“Putri seorang produser film yang tajir melintir, di sekolahnya, diminta agar menulis cerita tentang kerabat miskin. Esainya dimulai dengan, 'Alkisah, ada sebuah keluarga miskin. Mams-nya miskin. Daddy-nya miskin. Anak-anak-nya miskin. Uncle-nya miskin. Aunty-nya miskin. Menantunya miskin. Kepala pelayannya miskin. Sopirnya miskin. Kokinya miskin. ART-nya miskin. Tukang kebunnya miskin. Body guard-nya miskin. Pokoknya, semuanya miskiin deh!'" Aloe memulai hikayatnya.
Lalu ia berkata, "Thanks for having me, Wulan! Nah, Wulan telah bercerita tentang Keluarga Kaktus dan Sukulen. Sekarang aku menggarisbawahi tentang kata 'keluarga'. Dalam dunia politik, biasanya, yang dianggap sebagai antitesis dari demokrasi ialah Political Family, dirujuk pula sebagai Political Dynasty, atau, Kanchan Chandra menyebutnya Dynastic Politics (Politik Dinasti). Akar Politik Dinasti setidaknya terletak pada institusi demokrasi modern—negara dan partai politik—yang memberikan keluarga politik mendapat keuntungan dalam proses pemilu.
Sebagai ilustrasi, perkenankan aku menyampaikan apa yang ditulis Daniel M. Smith. Pada tanggal 1 April 2000, Perdana Menteri Obuchi Keizō dari Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang yang berkuasa cukup lama, menderita stroke mendadak pada usia enam puluh dua tahun dan kemudian meninggal setelah koma selama sebulan. Sebagai perdana menteri, Obuchi digambarkan memiliki 'semua piza dari pizza yang dingin' lantaran kepribadian dan gayanya yang lembut. Namun, sebagai kandidat Dewan Perwakilan Rakyat, majelis rendah dan berkuasa di parlemen bikameral Jepang, yaitu the National Diet, ia sangat sukses. Ayah Obuchi pernah menjadi anggota parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat Distrik ke-3 Prefektur Gunma hingga kematiannya pada tahun 1958. Pada tahun 1963, pada usia dua puluh enam tahun, Obuchi mencalonkan diri bagi kursi lama ayahnya dan memenangkan pemilihan pertamanya. Ia lantas memenangkan sebelas kemenangan berturut-turut dalam pemilihan ulang, dan memperoleh lebih dari 70 persen suara, melawan dua penantangnya dalam upaya pemilihan terakhirnya pada tahun 1996.
Pada pemilihan umum tanggal 25 Juni 2000 yang diadakan tak lama setelah kematiannya, LDP menominasikan putri Obuchi yang berusia dua puluh enam tahun, Yūko, sebagai penggantinya. Yūko telah berhenti dari pekerjaannya di jaringan televisi Tokyo Broadcasting System (TBS) guna menjadi sekretaris pribadi ayahnya kala ayahnya menjadi perdana menteri pada tahun 1998. Dalam upaya pemilu pertamanya, ia mengalahkan tiga kandidat lainnya dengan 76 persen suara. Sejak itu, ia secara konsisten meraih antara 68 hingga 77 persen suara di distriknya dan hanya menghadapi penantang lemah dari partai-partai kecil. Oposisi utama LDP dari tahun 1998 hingga 2016, Partai Demokrat Jepang (DPJ), hanya mengajukan kandidat untuk melawannya pada pemilihan umum tahun 2005: seorang pegawai partai berusia tiga puluh enam tahun, yang tak berpengalaman pemilu sebelumnya. Ia cuma berhasil memenangkan seperempat suara di distrik tersebut.
Seorang wanita muda dan tak berpengalaman secara politik seperti Obuchi Yūko, biasanya dipandang sebagai kandidat yang lemah di Jepang, dimana usia rata-rata kandidat yang pertama kali mendaftar adalah empat puluh tujuh tahun, dan kandidat perempuan jarang ditemukan (Obuchi merupakan salah satu dari hanya lima perempuan yang dicalonkan di sebuah distrik. dicalonkan oleh LDP pada pemilu 2000). Namun berdasarkan latar belakang keluarganya, dan tak diragukan lagi, didukung oleh suara simpati setelah kematian ayahnya, ia menikmati keuntungan elektoral yang dahsyat dalam pemilu pertamanya—baik dalam hal popularitas namanya di kalangan pemilih, maupun dalam hal kurangnya kualitas suara yang tinggi para penantangnya—dan keunggulan ini, berlanjut pada pemilu-pemilu berikutnya. Pada tahun 2008, setelah hanya tiga kemenangan pemilu, ia menjadi menteri kabinet termuda dalam sejarah Jepang pascaperang saat ia diangkat menjadi menteri negara yang bertanggung jawab atas penurunan angka kelahiran dan kesetaraan gender di kabinet Perdana Menteri Asō Tarō. Hanya sedikit anggota parlemen LDP lainnya yang berhasil menduduki posisi kekuasaan di kabinet dengan cepat.
