Sabtu, 27 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (10)

"Konon, para sejarawan menemukan sebuah manuskrip, yang konon pula, peninggalan era saat jatuhnya Imperium Majapahit. Manuskrip tersebut, masih diteliti lebih lanjut, karena, konon lagi, sang manuskrip bercerita: Pada suatu hari, paduka raja sedang mengendarai kuda putihnya, sembari 'bagi-bagi beras' kepada rakyatnya (konon di masa kini, dapat diartikan 'lempar-lempar kaos oblong'), lalu tiba-tiba terjatuh. Para hulubalang seketika menghampiri sang prabu dan membantunya berdiri, walau sedikit tertatih-tatih. Dubes dari negeri jauh yang, (lagi-lagi) konon, hadir di situ, menanyakan apakah 'yang mulia' baik-baik saja. Sang bupala yang, (sekali lagi) konon, lebih jago ngomong Ingglisy ketimbang Sanskrit, menjawab, 'I want to test my minister'."

“Ketika penguasa masa lampau yang diyakini sebagai orang tersugih dalam sejarah menungso, Mansa Musa, memerintah Imperium Mali, ia membawa Kekaisarannya mencapai titik zenitnya dari tahun 1312 hingga 1337. Kendati tak mudah memperkirakan kepastian mutlak kekayaannya, taksirannya berkisar pada angka yang amat tinggi, hingga $400 miliar. Dapat diterima bahwa 'taburan' emasnya kepada siapa pun yang ditemuinya selama menunaikan ibadah haji ke Mekkah, menyebabkan hiperinflasi dan resesi Mesir yang berlangsung selama satu dekade," ucap bunga matahari seraya memperhatikan Million Dollar Cube yang berputar.
"Kita semua menginginkan uang—sebagian kita menempuhnya dengan amat berbahaya, kata Laurence Kotlikoff. Ia lalu memberi dua contoh: Raja Midas memohon kepada Dionysus agar setiap sentuhan jarinya berubah jadi emas dan memperoleh keinginannya, namun ia mati kelaparan lantaran, bahkan makanan yang disentuhnya pun, berubah jadi emas. Imelda Marcos, Ibu Negara Filipina yang kondang, cuma punya sedikit uang saat tumbuh dewasa. Manakala suaminya mengambil alih kekuasaan dan mulai menjarah negara, sepatu menempati urutan teratas dalam daftar belanjaannya. Selama dua puluh satu tahun dan hampir tiga ribu pasang alas kaki, rakyat pun berontak. Pasangan ini cabut menyelamatkan diri mereka, namun tidak dengan koleksi sepatu Imelda. Ratusan di antaranya masih dipajang dengan beragam corak di Museum Sepatu Marikina dekat Manila [tujuh ratus dua puluh pasang sepatu ada di Museum Sepatu Marikina di Metro Manila. Dari jumlah tersebut, 253 dipajang, sedangkan 467 tersimpan. Imelda meninggalkan lebih dari 3000 pasang sepatu saat meninggalkan istananya]. Sebagian besar dari kita, tidaklah haus akan uang semata oleh ketamakan. Kita menginginkan uang karena dalil yang bagus: kita memang butuh.

Ada latarbelakang yang baik mempercayai bahwa uang modern saat ini, punya arti yang jauh lebih besar bagi kebanyakan orang di seluruh dunia dibanding sebelumnya, dalam sejarah manusia, Glyn Davies menyimpulkan. Uang bermula dengan barter. Sejarah barter sama tuanya, bahkan dalam beberapa hal jauh lebih tua, dibanding sejarah manusia itu sendiri. Ternak–ungkapan lamat-lamat yang punya beragam makna, dan umumnya merujuk semisal sapi, kerbau, kambing, domba dan unta, namun tak selalu termasuk kuda–secara historis mendahului penggunaan bebijian sebagai uang, menjadi dalil sederhana bahwa menjinakkan satwa dalam bidang peternakan, mendahului bidang pertanian.
Bagi manusia primitif yang nyembul dari Zaman Batu, logam apa pun berharga: perbedaan antara logam dasar dan logam mulia menjadi penting hanya setelah keterampilannya sebagai ahli metalurgi meningkat dan pasokan berbagai logam, telah cukup meningkat untuk mencerminkan kelimpahan atau kelangkaan relatifnya. Maka, tembaga, perunggu, emas, perak, dan elektrum telah dikenal dan digunakan sebelum besi, sedangkan aluminium, logam paling umum di kerak bumi, baru dapat digunakan pada abad kesembilan belas.
Uang koin pertama di dunia terbuat dari emas sekitar tahun 700 SM dan sejumlah negara kota Yunani menetapkan bentuk ‘standar emas’ mereka sendiri yang konsepnya diperluas ke seluruh kekaisaran oleh Alexander dan kemudian oleh kaisar Romawi dan Bizantium. Mata uang kertas muncul sebagai hasil dari satu (dan mungkin, kemudian, dua) dari Empat Penemuan Besar: pembuatan kertas, percetakan, bubuk mesiu, dan kompas. Tiongkok lebih duluan, kendati baru pada masa Dinasti Tang pada abad ke-7 para pedagang mulai menggunakan kertas dalam bentuk yang sekarang disebut surat promes. Pada abad ke-17, para bankir pandai emas di London menerbitkan kwitansi sebagai utang kepada pembawa dokumen, dan bukan kepada penyimpan (sentimen ini bergema pada uang kertas masa kini dengan kalimat “Saya berjanji akan membayar kepada pembawa dokumen sejumlah X pounds sesuai permintaan'), sementara pada tahun 1661, Stockholms Banco Swedia menjadi bank sentral pertama yang berusaha menerbitkan uang kertas.
Steve Forbes dan Elizabeth Ames berpendapat bahwa pemerintah tak menciptakan uang. Uang berasal dari pasar sebagai solusi terhadap suatu masalah. Uang muncul secara spontan, seperti sendok atau komputer pribadi, sebagai respons terhadap suatu kebutuhan. Dalam hal ini, kebutuhannya ialah unit nilai yang stabil guna memfasilitasi perdagangan. Uang punya tiga peran dalam perekonomian: sebagai ukuran nilai; sebagai instrumen kepercayaan yang memungkinkan transaksi terjadi antara orang yang tak saling kenal; dan menyediakan sistem komunikasi dalam seluruh masyarakat. Agar dapat berfungsi dalam peran-peran ini, yang terpenting, uang haruslah stabil. Jika tidak, maka uang akan melemah dan perekonomian akan terpuruk. Dalam kedaaan terburuk, disaat uang tak berfungsi sama sekali, maka masyarakat dapat gulung-tikar. Uang merupakan alat yang memfasilitasi transaksi. Uang tak menciptakannya. Dan uang, dengan sendirinya, bukanlah harta kekayaan—peningkatan pasokan uang sesuai keinginan para bankir sentral, bukan berarti menambah harta. Kenyataannya, yang jadi masalah, justru sebaliknya.
Masyarakatlah, bukan pemerintah, penemu uang. Andai ekspansi basis moneter dipandang sebagai jalan menuju vitalitas perekonomian, bisa dibilang bahwa Zimbabwelah negara terkaya di dunia, imbuh Forbes dan Ames. Ketika negara tersebut pertama kali merdeka pada tahun 1980, nilai dolar Zimbabwe lebih tinggi daripada dolar AS. Pada awal tahun 2000-an, setelah reformasi redistribusi yang menyebabkan ambruknya ekonomi pertanian negara tersebut, pemerintah Zimbabwe menanggapi krisis ini dengan mencetak uang secara besar-besaran. Hasilnya, hiperinflasi kedua setelah Hongaria, seusai Perang Dunia II.
Kita butuh makanan untuk hidup. Tapi terlalu banyak makan, menyebabkan obesitas yang tak sehat. Hal yang sama berlaku pada uang. Kita membutuhkan uang bagi perdagangan. Namun, seperti halnya terlalu banyak makanan dapat berdampak buruk bagi kesehatanmu, kelebihan pasokan uang, juga dapat merusak kesehatan perekonomian. Kisah ekspansi moneter bukanlah warita pemunculan harta kekayaan, melainkan sirnanya harta itu. Sejarah berisi banyak sekali contoh: mulai dari gagalnya Gelembung Mississippi di Prancis pada abad ke-18, hingga inflasi kolonial yang liar sebelum Revolusi Amerika, hingga hiperinflasi Jerman pada awal tahun 1920an dan setelah Perang Dunia II, hingga stagflasi AS pada tahun 1970an. Ekspansi moneter yang gila-gilaan telah mengguncang negara-negara seperti Venezuela dan Argentina. Di Amrik, ia menyebabkan jatuhnya pasar properti, krisis keuangan tahun 2008, dan akibatnya, stagnasi global.

Setiap profesi, boleh dikata, mencetuskan jantur. Ahli biologi menyembuhkan wabah. Insinyur membangun gedung pencakar langit. Fisikawan membagi atom. Ahli geologi menentukan umur bebatuan. Para astronom menemukan planet. Ahli kimia menguraikan materi. Hakim menerbitkan keputusan perkara berdasarkan interpretasi terhadap hukum dan penilaian pribadinya. Pengacara punya fungsi dan hak istimewa yang berbeda-beda: advokat, pokrol, pembela, advokat kanon, notaris hukum perdata, penasihat, peguam, eksekutif hukum, atau muhami. Para pengacara tak punya cukup pengetahuan mengenai ilmu ekonomi, dan para Ekonom tak punya pengetahuan yang cukup tentang hukum. Menurut Kotlikoff, walau ada tantangan di lapangan, akan tetapi, para Ekonom menghasilkan mantra-mantra ajaib.
Adam Smith, jagoan sihir pertama kita, dengan the conjuring 'invisible hand'-nya, mengubah keserakahan individu menjadi kebaikan kolektif. David Ricardo memakai Dr. Strange 'four mystical numbers' guna menjelaskan mengapa, apa, dan kapan suatu negara melakukan perdagangan. Alfred Marshall menghasilkan banyak kurva 'Avatar' supply and demand yang mengatur seluruh pasar. Dan pakar tenung mutakhir kita, Paul Samuelson, mengubah hukum ekonomi lawas menjadi rima 'the Scream' matematika.
Smith, Ricardo, Marshall, dan Samuelson adalah 'Dumbledore' top ekonomi sepanjang masa. Karenanya, setiap ekonom dilatih memecahkan asrar, tanda-tanya atau rahasia, menggunakan trik-trik pertukaran kita. Itulah sebabnya mengapa ilmu ekonomi amatlah menarik, mengejutkan, penting, dan berguna, baik diterapkan untuk memahami pasar global, mengenakan pajak atas emisi, maupun menyelamatkan gawean kita. Kendati konsepsi umum ilmu ekonomi itu berfokus pada isu-isu besar yang mencakup seluruh dunia, para ekonom sebenarnya telah menghabiskan waktu satu abad mengamati 'personal finance'.

Politisi, bagaimana dengan politik? Menurut Brian McNair, ada tiga ciri rezim demokratis: pertama, hendaknya ada seperangkat prosedur dan aturan yang disepakati, yang mengatur pelaksanaan pemilu, aturan tersebut biasanya berbentuk konstitusi; kedua, mereka yang berpartisipasi dalam proses demokrasi seyogyanya mencakup sebagian besar masyarakat; ketiga, ketersediaan 'choice' dan kemampuan warga negara untuk mengeksekusi pilihan tersebut secara rasional, atau adanya 'rational choice'. Oleh karenanya, warga negara yang berpengetahuan dan teredukasi, merupakan sebuah prasyarat. Pentingnya pemilih yang berpengetahuan dan teredukasi, menentukan bahwa politik demokratis itu, seyogyanya dilaksanakan di arena publik (membedakannya dari karakteristik rezim otokratis yang bersifat 'diam-diam'). Pengetahuan dan informasi yang menjadi dasar bagi warga negara dalam menentukan pilihan politiknya, hendaknya bersikulasi dengan bebas dan tersedia bagi seluruh masyarakat. Namun demikian, proses politik menuntut individu agar bertindak secara kolektif dalam mengambil keputusan tentang siapa yang akan mengatur mereka. Opini politik pribadi seseorang, menjadi opini publik masyarakat secara keseluruhan, yang dapat tercermin dalam pola pemungutan suara dan diperlakukan sebagai nasihat oleh para pemimpin politik yang ada.
Demokrasi bertumpu pada janji kesetaraan, yang seringkali terbentur tembok uang, kata Julia Cage. Uang memberi kita rasa aman dan stabilitas dengan memungkinkan kita memenuhi kebutuhan dasar, berjaga-jaga terhadap pengeluaran tak terduga, dan berinvestasi bagi masa depan. Dengan mengelola uang kita secara bijak, kita dapat menikmati kebebasan finansial dan ketenteraman pikiran yang lebih baik. Uang merupakan komponen penting dalam demokrasi: uang memungkinkan partisipasi dan keterwakilan politik. Namun, jika tak diatur secara efektif, ia dapat merusak integritas proses dan institusi politik serta membahayakan kualitas demokrasi.
Kita cenderung lupa bahwa mewujudkan demokrasi ada harganya, imbuh Cage. Namun jika biayanya tak terdistribusi secara merata, dan bila pengaruh 'private money' dalam total pendanaan tak dibatasi secara ketat, maka keseluruhan sistem berada dalam bahaya. Yang disorot disini, bukan tentang berapa kali putaran pemilu dapat menghemat uang, melainkan pentingnya aturan terkait pendanaan partai politik dan kampanye pemilu (umumnya dikenal sebagai 'political finance') dan lobi, guna mendorong integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam demokrasi mana pun.

