Minggu, 31 Desember 2023

Cerita Bunga Matahari: Lucy (3)

"Saat itu, jelang akhir tahun, bang Jon singgah di kota kecil, tapi, semua kamar hotel telah terisi.
'Tolong cariin kamar dimana aja mas,' doi memohon kepada manajer hotel terakhir yang dicarinya, 'Pokoknya, asalkan tempat tidur, dimana aja, gak apa-apa. Gua cape banget nih mas.'
'Baik bang, sebenernya sih, kami ada kamar dobel dengan satu penghuni,' sang manajer ngaku, 'dan sa' yakin, orangnya mau kok sharing biaya kamar hotelnya. Tapi jujurly, doi ngoroknya kenceng banget, orang-orang di kamar sebelahnya, pada ngeluh. Sa' gak yakin, bakal bermanfaat buat abang.'
'Gak masyalah,' sang satria berkelana yang lelah itu, yakin. 'Gua oke ajah.'
Keesokan paginya, si abang turun sarapan pagi dengan anteng dan kelihatan ganteng. Sang manajer bertanya padanya, gimana caranya doi bisa bertahan.
'Beres Mas,' kata bang Jon.
Sang manajer terkesan. 'Jadi, gak masyalah ya kalo orangnya ngorok?'
'Enggak. Gua bikin doi bungkam seketika.'
'Oh, gimana caranya bang?'
'Sewaktu gua masuk kamar, doi udah tidur, ngorok, kwenceng bingits,' kata si abang. 'Gua deketin, trus gua ngomong gini, 'Selamat malam cantik', hasilnya, doi duduk meluk bantal di pojok tempat tidur, rada-rada cemas gitu, ngawasin gua sepanjang malam.'''

“Why do there exist Social movements?” bunga matahari melanjutkan sambil memperhatikan persiapan di Balai RW untuk acara tahun-baruan. Lalu ia berkata, "Menurut Hank Johnston, gerakan-gerakan sosial merupakan kekuatan kunci perubahan sosial di dunia modern. Walau tak semua perubahan sosial disebabkan olehnya–inovasi teknologi, perubahan iklim, bencana alam, dan perang, juga merupakan pengantaranya–gerakan sosial bersifat unik, karena dipandu secara sengaja dan strategis oleh mereka yang turut-serta dalam gerakan tersebut. Karakteristik utama lainnya, ia memobilisasi dan menjalankan kegiatannya, sebagian besar di luar jalur politik dan institusi yang telah mapan. Hal ini menjadikan pertanyaan mengenai asal-usul dan pertumbuhannya, sangat menarik bagi para ilmuwan sosial. Beberapa gerakan sosial mewakili upaya warga negara, secara kolektif memunculkan dunia yang lebih adil dan setara. Gerakan-gerakan lain, dimotivasi oleh keluhan-keluhan yang memaksa para pengikutnya, keluar dari rutinitas sehari-hari. Gerakan-gerakan sosial, biasanya ditentang oleh kekuatan-kekuatan yang mendukung status quo, yang menimbulkan perdebatan mendasar dalam aktivitas gerakan. Namun ciri khas dari semua gerakan itu, besar dan kecil, ialah bahwa gerakan tersebut, menggerakkan sejarah, terkadang dengan cara-cara yang amat berarti.