Sejak pemilihan umum tahun 1996, kata Smith, lebih dari seperempat anggota parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat Jepang merupakan anggota dinasti demokratis, sebuah fakta yang menempatkan Jepang, bersama dengan Irlandia dan Islandia, termasuk dalam kelompok negara-negara berkembang secara ekonomi dan negara demokrasi yang lebih muda semisal Taiwan, Filipina, dan Thailand (negara paling dinasti yang datanya tersedia). Yunani, Belgia, dan India menempati lapisan tengah dalam politik dinasti, dengan antara 10 persen hingga 15 persen anggotanya dalam beberapa tahun terakhir, berasal dari dinasti demokratis. Di sebagian besar negara demokrasi lainnya, anggota parlemen lama cenderung menguasai antara 5 dan 10 persen di parlemen. Oleh karenanya, tingkat politik dinasti ini mungkin dianggap sebagai tingkat yang “normal” bagi negara demokrasi yang sehat. Di antara negara-negara demokrasi yang data komparatifnya tersedia, Jerman tampaknya merupakan negara yang paling tak rentan terhadap politik dinasti, dengan kurang dari 2 persen anggota Bundestag Jerman, dalam beberapa tahun terakhir, dihitung sebagai anggota parlemen lama.
Dinasti, tentulah, merupakan hal yang lumrah terjadi di tingkat eksekutif dalam rezim Non-Demokratis seperti Monarki atau Kediktatoran. Seorang penguasa Otokratis, acapkali berhasil mengangkat salah seorang anggota keluarganya sebagai penggantinya (yang hampir selalu merupakan 'miliknya') tatkala sistem kepartaian atau mekanisme pemilihan kepemimpinannya lemah, dan distribusi kekuasaan yang masih ada di kalangan elit yang lebih luas, tetap dipertahankan. Contohnya, Kim Jong-un dari Korea Utara, yang berkuasa pada tahun 2011 sebagai 'Penerus Besar' mendiang ayahnya, Kim Jong-Il, yang menjadi pemimpin tertinggi usai kematian ayahnya, Kim Il-sung, pada tahun 1994. Contoh lainnya Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang mewarisi jabatannya pada tahun 2000 dari ayahnya, Hafez al-Assad, yang memerintah Suriah dalam kediktatoran sejak tahun 1971.
Namun dinasti serupa, bakalan terus ada di negara-negara demokrasi, yang nampak bertentangan dengan visi normatif yang dianut secara luas mengenai peluang demokrasi dan keadilan—bahkan mengingat fakta bahwa anggota dinasti pada akhirnya harus dipilih melalui pemilihan umum. Cita-cita demokrasi yang menyatakan 'semua manusia diciptakan sama' hendaknya diperluas hingga mencakup persamaan kesempatan guna berpartisipasi dalam jabatan-jabatan tertentu, sehingga tiada individu yang lebih diistimewakan karena 'keturunannya' agar terjun ke dunia politik. Oleh karenanya, kita mungkin berharap demokratisasi akan menjadi katalisator mengakhiri dinasti, karena semua negara demokrasi, pada akhirnya memberikan kesetaraan hukum bagi semua warga negara, mencalonkan diri dalam jabatan publik, kecuali pembatasan kecil berdasarkan tempat lahir, tempat tinggal, usia, atau perilaku ketaatan hukum. Bahkan sebelum terjadinya reformasi demokratis secara penuh, modernisasi dan kebangkitan kapitalisme seharusnya turut menyebabkan kehancuran negara patrimonial tradisional, sehingga keluarga-keluarga yang secara historis dominan semestinya mulai 'memudar dari makropolitik'.
