Minggu, 11 Februari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (11)

"Pada penilaian akhir semester, seorang Guru Besar Filosofi memberikan hanya satu soal ujian. Di dalam kelas, sang mahaguru mengangkat kursinya, meletakkannya di atas meja, kemudian nulis di papan-tulis putih, 'Dengan menggunakan semua yang telah kita pelajari di semester ini, buktikan bahwa kursi ini, tidak ada.'
Para mahasiswa, dengan penuh semangat, mulai menuliskan jawabannya dengan cukup panjang. Namun, salah seorang peserta ujian, menyelesaikannya dalam waktu kurang dari semenit. Doi menyerahkan kertas ujiannya dan meninggalkan ruangan.
Sewaktu nilainya diumumkan, seluruh kelas kepo, bagaimana mungkin doi dapat nilai A+, padahal kaan kalo diperhatiin, doi gak nulis apa-apa.
Ternyata guys, jawabannya berisi tiga kata, 'Kursi yang mana?'"

“Negarawan Amerika ternama, Henry Kissinger, menyatakan bahwa perdamaian dan peperangan merupakan perkara inti politik dunia,” lanjut bunga matahari sambil memperhatikan uang kertas cepek merah. "Sekalipun agenda internasional telah diperluas dengan isu-isu lingkungan hidup dan hal-hal ringan semisal geogebra 'kurva pisang', tetap saja, diplomasilah yang menanggung beban tanggungjawab yang amat besar manakala muncul keadaan berbahaya. Hal ini menjelaskan mengapa diplomasi tetap menjadi urusan yang berat, nyaris mistis, bermartabat berdasarkan protokol dan terselubung kerahasiaan. Hal ini juga menjelaskan mengapa generasi muda, tetap tertarik pada yang demikian itu, kata Jonathan Holslag.
Politik dunia kembali berada pada titik kritis, imbuh Holslag. Di salah satu pucuk keseimbangan terdapat sekelompok besar kosmopolitan, yaitu elit lintas udara yang berpindah dari satu kota ke kota lain dan menganggap keberhasilan diplomasi ditakar dari jumlah dialog yang terjalin atau jumlah cameramen yang hadir di konferensi internasional. Mereka menegaskan bahwa sejarah politik berdarah negara-negara besar, telah berakhir, dan kemungkinan terjadinya perang besar menjadi jauh lebih kecil. Persaingan, lanjut pemikiran tersebut, kecil kemungkinannya memicu perang besar lantaran adanya saling ketergantungan ekonomi. Pendapat ini sangat dominan dalam politik setelah ambruknya Uni Soviet pada tahun 1991: di Eropa, bercita-cita 'to lead by example' ketimbang 'kekuatan pasukan'; di China, telah merancang doktrin kebangkitan secara damai; dan di Amerika Serikat, dimana kelompok konservatif dan progresif sama-sama memperjuangkan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada nilai-nilai liberal.
Jumlah konflik bersenjata telah meningkat dan perselisihan internasional lainnya menjadi semakin tegang. Di dunia yang membingungkan inilah, generasi baru hendaknya menentukan arah dan mengembangkan kebijakan mengambil keputusan penting yang mereka hadapi. Oleh karenanya, para pemimpin masa depan, seyogyanya berpedoman pada pemahaman yang baik tentang 'well-being' rakyat, ekonomi, etika–dan sejarah. Seperti yang diutarakan oleh negarawan Romawi lawas, Marcus Tullius Cicero, 'Tanpa tahu akan apa yang terjadi sebelum engkau lahir, berarti engkau tetap menjadi kanak-kanak.'