Kelompok dan organisasi gerakan, tak berdiri sendiri, melainkan terhubung dalam struktur jaringan melalui keanggotaan yang tumpang tindih, keterkaitan antar anggota, dan kontak antar pemimpin. Gerakan umum dicirikan oleh ketekunan yang melebihi keyakinan satu kelompok saja.
Ide-ide yang menjadi bahan bakar, panduan, dan kohesi sebuah gerakan, mencakup gagasan ideologi, tujuan, nilai, dan kepentingan yang telah teruji dan dipelajari secara luas. Konsep identitas kolektif sebagai elemen ideasional kunci yang merekatkan individu dan kelompok dalam suatu gerakan. Sama seperti bentuk-bentuk perilaku sosial lainnya, performa gerakan itu, pada umumnya–protes jalanan, demonstrasi, pemogokan, pawai, dan sebagainya–sangat bersifat simbolis dalam artian bahwa mereka membuat pernyataan lebih dari sekedar isi lagu, nyanyian, plakat, dan pidato. Selain itu, mereka selalu punya audiens: yang menyaksikan penampilannya, menafsirkan apa yang mereka lihat, bertindak berdasarkan interpretasi mereka, dan kehadiran mereka, mempengaruhi bagaimana peragaannya berlangsung. Saat ini, peragaan pawai, demonstrasi, dan protes merupakan bagian dari budaya politik –yaitu, bagaimana melakukan politik di luar jalur institusional yang diterima.
Gerakan sosial terdiri dari kelompok dan organisasi, besar dan kecil, penuh perdebatan dan jinak, yang mengintegrasikan anggota individu dalam berbagai tingkat partisipasi dan memobilisasi mereka agar bertindak. Boleh dikata, bahwa hal-hal tersebut merupakan unit dasar dari struktur gerakan, namun ada juga kelompok terkait yang relevan: kelompok advokasi, kelompok kepentingan, dan LSM.
Kesalahan yang umum terjadi dalam hal memaknai organisasi sebuah gerakan ialah kekeliruan mengartikan organisasi suatu gerakan dengan gerakan itu sendiri. Dalam gerakan masalah lingkungan hidup, Greenpeace, Friends of the Earth, atau Earth Liberation Front, merupakan organisasi gerakan sosial, atau SMO (Social Movement Organization). Kelompok-kelompok ini, memiliki ukuran, kompleksitas, dan struktur formal yang berbeda-beda, yang diorganisir oleh warga negara guna menyampaikan tuntutan mereka, disaat para politisi tak tanggap atau ketika isu-isu tertentu, tampak sangat mendesak. Terkadang SMO sangat formal dan tumbuh cukup besar, menguasai sumber daya yang sangat besar, seperti Greenpeace atau Nature Conservancy. Selain para pelaku SMO yang besar dan penting, gerakan sosial juga mencakup kelompok-kelompok kecil, beberapa di antaranya bersifat informal, yang boleh jadi, berdedikasi pada tujuan-tujuan yang agak berbeda, namun, secara keseluruhan, dipandu oleh, semisal, etos lingkungan. Contohnya, kelompok teman dan kenalan yang membuat taman di perkotaan, atau mendorong penggunaan sepeda dibandingkan mobil dan truk yang boros bahan bakar. Gerakan sosial, secara umum, merupakan kumpulan berliku-liku dari berbagai kelompok dan individu.
Istilah seperti organisasi non-pemerintah dan organisasi advokasi seringkali diterapkan pada kelompok formal yang mengejar tujuan berbasis nilai dan berorientasi pada perubahan pada isu-isu spesifik seperti hak asasi manusia, isu perdamaian, ranjau darat, atau perdagangan manusia. Amnesty International (AI) merupakan organisasi internasional besar, yang melakukan berbagai inisiatif terkait hak asasi manusia, seperti melakukan advokasi terhadap tahanan politik, mempublikasikan penganiayaan terhadap aktivis oposisi, dan memantau penyiksaan dan penghilangan aktivis politik. Namun jika analis mundur untuk membingkai 'gerakan hak asasi manusia', maka di sana, AI tentu saja menempati posisi penting sebagai SMO (atau TSMO, untuk cakupan transnasional) yang sangat profesional dan efektif. Namun organisasi ini, merupakan pula Internasional Nongovernmental Organization (INGO), atau, dari sudut pandang lain, dapat dilihat sebagai bagian dari jaringan Transnasional Advocacy Network (TAN) bagi hak asasi manusia.