Apa sih partai politik itu dan apa fungsinya? John Kenneth White berpendapat bahwa bila mendefinisikan partai politik, hasilnya bakal beragam, namun dapat digambarkan sebagai 'sistem interaksi tripartit': pertama, partai sebagai Organisasi atau 'mesin', yaitu mesin formal partai mulai dari komite lokal (daerah, distrik, atau kota) hingga komite pusat negara bagian, dan orang-orang yang bertugas dan mengarahkan ke sana. Kedua, partai sebagai Massa Pendukung. Bagi beberapa orang, identifikasi ini kuat, dan mereka secara konsisten mendukung kandidat yang mencalonkan diri di bawah label partai. Bagi yang lain, keterikatannya relatif lemah dan biasa saja. Di sini, partai ada di mata pihak yang melihatnya; ia merupakan sekumpulan loyalitas pemilu. Ketiga, Partai sebagai Badan Tokoh. Sebagian besar pemimpin politik di pemerintahan dan di luar pemerintahan diidentifikasi dengan label partai. Partai terkadang digunakan merujuk pada kolektivitas para tokoh yang menerima label partai, dan kebijakan partai kemudian menjadi kecenderungan kebijakan yang berlaku di antara kolektivitas tersebut.
Partai politik merupakan fenomena yang tersebar luas di negara-negara Demokrasi Perwakilan, kata Carles Boix. Walau koordinasi para politisi ke dalam partai-partai, yaitu, ke dalam tim kandidat dan anggota parlemen yang mengumpulkan suara dan menatanya, telah menjadi fenomena universal dan hampir seperti hukum di negara-negara demokrasi kontemporer, cara-cara yang digunakan para politisi dalam mengorganisir dan menanggapi seruan partisan, sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan antar negara. Di satu sisi, partai politik berbeda dalam arsitektur internalnya: seberapa hierarkisnya; kekuatan sayap parlementernya dibandingkan dengan aparat partai; jumlah, ekstraksi, dan komitmen keanggotaan mereka; atau kekompakan mereka, mulai dari koalisi kepentingan yang longgar dan hampir bersifat ad hoc, sampai ke organisasi yang berdisiplin ketat dan anggotanya tak pernah menyimpang dari posisi resmi partai.

Marjorie Randon Hershey berpendapat bahwa partai politik dapat berfungsi sebagai mekanisme 'social choice'. Lingkungan politik punya beberapa kualitas unik yang mempengaruhi pilihan individu. Negara demokrasi perlu merekrut pemimpin dan juga pemilih. Kepemimpinan politik merupakan barang publik, sehingga timbul masalah pilihan kolektif dalam pemilihannya. Dalam demokrasi, warga negara harus berperan dalam memilih pejabat penting pemerintah. Ketika demokrasi mulai berkembang, organisasi-organisasi partai yang baru lahir, berinsentif langsung merangsang partisipasi warga secara selektif. Semakin banyak pemilih yang dapat mereka mobilisasi, semakin besar kemungkinan mereka memilih kandidatnya.
Ketika demokrasi semakin matang dan hak pilihnya semakin mendekati batas wajarnya, tantangannya adalah, perlunya memotivasi pemilih yang memenuhi syarat agar pergi ke bilik pemungutan suara. Keberadaan partai-partai di daerah pemilihan, atau identifikasi partai, sebagai sarana untuk menyederhanakan pilihan pemilih sehingga memudahkan mereka dalam memilih. Oleh karenanya, dengan beberapa cara, masyarakat dapat menggunakan partai sebagai sarana untuk menarik kesimpulan tentang karakteristik kandidat dan pendirian kebijakannya.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi belanja politik. Menurut Shari Bryan dan Denise Baer, di banyak negara demokrasi berkembang, informasi akurat mengenai praktik belanja politik tak tersedia bagi publik. Persyaratan pelaporan seringkali tidak ada, dan jika memang ada, lembaga penegak hukum tak memiliki keterampilan dan sumber daya untuk mengumpulkan informasi. Hasil kajian African Political Party Finance Initiative (APFI) mengenai karakteristik pendanaan partai, tak semata di negara-negara Afrika, namun di kawasan lain di dunia—mulai dari Amerika Latin, Eropa Tengah dan Timur, serta Asia (22 negara). Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar politisi sadar akan permasalahan uang dalam politik dan siap mengatasinya. Pada saat yang sama, studi ini menyoroti banyak hal yang menjadi perhatian, seperti peran kepentingan kaum 'hartawan' dalam mendanai kampanye guna mendapatkan akses terhadap kontrak negara yang menguntungkan. Laporan ini mengungkapkan risiko kebangkrutan pribadi yang dihadapi banyak kandidat ketika mereka berupaya mengumpulkan uang bagi posisi-posisi terpilih, dan godaan meninggalkan persaingan politik demi memperoleh uang.
Korupsi yang terkait dengan pendanaan partai politik merupakan ancaman besar terhadap pembangunan demokrasi di seluruh dunia. Aliran pendanaan partai yang terselubung, penjualan pengaruh, dan pemanfaatan sumber daya negara untuk tujuan partai, semuanya membahayakan satu-satunya aset terbesar demokrasi: keyakinan dan dukungan warga negara dalam proses politik. Dampak sosial dan politik korupsi telah diketahui dengan baik, dan sebagian besar pemimpin politik dan masyarakat menyadari bahwa banyak masalah yang berkaitan dengan korupsi politik berasal dari kelemahan dalam partai politik itu sendiri. Salah satu tantangan besar yang dihadapi para reformis politik ialah sedikitnya informasi yang diketahui mengenai rincian uang dalam partai politik atau kampanye. Pola pendanaan partai politik sangat tak jelas, dan keputusan mengenai pengumpulan dan pengeluaran dana, biasanya dikendalikan dan dikelola hanya oleh segelintir orang. Relatif sedikit politisi yang dapat memberikan rincian konkrit mengenai operasi pendanaan partai.
Vote-buying atau penggunaan uang dan keuntungan langsung agar mempengaruhi pemilih, menjadi perhatian para elit politik di seluruh dunia. Kepentingan bisnis dan orang kaya yang berperan dalam politik, menghambat partisipasi demokrasi, menghambat pembangunan ekonomi, dan mengubah sifat pemerintahan. Berulang kali, kekhawatiran muncul mengenai meningkatnya jumlah orang kaya yang mencari jabatan demi mendapatkan akses dan kendali atas kontrak-kontrak yang menguntungkan, dan kontributor bisnis yang menuntut imbalan dari orang-orang yang mereka dukung secara politik. Akibatnya, kelompok politik sering dipandang sebagai lingkaran para Sultan yang mengambil keputusan berdasarkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum.
Dalam banyak persoalan, akuntabilitas politik dijual kepada penawar tertinggi. Kandidat, yang sering kali dibiayai oleh patron atau godfather, mungkin mengkompromikan independensi, netralitas, dan platform mereka agar menjadi wakil para pemberi dana. Partai politik melakukan hal yang sama dengan menerima dana dari kepentingan bisnis yang sengaja mendukung kampanye sebagai cara untuk memastikan kontrak yang menguntungkan dengan negara, atau mungkin lebih buruk lagi, sebagai jaminan bahwa negara akan menutup mata terhadap praktik bisnis ilegal mereka. Dalam beberapa permasalahan, para kandidat rela meninggalkan kompetisi politik atau meninggalkan partai politiknya demi mendapatkan uang.

Di Indonesia, 'Money in Politics' (uang dalam politik) memang belum setenar 'Money Politics'. Istilah 'Money Politics' (politik uang) telah banyak digunakan untuk merajahkan praktik 'wani piro'—dan jawabannya 'piro-piro wani'—sejak era Demokrasi baru di Indonesia, dimulai pada akhir tahun 1990an. Kendati umum digunakan, istilah ini, kurang tepat dan mencakup berbagai fenomena.
Kita akan lanjut membicarakannya di episode terakhir. Bi 'idznillah."

Seraya melangkah menuju sesi final, bunga matahari bersenandung,

My father told me,
[Ayahku bilang padaku,]
'Hold your head up high,
['Tengadahkan kepalamu tinggi-tinggi,]
never give up and keep aiming for the sky,
[jangan pernah nyerah dan tetaplah membidik dirgantara,]
and when darkness finds a way to tear you down,
[dan kala ketaksaan menemukan jalan merobohkanmu,]
take a closer look, there's hope right by your side.
[tataplah lebih dekat, ada asa tepat di sisimu.]
Yeah, I know it's tough when nights are getting longer,
[Ya, kutahu itu syulit dikala malam semakin panjang,]
and doubts are creeping in.' *)
[dan keraguan sedang merangkak masuk.']
Kutipan & Rujukan:
- Laurence Kotlikoff, Money Magic: An Economist's Secrets to More Money, Less Risk, and a Better Life, 2022, Little, Brown Spark
- Glyn Davies, History of Money: From Ancient Times to the Present Day, 2002, University of Wales Press
- Steve Forbes & Elizabeth Ames, Money: How the Destuction of the Dollars Threatens the Global Economy—and What We can Do about It, 2014, Itzy
- Brian McNair, An Introduction to Political Communication, 2011, Routledge
- Julia Cagé, The Price of Democracy: How Money Shapes Politics and What to Do about It, translated by Patrick Camiller, 2020, Harvard University Press
- Shari Bryan & Denise Baer (Ed.), Money in Politics: A Study of Party Financing Practices in 22 Countries, 2005, NDI
- Richard S. Katz and William Crotty (Ed.), Handbook of Party Politics, 2006, SAGE
- Carles Boix & Susan Stokes (Ed.), The Oxford Handbook of Comparative Politics, 2007, Oxford University Press
*) "You Need to Know" karya Axel Johansson, Tormod Løkling & Iselin Solheim

Senin, 22 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (9)

"Seorang perawat baru, sedang bertugas menemani dokter merawat pasien. Dengan santun, sang dokter nanya pada sang perawat, 'Suster, tadi ngambil temperatur pasiennya gak?'
Agak canggung, sang perawat menjawab, 'Enggak dok. Apa temperaturnya 'ilang?'"

“Jika tak diatur secara efektif, mengapa 'Uang' bisa melemahkan Demokrasi?” berkata bunga matahari sambil menggerakkan inflorescencenya, mencari sesuatu. Lalu ia berkata, “Daku lagi nyariin Mbok Sastro, pengasong ‘jamu-gendong’ yang sering lewat sini. Oh, doi ada di sana tuh," ucapnya seraya menunjuk seorang wanita yang sedang duduk di bawah poster 'Dua Kurcaci'—poster seperti ini, bermunculan dimana-mana, sampai-sampai, pepohonan di jalur hijau, ampun-ampun.
Tapi tunggu dulu, itu bukan Mbok Sastro, melainkan Ijah, putrinya. Dua pemuda sedang menanti orderan jamu yang disiapkan Ijah. Sembari menunggu, salah satu pemuda, mengeluarkan ponselnya dan memutarkan 'Theme from Dying Young', dimainkan duo Cak Imin dan Pak Mahfud, eh bukan ... maksudku, Kenny G, bersama 'slepetan' saksofonnya. Cakep bener!"