Namun, di negara-negara demokratisasi modern, kita masih bisa menemukan dinasti politik yang kuat—keluarga yang telah mengembalikan banyak individu ke jabatan publik, terkadang secara berturut-turut, dan terkadang dalam jangka waktu beberapa generasi. Bukan hal yang aneh bagi partai-partai dan pemilih memilih 'anak kesayangan', 'keturunan demokratis', atau 'Bangsawan Rakyat' guna mendapatkan perwakilan politik, kendati kandidat yang 'berdarah biru' lebih sedikit. Contoh menonjol baru-baru ini dari luar Jepang termasuk Presiden George W. Bush dan Senator Hillary Clinton di Amerika Serikat, Perdana Menteri Justin Trudeau di Kanada, Perdana Menteri David Cameron dan pemimpin Partai Buruh Ed Miliband di Inggris, Presiden Park Geun-hye di Korea Selatan, Marine Le Pen dan Marion Maréchal-Le Pen di Prancis, Perdana Menteri Enda Kenny di Irlandia, Presiden Benigno Aquino III di Filipina, Sonia dan Rahul Gandhi di India, Alessandra Mussolini di Italia, dan Tzipi Livni di Israel, atau bahkan 'Bongbong Marcos' di Filipina.
Menetapkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Dinasti, boleh jadi, rumit, mengingat beragamnya hubungan keluarga dan tingkat pemerintahan dimana anggota keluarga mungkin bertugas. Menurut Smith, seorang 'Legacy Candidate' didefinisikan sebagai calon pejabat nasional yang punya hubungan darah atau perkawinan dengan politisi yang sebelumnya pernah menjabat di kantor legislatif atau eksekutif nasional (presiden atau kabinet). Jika seorang kandidat lama terpilih, ia menjadi anggota parlemen lama dan menciptakan dinasti demokratis, yang didefinisikan sebagai keluarga mana pun, yang telah menyuplai dua atau lebih anggotanya ke jabatan politik tingkat nasional. Definisi mengenai Dinasti seperti ini, lebih liberal ketimbang definisi yang digunakan oleh Stephen Hess, yang mendefinisikan Dinasti dalam konteks orang Amrik sebagai 'keluarga mana pun yang memiliki setidaknya empat anggota, atas nama yang sama, yang dipilih menduduki jabatan federal.' Definisi yang digunakan di sini, tak terbatas pada Dinasti dengan kesinambungan nama keluarga. Selain itu, hanya dua anggota keluarga yang diperlukan membentuk sebuah Dinasti, bukan empat anggota, sehingga membatasi cakupan analisis pada negara-negara, seperti Amerika Serikat, yang punya sejarah demokrasi yang lebih panjang. Definisi tersebut, tak mensyaratkan pula bahwa kandidat lama harus menjadi anggota partai yang sama dengan pendahulunya, atau mencalonkan diri di daerah pemilihan yang sama, kendati kedua kondisi tersebut secara umum, cenderung berlaku. Anggota keluarga dapat menjabat secara berturut-turut atau bersamaan, dengan pengecualian bahwa dua anggota keluarga yang pertama kali dipilih pada waktu yang sama, bukan merupakan 'Democratic Dynasty'.
Di India, seperti yang dikatakan Chandra, istilah 'dinasti demokratis' biasanya mengingatkan kita pada keluarga NehruGandhi, yang anggotanya pernah menduduki jabatan Perdana Menteri dan memimpin partai Kongres hampir sepanjang sejarah kemerdekaan India. Salah satu dinasti tersebut adalah keluarga Chavan. Chandra berpendapat bahwa penyebab politik dinasti di parlemen India terletak pada struktur dua lembaga demokrasi kontemporer India – negara dan partai politik. Ada dua ciri dari lembaga-lembaga ini, yang mendorong munculnya politik dinasti di India—keuntungan besar yang terkait dengan jabatan negara dan kelemahan organisasi partai politik. Keuntungan yang terkait dengan jabatan negara memastikan bahwa keluarga politisi hendak terjun ke dunia politik. Kelemahan organisasi partai politik memastikan bahwa mereka kemungkinan besar akan mendapatkan tiket (nominasi partai) ketika mereka mendapatkan tiket tersebut. Setelah kandidat dari dinasti mendapatkan dukungan dari sebuah partai, pemilih harus menentukan apakah akan mendukungnya atau tidak. Namun pilihan-pilihan yang diambil para pemilih, dan peran yang mereka mainkan dalam menghasilkan dinasti elektoral, dibatasi oleh struktur negara dan partai.
Di Indonesia, is just as bad. Zaldi Rusnaedy menulis, segala bentuk tipologi dinasti politik, ada di negeri ini. Mengutip W. R. Jati, Zaldi menuturkan setidaknya, ada empat tipologi preferensi familisme dalam dinasti politik lokal: familisme berbasis populisme, tribalisme, jaringan kekuasaan informal, dan feodalisme.