Jika teori dan ideologi menyajikan 'vantage point' terhadap dunia yang kita peroleh saat terbang naik helikopter, maka sejarah membawamu ke titik yang sama, dengan syarat seusai menjalani pendakian gunung yang panjang dan berliku. Perjalanan melewati sejarah, akan mempertajam daya-pikir, sama halnya dengan penjelajahan lintas alam yang membangkar jiwa dan raga. Dibutuhkan ketekunan dan konsentrasi memaknai berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan. Ia mengembangkan daya tanggap dan kesadaran yang diperlukan guna mendeteksi dan mengatasi rintangan. Dan hal ini, pada akhirnya mengarah ke tempat yang sangat tinggi, di mana seseorang dapat menoleh ke belakang, menarik kesimpulan, dan mencari rute terbaik menuju cakrawala yang terhampar di haluan.
Tiada jalan pintas bagi perjalanan ini. Betapapun kita percaya pada ketelitian teori dan kejelasan ideologi, jika kita tak menerima tantangan untuk memahami sejarah, maka itu sama saja dengan mengaku beragama tanpa pernah membaca kitab-sucinya. Dibanding ideologi, sejarah bisa menjadi kekuatan moderat. Ia tak semata mengungkapkan seberapa besar kemajuan yang telah dicapai dunia dalam meningkatkan ihwal kehidupan, namun pula, betapa sulitnya perjuangan untuk mencapai kemajuan tersebut–beserta perawatannya. Dari perspektif ini, sejarah dunia dapat dipandang sebagai kurva ke atas; namun ia telah mengalami penurunan yang dramatis, dan perlu dipahami guna membantu mencegah–atau setidaknya memperbaiki–krisis baru di masa depan.

Berbicara tentang sejarah, menurutmu, siapakah wanita tercantik sepanjang sejarah dunia? Cleopatra VII Thea Philopator-kah? Sepertinya, tampilan fisik Cleopatra tak lebih atau kurang menarik dibanding wanita lain. Legenda memandang kesuksesannya sebagian besar berasal dari kecantikan dan sensualitasnya, namun sumber-sumber purbakala lebih menekankan pada kecerdasan dan pesonanya dibanding keindahan fisiknya, yang menurut mereka, biasa-biasa aja, kata Stanley M. Burstein. Cleopatra dikenal memahami delapan bahasa dan menjadi orang pertama dalam Ptolemaic dinastinya, yang ngomong bahasa Mesir, bahasa rakyatnya. Ia sangat mungkin punya 12 buku tentang beragam mata pelajaran, termasuk ukuran dan takaran, kosmetika, dan bahkan sihir. Hal ini menunjukkan bahwa, seperti para leluhurnya, Cleopatra terdidik dengan baik. Ketimbang tampilan fisik, keindahan karakter, 'inner beauty' bersimbur inilah, kecantikan paling masyhur dalam sejarah umat manusia, yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi fiksasi modern kita.