"Sebelum mendalami pertanyaanku tadi, perkenankan daku menyampaikan padamu studi mengenai 'Jamu' selama 10 tahun, oleh seorang penulis kelahiran Irlandia, Susan-Jane Beers.
Beers menuliskan pandangannya—karyanya diterbitkan pada tahun 2001—dengan diawali bahwa jamu Indonesia—yang merupakan bagian dari sistem terpadu kesehatan dan kecantikan luar dan dalam, meliputi bedak, pil, salep, losion, pijat, dan cerita tradisi rakyat—tak diketahui oleh sebagian besar orang Barat. Sekilas, jamu nampak punya hubungan sebab-akibat dari dunia modern ini. Pembuatan jamu di rumah tentu sudah menurun, namun, sebagai gantinya, industri jamu dan kosmetika semakin berkembang dan kini memproduksi sejumlah produk perawatan kesehatan dan kecantikan yang aman dan higienis. Industri ini, lambat berkembang karena selama bertahun-tahun ada keengganan berbagi rahasia. Akan tetapi, sikap tersebut berubah oleh industrialisasi pesat, yang telah menyebabkan, secara paradoks, peningkatan permintaan akan obat tradisional.
Dulu, para ibu mewariskan rahasia resep penyembuhan ini kepada para putrinya. Mereka yang jempolan dalam menyiapkan jamu, dimintai saran oleh tetangganya; dan permintaan akhirnya menghasilkan bisnis keluarga kecil. Inilah cikal bakal industri rumahan, yang kemudian menjadi konglomerat kekinian. Produksi telah berpindah dari rumah ke pabrik-pabrik mutakhir yang lengkap dan menjadi relatif mudah membeli apa yang orang Barat anggap sebagai losion, pil, dan ramuan mistis di gerai-gerai ritel.

Beers kemudian mengisahkan saat kali pertama ia 'mencicipi' Jamu. 'Pegel Linu', Bu Sri, sang peracik Jamu, memaklumatkan padanya dengan penuh percaya diri, yang gak sengaja membuat Beers pucat-pasi. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia menenggak ramuan tersebut, terbayang bagai campuran obat batuk Barat paling getir berwujud nektar. Air yang diberi hanya sedikit gula, mengurangi sisa rasa. Hingga tengah malam, ia masih belum merasakan reaksi yang diharapkan. Pada jam 5 pagi keesokan harinya, ia terbangun dan mengira bakalan mati suri, namun—yang membuatnya terheran—ia merasakan sesuatu yang lebih baik dari yang sebelumnya. Ini dahsyat—ia benar-benar memperoleh energi baru; sungguh, ia tak pernah merasa lebih bugar dan jamulah satu-satunya variasi dari pola makan normalnya.
Sejak saat itu, ia terpikat. Ia mulai mengkajinya dengan sungguh-sungguh, dengan harapan, orang lain dapat mengambil manfaat dari pengalamannya dan menemukan apa—jika ada—yang dapat dilakukan bagi mereka, oleh orde kesehatan lawas Indonesia ini.

Merunut asal-usul jamu bukanlah pekerjaan mudah, tulis Beers. Para pakar sepakat bahwa penggunaan tetumbuhan untuk tujuan pengobatan di Indonesia, telah ada sejak zaman prasejarah. Teori ini didukung oleh koleksi peralatan batu Neolitikum yang mengesankan di Museum Nasional Jakarta, yang hampir pasti digunakan bagi layanan kesehatan sehari-hari. Alat seperti lesung atau batu gosok, digunakan menggiling tanaman dan memperoleh bubuk serta ekstrak tetumbuhan. Bukti lebih lanjut dapat ditemukan pada relief batu yang menggambarkan siklus hidup manusia di candi ternama, Borobudur, yang berasal dari tahun 800–900 M. Pada ukiran tersebut daun kalpataru (dari 'pohon mitologi yang tak pernah mati') ditumbuk bersama bahan-bahan lainnya guna maracik ramuan perawatan kesehatan dan kecantikan wanita. Relief menggambarkan pula orang-orang yang sedang memijat tubuh, sebuah proses penyembuhan yang tercatat di banyak belahan dunia, khususnya di China, Jepang dan India. Dengan terbentuknya jalur perdagangan awal antara Asia dan Asia Kecil, teknik penyembuhan dengan mudah berpindah dari Timur ke Barat, dan sebaliknya.
Pada akhir milenium pertama, pengaruh budaya Jawa mulai menyebar ke pulau tetangga Bali, yang masyarakatnya telah menyerap pengaruh India. Imperium Majapahit yang kuat berkembang pesat di Jawa Timur, menguasai sebagian besar lautan antara India dan Tiongkok; hubungan dibangun antara Jawa dan Bali (saluran sepanjang kurang dari lima km memisahkan kedua pulau). Namun Imperium Majapahit menginginkan lebih, dan pada tahun 1343 pasukan di bawah komando Gajah Mada, diutus oleh penguasa Hayam Wuruk untuk menaklukkan Bali. Kesuksesannya tak bertahan lama dan masyarakat Bali membalas beberapa kali, berusaha menghalau kekuasaan mereka ke wilayah paling ujung timur Pulau Jawa.
Setelah masuknya Islam dan pecahnya imperium Majapahit pada akhir abad ke-15, banyak orang Jawa mengungsi ke Bali, membawa serta buku, budaya, dan adat istiadat mereka. Di sana, mereka tetap terisolasi sampai tahun 1908, ketika Belanda menaklukkan pulau tersebut. Petaka sejarah ini, bermakna bahwa cara pengobatan di Bali acapkali mencerminkan cara penyembuhan di Jawa 400 tahun yang lalu, dan di sini, tradisi penyembuhan Jawa sebagian besar masih tetap utuh.

Dalam hal usada (kitab Penyembuhan), yang merupakan kumpulan kitab berkaitan dengan praktik penyembuhan, terdapat dua naskah di perpustakaan Keraton Surakarta yang bertanggal, dan bisa dibilang merupakan referensi terbaik mengenai jamu dan pengobatan tradisional yang pernah ada—yaitu, Serat Kawruh bab Jampi-jampi dan Serat Centhini. Yang disebutkan pertama, mungkin memberikan gambaran yang paling sistematis tentang jamu. Terdiri dari total 1.734 formula yang terbuat dari bahan-bahan alami, beserta informasi kegunaannya. Sebanyak 244 entri lainnya berbentuk doa atau figur simbolis yang digunakan sebagai jimat atau talisman yang ampuh untuk menyembuhkan masalah kesehatan tertentu, atau melindungi pemiliknya dari ilmu hitam apa pun yang ditujukan kepada mereka.
Serat Centhini yang berusia 300 tahun, masih dipandang sebagai salah satu rujukan utama jamu dan punya banyak cerita ilustratif yang tak hanya menarik untuk dibaca, tapi juga mendidik. Raden Jayengresmi atau Seh Amongraga merupakan tokoh sentral dalam Serat Centhini. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom menyajikan Suluk Jatiswara untuk diterangkan dan dipelajari. Banyak kaum piawai yang diminta membantu sesuai ilmunya masing-masing, termasuk Kanjeng Pengulu Tafsir Anom yang membahas tentang Islam. Para ahli lainnya juga menulis tentang hal-hal seperti agama, ilmu kebatinan, kesempurnaan batin, keagungan, kekuatan, kasih sayang, seksologi, primbon, ilmu spiritual, astrologi, pranatamangsa [sistem penanggalan atau kalender yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan], sesaji, karma, ziarah, peninggalan zaman dahulu, sastra, dongeng, cerita sejarah, keris, kuda, burung, perumahan, musik dan lagu, tarian, tanaman, pertanian, obat-obatan dan masih banyak lagi, termasuk hal-hal lucu dan gurauan. Semuanya dijelaskan secara gamblang, mendalam dan menyenangkan, termasuk gunung, gua, pantai seperti yang diberitakan oleh para bupati dan utusan, serta menjelaskan tempat-tempat keramat dan angker. Pangeran Adipati Anom pun menyempatkan diri menggarap dan meneliti seluruh isi Serat Centhini.
Serat centhini disalin dan direvisi sehingga seringkali tiada yang tahu edisi mana yang asli. Beberapa versi bertanggal 1742 dalam kalender Jawa, yang setara dengan tahun 1814 dalam kalender Barat, namun para ahli mengatakan sebagian besar materinya berasal dari abad-abad sebelumnya. Namun, terlepas dari pendekatan dasarnya, Serat centhini menyajikan salah satu kisah terbaik tentang pengobatan di Jawa kuno. 
Lantas, apa sih sebenernya jamu itu? Jawaban mudah bagi pertanyaan ini, jamu itu, obat herbal Indonesia. Namun, Jamu bukan semata jamu, jawabannya tak sesederhana itu, terutama karena jamu diyakini luas tak lebih dari sekedar afrodisiak yang ampuh. Ketika menyebutkan jamu di Asia, reaksinya akan beragam, mulai dari penolakan dan ketidakpercayaan, cibiran, atau mungkin bincang panjang lebar tentang manfaat jamu. Bahkan di Indonesia, masyarakat belum bisa sepakat mengenai sebuah definisi. Semua orang tahu apa itu jamu, tapi setiap orang membedakan antara jamu, obat-obatan, dan kosmetik. Setiap jamu dapat diaplikasikan dengan lebih dari satu cara; penggunaannya tergantung keluhan atau kebutuhan. Bisa berupa minuman herbal yang diminum untuk mencegah penyakit, jawaban terhadap penyakit kronis, atau dibuat infus, distilasi, diseduh atau ditempelkan buat merawat rambut.
Jamu juga digambarkan sebagai obat homeopati. Tentu saja ada kesamaan: ia holistik dan nabati. Namun kesamaannya berakhir di situ; prinsip dasar homeopati yang mengencerkan obat dengan lebih dari 99 bagian alkohol, hampir tak sesuai dengan teknik pembuatan jamu atau hukum Islam tentang alkohol. Jamu mencakup rangkaian minuman, pil, kapsul, dan bubuk menakjubkan yang dikata dapat menyembuhkan hampir semua penyakit yang diketahui manusia. Jamu dapat digunakan sendiri atau bersamaan dengan teknik penyembuhan lain seperti pijat. Keuntungannya, bila diberikan dengan benar, tak menimbulkan efek samping dan, menurut kebanyakan orang Jawa, sangat efektif. Terlepas dari beragam pendapat mengenai topik sensitif ini, ada satu persepsi umum—jenis jamu yang paling populer, dapat menambah dan meningkatkan 'vitalitas'.
Jamu merupakan terapi holistik. Konsep keharmonisan—keseimbangan antara seseorang dan lingkungannya, atau keseimbangan antara unsur panas dan dingin dalam tubuh—bermakna penyakit dan obat-obatan dibagi ke dalam kategori panas dan dingin. Keahlian seorang herbalis terletak pada membedakan penyakit panas dengan obat flu yang tepat dan sebaliknya; obat panas menyembuhkan penyakit masuk angin, dan obat flu dianjurkan bagi penyakit panas. Resep jamu selalu mengikuti aturan ini, itulah sebabnya terdapat katalog antonim: panas dan dingin; asam manis; pahit dan legit; kuat dan lemah. Demikian pula, jika suatu formula dikembangkan untuk mengatasi masalah tertentu pada satu organ tubuh, maka dampaknya pada seluruh sistem harus selalu dipertimbangkan. Banyaknya daun, akar, atau kulit kayu dalam satu jamu terdiri dari tiga kategori: bahan utama, bahan pendukung, dan bahan yang ditambahkan hanya untuk meningkatkan cita rasa jamu. Setelah dicampur dan diaduk, seluruh bahan berinteraksi bersama mengatasi gejalanya.
​Jamu punya empat fungsi dasar. Mengobati penyakit tertentu (beragam masalah seperti batu ginjal, kanker serviks atau diare); menjaga kesehatan yang baik (melalui peningkatan sirkulasi darah dan peningkatan metabolisme); meredakan rasa sakit dan nyeri (dengan mengurangi peradangan atau membantu masalah pencernaan); dan juga mengatasi gangguan fungsi tertentu pada tubuh (seperti kurangnya kesuburan atau bau badan yang tidak sedap). Terkadang bisa multifungsi: misalnya, jamu bisa menjadi tonik umum, tapi juga bertindak sebagai antiseptik mencegah infeksi lambung.
Jamu bukanlah pengobatan dalam semalam. Hasil hanya dapat dicapai dengan penggunaan rutin dalam jangka waktu tertentu. Dan karena 'penyembuhannya' dilakukan secara bertahap, pasien biasanya tak mengalami efek samping apa pun. Beberapa jamu terbuat dari ramuan beracun dan jika tak dibuat dan dikelola dengan benar, jamu tersebut berpotensi menjadi racun. Seni ahli herbal terletak pada mengetahui cara menetralisir unsur-unsur beracun ini guna menghasilkan obat yang ampuh dan menyembuhkan. Terkadang, jamu diminum bersamaan dengan pijat tradisional untuk mempercepat proses penyembuhan.

