yang diharapkan sepakat, berakhir pada titik yang jauh dari sasaran. Sayang, banyak organisasi yang terkena dampak Bias dan Noise. Sifat umum Noise ialah engkau dapat mengenali dan mengukurnya tanpa mengetahui apa pun tentang target atau biasnya. Saat dokter menawarkan diagnosis yang berbeda bagi pasien yang sama, kita dapat mempelajari ketidaksepakatan mereka tanpa mengetahui apa yang membuat pasien sakit. Kala para eksekutif film memperkirakan pasar sebuah film, kita dapat mempelajari variabilitas jawaban mereka tanpa mengetahui seberapa besar produksi film tersebut atau bahkan apakah film tersebut diproduksi. Bias-lah bintang pertunjukannya. Noise sedikit terdengar, biasanya di luar panggung. Kita tak perlu tahu siapa yang benar mengukur seberapa besar perbedaan putusan dalam kasus yang sama. Yang hendaklah kita lakukan guna mengukur Noise ialah melihat bagian belakang target. Dalam pengambilan keputusan di dunia nyata, jumlah Noise seringkali sangat tinggi.
Lantas, berapa tingkat Noise yang tepat? Level yang tepat bukanlah nol. Di beberapa area, menghilangkan Noise tak mungkin dilakukan. Di area lain, biayanya terlalu mahal. Di area lainnya lagi, upaya mengurangi Noise akan mengkompromikan nilai-nilai penting yang beradu.

Kemudian, menjelajahi Malam, kukan temukan 'Nightlife' ... 'Kehidupan Malam'. Berbagai aktivitas ada di sini. Tapi, mengapa kita hendaklah peduli dengan Malam, apalagi Kehidupan Malam? Jordi Nofre dan Adam Eldridge berpendapat bahwa ketakutan akan hilangnya langit malam karena penerangan yang berlebihan, hilangnya tempat hiburan malam, atau semakin kaburnya batas-batas yang memisahkan siang dan malam, telah menjadi bahan perdebatan yang umum dan banyak disampaikan kepada kita tentang apa seharusnya malam itu dan untuk siapa: waktu bermain, istirahat, bekerja, atau gelap, semuanya merupakan wacana yang sama-sama berapit tentang kota di saat temaram. Paling tidak, hanya ada sedikit bukti bahwa kehidupan malam ada di luar beberapa jalan utama di sebagian besar kota, dan penelitiannya sendiri cuma menemukan sedikit bukti yang menunjukkan adanya perluasan lapangan kerja di malam hari.
Kita mungkin keliru karena berasumsi bahwa pusat-pusat kota di negara-negara yang disebut negara maju, di negara-negara Barat, terbuka dan ramai selama dua puluh empat jam sehari, dan ini terjadi semata lantaran kita bisa minum, berjoget, atau berbelanja sepanjang waktu.
Saat kita memasuki malam hari, pilihan yang ditawarkan semakin berkurang, dan kota menyusut dan tampak mengembun menjadi beberapa kelompok jalan dimana kita menemukan konsentrasi pencahayaan dan animasi. Kota-kota yang sering dicirikan sebagai 24/7 [dua puluh empat jam sehari dalam seminggu; sepanjang hari] akan lebih tepat disebut sebagai 24/2 [persediaan untuk dua produk selama 24 jam]. Di banyak kota, mungkin benar bahwa malam hari merupakan waktu dimana kebanyakan orang tidur atau melakukan tugas rumah tangga. Malam itu mahal, dan rasa keberagaman sosial dan generasi, hanyalah sebuah ilusi.

Malam perkotaan masih diartikulasikan dengan rasa takut dan risiko, namun diartikulasikan pula dengan modernitas, kemajuan, kosmopolitanisme, dan urbanitas. London telah memiliki layanan bus malam selama lebih dari satu abad, namun ketika jaringan kereta bawah tanah kota ini dibuka sepanjang malam pada akhir pekan pada tahun 2016, timbul rasa bangga, perasaan bahwa London akhirnya bergabung dengan kota-kota modern penting lainnya seperti Tokyo atau New York. Kemampuan berbelanja, mengunjungi gym, mengikuti kelas malam, atau potong rambut sepertinya sudah menjadi penanda kemajuan dan modernitas masa kini.
Tak hanya di London, Nihad H. Čengić dan Jordi Martín-Díaz memaparkan bahwa perekonomian petang dan malam di Sarajevo pasca-sosialis, telah meluas dan berkembang sejak berakhirnya Perang Bosnia (1992–1995). Hal ini disebabkan oleh gabungan praktik ekonomi sosialis dan kebijakan liberalisasi yang dipromosikan oleh aktor-aktor internasional yang melakukan intervensi dalam misi pembangunan perdamaian. Ibu kota Bosnia menjadi tuan rumah bagi sebagian besar organisasi internasional yang beroperasi di negara tersebut selama dan setelah perang, dan kehadiran sejumlah tentara internasional, diplomat, pembuat kebijakan, dan aktor asing lainnya mendukung perluasan dan komoditisasi kehidupan malam.
Tahun 1970-an dan 1980-an menjadi saksi berkembangnya rekreasi malam hari di Sarajevo. Sementara di banyak kota-kota kapitalis di Eropa Barat, terjadi proses ekspansi dan komoditisasi rekreasi kaum muda yang cepat dan intens selama Swinging Sixties, kota-kota sosialis menunjukkan perbedaan besar dalam konsepsi, makna dan semiotika ‘waktu senggang’.
Malam ini penting karena alasan di luar manfaat pasar apa pun yang mungkin ditimbulkannya; ada ruang-ruang, tempat-tempat dan jaringan-jaringan yang beroperasi pada malam hari dimana kita merasa memiliki tempat-tempat yang penting bagi pembentukan identitas kita, bagi munculnya gerakan-gerakan politik, bagi bersosialisasi dan bersenang-senang. Baik mengacu pada tempat-tempat yang terkait dengan komunitas etnis minoritas, atau pub lokal, kehidupan malam berfungsi sebagai konteks berbagai gerakan sosial, politik, dan budaya. Bila tempat atau bahkan seluruh area terancam, rasanya seolah-olah sebagian dari biografi kita terhapus. Tanpa ingin melukiskan gambaran yang terlalu romantis tentang malam itu, mungkin ada saatnya malam itu, serasa tak terlalu dikomodifikasi dan direduksi menjadi wacana dan alasan yang didorong oleh pasar.