Barangkali, Helen of Troy, juga ternama sebagai 'beautiful Helen', 'Helen of Argos', atau 'Helen of Sparta', selama ini, disebut-sebut selaku wanita tercantik di dunia. Sejarawan Bettany Hughes, dalam pencariannya akan identitas di balik tokoh babad ini, menggunakan kisah Homer tentang kehidupan Helen untuk menyusun kajiannya. Helen, kata Hughes, telah dikenal selama ribuan tahun sebagai simbol kecantikan, dan juga sebagai pengingat akan kekuatan angker yang terkandung dalam kecantikan. Potret Helen mulai muncul pada abad ke-7 SM. Kecantikannya menginspirasi para seniman sepanjang masa untuk merepresentasikannya, acapkali sebagai personifikasi kecantikan manusia yang ideal.
Setelah pernikahan gandanya–pertama dengan raja Yunani Menelaus dan kemudian dengan pangeran Trojan Paris–Helen dianggap bertanggungjawab atas permusuhan abadi antara Timur dan Barat. Selama hampir tiga ribu tahun, ia telah dijunjung tinggi sebagai agen pembinasaan yang dahsyat. Begitu orang-orang di Barat mulai menulis, mereka menjadikan Helen sebagai subjeknya. Hesiod, salah seorang penulis paling awal dalam sejarah, orang pertama yang mencatat Helen sebagai ‘ketenaran luasnya yang tersebar di seluruh bumi'; penyair Sappho melukiskan 'kecantikannya melebihi seluruh umat manusia'. Julukan ini bertahan; begitulah Helen dikenang hingga saat ini.
Helen menikah dengan Menelaus, Raja Sparta, namun Aphrodite menjanjikannya bagi Paris di Troy. Paris diduga merayunya dan membawanya pulang ke Troy, kendati ada yang menyebut bahwa ia menculiknya. Akibat Paris membawa Helen kembali ke Troy, banyak lelaki Yunani yang membawa kapal mereka dan membentuk pasukan berperang melawan Trojan, bersama Menelaus, demi mengembalikan Helen kepada suaminya. Tak diketahui bagaimana sang dewi mangkat. Ada tiga gagasan yang muncul berulang kali, kata Hughes. Yang pertama, ia, mengikuti masa lalu yang penuh dengan darah kental, akhirnya tak tersiksa di dunia bawah tetapi sebagai salah satu yang diberkati, di Elysium. Yang kedua, Helen mendapat semacam balasan atas semua penderitaan yang ditimbulkannya, sebelum perjalanan terakhirnya menemui penciptanya. Dan yang ketiga, diketahui bahwa ia mencapai keabadian yang cemerlang–tak ada yang mau kehilangan Helen, tak ada yang mau ia mati.
Christopher Marlowe, dalam dramanya 'The Tragical History of the Life and Death of Doctor Faustus' berbicara tentang Helen of Troy, 'Inikah raut-wajah yang meluncurkan ribuan kapal. Dan membakar menara Ilium yang bertelanjang dada?'
Saat ini, kita mungkin menggunakan kutipan ini untuk menyatakan bahwa seorang wanita sangat cantik. Ungkapan ini, dapat pula digunakan dalam konteks lain, semisal untuk mengekspresikan bahwa seseorang memulai sebuah tren dan menjadi 'raut-wajah dari ribuan (sesuatu).'

Kita semestinya hidup dalam utopia intelektual yang menyajikan kenyamanan materi bagi semua orang, solusi terhadap perubahan iklim, dan alternatif yang nyaman selain 'dental floss', tulis Bernard Keane dan Helen Razer. Tapi ternyata, kita berada di era orang-orang dengan 'raut-wajah ribuan blunders'. Dalam permainan catur, blunder terjadi ketika seorang pemain bermanuver yang berdampak buruk pada posisinya, sehingga menyebabkan pemain tersebut di skakmat. Dalam politik, Barack Obama menulis, 'Keresahan terbesar stafku adalah bahwa aku akan membuat 'gaffe' [sebuah tindakan atau ucapan yang tak disengaja, yang menimbulkan rasa malu bagi pencetusnya; blunder], ungkapan yang digunakan oleh pers untuk menggambarkan ungkapan maladroit [canggung atau kelihatan kikuk] apa pun yang diucapkan oleh kandidat yang mengungkapkan ketidaktahuan, kecerobohan, pemikiran kabur, ketidakpekaan, kedengkian, sikap tak sopan, kelancungan, atau kemunafikan—atau dianggap menyimpang dari kearifan konvensional sehingga membuat kandidat tersebut rentan terhadap serangan. Berdasarkan definisi ini, kebanyakan manusia akan melakukan lima hingga sepuluh gaffe dalam sehari, masing-masing kita mengandalkan kesabaran dan niat baik dari keluarga, rekan kerja, dan teman kita untuk mengisi kekosongan, memahami maksud kita, dan secara umum berasumsi yang terbaik daripada yang terburuk dalam diri kita.
Akibatnya, naluri awalku mengabaikan beberapa peringatan timku. [...] Namun, tak butuh waktu lama menyadari bahwa begitu engkau mengumumkan pencalonanmu sebagai presiden, aturan bicara yang normal tak lagi berlaku; bahwa mikrofon ada dimana-mana, dan setiap kata yang keluar dari mulutmu direkam, diperkuat, diteliti, dan dibedah. [...] Secara alami, aku seorang pembicara yang hati-hati, yang menurut standar calon presiden, membantu menjaga tingkat gaffe-ku tetap rendah.'