Pemrosesan dan penjualan jamu merupakan peragaan yang dilakukan oleh satu orang (atau, biasanya, satu orang wanita) hingga awal abad ke-20. Beberapa peracik jamu, yang sadar akan meningkatnya permintaan jamu dan mungkin menyadari pula potensi keuntungannya, mulai membuat dan menjualnya dalam jumlah yang lebih besar. Tatkala informasi tentang kualitas dan efektivitas jamunya tersebar, banjir orderan pun datang dan jamu Indonesia menumbuhkan industri rumahan.

Indonesia kaya akan flora, terdiri dari banyak jenis tanaman yang unik. Diberkahi dengan iklim tropis dan ribuan pulau, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia. Jamu—yang diakui oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai bagian dari Global Intangible Cultural Heritages from Indonesia—merupakan salah satu obat herbal yang dikenal di Indonesia. Cincau atau camcau hijau perdu berbentuk gel juga sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia. Cincau sering disajikan sebagai campuran dalam es campur atau bahkan disajikan sebagai es cincau. Teh Rosella merupakan produk minuman hasil fermentasi seduhan kelopak bunga Rosella yang dapat digunakan sebagai obat tradisional menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Ubi jalar ungu mengandung antosianin dan sejumlah pati resisten yang bermanfaat bagi kesehatan. Dan masih banyak lagi yang dapat dijadikan sebagai pengobatan alternatif dan komplementer.

Dua pemuda tadi telah berlalu usai meneguk ramuan jamu mereka, neng Ijah perlahan-lahan memanggul kembali bakul jamunya yang terisi penuh. Rasanya nelangsa melihat sungguhlah pelik barang bawaan gadis belia ini. Akan tetapi, atas rahmat Rabb para insan, dan dengan ikhtiar meminum Beras Kencur dan Kunir Asem setiap hari serta sesekali oplosan pahit, ia nampak sehat sekali. Ijah mulai melangkah dan dengan ramah menjajakan obat herbalnya, 'Jamuu  jamuuu ... Jamune Maas!'

Pada episode berikutnya, 'Money in Politics' akan menjadi perbincangan kita yaq? Bi 'idznillah."

Kemudian, bunga Matahari lanjut dengan dendang 'Umbrella'-nya Rihanna,

Now that it's raining more than ever
[Kini hujan turun lebih deras dari sebelumnya]
Know that we'll still have each other
[Ketahuilah bahwa kita akan tetap saling memiliki]
You can stand under my umbrella
[Dikau boleh berdiri di bawah payungku]
You can stand under my umbrella *)
[Dikau boleh berdiri di bawah payungku]
Kutipan & Rujukan:
- Susan-Jane Beers, Jamu: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing, 2001, Tuttle Publishing
- Soewito Santoso & Kestity Pringgoharjono, Stories from the Serat Centhini: Understanding the Javanese Journey of Life, 2013, Marshall Cavendish International
*) "Umbrella" karya Christopher A. Stewart, Shawn C. Carter, Terius Youngdell Nash & Thaddis Laphonia Harrell
[Sesi 10]
[Sesi 8]

Rabu, 17 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (8)

"Pernah kejadian, seorang lelaki menemui seorang dokter. Ada timun di hidungnya, wortel di kuping kirinya, dan pisang di telinga kanannya. 'Ada apa dengan saya ya dok, apa sa mengalami sakit berat?' tanyanya dengan sendu pada sang dokter ayu.
'Enggaak, bapak baik-baik aja kok,' jawab dokternya, 'cumaan, cara makannya aja yang kurang bener.'"

"Mengapa hampir semua orang menyukai komedi, demikian pula dengan para komedika dan komika?" ucap bunga matahari sambil memperhatikan 'Laskar Rakyat Mengatur Siasat', sebuah karya hasil sapuan jemari seorang perupa ekspresionis, Affandi. "Pertama, sedikit banyaknya, komedi mengajak kita bernalar ringan dengan tertawa, menertawakan ucapan dan tingkah lucu para komedika, atau ngakak nertawain diri kita sendiri oleh lontaran-lontaran humor para komika, walau mereka sendiri, mesem doank atau malah nampak serius banget.
Orang terkadang menangis saat menonton film, namun tak sesering yang diinginkan produser dan sutradara. Dan jika filmnya berlebihan, seketika menjadi murahan dan kebanyakan permen. Guyonan dalam film acapkali tak sukses, dan bahkan film horor cenderung mengandalkan 'jumpscare' ('lonjakan ketakutan' atau 'kejutan', teknik yang digunakan untuk membuat takut penonton dengan cara mengagetkan semisal suara atau kilatan cahaya yang tiba-tiba) dibanding horor yang sebenarnya. Akan tetapi, komedika, naik ke pentas dan membuat orang tergelak dan terbahak-bahak selama satu jam tanpa henti, yang dapat dikata, salah satu 'the strongest emotions of all'.
Kedua, seni komedi dapat hidup di negara-negara yang, baik di era monarki lawas, otokrasi, maupun demokrasi, namun pada dua yang disebutkan pertama, hanya di kalangan terbatas, sedangkan pada yang disebutkan terakhir, komedi bersama dunia seni lainnya semisal seni teater, seni musik, seni rupa, seni sastra, seni kuliner, bahkan budaya pop atau pop culture, dapat menjadi stimulan, karena mereka punya 'kerajaan' sendiri, sehingga bisa menjadi agen independen untuk menggugah semangat setiap warga agar merasa menjadi bagian dari sebuah masyarakat demokratis. 
Kita semua perlu tertawa, tertawa itu, universal, dan banyak peristiwa berbeda yang bisa mewujudkannya. Selain tertawa dan bercanda, baik bagi pemain maupun penonton teater, komedi hadir sebagai bentuk atau struktur naratif. Pada dasarnya, ada pola, langkah, dan aturan yang cenderung diikuti oleh bahkan para komedika kondang—mereka telah menguasainya dan bisa memainkan setiap jenis variasi secara naluriah. Penyair komika terlalu kuat bila tak menarik perhatian para pemimpin politik: akibat tawa yang disebabkan oleh karikatur satire di atas panggung, tentu sulit diabaikan dalam masyarakat yang mengutamakan kehormatan pribadi. Dan para penyair komika, sangat berperan dalam arus sastra dan intelektual, yang menaungi dan memberi informasi kepada kalangan politisi, agar tak terlibat dalam politik. Aristophanes dan Shakespeare berhasil melakukannya. Satu-satunya bukti tekstual yang utuh dari komedi abad kelima dan awal abad keempat adalah sebelas komedi yang sepenuhnya dipelihara, karya Aristophanes, yang kemungkinan besar lahir setelah tahun 450 SM dan meninggal setelah tahun 388 SM. Komedi-komedi utama Shakespeare ditulis pada masa subur sejarah budaya Inggris: tahun 1590-an. Teater publik profesional berkembang pesat; London menjadi tempat berkumpulnya masyarakat segala kelas; buku cetak menjadi murah dan populer; perbincangan artistik dan filosofis merupakan hal yang populer, begitu pula gosip, cerita para pelancong, dan kisah-kisah tentang kehidupan bawah tanah kota yang padat.

Komedi itu, kebenaran dan rasa-sakit, kata John Vorhaus. Saat seorang badut tertampar kue di wajahnya, itulah kebenaran dan 'sakitnya tuh, di sini'; dan itu pula yang membuat sebuah lawakan terlontarkan. Dikau merasa, badut malang itu, berlumuran puding, dan dirimu tersadar bahwa selama ini, bisa terjadi padamu.
Komedi dapat memberi kita kepastian tentang posisi kita. 'A shared joke is a shared world'. Namun naluri komedi juga mengundang kita memikirkan dunia baru, dan seringkali berkata dengan fasih kepada mereka yang hendak mencoba beragam hal. Imajinasi komika acapkali berkisar pada gagasan asal usulnya, tetapi permulaan komedi itu sendiri, sulit dijabarkan pada lokasi tertentu. Akar etimologis dari kata tersebut mengisyaratkan asal usul bentuk yang tak jelas. Ada yang berpendapat bahwa kata komedi adalah kome (‘daerah pedalaman’), namun kemungkinan besar berasal dari kata komos, sebuah kata kompleks yang paling baik diterjemahkan oleh Kenneth Dover: ‘prosesi yang berisik, membahagiakan, dan memabukkan’. Kemudian ditambahkan akhiran ody (‘lagu’), dan muncullah gambar sekelompok orang yang sedang mabuk-mabukan membuat lagu dan menari tentang beragam hal. Definisi komedi Aristotelian yang rapi—'peniruan sebuah atraksi yang lucu'. Namun komedi tak selalu menjadi bahan tertawaan. Dunia itu, komedi bagi mereka yang memikirkannya, dan tragedi bagi mereka yang merasakannya, kata Horace Walpole. Komedi itu, kehidupan yang dilihat dari kejauhan; tragedi itu, kehidupan dari jarak dekat, kata Charlie Chaplin; Tragedi itu, ketika jari kelingkingku terpotong. Komedi itu, saat dikau jatuh ke dalam lubang selokan dan mati, kata Mel Brooks. Semua orang menyukai komedi sebagai perspektif yang terpisah, namun sejak dahulu, saat komedi dan tragedi dirasakan, bukanlah hal yang bertolak belakang. Simposium Plato ditutup dengan Socrates yang meminta dua contoh mode saingannya (Aristophanes dan Agathon) mengakui bahwa 'kejeniusan komedi sama dengan kejeniusan tragedi, dan bahwa seniman sejati dalam tragedi itu, juga seniman komedi.

Terlepas dari komedi, salah satu seni musik yang menghadirkan tragedi, humor atau gabungan keduanya adalah Dangdut Indonesia. Dinamakan secara onomatopoeik lantaran karakteristik suara gendangnya, 'dang' dan 'dut', musik ini terdengar di jalan-jalan dan rumah-rumah, taman umum dan gang-gang sempit, toko-toko dan restoran, dan segala bentuk transportasi umum. Di setiap hajatan, resepsi pernikahan, bar, dan klub karaoke, orang Indonesia bernyanyi. Mereka menari. Di mana pun, di sana dan di mari.
Dangdut lahir di Indonesia sebagai salah satu genre musik populer tradisional hasil perpaduan musik film India dengan musik Melayu dan rock'n roll ala Barat. Perpaduan gaya musik ini, pertama kali digunakan di Jakarta sekitar akhir tahun 1960an. Sebagai salah satu bentuk budaya populer di awal tahun 1970-an, dangdut dikomersialkan pada tahun 1980-an, kampanye politik, terkadang tontonan tari yang erotis, dan perhelatan komunal sehari-hari—inilah situs-situs dimana dangdut membingkai makna tentang hubungan kelas dan milik nasional. Berakar pada musik populer perkotaan Indonesia pasca-kolonial, dangdut merupakan situs istimewa untuk menceritakan kisah-kisah tentang negara-bangsa modern Indonesia. Memang benar, dangdut akan selalu identik dengan tarian. Berbeda dengan jenis musik populer lainnya, dangdut ‘mengajak’ orang menari. Daya tarik dangdut terletak pada kenyataan bahwa seseorang tak perlu latihan khusus untuk turut-serta. 'Goyang Mang!' merupakan respon yang lumrah ketika orang Indonesia membicarakan dangdut. Goyang secara sederhana bermakna 'gerak', namun dalam dangdut, merujuk pada gerakan pinggul, pinggang, dan bokong yang berbuncang. Goyang bukan sekadar gerak tubuh, melainkan reaksi ‘alami’ dan ‘tanpa sadar’ pada irama gendang khas dangdut.

Sama seperti komedi dan genre seni lainnya, Dangdut punya ‘Kerajaan’-nya sendiri. Pada pertengahan hingga akhir tahun 1970-an, popularitas genre ini meningkat pesat, begitu pula jumlah penyanyi dan corak 'spin-off'-nya.
Lirik lagu-lagu hits dangdut tahun 1980an, banyak yang mengungkapkan sentimen tragedi (derita; sengsara; merana). Dalam lagu-lagu ini, tragedi datang dalam aneka bentuk: putus-cinta, kesulitan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan keadaan sosial yang kejam dalam kehidupan modern sehari-hari.
Dalam dangdut, lirik gak penting, tapi bagaimana lagu-lagunya diinterpretasikan, akan mendapat perhatian. Terkadang merangkaikan tragedi dan humor, semisal 'Pak Hakim dan Pak Jaksa, kapan saya akan di sidang'; 'Ku jarang dibelai' disingkat Jablai, 'Lebih baik sakit hati daripada sakit gigi', dan masih banyak lagi yang menjadi perbincangan ikonik dalam seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Tetembang dangdut mengartikulasikan pengakuan masyarakat akan ketidakberdayaan, menyulih situasi kehidupan nyata, namun tanggapannya bersifat ideal dan terbuka akan penafsiran.