Dinasti Populisme merupakan dinasti politik kekeluargaan berdasarkan populisme yang menonjol dalam suksesi pemerintahan dalam upaya 'mengamankan' program petahana. Hal ini terkait dengan reproduksi wacana kepahlawanan dan populisme pada program pemerintah sebelumnya yang dijadikan bahan kampanye kerabat demi menggantikan kerabatnya yang lain.
Dinasti Gurita merupakan tipologi dinasti politik yang kedua, berdasarkan jaringan kekuasaan. Dinasti politik seperti ini dibangun di atas koalisi klan politik, monopoli ekonomi, kekerasan, dan masih banyak lagi.
Dinasti Tribalisme merupakan tipologi dinasti politik ketiga dimana dinasti tribalisme didasarkan pada suku, marga, dan kekerabatan. Pola ini merujuk pada bangkitnya kekuasaan lokal dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Kekuatan lokal memang beragam, seperti local strongmen dan local bossism yang banyak dibicarakan dalam kasus politik lokal di Indonesia. Pola tribalisme dinasti ini, terjadi ketika budaya politik masih bersifat subjektif, karismatik, nepotis, atau oligarkis.
Dinasti Feodalisme merupakan model yang berdasarkan kekerabatan atau kuasa gono-gini, terbentuk berdasarkan tokoh dan patrimonialisme, 'selagi ada kesempatan', dan elitisme.
Dinasti Konsensus terjadi dimana dua kelompok keluarga bergantian menguasai suatu wilayah sebagai hasil kompromi antara kedua keluarga. Kompromi antara kedua keluarga termasuk penentuan posisi secara bergilir. Maka tak heran bila fenomena politik unik ini, sulit dideteksi oleh para sarjana politik guna dianalisis dan mendapat perhatian lebih.
Dalam rezim perwakilan seperti yang dianut di Indonesia, menurut Mosca, akan terjadi ketegangan antara 'kecenderungan demokrasi' dan 'kecenderungan aristokrat'. Pengamatan ini mengungkapkan kekhawatiran terhadap kecenderungan aristokrat terkait bertahannya elite politik sebagai akibat dari berbagai faktor, antara lain; hubungan pribadi, ketenaran, dan informasi yang membantu individu terhubung dengan baik dengan kekuasaan.
Keberatan utama terhadap politik dinasti dalam demokrasi modern adalah bahwa hal ini memperkenalkan suatu bentuk pengecualian berdasarkan keturunan di antara wakil-wakil terpilih yang bertentangan dengan demokrasi. Lebih lanjut, menurut Chandra, pihak yang paling diuntungkan dari preferensi partai-partai terkait atribut berdasarkan keturunan, dikaitkan dengan bentuk pengecualian ganda; pertama dengan menciptakan kelas penguasa berdasarkan keturunan, dan kedua, dengan memperkuat keterwakilan kelompok dominan dalam kelas penguasa tersebut. Namun secara paradoks, politik dinasti juga berdampak inklusif. Hal ini telah menyediakan saluran representasi bagi anggota kategori sosial yang tak menemukan, atau belum menemukan, ruang dalam politik melalui saluran normal.
Tiada dasar dalam teori demokrasi untuk memahami peran politik dinasti, atau faktor keturunan secara lebih umum. Gagasan klasik mengenai demokrasi adalah bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem politik dimana pemilih dan perwakilan dikonseptualisasikan sebagai individu. Literatur revisionis dalam filsafat politik dan ilmu politik telah berjuang menggantikan atau setidaknya menambah gagasan individualis ini dengan beberapa peran kolektivitas, yang dikonsep sebagai 'kelompok' atau 'asosiasi' atau 'faksi' atau 'partai'. Namun, keluarga merupakan kelompok berbasis keturunan yang sejauh ini, tak diberi ruang dalam teori demokrasi. Hebatnya, hal ini berlaku bahkan dalam antropologi, yang merupakan disiplin ilmu utama yang berteori tentang struktur kekerabatan. Walau terdapat banyak literatur yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir mengenai 'antropologi demokrasi', hampir tiada karya dalam tradisi ini, yang menghubungkan keluarga (yang berbeda dari kolektivitas yang lebih besar seperti klan dan suku) dengan demokrasi modern."
Pada sesi selanjutnya, kita masih membicarakan tentang Politik Dinasti, bi 'idznillah."
Seraya mengambil jeda untuk sesi selanjutnya, Aloe bersenandung,
Mari bicara tentang kita yang lupa
warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur
di ujung hidung yang memang tak mancung *)