Pada abad kedua puluh satu, laju perubahan sosial akan terjadi dengan cepat. Salah satu pendorong utama perubahan ialah, revolusi digital dalam teknologi informasi dan komunikasi. Dimulai dengan internet dan email pada pertengahan tahun 1980an, dan kemudian menjamurnya ponsel pintar, tablet, media sosial, dan belakangan bluetooth, teknologi ini, mengubah cara kita hidup dan saling bertautan. Diperkirakan 2,5 triliun bit data dibuat setiap hari, dan 90 persen data yang ada di dunia saat ini, dibuat dalam dua tahun terakhir. Di tangan para aktivis gerakan sosial, teknologi digital baru, dapat mendorong dan memfasilitasi mobilisasi, membantu memperluas skala protes melampaui batas-batas geografi dan budaya, dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan guna mengkoordinasikan taktik protes–seperti dalam 'flash mob', aksi kolektif instan yang dikerjakan melalui pesan teks dan ngetweet di X.
Teknologi digital berpotensi yang besar terhadap dampak hubungan negara dengan gerakan sosial. Secara historis, gerakan kerakyatan telah memainkan peran penting dalam mendorong daya tanggap para elit politik dan melawan kecenderungan otokratis. Gerakan-gerakan di masa lalu, telah memenangkan suara kelompok minoritas yang terpinggirkan. Memang benar, tanpa protes rakyat, wajar jika kita mempertanyakan apakah negara modern akan mencerminkan tingkat partisipasi demokratis seperti yang terjadi saat ini. Di negara-negara non-demokratis, dimana lembaga-lembaga politik sering kali kaku, korup, dan tak mampu memberikan layanan dan perlindungan dasar, gerakan sosial merupakan sarana utama yang dapat digunakan untuk mengekspresikan seruan masyarakat guna melakukan perubahan. Rezim negara dan gerakan sosial, selalu berada dalam hubungan yang dinamis. Berdasarkan mobilisasi massa belakangan ini, terdapat bukti kuat bahwa revolusi digital telah meningkatkan keterpautan ini, semisal berkomunikasi dengan 'Abah' Anies yang lembut dan penuh senyum, atau 'eppa' Mahfud dengan pengetahuan praktik hukumnya, di Live TikTok—Indonesia memerlukan orang seperti mereka guna melahirkan budaya gerakan-gerakan sosial baru.

Pada saat tertentu, sebuah gerakan sosial terdiri dari algoritma dimana termasuk pagelaran-pagelaran besar dan kecil. Hal-hal yang besar mungkin sangat penting dalam penentuan gerakan tersebut (dan terutama dalam penetapannya bagi pihak luar), namun hal-hal yang lebih kecil merupakan landasan yang sangat banyak bagi struktur dan ide-ide gerakan. Melalui peragaan-peragaan ini, baik besar maupun kecil, gerakan ini menjadi apa adanya bagi para partisipannya, bagi lawan-lawannya, dan para audiensnya. Di sinilah budaya gerakan, tercipta dan terkukuhkan.

Berbincang tentang budaya—tanpa menyinggung gerakan sosial—mari kita bicara tentang budaya Indonesia. Drakeley memaparkan bahwa setiap kelompok etnis di Indonesia, mengekspresikan identitas budayanya melalui tarian, pakaian, musik, ukiran, dan bentuk seni lainnya, serta melalui hukum, adat istiadat, dan etiket. Meski terdapat banyak bahasa, sebagian besar penduduknya juga berbicara dalam bahasa nasional, Bahasa Indonesia, bahasa sekolah dan kantor, serta bahasa jalanan. Terlebih lagi, di wilayah paling terpencil di negara ini (dimana pun yang dapat dijangkau oleh televisi, sekolah atau layanan pemerintah), masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam kebudayaan nasional. Kelompok etnis terbesar adalah suku Jawa, yang jumlahnya sedikit di bawah 42 persen populasi. Orang Jawa terkonsentrasi di Jawa Timur dan Tengah, kendati terdapat juga populasi Jawa yang cukup menonjol di beberapa bagian Sumatera dan tempat lain. Selain suku Jawa, suku asli pulau Jawa lainnya antara lain suku Sunda di Jawa Barat, suku Banten di Banten, dan suku Betawi di Jakarta. Dan selama bertahun-tahun Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, telah menjadi tempat menetap bagi sejumlah besar orang Madura, yang menyebar dari seberang, Pulau Madura.