Kehidupan Indonesia modern tahun 1980an penuh kontradiksi. Ideologi negara Pancasila, yang menekankan demokrasi dan keadilan sosial, dikemas ulang sebagai kesetiaan kepada presiden, di atas segalanya. Ibarat permukaan danau yang tenang, di kedalamannya, terdapat arus yang kuat. Hidup penuh ketakutan, sampai-sampai bila hendak menyebut nama seorang pejabat sipil atau tentara berpangkat tinggi, harus menggunakan 'inisial', yang lanjut terbawa hingga kini. Sapaan akrab para founding parents Indonesia, 'Bung' atau 'Bang', hanya dipakai kaum oposisi, kampanye politik atau dalam nyanyian-nyanyian patriotik, selebihnya, 'menurut petunjuk Bapak Presiden'.
Dalam keadaan seperti ini, dapat dipahami jika masyarakat 'gak mau ambil pusing' atau 'mengalihkan perhatian'. Daripada 'mikirin hutang numpuk segudang, mendingan kita happy-happy'. Setidaknya, dengan menikmati malam yang menyenangkan, orang bisa 'buang masalah jauh-jauh'. Namun, mekanisme kenikmatan yang meredakan penderitaan masyarakat, tak cukup menjelaskan jenis makna yang muncul dalam kidung di era itu. Dangdut membuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran, bukan menutupnya begitu saja. Dangdut tak memberikan jawaban atas permasalahan tersebut. Sebaliknya, ia mendorong batas-batas dari apa yang diperbolehkan untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan yang lebih jauh.

Kondisi memunculkan gerakan, dan dangdut menampilkan ‘goyangan’. 'Dangdut Nation brings the 'happiness' of dangdut'. Status sosial dangdut perlahan terangkat oleh popularitasnya kala itu di kalangan 'birokrat, dari menteri hingga wakil gubernur—dan kemungkinan besar banyak lainnya. Menjelang pemilu nasional pada tahun 1992, pejabat tinggi pemerintah dan militer menyatakan dangdut sebagai musik nasional Indonesia.
Gagasan bahwa dangdut mewakili seluruh masyarakat Indonesia, ditambah dengan popularitasnya yang sangat besar, merupakan sebuah cerita umum yang dikisahkan seperti ini: dinyanyikan dengan lirik yang dapat dimengerti oleh hampir semua orang Indonesia, mengungkapkan perasaan yang dapat dirasakan oleh semua orang, dan dengan irama yang dapat membuat semua orang bergoyang. Wajar jika dangdut menjadi ikon bangsa. Hasilnya, representasi dan makna dangdut berubah dari musik masyarakat awam yang menduduki lapisan bawah sistem sosial dan politik, menjadi genre yang dipopulerkan sebagai musik nasional pada tahun 1990-an. Dangdut yang digemari sebagian besar masyarakat Indonesia, merupakan bidang yang diistimewakan untuk menciptakan identifikasi dengan cita-cita dan nilai-nilai budaya bangsa.
Namun bagi sebagian besar penggemar dangdut, nilai dan makna dangdut tak berubah. Penggemar sudah tahu betul kalau dangdut itu musik mereka. Liriknya terbuka bagi beragam penafsiran, kostumnya bercorak dan mencolok, gaya pertunjukannya campy dan erotis, dan gaya musiknya yang beraneka.

Namun seiring waktu, gambaran dan cerita terkait dangdut semakin tersingkir dari keseharian sebagian besar masyarakat. Dangdut harus menghilangkan citranya sebagai 'ndeso': 'gak bisa dianggap ndeso lagi, lantaran sudah go internasional'. Tak lagi puas dengan keadaannya, dangdut pun terus bergoyang. Gambar dan cerita tentang kehidupan glamor para selebriti dangdut membanjiri pasar tabloid. Para bintang diunjukkan tampil di studio televisi yang gemerlap atau di panggung konser spektakuler; mengenakan jeans dan pakaian olahraga di rumah menikmati waktu senggang bersama keluarga; atau mengendarai mobil mahal, mengenakan pakaian bermerek, dan duduk di kafe bersama sesama selebriti. Sponsor mengalir dari perusahaan rokok dan obat-obatan (misalnya obat pusing dan sakit kepala).
Citra, nilai, dan makna bangsa seperti apa yang dihadirkan kepada masyarakat dangdut pada periode tersebut? Departemen Penerangan melalui stasiun televisi nasional TVRI menerapkan kontrol ketat terhadap apa yang boleh ditayangkan di televisi. Lagu-lagu tersebut dilarang karena diduga menimbulkan citra buruk Indonesia, termasuk 'Gadis atau Janda?' dan 'Jagung Bakar', yang keduanya tak boleh tayang di TVRI pada awal tahun 1992. Sensor lagu-lagu dangdut didasarkan pada lirik dan gambar visual yang dianggap tak bermoral atau kritis terhadap rezim Orba. Namun pedoman pengendalian konten tak disebutkan dengan jelas. Di masa itu, pembredelan, di masa kini, penyanderaan.
Meski demikian, tak semua citra dangdut seburuk itu, penyanyi dangdut belakangan ini, membawa tema humor.

Di era Orba, Kebudayaan digunakan bagi tujuan politik guna menggalakkan gagasan 'Bhinneka Tunggal Ika'. Representasi simbolis dari budaya-budaya yang teratomisasi, dikonstruksi dan ditampilkan di televisi nasional, dalam wacana politik nasional, dan di perhelatan nasional. Namun, dalam representasi perbedaan multikultural ini, semua orang pada akhirnya terlihat sama. Ketimpangan sosial berdasarkan perbedaan etnis, ras, kelas, dan gender, dikesampingkan demi homogenitas nasional. Sejarah berulang, akhir-akhir ini, muncul pulak orang-orang dungu, yang mengusulkan gagasan untuk menghapus perbedaan demi harga mati keseragaman.
Pasca lengsernya Pak Harto, muncullah tren dangdut pada tahun 2006, 'dangdut etnik' yang bernuansa etnis Indonesia. Tembang yang menggunakan tangga nada, melodi, ritme, dan instrumen berasal dari musik yang terkait dengan salah satu dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia. Dangdut etnik memenuhi belantika musik lokal di berbagai pelosok tanah air. Ditembangkan dalam bahasa daerah dan dipasarkan kepada komunitas etnis tertentu, spin-off dangdut berkembang antara lain di Sumatera Barat (Minang saluang dangdut), Jawa Barat (Sunda pong-dut), Cirebon (tarling Cirebon), Jawa Timur (dangdut koplo Jawa), dan Banjarmasin (dangdut Banjar). Pada tahun 2007, 'dangdut berbahasa daerah' bahkan memperoleh kategori penghargaan tersendiri di Anugerah Musik Indonesia (AMI) tahunan. Dangdut, yang awalnya diasosiasikan dengan Melayu dan India pada tahun 1970an, dan kemudian tak lagi menjadi nasional pada tahun 1980an dan 1990an, telah berkembang menjadi sesuatu yang bersifat 'etnik' dan 'regional' pada tahun 2000an.

Dangdut banyak melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru, mulai dari ‘Mendadak Dangdut’, ‘Goyang Dombret’, ‘Jatuh Bangun’, ‘Dangdut Heboh’, ‘Dangdut Seksi’, hingga ‘Jablai’. Contoh-contoh ini penting bagi sejarah dangdut. Pandangan bahwa dangdut mungkin berakar pada  unsur-unsur dari India dan Barat, it's perfectly okay, yang terpenting, bentuk, terapan, dan maknanya, dikreasikan oleh orang Indonesia.

Rupanya, daku terlalu banyak ngomong tentang dangdut, sehingga diriku mulai melupakan topik komedi kita. Anyway, penjelasan utama dari lelucon itu, selalu berada di tengah-tengah hubungan antara para komedika dan inti komedi mereka."

Seperti sebelumnya, pada jeda episode berikutnya, bunga matahari membawakan senandung Barbra Streisand,

Memories may be beautiful
[Kenangan mungkin indah]
and yet what's too painful to remember
[namun betapa amat pedih bila diingat]
We simply choose to forget
[Kita hanya memilih lupa]
So, it's the laughter we will remember
[Maka, tawa itulah akan kita ingat]
Whenever we remember
[Kapan pun kita teringat]
The way we were *)
[Apa adanya kita dulu]
Kutipan & Rujukan:
- Matthew Bevis, Comedy: A Very Short Introduction, 2013, Oxford University Press
- Keith Sidwell, Aristhopanes the Democrat: The Politics of Satirical Comedy during the Peloponnesian War, 2009, Cambridge University Press
- Christie Davies, Jokes and their Relation to Society, 1998, Mouton de Gruyter
- Andrew N. Weintraub, Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music, 2010, Oxford University Press
- Penny Gay, The Cambridge Introduction to Shakespeare’s Comedies, 2008, Cambridge University Press
*) "The Way We Were" karya Alan Bergman, Marilyn Bergman, Marvin Hamlisch

Minggu, 14 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (7)

"Seorang fotografer sebuah eMagazine, ditugaskan memotret deforestasi parah di Borneo.
Kabut di tekapeh, terlalu tebal untuk menghasilkan gambar yang bagus, ia lalu menelepon kantornya, meminta sebuah pesawat. 'Okeh, nanti pesawatnya gua minta nunggu di bandara!' sang editor meyakinkannya.
Begitu sampai di bandara, benar aja, ada pesawat di dekat landasan. Ia langsung melompat masuk bersama peralatannya dan berseru, 'Ayo berangkat!'
Sang pilot lepas landas, dan tak lama kemudian, mereka telah mengudara. 'Kita terbang melintasi sisi utara kabut,' kata sang fotografer, 'dan memutar tiga kali sambil pelan-pelan turun ke level rendah.'
'Mau apa?' tanya sang pilot.
'Mau motretlah! Mau apa laagii?!' sahut sang fotografer dengan nada kesal.
Sungkan dan mikir bentar, lalu sang pilot berkata, 'Jadi ... bapak bukan instrukturnya?'"

"Mengapa orang Indonesia perlu menegakkan 'Sang Merah Putih', lagi?" ucap bunga matahari sembari memandangi mahakarya Basoeki Abdullah, sebuah taswir berukuran besar bertajuk 'The Struggle of Life'. Lukisan karya perupa ternama dunia ini, berlatar kobaran api yang mahahebat, dimana para banteng, macan, singa dan satwa lainnya, kocar-kacir. Kebakaran hutankah itu? Angkara-murkakah itu? Ataukah barangkali, suhu politik di Indonesia, semakin memanas? Banyak substansi yang dapat kita terjemahkan dari pemerian tersebut.
Lalu bunga matahari beralih ke lukisan lain sang maestro, 'Dalam Sinar Bulan', 'Panen', 'Nyi Roro Kidul' [sosok supranatural dalam cerita rakyat Indonesia], 'Ratu Kidul' [Ratu Laut Selatan, dewi yang memerintah 'Samudera Kidul' dalam mitologi Sunda dan Jawa] dan 'Tiga Dara'.
Ia selanjutnya berkata, "Menilik jauh ke dalam lukisan para wanita ini, menampilkan paras wajah 'Wanita Indonesia', mengingatkan kita pada 'The Pure Jasmine', Ibu Fatmawati. Dikau telah tahu bahwa 'Bu Fat'-lah yang menjahit 'Sang Saka Merah Putih', di dalam bilik bersahaja, dengan mesin-jahit bersahaja yang dioperasikan dengan tangan, tak dimaksudkan bagi segelintir orang, melainkan untuk kita semua, bangsa Indonesia. Sungguh, 'kebersahajaan' itu, menjadi acuan bagi orang Indonesia. Bendera yang sama terkibar setiap tahun hingga tahun 1968.

Makna bendera itu, datang dari batin yang diilhaminya. 'Sang Dwiwarna'—nama lain untuk Sang Saka Merah Putih, kini tersimpan di Istana Merdeka dan diteruskan oleh Sang Merah Putih, berbicara dengan cara yang tak dapat dibagikan oleh orang Indonesia; namun kita dapat memahaminya, karena banyak di antara kita yang berperasaan serupa terhadap simbol-simbol kebangsaan dan milik kita sendiri. Boleh jadi, dikau berpendapat positif, atau bahkan negatif, mengenai apa makna benderamu, namun faktanya ajek: kain bersahaja ini, matlamat bangsa. Sejarah, geografi, masyarakat, dan nilai-nilai sebuah puak—seluruhnya diperlambangkan dalam gatra kain, bentuknya, dan warna cetakannya. Ia bermakna, walau ketakrifannya berbeda bagi setiap orang. Masing-masing bendera di dunia, pada saat yang sama, punya keunikan dan kemiripan. Semuanya mengekspresikan sesuatu—terkadang mungkin, agak berlebihan, kata Tim Marshall.