Balik ke topik wanita cantik tadi, bagi orang Indonesia, boleh jadi, Rara Mendut—selain Rara Jonggrang dan Siti Nurbaya—salah satu dari banyak wanita cantik di negeri maritim ini. Gadis rampasan hasil pertarungan antara Ki Tumenggung Wiraguna melawan Adipati Pragulo ini, menolak diperistri oleh sang Tumenggung demi cintanya kepada Pranacitra, putra Nyai Simobarong, seorang saudagar kaya-raya. Jauh sebelumnya, ia telah pula menolak pinangan Adipati Pragulo.
Dibesarkan di kampung nelayan pantai utara Jawa, desa nelayan bernama Teluk Cikal, ia tumbuh menjadi gadis yang tangkas dan tak pernah ragu menyuarakan isi hatinya. Sang Tumenggung berang, Rara Mendut dipaksa membayar pajak yang tak dibayar oleh Adipati Pragulo. Ancaman sang Tumenggung, disambut Rara Mendut dan ia berupaya dengan berjualan rokok. Barang dagangannya, laris-manis, bahkan ada yang rela membayar rokok sisa sedotan Rara Mendut.
Pranacitra ditangkap dan dibunuh oleh Tumengggung menggunakan Kyai Jikjo, sebilah keris berluk sembilan. Keris ini telah digunakan juga membunuh Adipati Pragulo. Melihat kekasihnya terbunuh, Rara Mendut seketika melompat ke arah Kyai Jikjo yang masih berlumuran darah. Sang keris baru saja dicabut dari dada Pranacitra dan masih dipegang oleh Ki Tumenggung, dan ia tak melihat Rara Mendut menubruk pucuk kerisnya. Ajalnya lepas di dekat jasad Pranacitra, baginya, lebih baik mati daripada hidup sebagai selir dan mengkhianati cintanya.

Indonesia sendiri, negara dengan ribuan nusa, agaknya, dapat diibaratkan seorang gadis cantik. Tanpa dandanan 'hasil-bumi berlimpah' pun, ia tetap menarik. Cewek cupu ini, bakalan banyak yang naksir karena letaknya yang strategis. Namun, sama seperti nasib Ni Rara Mendut, ia sedang tidak baik-baik saja, apalagi bila membicarakan tentang keadaan politiknya yang terjadi belakangan ini.
Selama sekitar satu dekade terakhir, para analis dan pembuat kebijakan telah menyadari bahwa di sebagian besar dunia, klientelisme menjadi lebih umum dan lebih mengakar dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya, tulis Edward Aspinall dan Ward Berenschot. Belum lama ini, para pakar memperkirakan modernisasi, pertumbuhan ekonomi, dan demokratisasi, lambat laun akan memaksa para politisi meninggalkan praktik klientelistik [Clientelism atau politik klien adalah pertukaran barang dan jasa guna memperoleh dukungan politik, seringkali melibatkan quid-pro-quo (memberi dan menerima) secara implisit atau eksplisit] dan fokus pada penyebaran usulan kebijakan sebagai cara utama untuk merayu para pemilih.
Istilah ‘demokrasi patronase’ digunakan untuk menggambarkan negara-negara demokrasi yang mobilisasi elektoralnya berbentuk klientelistik, dengan kata ‘patronase’ merujuk pada barang dan bantuan yang diberikan politisi sebagai imbalan atas dukungan elektoral.
Patronase adalah 'manfaat yang dapat dibagi, yang dibagikan oleh politisi kepada pemilih individu, pekerja kampanye, atau kontributor sebagai imbalan atas dukungan politik'. Patronase mencakup uang tunai, barang, jasa, dan manfaat ekonomi lainnya (semisal gawean atau kontrak) yang dibagikan oleh politisi kepada pendukung atau calon pendukungnya. Hadiah semacam itu, dapat dibagikan kepada individu (misalnya amplop berisi uang tunai) atau kepada kelompok.
Patronase mengacu pada materi atau keuntungan lain yang dibagikan oleh seorang politisi kepada pemilih atau pendukungnya, sedangkan klientelisme, merujuk pada sifat hubungan di antara mereka. Klientelisme merupakan 'hubungan kekuasaan yang bersifat personalistik' dimana keuntungan materi (patronase) ditukar dengan dukungan politik.
Patronase dapat pula berasal dari barang-barang terprogram, dalam istilah 'proyek tong babi'—sebuah metafora untuk pengalokasian belanja negara bagi proyek-proyek lokal yang dijamin semata-mata atau terutama untuk belanja langsung—yang merupakan manfaat yang diterima seseorang karena menjadi bagian dari kategori sosial luas yang ditargetkan oleh program umum pemerintah—misalnya, 'Kartu Layanan Sehat', yang menawarkan pengobatan gratis, atau 'Bantuan Langsung Tunai', kepada rumah tangga miskin.