Di Asia Tenggara, masyarakat dan budayanya cukup beragam. Realitas sejarah, budaya, dan politik yang berbeda telah membentuk masyarakat yang kaya dan unik di seluruh kawasan. Namun demikian, Asia Tenggara dipersatukan oleh lingkungan yang sama, serangkaian peristiwa sejarah yang sama, dan oleh solusi serupa, yang diterapkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda terhadap permasalahan yang sama.
Solusi umum di antara berbagai budaya di Asia Tenggara mencakup beberapa proses musik mendasar, yang secara organik terkait dengan bahan baku lingkungan dan budaya. Lapisan organisasi musik juga mencerminkan lapisan budaya manusia di wilayah tersebut. Musisi Asia Tenggara mengadopsi dan mengadaptasi instrumen impor agar sesuai dengan ansambel mereka. Selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan berabad-abad, gaya dan genre musik memperoleh makna tersendiri. Menurut Henry Spiller, tradisi musik istana, yang proses musiknya dapat dipandang sebagai perwujudan kerajaan dan kesenjangan sosial, dapat menjadi simbol demokrasi dan nasionalisme. Di Asia Tenggara, aktivitas estetika seperti musik, membentuk dan memperkuat nilai-nilai budaya, seperti proses musik yang menjadi modelnya, ditentukan oleh respons terhadap lingkungan dan politik.
Seperti banyak perbatasan politik modern di Asia Tenggara, perbatasan Indonesia merupakan artefak kolonialisme Eropa: kendali Belanda pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Salah satu latarbelakang mengapa Belanda menjadi negara kaya adalah karena mereka mengeksploitasi sumber daya alam dan potensi pertanian di koloni 'Hindia Timur', kata Spiller, dan meraup keuntungan besar dengan memanfaatkan tenaga kerja murah yang disediakan penduduk asli. Terlepas dari afiliasi etnisnya, setiap orang Indonesia mempunyai warisan eksploitasi dan pemerintahan kolonial Belanda yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Menurut Jill Forshee, masyarakat di Indonesia, mencerminkan keanekaragaman alam dan kemegahan lintasan, lahan, dan pedalaman di antara ribuan daratan yang dibatasi lautan, yang membentuk kepulauan ini. Kendati secara historis saling berhubungan melalui politik, perdagangan, perang, kolonialisme, dan pembentukan Republik Indonesia, setiap pulau tetap memiliki ciri khas. Selain itu, perbedaan sosial, agama, atau geografis yang mencolok, muncul di pulau-pulau sebesar pulau Sumatra atau pulau sekecil pulau Sabu atau Sawu [sebuah pulau yang terletak di sebelah Selatan perairan Laut Sawu di sebelah timur Pulau Sumba dan sebelah barat Pulau Rote].
Dengan keragaman tersebut, Indonesia tak dapat melakukan kategorisasi sederhana. Misalnya, pulau-pulau di Indonesia bagian Timur, secara logis dapat masuk dalam kategori Polinesia Barat seperti halnya di Asia Tenggara, dalam hal lokasi, tanah, iklim, serta budaya pengayauan dan kepala suku. Indonesia Bagian Barat, punya hubungan yang lebih historis dengan daratan Asia Tenggara, bercirikan iklim dan geografis yang serupa, dan mengembangkan budaya istana yang lembut, dengan menggabungkan pengaruh India.

Sebutan 'Java' mungkin amat dikenal di Barat bukan lantaran nama pulau di Indonesia, melainkan sebagai nama bahasa pemrograman komputer dan sebagai kata slang untuk kopi. Ketiga penggunaan tersebut punya keterkaitan yang samar-samar—bahasa pemrogramannya diberi nama 'java' [bersimbolkan secangkir kopi hangat] guna menunjukkan bahwa program tersebut cepat, ibarat seseorang yang banyak minum kopi. Dan orang mulai menggunakan kata 'java' yang bermakna 'kopi' lantaran banyak kopi yang diekspor ke Barat dari kepulauan Indonesia melalui pulau Jawa.
Jawa dan Bali punya banyak kesamaan dengan wilayah Asia Tenggara lainnya, dalam hal teknologi musik. Alat musik Jawa dan Bali banyak yang terbuat dari berbagai bahan yang tersedia, seperti bambu dan kayu. Namun instrumen yang paling bergengsi terbuat dari logam, biasanya perunggu. Kumpulan alat musik perunggu disebut gamelan.
Sejarah selanjutnya di Jawa dan Bali, menunjukkan gelombang demi gelombang invasi asing; namun, para pendatang yang terakhir, tak menggusur keturunan Austronesia sebagaimana mereka telah menggusur pendahulunya. Sebaliknya, mereka berasimilasi dengan suku Jawa Austronesia. Beberapa dari pendatang awal ini, mungkin dari Vietnam Utara, membawa benda-benda dan teknologi perunggu sekitar tahun 300 SM. Di antara artefak yang terkait dengan gelombang ini, terdapat benda-benda yang oleh para arkeolog sebut 'drum perunggu' karena sepertinya merupakan alat penghasil suara, dan mungkin pula sebagai pemanggil hujan. Pada tahun 300 M, para pengrajin logam di Jawa telah mengembangkan teknologi impor dalam pengecoran dan penempaan perunggu serta memunculkan jenis artefak baru, termasuk gong perunggu dengan bonggol atau tonjolan di tengahnya.