Semua orang menggunakan simbol. Kita berbicara, bersuara untuk merepresentasikan sesuatu, atau tindakan, atau emosi, ataupun gagasan. Jika kita menulis, kita menggunakan garis, kurva, dan titik untuk melambangkan bunyi atau nada. Kita berpakaian dengan cara tertentu dan bukan dengan cara lain. Pakaian yang kita kenakan merupakan simbol yang menunjukkan bahwa kita lelaki atau perempuan, pendeta atau tentara, perawat atau biarawati. Sejarah dari simbol apa pun, biasanya dapat mengungkapkan sesuatu yang menarik dan penting tentang orang yang menggunakannya. Tentu saja, hal ini berlaku pula pada lambang warna-warni kebangsaan yang disebut bendera. Aforisme George Orwell mengungkapkan sepakbola itu, ‘perang minus nembak’, bahwa perpaduan sepakbola, politik, dan bendera, akan menangkap keselarasan batin yang amat kuat: kesedihan, keberanian, kepahlawanan, pembangkangan, ketekunan bersama, dan usaha-keras.
Darimanakah simbol-simbol nasional ini, yang begitu lekat dengan kita, berasal? Kisah bendera dimulai pada zaman prasejarah, jauh sebelum kain ditemukan. Pada masa itu, para manusia itu, para pemburu, dan mereka merasa sangat dekat dengan seluruh dunia fauna. Mereka menggambar margasatwa dan menerakannya di kayu atau batu. Barangkali, sebagian orang mengira mereka mendapat bantuan sihir dari sosok makhluk tertentu. Mereka bahkan mungkin percaya bahwa nenek moyang jauh mereka adalah beruang, anjing hutan, atau elang. Bagaimanapun juga, sekelompok orang yang masih berkerabat (disebut marga) acapkali mengadopsi nama binatang, burung, atau ikan, dan kemudian menjadi simbol marga. Kata lambang marga ini, dalam bahasa salah satu suku Indian Amerika, ialah totem. Kini, semua simbol yang berkenaan dengannya, disebut totem.
Ukiran totem terkadang ditempatkan di atas pintu atau di tiang depan rumah. Para prajurit membawa totemnya ke dalam perang. Satwa atau unggas, seringkali terlukis di atas perisainya, atau gambarnya dapat dibawa pada tongkat panjang yang disebut pataka. Kebiasaan ini, terbukti bermanfaat. Bila bala tentara berpencar saat bertempur, mereka dapat bergabung kembali dengan rekannya dengan mencari pataka yang dipunyai pemimpinnya.
Bendera merupakan fenomena yang relatif baru dalam sejarah umat manusia. Sejarah bendera dimulai sejak 5.000 tahun yang lalu. Kegunaannya berbeda-beda tergantung desain, bentuk, ukuran, dan warnanya. Standar dan simbol yang diabadikan pada kain sebelum adanya bendera dan digunakan oleh orang Mesir kuno, Asiria, dan Romawi, melainkan penemuan sutra oleh masyarakat di era Tiongkok, memungkinkan bendera sebagaimana yang kita kenal sekarang, berkembang dan menyebar. Kain tradisional terlalu berat bila diacungkan setinggi-tingginya, dibentangkan, dan berkibar oleh terpaan angin, terutama bila dicat; sutra jauh lebih ringan, dan itu berarti kain-rentang tersebut, dapat, misalnya, menyertai para pasukan ke medan perang.
Seusai manusia melewati tahap barbarisme terendah, seketika kebutuhan akan sebuah tanda istimewa, yang membedakan manusia dari manusia, suku dari suku, bangsa dari bangsa, mulai terasa; dan dikala kebutuhan utama ini terpenuhi, di sekeliling simbol yang dipilih, ingatan yang menggugah semangat, dengan cepat berkumpul hingga membuatnya dicintai, dan menjadikannya lambang kekuatan dan martabat rakyat yang memilikinya, yang punya daya tarik tak tertahankan terhadap patriotismenya, yang lahir di bawah naungannya, dan berbicara tentang kejayaan dan keagungan sejarah masa lalu, kewajiban masa kini, dan harapan masa depan—mengilhami mereka yang memandang kebanggaan mereka dengan tekad untuk hidup, dan jika perlu, mati, demi tanah air tercinta yang diperlambangkan olehnya.

Di Mesir, lebih dari lima ribu tahun yang lalu, elang merupakan totem raja, yang dikenal sebagai firaun. Faktanya, masyarakat Mesir percaya bahwa firaun sebenarnya seekor elang yang menetas dari telur, dan dalam masa yang panjang, burung ini masih menjadi simbol penguasa Mesir. Tatkala tentara firaun pertama berbaris, mereka membawa panji-panji dengan gambar elang di atasnya. Firaun di kemudian hari, alih-alih menempatkan seluruh burung sebagai pataka, namun terkadang hanya memperlihatkan sedikit bulunya.
Terlepas dari, benarkah kebiasaan ini dimulai di Mesir atau tidak, totem muncul di medan tempur, di banyak tempat. Tentara Asyur kuno berkumpul di sekitar piringan yang diangkat tinggi-tinggi. Di atasnya terlukis sosok seekor lembu jantan, atau dua ekor lembu jantan yang diikat ekornya. Orang Mesir berarak menuju medan perang di bawah bayang-bayang beragam satwa keramat, yang melambangkan dewa-dewa mereka, atau susunan bulu mirip kipas yang memarkahkan keagungan Firaun, sedangkan standar Asiria, dapat dengan mudah dilihat terwakili pada lempengan-lempengan istana Khorsabad dan Kyonjik, piringan logam berbentuk lingkaran yang berisi berbagai perangkat khusus.
Baik standar tersebut maupun standar Mesir, seringkali berpita kecil seperti bendera yang dipasang pada sebuah tongkat, tepat di bawah perangkatnya. Orang-orang Yunani, dengan cara yang sama, menggunakan burung hantu Athena, dan simbol-simbol keagamaan dan patriotik serupa, guna meminta perlindungan para dewa. Homer memaparkan Agamemnon yang menggunakan selembar kain ungu sebagai titik seruan para pengikutnya. Patung-patung Persepolis menunjukkan kepada kita bahwa bangsa Persia mengadopsi sosok matahari, elang, dan sejenisnya.
Jenis simbol yang berbeda konon muncul pada tahun 80 SM., ketika Persia memberontak melawan penguasa lalim. Pemimpin pemberontak seorang pandai besi, dan menurut legenda, celemek kerjanya diacungkan sebagai pataka di arena laga.

Pada zaman dahulu, mode mendandani totem dengan pita muncul di negeri lain selain Mesir. Beberapa tentara hanya menggunakan pita sebagai pataka, dan ide ini nampak telah menyebar ke arah timur, mungkin melalui India, hingga mencapai Tiongkok, tempat bendera pertama kali dikibarkan. Sekitar tahun 1100 SM, sebuah keluarga kerajaan era Tiongkok, punya bendera yang terbuat dari kain putih yang ditempelkan pada sebuah tiang. Belakangan, gambar-gambar era Tiongkok ini, menunjukkan pasukan kavaleri membawa bendera persegi panjang dengan pola yang dapat dikenali. Ada yang dipasang di bagian atas pada palang yang digantung di tiang seperti spanduk Romawi; yang lainnya diikatkan di samping, seperti halnya bendera saat ini. Bentuk segitiga, juga diikat di samping, menjadi favorit di India, dan bendera yang terbuat dari dua segitiga masih berkibar di Nepal, negara di perbatasan India.
Kain dan kebiasaan baru ini, menyebar di sepanjang Jalur Sutra. Bangsa Arablah, bangsa pertama yang memakainya dan bangsa Eropa mengikuti pula jejaknya, usai saling bersinggungan kala Perang Salib. Kemungkinan besar kampanye militer ini, dan melibatkan banyak tentara Barat, menegaskan penggunaan simbol lambang dan tanda persenjataan guna membantu mengidentifikasi para partisipan. Simbol heraldik ini, lalu dikaitkan dengan pangkat dan garis keturunan, khususnya dinasti kerajaan, dan inilah salah satu alasan mengapa bendera berevolusi, dari yang awalnya dikaitkan dengan standar medan perang dan sinyal maritim, menjadi simbol negara bangsa.
Bendera saat ini, biasanya terbuat dari bunting [umumnya berbentuk segitiga dan berwarna-warni], kain wol yang, berdasarkan sifat tekstur dan ketangguhan serta daya tahannya yang tinggi, amat sesuai dengan daya tahan terhadap keausan. Bendera semata dicetak jika berukuran kecil, dan diperlukan jumlah yang cukup sesuai biaya pemotongannya. Sutra juga digunakan, namun hanya untuk tujuan tertentu.
Setiap negara, kini diwakili oleh sebuah bendera. Johann Wolfgang von Goethe berkata kepada perancang bendera Venezuela, Francisco de Miranda, 'Sebuah negara dimulai dari sebuah nama dan sebuah bendera, dan kemudian menjadi keduanya, ibarat manusia memenuhi takdirnya.' Apa maksudnya berusaha merangkum sebuah bangsa dalam sebuah bendera itu? Ia berupaya menyatukan masyarakat berdasarkan seperangkat cita-cita, tujuan, sejarah dan keyakinan yang homogen–sebuah pekerjaan yang hampir mustahil. Namun disaat semangat berkobar, tatkala panji musuh berkibar tinggi, saat itulah masyarakat berbondong-bondong menuju simbolnya sendiri. Bendera amat berkaitan dengan kecenderungan tradisi kesukuan dan gagasan tentang identitas—ide tentang ‘kita versus mereka’. Sebagian besar simbolisme dalam desain bendera didasarkan pada konsep konflik dan pertentangan—seperti contohnya yang terlihat pada tema umum warna merah bagi darah rakyat. Akan tetapi, di dunia modern yang berupaya mengurangi konflik dan meningkatkan rasa persatuan, perdamaian dan kesetaraan, dimana perpindahan penduduk telah mengaburkan batas antara ‘kita dan mereka’, lantas, peran apa yang kini dimainkan oleh bendera? Yang jelas, bahwa simbol-simbol ini, masih punya kekuatan besar, mengkomunikasikan ide-ide dengan cepat dan menarik emosi dengan kuat. Kini terdapat lebih banyak negara dibandingkan sebelumnya, namun aktor non-negara menggunakan pula bendera sebagai semacam suara visual guna menyampaikan konsep, mulai dari banalitas barang komersial murah hingga bobroknya kekerasan. Sesuatu inilah yang terus kita saksikan dalam sejarah terkini.

Bendera merupakan simbol yang kuat, dan ada banyak organisasi yang menggunakannya dengan sangat efektif—bendera boleh saja merupakan perwujudan pesan-pesan semisal ketakutan, perdamaian atau solidaritas, menjadi dikenal secara internasional dalam lanskap identitas dan makna yang terus berubah.
Kita muncul di tengah keberadaan bangkitnya identitas politik di tingkat lokal, regional, nasional, etnis, dan agama. Pergeseran kekuasaan, kepastian lama hilang, dan pada saat seperti itu, masyarakat menggunakan simbol-simbol yang telah dikenal sebagai jangkar ideologis di dunia yang penuh gejolak dan terus berubah. Aktualitas sebuah bangsa, belum tentu sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam benderanya; namun paling tidak, bendera punya kekuatan membangkitkan dan mewujudkan sentimen, saking kuatnya sehingga kadangkala, orang bahkan rela menuruti kain berwarnanya, dalam tembak-menembak dan mati demi apa yang diperlambangkannya.
Selama berabad-abad, manusia telah tergerak melakukan aksi patriotisme dan kegagahberanian dengan mengikuti bendera marga atau negara mereka dalam peperangan. Saat ini, bendera masih digunakan dalam peperangan. Selain itu, digunakan pula untuk perayaan acara-acara besar, seperti acara politik, hari libur nasional, penobatan, dan parade. Pada saat berkabung, bendera dikibarkan setengah tiang untuk menghormati mereka yang gugur, dan disampirkan di atas peti-mati para pahlawan nasional.
Partai politik di sebuah negara, punya benderanya sendiri. Kadangkala, digunakan sebagai dasar desain bendera nasional baru tatkala sebuah negara telah merdeka. Klub, perusahaan, dan organisasi yang terdiri dari orang-orang dengan minat yang sama, juga memiliki benderanya sendiri. Banyak yang diakui di seluruh dunia. Lima lingkaran pada bendera Olimpiade, melambangkan keterhubungan lima benua dalam kompetisi yang damai. Perdamaian merupakan pula pesan dari ranting pohon zaitun yang mengapit dan menopang dunia, di bawah bendera PBB.