Menurut Aspinall dan Berenschot, sistem politik demokratisasi di Indonesia dipenuhi oleh patronase dan klientelisme. Apa yang disebut sebagai 'literatur oligarki', yang dikemukakan oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz, serta Jeffrey Winters bahwa aktor-aktor yang sangat kaya, mendominasi demokrasi di Indonesia, juga menekankan peran patronase sebagai perekat politik, meskipun para begawan Barat ini, mencurahkan sedikit perhatian terhadap perincian mekanisme yang melaluinya, aturan tersebut dilaksanakan. Di setiap tingkatan, lembaga-lembaga politik formal dibayangi oleh jaringan informal dan personal yang melaluinya, mengalir keuntungan dan bantuan materi. Politisi seringkali memenangkan kekuasaan dengan mendistribusikan proyek skala kecil, uang tunai, atau barang lainnya kepada pemilih atau kelompok masyarakat; mereka memperoleh dana yang mereka butuhkan untuk berkampanye melalui kontrak dagang, perizinan, dan bantuan lainnya dengan para pengusaha; dan mereka turut dalam pertarungan terus-menerus dan dengan para birokrat untuk merebut kendali atas sumber daya negara dan mengubahnya demi keuntungan politik pribadi mereka. Tentu saja, di Indonesia, seperti di negara-negara lain, para politisi tak menampilkan kemenangan mereka dalam pemilu. Para politisi dan pendukungnya, umumnya lebih suka mengklaim bahwa mereka menang lantaran para pemilih lebih menyukai kepribadian atau program mereka dibandingkan pesaing mereka, bukan karena kalah bersaing. Dan terkadang, mereka tampak benar. Kualitas kandidat dan tawaran yang terprogram memang sangat berpengaruh setidaknya pada beberapa pemilu di Indonesia, dan yang paling jelas terlihat pada pemilu presiden.
Bagi banyak komentator dan partisipan, pemilu legislatif tahun 2014 dan 2019 merupakan pemilu 'politik uang'. Istilah 'politik uang' telah banyak digunakan untuk menggambarkan praktik-praktik tersebut sejak era demokrasi baru di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1990an, imbuh Aspinall dan Berenschot. Pada tahun-tahun awal transisi demokrasi, masyarakat sering menggambarkan suap di lembaga legislatif—misalnya, dalam pemilu untuk memilih gubernur, walikota, atau bupati (prosedur yang digantikan oleh pemilu langsung pada tahun 2005)—sebagai bentuk politik uang. Ada juga yang menggunakan istilah ini kala membicarakan jual-beli suara dalam kongres partai, atau korupsi politik secara lebih luas, misalnya ketika legislator mengambil uang dari proyek pemerintah atau menerima suap dari pengusaha. Namun penggunaan istilah tersebut cenderung menyempit. Saat ini, ketika orang berbicara tentang politik uang, yang paling sering mereka maksud adalah praktik pembagian uang tunai (dan terkadang barang) kepada pemilih pada saat pemilihan umum.
Ciri yang mencolok dari demokrasi Indonesia adalah bahwa para pemenangnya—para elit yang memperoleh kekuasaan, prestise, dan kekayaan dari terlibat dalam politik—punya keraguan yang besar mengenai bagaimana demokrasi dipraktikkan, demikian kesimpulan Aspinall dan Berenschot. Selama wawancara yang mereka lakukan di seluruh Indonesia, para politisi seringkali berbicara tentang kerugian, ketidakpastian, kegagalan moral, dan dampak buruk dari 'politik uang' yang mereka lakukan ketika mencalonkan diri. Politisi harus 'memainkan dua permainan'—mereka harus 'idealistis', yang berarti berpegang teguh pada aturan dan prosedur, namun juga 'toleran', yang berarti melanggar aturan dan prosedur demi mendapatkan dana terlarang. Begitu mereka terpilih, perhatian utama mereka adalah 'balik modal'—mendapatkan kembali modal yang telah mereka keluarkan untuk biaya kampanye, sehingga membayar kembali kreditur mereka dan mengumpulkan cukup uang untuk pemilu berikutnya.