Selama dua dekade terakhir, sebagian besar penelitian mengenai konsumsi alkohol, tercatat dalam konteks meningkatnya perekonomian malam hari, yang cenderung berfokus pada wilayah perkotaan, tulis Samantha Wilson. Walau penelitian telah dilakukan terhadap wilayah peminum alkohol di pedesaan, tujuan liburan, dan kebiasaan minum di rumah, sangat sedikit penelitian yang membahas tentang praktik minum minuman beralkohol di tempat umum di pinggiran kota, khususnya di kalangan generasi muda. Atmosfer sensorik tertentu yang terdiri dari penciuman, cahaya dan kegelapan, suara dan suhu sangat penting bagi pilihan minuman anak muda di pinggiran kota. Kaum muda tidaklah pasif terhadap suasana seperti itu; mereka agen aktif yang punya kapasitas menciptakan lingkungan minuman, praktik minum, dan pengalaman minum mereka sendiri.
Tempat rekreasi seperti klub malam, sejak tahun 1990an, telah menjadi tempat istimewa bagi penggunaan narkoba dan eksperimen di kalangan anak muda. Terdapat bukti bahwa penggunaan narkoba lebih tinggi pada kelompok demografi tertentu dan bahwa klub narkoba memainkan peran penting dalam sosialisasi remaja.
Kondisi ekonomi, sosial, politik, iklim, dan fasilitas perkotaan, mempengaruhi cara masyarakat memanfaatkan kota, baik sebelum maupun pada saat malam-temaram. Kehidupan malam telah menjadi sebuah industri, seperti halnya orang-orang yang pernah bekerja di kehidupan malam—memakai istilah seperti 'industry night' dan ajukan pertanyaan seperti, 'Berkecimpungkah engkau dalam industri ini?' buat menegosiasikan status, orang dalam atau orang luar. 'Civilization has a tendency to repeat its own mistakes,' kata Kevin Tucker.

Kemudian, usai memintasi 'Noise', aku akan sampai pada tahap Silence. Akan kita percakapkan 'Silence' ini, pada sesi berikutnya. Bi 'idznillah."

Selagi menanti sang Rembulan yang belum juga datang, sang Teratai bersenandung,

I wanna know, have you ever seen the rain?
[Kuingin tahu, pernahkah engkau melihat hujan?]
I wanna know, have you ever seen the rain,
[Kuingin tahu, pernahkah engkau melihat hujan,]
coming down on a sunny day? *)
[yang turun di hari yang cerah?]
Kutipan & Rujukan:
- Brian Cox & Jeff Forshaw, The Quantum Universe (And Why Anything Can Happen, Does), 2011, DaCapo Press
- Brian Cox & Jeff Forshaw, Why E=mc2 (And Why We Should Care?), 2009, DaCapo Press
- Brian Cox & Andrew Cohen, Forces of Nature, 2017, William Collins
- Thich Nhat Hanh, Silence: The Power of Quiet in a World Full of Noise, 2015, HarperOne
- Cecile Malaspina, An Epistomology of Noise, 2018, Bloomsbury Academic
- Daniel Kahneman, Olivier Sibony, and Cass R. Sunstein, Noise: A Flaw in Human Judgement, 2021, Little, Brown Spark
- Jordi Nofre & Adam Eldridge (Ed.), Exploring Nightlife: Space, Society and Governance, 2018, Rowman & Littlefield International Ltd
- Kenneth Sebastian León, Corrupt Capital: Alcohol, Nightlife, and Crimes of the Powerful, 2021, Routledge
*) "Have You Ever Seen the Rain" karya John Cameron Fogerty