Perubahan politik menyebabkan banyak variasi pada bendera. Bendera bersahaja merah putih Indonesia, pada masa lampau, disebutkan dalam Pararaton, bahwa pada abad ke-13, dikibarkan oleh Raja Kediri, Jayakatwang, dalam laga melawan Kerajaan Singasari yang diperintah oleh Kertanegara. Dalam kitab Negarakertagama, pada masa Imperium Majapahit yang berkembang pada abad ke-13 hingga ke-16 di Jawa Timur, bendera merah putih digunakan sebagai simbol keagungan.
Sisingamangaraja IX menggunakan warna merah putih sebagai bendera perang, dengan pedang kembar berwarna putih dan bagian tengah berwarna merah cerah berlatar belakang putih. Pejuang Padri di Aceh menggunakan warna merah dan putih. Matahari, bintang, bulan sabit dan ayat-ayat Al-Qur'an sebagai latarbelakang. Woromporang merupakan bendera merah putih kerajaan Bone sebagai simbol kekuasaan dan kebesaran. Pangeran Diponegoro mengenakan bendera merah putih dalam perjuangan melawan Belanda. Semua ini, menggabungkan perlambang warna tradisional: merah sebagai keberanian dan putih sebagai kejujuran.

Tema 'Merah-Putih' semakin bermakna ketika Kongres Pemuda Kedua pada bulan Oktober 1928 sepakat menerima dua peranti kemerdekaan. Pertama, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Kedua, Sang Saka Merah Putih sebagai Bendera Nasional Indonesia. Ibarat bayi akan lahir dari rahim ibunya, hanya soal waktu. Bendera Indonesia resmi diterima pada tanggal 17 Agustus 1945, tiga hari setelah berakhirnya Perang Dunia II. Ia tetap menjadi bendera nasional ketika Indonesia mendapat pengakuan kemerdekaannya dari Belanda pada tahun 1949. Sang bayi telah lahir. Ia terlahir dari segumpal darah 'merah' dengan fitrah yang bersih, 'seputih' kapas yang lembut nan halus.
Namun, sebagai anak manusia, Sunnatullah telah tersurat, bahwa ia seyogyanya melewati suka dan duka kehidupan agar tumbuh semakin kuat. Dalam mengarungi samudera kehidupan di dunia ini, terkadang ia harus melawan para bajak laut. Bajak laut sama tuanya dengan pelayaran dan ada di seluruh dunia, namun keterkaitannya dengan bendera tengkorak dan tulang bersilang, boleh jadi berasal dari abad kedua belas. Mengapa mereka menggunakan simbol tengkorak, sungguh tak wajar. Ia bermula dari legenda 'Skull of Sidon', seperti yang dikisahkan oleh salah satu Peta Walter di abad kedua belas mengenai kejadian-kejadian meresahkan di pertengahan tahun 1100-an, 'Seorang wanita agung Maraclea, dicintai oleh seorang Ksatria Templar, Penguasa Sidon; namun ia meninggal di masa mudanya, dan pada malam penguburannya, sang kekasih jahat ini, merayap ke pekuburan, menggali makam dan menggaulinya. Kemudian, suara gharib memintanya kembali dalam waktu sembilan bulan karena ia akan memperoleh seorang putra. Sang ksatria pun menuruti perintah tersebut, dan pada waktu yang telah ditentukan, ia membuka kembali makam tersebut, lalu menemukan sebuah tengkorak dan dua belulang yang bersilangan.'
Para Ksatria Templar lebih menganggap diri mereka berada di pihak Tuhan, bukan sebagai bajak laut, namun perilaku mereka di laut, acapkali bersifat praktis. Para ksatria yang amat kaya ini, tak segan-segan menghentikan kapal-kapal kecil dan merampas barang-barang berharganya, dan lambang mereka, di kemudian hari, menjadi inspirasi bagi para 'perompak'—atau dengan kata lain, 'para penjarah'.

Pada tahun 1998, sang anak manusia berhasil menghalau para bajak laut yang telah menguasai kapal, menurunkan bendera tengkorak dan mengibarkan kembali 'Sang Merah Putih'. Peristiwa ini disebut 'Reformasi '98' dengan tema Demokrasi dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Seiring berjalannya waktu, rupanya, ada penumpang gelap di dalam kapal. Para penumpang gelap ini, mulai menjarah harta karun yang tersimpan di balik dek kapal. Kali ini, mereka tak bekerja sama dengan para Ksatria Templar, melainkan dengan para perompak asal China, yang mereka puja-puja sepanjang waktu, hingga mereka lupa akan warna bendera mereka sendiri. Kini, 'Sang Merah Putih' telah turun setengah tiang, dibawah bayang-bayang panji tengkorak.
Kita mengibarkan bendera, kita membakarnya, ia berkibar di luar gedung dewan dan istana kepresidenan, rumah-rumah rakyat dan ruang pamer. Ia mewakili politik, baik kekuasaan tertinggi maupun kekuatan massa. Banyak yang menyimpan sejarah tersembunyi, guna mewartakan masa kini. Sanggupkah sang anak manusia mengibarkan kembali 'Sang Merah Putih' ke puncak patakanya, ataukah ia tak berdaya menghadapi para perompak, sehingga 'Sang Bendera' bakal melorot ke titik nadir dan lepas dari tiangnya? Kita tunggu tanggal mainnya."

Sebelum melangkah ke episode berikutnya, bunga matahari bersenandung,

Putiknya persona
Rama-rama 'neka warna
'Kan kupersembahkan
Bagi Pandu Indonesia *)
Kutipan & Rujukan:
- Tim Marshall, Worth Dying for the Power and Politics of Flags, 2016, Elliott and Thompson Limited
- F. Edward Hulme, The Flags of the World: Their History, Blazonry, and Associations, 2021, Good Press
- David Ross, Flags, 1986, Willowisp Press
- Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, 2020, ISEAS
*) "Melati Suci" karya Guruh Sukarno Putra

Rabu, 10 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (6)

“Dari sebuah kapal penumpang, semua orang bisa melihat, seorang lelaki berambut acak-acakan dan berjanggut panjang di sebuah pulau kecil, berteriak-teriak dan melambai-lambaikan tangannya dengan putus-asa.
'Maaf Kep, itu siyapa yah?' seorang penumpang bertanya kepada sang kapten.
'Oh, sa kurang tahu,' jawab sang kapten, 'ini yang kelima kalinya kami lewat sini, dan kali ini, doi gampang banget kepancing emosi.'"

"Dalam debat kandidat di Indonesia, k'nape sih KPU ngebatesin durasi berdebat?" berkata bunga matahari sembari memperhatikan jam pasir bersayap sebagai gambaran literal dari frasa Latin 'tempus fugit'—waktu berlalu. "Pembatasan durasi debat tersebut, termasuk menetapkan batasan pidato bagi masing-masing kandidat, membatasi kesempatan berbicara, atau membatasi total durasi debat sebuah pertanyaan.
Seperti yang telah dikau ketahui, dalam forum debat publik, individu menghadirkan pidato singkat (2-4 menit) yang diselingi dengan sesi 'saling-bedil' berdurasi 1-3 menit, tanya jawab antar debater yang saling-berlawanan. Pemenang ditentukan oleh juri yang juga berperan sebagai wasit (pengaturan waktu, hukuman ketidaksopanan—semestinya ada tuh penalti buat penonton yang ngomong gak pantas semisal dikeluarin dari ruang debat, dll).
Debat merupakan cara yang efektif guna memberikan informasi dan melibatkan pemilih dalam proses politik. Dua sumber daya terpenting yang digunakan saat merencanakan debat adalah komunikasi dan organisasi. Para moderator dipilih berdasarkan pengalaman dan sikap non-partisan mereka. Mereka juga hendaklah punya tingkat pengetahuan umum yang wajar tentang isu-isu yang sedang dipersoalkan. Harap diingat bahwa moderator menentukan suasana perdebatan. Moderator yang lebih efektif akan menghasilkan debat yang menarik dan informatif. Yang terpenting, moderator seyogyanya profesional dan berimbang. Durasi debat antara 60 sampai 120 menit, tergantung pada jumlah kandidat dalam debat. Pastikan debat tak melebihi batas waktu dua jam yang ditentukan dan tiada jeda selama debat. Di arena kompetitif, durasi amat penting. Dalam debat calon presiden, para kandidat hanya diberi sedikit waktu untuk menyajikan kesan mendalam. Jadi, yang ditekankan dalam debat, selain pada batasan waktu, tapi juga, 'value' yang terpendam dalam debat.
Debat merupakan salah satu aktivitas tertua dalam peradaban. Debat yang tenang dan teratur, dimana para pembicara berargumentasi untuk menerima berbagai jawaban atas sebuah pertanyaan, merupakan ciri nyata dari parlemen dan kongres modern. Namun, hal ini juga mendapat tempat bahkan dalam pertimbangan para raja di jaman baheula, yang membentuk dewan bangsawan guna memberi mereka nasihat. Manakala para bangsawan tak sepakat, mereka diperbolehkan memperdebatkan usulannya di hadapan raja, yang bertindak sebagai hakim terakhir dalam memilih sebuah rencana tindakan.
Dalam masyarakat demokratis modern, hak berdebat adalah aset yang sangat berharga. Hal ini memungkinkan setiap warga negara mengusulkan rencana tindakan yang lebih baik dibanding yang ditetapkan oleh penguasa yang berkuasa. Jika sang pembicara dapat meyakinkan cukup banyak masyarakat bahwa ide baru tersebut lebih baik, maka ia dapat mengubah kebijakan kota, kabupaten, propinsi, negara, atau bahkan bangsa.
Engkau mungkin tak menyadari fakta bahwa perdebatan terjadi di setiap lapisan masyarakat, tak hanya di lingkungan  akademis atau DPR. Sebenarnya, setiap keadaan dimana engkau diminta membandingkan alternatif-alternatif, merupakan keadaan yang memaksamu memperdebatkan manfaat dari alternatif-alternatif tersebut. Terkadang dikau melakukan perdebatan dengan dirimu sendiri, seperti ketika dikau hendak memutuskan apakah akan masuk perguruan tinggi atau pekerjaan yang sesuai untukmu. Terkadang, perdebatan dilakukan di hadapanmu oleh orang lain, dengan dirimu sebagai jurinya, semisal para sales yang mempresentasikan jualan mereka, yang masing-masing memintamu, membeli produk istimewa mereka. Acapkali, kita gagal paham mengenali situasi perdebatan, lantaran hanya satu orang yang berbicara kepada kita—seorang penjual di sebuah toko, misalnya—namun biasanya, orang tersebut mengungkapkan sifat sebenarnya dari perdebatan tersebut, dengan bertindak seolah-olah ada orang ketiga yang hadir bersamamu.

Argumen merupakan pondasi yang paling mendasar dari debat. Dengan memahami sesuatu yang menjadikan argumen berhasil membedakan debater yang sukses dengan rekan-rekannya yang kurang sukses dan membawa keuntungan bagi debater yang amat berpengalaman dan cepat mateng. Argumen itu ibarat mobil: Jika dirimu memahami cara kerjanya, kemungkinan besar dikau akan mendapatkan layanan yang lebih baik darinya; memahami ada yang salah dikala mobil tersebut rusak, maka benahilah masalahnya, sebelum melanjutkan perjalanan berikutmu.
Debat berlangsung secara lisan, dengan kecepatan yang relatif cepat. Para debater tak punya cukup waktu menerapkan teknik analisis argumen yang terperinci dalam teks debat dan argumentasi umum. Hal yang terpenting tentang teori argumen bagi rata-rata para debater adalah: membedakan argumen yang buruk dari argumen yang baik.