Ansambel perkusi perunggu telah memainkan peran penting dalam budaya Jawa dan Bali selama ribuan tahun. Di kerajaan-kerajaan di seluruh dunia, benda-benda ritual merupakan simbol penting dari 'hak ilahi' untuk memerintah (mirip dengan mahkota permata di Inggris). Kerajaan Hindu-Jawa pada abad pertengahan, juga mempunyai mahkota pusaka dan permata. Koleksi benda-benda ritual mereka yang melambangkan legitimasi kekuasaan mencakup ansambel musik yang sebagian besar terdiri dari instrumen perkusi logam—gamelan. Istilah 'gamelan' diperkirakan berasal dari kata Jawa gamel, yang bermakna 'menangani', dalam arti mengatur atau menyajikan sesuatu; Dengan kata lain, istilah 'gamelan' mungkin merujuk pada proses pembuatan musik gamelan, yang melibatkan pengolahan atau penanganan ide dasar musik. Kata 'gamel' juga merujuk pada sejenis palu.

Kebudayaan Indonesia secara jelas mencerminkan adaptasi terhadap daratan, iklim, dan lautan; keanekaragaman bahasa dan masyarakat di seluruh kepulauan nusantara berkembang melalui pulau-pulau yang terpencil (beberapa lebih banyak dibandingkan yang lain) serta banyaknya masuknya masyarakat dan pengaruh terhadap pulau-pulau tersebut. Masyarakat di beberapa daerah, hidup dalam isolasi yang relatif, sementara yang lain, merupakan bagian dari jaringan perdagangan atau pelayaran yang besar. Pengaruh luar terus-menerus datang di masa lalu dan meskipun paling jelas terlihat di komunitas pelabuhan multi-etnis, mereka akhirnya mencapai daerah pedalaman melalui perdagangan. Selain beberapa suku pegunungan pedalaman, seperti suku Dani di Papua Barat (dulunya Irian Jaya), hanya sedikit orang di Indonesia yang hidup terisolasi dalam jangka waktu yang lama.
Salah seorang pakar berpendapat bahwa manusia pertama di Indonesia berasal dari kelompok etnis luas yang sekarang kita sebut Australo-Melanesia dan merekalah nenek moyang orang Melanesia di New Guinea, Aborigin Australia, dan komunitas kecil Negrito di Semenanjung Malaya dan Filipina.
Spekulasi arkeologi menunjukkan bahwa karena terbentangnya Paparan Sunda (antara Semenanjung Malaya dan kepulauan Indonesia bagian barat antara lain Jawa, Sumatra, Madura, Bali, Kalimantan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya), banyak orang yang berbeda, bermigrasi dan bercampur pada zaman prasejarah. Penjelasan ini juga menelusuri kepulauan Indonesia dan sekitarnya secara linguistik, dengan dimulainya migrasi kelompok bahasa Austonesian dari Taiwan sekitar 5.000 tahun yang lalu—yang meluas seiring dengan banyaknya divisi yang bermigrasi ke berbagai wilayah kepulauan. Beberapa kata yang berasal dari bahasa Austronesia tetap mirip dari Indonesia hingga Hawaii. Orang Austronesia berkelana hingga Madagaskar, lepas pantai timur Afrika, dan Pulau Paskah di Pasifik timur. Mereka secara dramatis, membedakan pulau-pulau besar antara Afrika dan Pasifik timur sebagai lengkungan megalitik. Tempat-tempat pemukiman orang Austronesia biasanya menampilkan monumen batu berukuran besar. Kepala Pulau Paskah yang sangat besar merupakan contoh yang amat dikenal.