Sebagai akhir dari sekian episode perbincangan kita, bolehkan aku mengajukan sebuah pertanyaan: If money talks, what does it say?
Money is multi-lingual. Uang dapat berbicara dalam bahasa pragmatisme atau ideologis, dan kefasihannya bervariasi dari satu negara ke negara lain. Demokrasi memperdebatkan tentang penggunaan politik yang tepat, dan apa penyalahgunaannya, atau korupsinya. Korupsi merupakan penyalahgunaan sistem politik. Oleh sebab itu, korupsi merupakan problema nilai-nilai politik, dan nilai-nilai tersebut diperebutkan, kata Iain Mcmenamin. Hal ini sangat berbeda dengan pendekatan hukum terhadap korupsi yang berupaya untuk memutuskan perilaku mana yang termasuk dalam kategori korupsi atau tidak, namun dengan asumsi bahwa definisi korupsi sudah jelas dan tak terbantahkan secara politis. Wallahu a'lam."

Walau masih banyak cerita yang dapat dihadirkan dengan sajian martabak atau berbentuk abstrak, sudah saatnya berpisah, bunga matahari melambaikan daun-daunnya, seraya bersenandung,

If a picture paints a thousand words
[Jika sebuah potret melukiskan ribuan kata]
then, why can't I paint you?
[lalu, mengapa ku tak dapat melukismu?]
The words will never show the you I've come to know
[Kata-kata itu takkan pernah menunjukkan dirimu yang telah kukenal]
If a face could launch a thousand ships
[Bila seraut wajah dapat meluncurkan ribuan kapal]
then, where am I to go? *)
[lantas, kemanakah kukan pergi?]
Kutipan & Rujukan:
- Jonathan Holslag, A Political History of the World: Three Thousand Years of War and Peace, 2018, Pelican
- Stanley M. Burstein, The Reign of Cleopatra, 2004, Greenwood Press
- Bernard Keane & Helen Razer, A Short History of Stupid, 2014, Allen & Unwin
- Bettany Hughes, Helen of Troy: The Story Behind the Most Beautiful Woman in the World, 2009, Vintage
- David Graeber, The Utopia of Rules: On Technology, Stupidity, and the Secret Joys of Bureaucracy, 2015, Melville House
- Barack Obama, A Promised Land, 2020, Crown
- Edward Aspinall & Mada Sukmajati (Ed.), Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage and Clientelism at the Grassroots, 2016, NUS Press
- Edward Aspinall & Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia, 2019, Cornell University Press
- Ajip Rosidi, Roro Mendut: Sebuah Cerita Klasik Jawa, 1985, Gunung Agung
- Iain Mcmenamin, If Money Talks What Does it Say? Corruption and Business Financing of Political Parties, 2013, Oxford University Press
*) "If" karya David Gates
[Sesi 1]
[Sesi 10]