Argumen tak sama dengan debat. Argumen merupakan upaya mempengaruhi orang lain ke arah tertentu. Biasanya arah ini mencakup soal keyakinan, ketaatan, atau tindakan. Beberapa argumen melingkupi fakta. Argumen ini, berkaitan dengan fakta atau definisi yang problematis dan berupaya membuat pendengar agar mempercayai fakta tertentu. Argumen juga melingkungi 'values'. Argumen-argumen ini, berupaya membujuk pendengar agar menganut sistem nilai tertentu; alternatifnya, mungkin menggunakan sistem nilai tertentu untuk menggugah pendengar agar menerima keadaan tertentu, yang konsisten dengan nilai-nilainya. Terakhir, ada argumen yang berkaitan dengan kebijakan. Argumen-argumen ini, berusaha mengajak para pendengar dalam hal kebijakan atau tindakan. Namun, dalam kehidupan nyata dan dalam debat, perbedaan-perbedaan ini, masih jauh dari jelas. Semisal pertanyaan tentang kebijakan selalu melibatkan pertanyaan tentang fakta dan nilai, kendati keterkaitan ini selalu dibuat secara implisit.
Debat merupakan infrastruktur untuk menyajikan berbagai argumen, yang kesemuanya dapat dan biasanya berfungsi yang memisahkan dan membedakan, sepanjang berlangsungnya debat. Tentu saja, dalam perdebatan, seperti halnya dalam kehidupan, tak semua argumen dimunculkan dengan cara yang sama. Artinya, ada yang lebih sukses dibandingkan yang lain. Pertanyaan yang langsung relevan bagi para debater adalah bagaimana menjadikan argumen berhasil dan bagaimana membuat argumen yang berhasil tersebut, sukses dalam debat.
Argumen lebih dari sekadar pernyataan. Jika sebuah pernyataan menegaskan bahwa sesuatu itu benar, maka argumen berupaya membuktikan mengapa hal itu benar. Debat bukanlah suatu ilmu. Ia hanya punya hubungan kekeluargaan dengan praktik logika formal seperti yang digunakan dalam matematika klasik atau pembuktian ilmiah. Perlu diingat bahwa pembuktian dalam debat dan argumentasi, tak sama dengan pembuktian dalam matematika atau logika formal. Maka, definisi debat yang paling sederhana adalah bahwa debat itu, pemberlakuan argumentasi yang diformalkan. Kata 'diformalkan' merupakan pembeda utama antara berargumentasi dan turut dalam debat. Agar sesuatu menjadi formal, ia semestinya terstruktur.

Kita berpikir dengan otak kita. Kita tak punya pilihan. Walau mungkin beberapa politisi tertentu, tampak berpikir dengan bagian lain anatominya—dengkul misalnya, namun sesungguhnya, mereka juga berpikir dengan otaknya. Mengapa hal ini penting bagi politik? Sebab berpikir itu sifatnya jasmaniah, kata George Lakoff. Berpikir dilakukan oleh sirkuit saraf di otak. Kita hanya dapat memahami apa yang otak kita, bolehkan kita pahami. Struktur saraf terdalam relatif tetap. Tak mudah berubah. Dan kita sebagian besar tak sadar akan aktivitas dan dampaknya. Hakikatnya, sekitar 98 persen dari apa yang dilakukan otak kita, berada di bawah sadar. Akibatnya, kita mungkin tak mengetahui semua, atau bahkan sebagian besar, hal-hal yang ada dalam otak kita, yang menentukan keyakinan moral, sosial, dan politik terdalam kita. Namun kita bertindak berdasarkan keyakinan yang sebagian besar tak kita sadari. Apa yang terjadi didalam otak seseorang itu, bermakna. Struktur otak yang amat penting bagi politik kita, dapat dipelajari dari sudut pandang pikiran, yang disebut 'frames'.
Frames (kerangka-kerangka atau bingkai-bingkai) merupakan struktur mental yang membentuk cara kita memandang dunia. Sebagai hasilnya, hal-hal tersebut membentuk tujuan yang kita cari, rencana yang kita buat, cara kita bertindak, dan apa yang dipandang sebagai hasil baik atau buruk dari tindakan kita.
Dirimu tak dapat melihat atau mendengar frames. Hal tersebut merupakan bagian dari apa yang oleh para ilmuwan kognitif kita sebut sebagai the cognitive unconscious—struktur dalam otak kita yang tak dapat kita akses secara sadar, namun kita dapat mengetahui konsekuensinya. Apa yang kita sebut 'masuk-akal' terdiri dari kesimpulan-kesimpulan yang tak disadari, otomatis, dan tanpa usaha yang mengikuti kerangka bawah sadar kita. Kita juga mengetahui kerangka melalui bahasa. Seluruh kata dinyatakan relatif terhadap kerangka konseptual. Saat dikau mendengar sebuah kata, kerangkanya diaktifkan di otak kita. Yes, di otak kita, bahkan ketika kita menegasikan sebuah bingkai, kita mengaktifkan bingkai tersebut. Jika seseorang berkata, 'Jangan mikirin gajah!', dirimu bakal ngebayangin gajah. Meniadakan suatu bingkai, tak hanya akan mengaktifkan bingkai tersebut, namun semakin sering diaktifkan, semakin kuat pula bingkai tersebut. Pesan moral dari wacana politik jelas: Tatkala engkau berdebat melawan lawan bicara, dengan menggunakan bahasa dan kerangka mereka, dirimu mengaktifkan kerangka mereka, memperkuat kerangka mereka pada orang-orang yang mendengarkanmu, dan melemahkan pandanganmu sendiri. Bagi kaum progresif, hal ini bermakna menghindari penggunaan bahasa konservatif dan kerangka yang diaktifkan oleh bahasa tersebut. Artinya, engkau seyogyanya mengatakan apa yang dirimu yakini menggunakan bahasamu, bukan bahasa mereka.
Dalam politik, frames kita membentuk 'social policies' dan institusi yang kita bentuk guna menjalankan kebijakan. Mengubah kerangka kita, bermakna mengubah semua ini, perubahan sosial itu, reframing. Bila kita sukses mereframing wacana publik, kita mengubah cara masyarakat memandang dunia. Kita mengubah apa yang dianggap sebagai 'masuk-akal'. Karena bahasa mengaktifkan frames, bahasa baru diperlukan untuk 'new frames'. 'Thinking differently requires speaking differently.'
Reframing tidaklah mudah atau sederhana. Ia bukan soal menemukan magic words. Frames itu, gagasan, bukan slogan. Reframing lebih merupakan persoalan mengakses apa yang kita dan orang lain yang berpikiran sama, telah meyakini secara tak sadar, menjadikannya sadar, dan mengulanginya hingga masuk ke dalam wacana publik yang normal. Ia merupakan proses yang berkelanjutan. Ia membutuhkan pengulangan, fokus, dan dedikasi.
Guna mencapai social change, reframing memerlukan perubahan wacana publik, dan ia memerlukan sistem komunikasi. Reframing tanpa sistem komunikasi, takkan menghasilkan apa-apa. Reframing itu, tentang kejujuran dan integritas. Ia kebalikan dari 'pemelesetan' dan manipulasi. Ia tentang menyadarkan keyakinan terdalam dan cara pemahaman kita. Ia tentang belajar mengungkapkan apa yang benar-benar kita yakini dengan cara yang memungkinkan mereka yang berkeyakinan sama, memahami apa yang paling mereka yakini dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut.

Framing juga tentang memahami pihak yang paling tak kita sepakati. Ketika seorang pemimpin politik mengajukan sebuah kebijakan atau menyarankan bagaimana kita semestinya bertindak, asumsi implisitnya bahwa kebijakan atau tindakan tersebut benar, bukan salah. Tiada pemimpin politik yang berkata, 'Ini yang harus kalian kerjakan. Kerjakan karena itu salah—memang jahat, tapi kerjakan saja.' Tiada pemimpin politik yang mengambil kebijakan dengan alasan bahwa kebijakan tersebut gak penting. Resep politik dianggap benar. Masalahnya, setiap pemimpin politik mempunyai gagasan berbeda mengenai apa yang benar. Maka, semua politik bersifat moral, namun tak semua orang punya pandangan yang sama mengenai moralitas. Terlebih lagi, sebagian besar keyakinan moral tak disadari. Kita bahkan seringkali tak menyadari pandangan moral yang terdalam di dalam diri kita. Amatlah vital—bagi kita, bagi negara kita—memahami nilai-nilai yang mendasari negara ini didirikan. Pancasila bukanlah sekedar slogan 'asal bapak senang', melainkan memahami 'values' yang terkandung didalamnya. Jika kita ingin mempertahankan demokrasi, kita hendaknya belajar mengartikulasikan 'values' tersebut, dengan lantang dan jelas.

Debat pun demikian, ia juga punya 'value', menurut Jon M. Ericson, James J. Murphy, dan Raymond Bud Zeuschner, manfaat debat bagi dirimu, sama persis dengan keutamaan seorang debater yang ideal: pertama, kemampuan mengumpulkan dan mengorganisasikan gagasan. Seorang pembicara debat yang sukses adalah orang yang dapat menyerap sejumlah besar materi dan memilah materi-materi yang terbaik untuk digunakan dalam debat tertentu.
Kedua, kemampuan mensubordinasikan ide. Seorang debater akan mendengar sekitar empat ribu limaratus hingga lima ribu kata dari lawannya, selama satu putaran debat. Bersama rekannya, debater ini akan menyampaikan tambahan empat ribu lima ratus hingga lima ribu kata. Hanya dengan memilah gagasan-gagasan besar dari gagasan-gagasan kecil, seorang pembicara berharap dapat memahami banjir kata-kata ini.
Ketiga, kemampuan mengevaluasi bukti. Keterampilan dalam mengumpulkan bukti-bukti yang sangat penting, merupakan ciri seorang pembicara yang cerdas. Tak perlu setiap pernyataan, kutipan, statistik, atau gagasan dalam debat, dibantah.
Keempat, kemampuan melihat hubungan logis. Aristoteles pernah mengatakan bahwa kemampuan melihat persamaan di antara hal-hal yang berbeda merupakan tanda kejeniusan. Banyaknya data yang disajikan pada sebagian besar perdebatan, menyebabkan keraguan di kalangan pendengar; oleh karenanya, pembicara yang dapat mengidentifikasi hubungan antar pembahasan, membantu memperjelas perdebatan bagi audiens, dan dengan demikian, meningkatkan peluang keberhasilan mereka sendiri.
Kelima, kemampuan berpikir dan berbicara secara garis besar. Kejelasan sangat penting dalam sebuah debat (dan dalam hal ini, komunikasi yang baik), dimana benturan gagasan, acapkali membingungkan audiens. Para debater tak semata harus punya gambaran mental yang jelas dan sempurna mengenai keseluruhan pembahasan mereka, namun pula, kemampuan mengkomunikasikan maksud dari garis besar tersebut kepada hadirin.
Keenam, kemampuan berbicara secara meyakinkan. Kesadaran akan apa yang diharapkan oleh audiens—apa yang diperlukan untuk meyakinkan audiens tertentu—merupakan hal yang amat penting, baik dalam debat maupun dalam jenis pembicaraan lainnya.
Ketujuh, kemampuan beradaptasi. Karena perdebatan merupakan keadaan yang cair, terus berubah seiring dengan diperkenalkannya ide-ide baru oleh beragam pembicara, maka kesiapan memberikan jawaban, sangat diutamakan. Dalam praktiknya, kesiapan ini bermakna bahwa engkau tak semata harus terorganisir dengan baik, logis, analitis, dan meyakinkan, tapi juga, mampu bereaksi terhadap ide-ide baru dengan cepat.

Debat itu, alat untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan menyatukan kita sebagai sebuah masyarakat. Debat itu, keterampilan yang amat penting, yang dapat membantu membangun kepercayaan-diri, melatih seseorang agar berpikir cepat, dan menjadi pendukung kuat atas apa yang mereka yakini, kata Jarrod Atchison. Debat itu, aktivitas kompetitif, namun merupakan pula cara belajar, bertukar ide, dan memahami sudut pandang orang lain. Pemahaman ini memberikan dasar guna membuat pilihan yang lebih baik.
Pentingnya perbedaan antara argumentasi dan debat menjadi jelas dalam konteks debat sebagai metode pengambilan keputusan. Bayangin coba, di saat ada gonjang-ganjing, seorang pemimpin harus mengambil keputusan dengan cepat dalam waktu yang singkat. Akan sangat riskan bila pemimpin tersebut, menunda keputusannya cuma karena bergantung pada konsultan, kemudian berdiskusi sambil ngopi-ngopi. Tentu, kita gak pingin punya seorang pemimpin yang, alih-alih plonga-plongo, tapi juga 'telmi' alias telat-mikir. 
Omon-omon, daku diberi cukup waktu buat omon-omon, so, kita terusin omon-omon kita, di omon-omon selanjutnya yaq. Bi 'idznillah."

Maka, setelah omon-omon, bunga matahari tarik-suara,

Ih abang jahat, aku tuh cinta berat
Sini dong dekat-dekat, ku pegang erat-erat *)
Kutipan & Rujukan:
- George Lakoff, Don't Think of an Elephant: Know Your Values and Frame the Debate, 2014, Chelsea Green Publishing
- Jon M. Ericson, James J. Murphy & Raymond Bud Zeuschner, The Debater's Guide, 2003, Southern Illinois University Press
- John Meany & Kate Shuster, Art, Argument and Advocacy: Mastering Parliamentary Debate, 2002, International Debate Education Association
- Jarrod Atchison, The Art of Debate, 2017, The Great Course
*) "Ih Abang Jahat" karya Ecko Show