Masyarakat yang tinggal di wilayah barat Indonesia—termasuk Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali—umumnya mirip dengan masyarakat Semenanjung Malaya (kini bagian dari negara Malaysia), dengan rambut hitam lurus, mata bulat, dan corak kulit gelap. Di wilayah timur Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara Timur) dan kepulauan Maluku, ciri-ciri Papua atau Melanesia menjadi ciri khas populasinya. Rambut keriting rapat dan warna kulit lebih gelap membedakan orang-orang kepulauan seperti Flores, Timor, Ambon, atau Papua. Sebelum Zaman Es terakhir, pulau ini secara politik terbagi menjadi Papua Nugini dan Irian Jaya (Papua Barat) terhubung melalui darat ke Australia. Masyarakat adat di pulau Papua secara fisik mirip dengan masyarakat Aborigin Australia.
Orang-orang Chinese berdagang dengan Indonesia jauh sebelum orang-orang Eropa mengetahui keberadaannya dan beberapa orang menetap sejak awal. Orang Chinese menjadi pedagang dan perantara mapan di kota-kota pelabuhan, dan jumlahnya semakin bertambah setelah kedatangan orang Eropa pada abad keenam belas. Dengan demikian, kelas pedagang yang kuat, berkembang menjadi mahir dalam manajemen bisnis dan akumulasi kekayaan. Banyak orang Chinese menjadi pebisnis paling kaya di Indonesia modern, berkat dukungan rezim nasional sebagai imbalan atas dukungan politik mereka. Hal ini menimbulkan kebencian di kalangan masyarakat umum Indonesia, yang biasanya tak menerapkan kecerdasan bisnis dan etos kerja Chinese. Orang Chinese mendominasi perdagangan dan mendirikan toko serta perusahaan di pulau-pulau terluar.
Jalur perairan Indonesia membawa para pedagang India, Arab, Persia, Tiongkok, dan daratan Asia Tenggara pada zaman prasejarah, kemudian disusul oleh orang-orang Eropa. Melalui jalur laut, India telah menjalin perdagangan dengan Jawa sekitar abad pertama Masehi dan pulau-pulau terluar di India menerima barang dari Tiongkok dan India berabad-abad yang lalu.
Selama paruh terakhir abad ketujuh, wilayah sekitar kota Palembang di Tenggara Sumatera menjadi pusat Imperium Sriwijaya, dan bukanlah sekedar kerajaan biasa. Palembang saat itu, menguasai perdagangan dan pelayaran melalui Selat Melaka—rute komersial penting bagi banyak negara Asia dan kemudian Eropa. Penguasaan maritim ini, menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi Imperium Sriwijaya, yang mengirimkan kapal ke Tiongkok dan Sri Lanka.

Imperium Majapahit yang besar di Jawa, sekali lagi, bukan cuma kerajaan kaleng-kaleng, walaupun bangkit dengan 'rice plain polity' [politik padi atau masyarakat beras, bukan yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang atau di era Orde Baru, melainkan dapat ditemukan pada simbol-simbol yang terukir pada candi-candi Borobudur dan Prambanan]. Mulai berkuasa pada akhir abad ketigabelas, Majapahit memperoleh kekuasaan politik atas Jawa Tengah dan Pulau Madura. Majapahit mencapai puncak kekuasaannya di bawah Rajasanagara pada abad keempatbelas melalui visi cemerlang dan keterampilan diplomasi menterinya, Gajah Mada. Masyarakat pesisir di Jawa akhirnya berhasil mengalahkan Majapahit dan mendirikan kerajaan baru, Mataram, pada abad keenambelas. Para pemimpinnya adalah Muslim Jawa, kemungkinan besar berpindah agama karena pengaruh Islam di kota-kota pelabuhan. Setelah itu, Islam menyebar ke seluruh Jawa. Agama Buddha dan Hindu tak pernah menguasai pulau-pulau di wilayah timur seperti Sumba, Timor, dan Flores. Pada abad kelimabelas, Islam telah menyebar ke seluruh Indonesia dan sejumlah kesultanan didirikan di seluruh kepulauan, terutama di kota-kota pelabuhan. Di Sulawesi bagian selatan, kerajaan Muslim Makasar di Gowa tumbuh sangat kuat antara tahun 1550–1660 karena pelabuhannya yang dominan dan kepemimpinannya yang kuat. Bugis (juga Muslim) adalah saingan pelayaran dari Makasar.

Penting bagi para pemimpin kerajaan Islam baru, membangun legitimasi untuk memerintah dengan cara yang dapat dipahami oleh rakyatnya. Salah satu caranya ialah dengan menggunakan simbol-simbol guna memerintah, termasuk ansambel gamelan. Legenda, yang sampai batas tertentu didukung oleh dokumentasi sejarah, menyatakan bahwa sekelompok kecil individu Jawa yang karismatik, biasanya disebut Wali Songo (sembilan orang suci, walaupun konon, tak semata sembilan orang), menyebarkan Islam di Jawa. 'The Nine Saints' ini, juga mendirikan negara-negara Islam kuat, yang berbasis di sepanjang pantai utara Jawa dan menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di Jawa. Para penguasa negara-negara ini akhirnya mengambil gelar kerajaan Islam seperti sultan. Raja Demak yang beragama Islamlah, yang memulai tradisi memainkan gamelan pusaka pada perayaan hari lahir Nabiyullah (ﷺ). Gamelan pusaka tersebut sekarang dikenal dengan nama gamelan sekaten atau gamelan sekati dan perayaannya disebut sekaten.

Indonesia merupakan konglomerasi pulau, masyarakat, dan budaya; bentuknya yang modern merupakan hasil sejarah yang tak semata melibatkan tumpah-darah dan rakyat Indonesia, namun pula, wilayah sekitarnya. Gamelan ini, hanyalah salah satu dari sekian banyak budaya Indonesia. Namun, batas-batas Indonesia modern tak berhimpitan dengan pembagian budaya atau bahasa tertentu; ia merupakan artefak kendali Belanda. Motto Nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika (bahasa Jawi yang bermakna 'unity in diversity') merangkum strategi bangsa Indonesia modern dalam menanamkan rasa patriotisme 'bersama' dalam konglomerasi budaya yang awalnya terjadi oleh penjajahan Belanda. Inti dari sebuah budaya pan-Indonesia ialah bahasa nasional (yang oleh penutur Ingglisy sebut 'Indonesian', tapi orang Indonesia menyebutnya 'bahasa Indonesia'). Hampir semua orang Indonesia berbicara dalam bahasa nasional ini, yang digunakan di sekolah, kantor pemerintah, dan media massa. Inilah salah satu perwujudan yang teramat penting bagi 'persatuan', bagian dari motto tersebut.
Ansambel yang disebut gamelan, paling sering dikaitkan dengan pulau Jawa dan Bali di Indonesia, namun ansambel serupa, menjadi ciri tradisi musik di seluruh wilayah ini. Selain gamelan dan musik tradisi lainnya, bila berbincang tentang Indonesia, aspek budaya, mungkin dapat menjadi 'starting point for long jump'.

Bincang tentang Indonesia ini, akan kita teruskan pada episode berikutnya. Bi 'idznillah.

Suara petasan terdengar dan disusul vokalis band para pemuda-pemudi Rukun Warga, 'The Sometimes'—sometimes bunyi, sometimes kagak—yang melantunkan tembangnya Vina Panduwinata,

Peluk diriku, peluk-peluk diriku
Cium pipiku, cium-cium pipiku
Bila kau cinta padaku
katakan cinta *)
Kutipan & Rujukan:
- Hank Johnston, What is a Social Movement?, 2014, Polity Press
- Jill Forshee, Culture and Customs of Indonesia, 2006, Greenwood Press
- Henry Spiller, Gamelan: The Traditional Sounds of Indonesia, 2004, ABC Clio
*) "Cium Pipiku" karya Adjie Soetama