Selasa, 12 November 2024

Konsep Barokah (3)

Asoka kemudian menutur, "Di sebuah kota yang tenang, di tengah cahaya fajar yang lembut, hiduplah Ibrahim, seorang perajin yang dikenal karena keterampilannya tetapi rendah hati. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan kerajinan tangan yang cermat, membentuk kayu menjadi potongan-potongan yang indah. Namun, meskipun penghasilannya pas-pasan, ia tampak selalu berkecukupan, dan hatinya tenteram, rumahnya hangat. Ada sesuatu tentang Ibrahim, rasa damai, rasa berkah—berkah yang tampaknya menyelimutii setiap bagian hidupnya.
Suatu pagi, saat ia siap bekerja, seorang pemuda bernama Nasir menghampirinya dengan mata yang letih, meminta nasihat. "Bagaimana cara Paman selalu tampak berkecukupan? Penghasilan paman kecil, tetapi paman dan keluarga selalu terlihat berkecukupan. Aku juga bekerja keras, tetapi hari-hari berlalu begitu saja bagaikan pasir. Aku tak mengerti bagaimana paman melakukannya."

Ibrahim, dengan senyum ramah, mengsjsk Nasir agar duduk. "Mari," katanya, "paman akan berbagi denganmu rahasia barokah." Nasir mencondongkan tubuhnya saat Ibrahim berbicara, "Barokah itu berkah dari Allah yang tak hanya menyentuh apa yang kita miliki, tapi juga bagaimana kita mengalaminya. Rasulullah (ﷺ) mengajarkan kita bahwa barokah lebih dari sekadar harta-benda; ia adalah kekayaan dalam waktu, usaha, dan hati kita. Sekeping koin yang disertai barokah dapat memberikan lebih banyak kebaikan daripada tumpukan emas tanpa berkah."
Wajah Nasir melembut karena rasa ingin tahu saat Ibrahim melanjutkan, "Coba perhatikan, paman memulai setiap hari dengan berdoa, saat fajar. Rasulullah (ﷺ) sendiri berdoa, 'Ya Allah, berkahilah umatku di pagi hari.' Bangun pagi mengisi hari paman dengan berkah karena jam-jam terasa lebih panjang, dan pekerjaan paman membuahkan hasil. Namun, ini bukan hanya tentang bangun pagi; ini tentang bangun dengan tujuan, bersyukur, dan memulai dengan mengingat nama Allah."
"Aku juga bangun pagi," sela Nasir, "tetapi rasanya waktu gak pernah cukup."
"Itu karena berkah tak semata dalam tindakan; melainkan pula dalam niat," kata Ibrahim sambil mengangguk penuh pengertian. Ia melihat sekeliling bengkel kecilnya dan menunjuk ke arah perkakasnya. "Semua di sini punya tujuan. Imam al-Ghazali mengajarkan kita bahwa 'Ilmu tanpa tindakan adalah kegilaan dan tindakan tanpa ilmu adalah kehampaan.' Untuk mengisi tindakan kita dengan berkah, kita hendaknya ikhlas dan berilmu. Aku melakukan pekerjaanku dengan ilmu tentang nilainya—bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan tapi juga melayani, untuk membangun sesuatu yang berguna bagi orang lain. Keikhlasan itu mendatangkan berkah, mengubah sepotong kayu sederhana menjadi sesuatu yang bermakna."
Nasir mengamati perkakas itu, kini melihatnya melalui mata Ibrahim. "Kalo begitu, jadi niat, tujuan itulah yang mendatangkan berkah." Ibrahim mengangguk. "Tepat sekali. Hati, sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali, bagaikan benteng, dan kita harus menjaga gerbangnya. Jika kita membiarkan keserakahan atau ketidaksabaran menyelinap masuk, berkah pun akan menyelinap keluar. Hasrat menjadikan kita budak, tetapi kesabaran, Nasir, menjadikan kita raja. Ayahku mengajarkan kepadaku bahwa kesabaran mengundang berkah, walaupun ketika kita tak melihat pahala langsung."

Nasir mengernyitkan dahi, berpikir. "Tapi bukankah kesabaran itu sulit? Bagaimana seseorang bisa benar-benar sabar?"
"Nah, itulah ujiannya," jawab Ibrahim. "Untuk mendapatkan apa yang engkau sukai, dirimu harus bersabar terlebih dahulu dengan apa yang tak engkau sukai. Itulah sebabnya aku berusaha bersabar dengan penghasilanku, untuk menemukan kebahagiaan dalam apa yang kumiliki daripada terpaku pada apa yang tak kumiliki. Kesabaran ini, keyakinan kepada Allah, itulah yang oleh para ulama disebut tawakkal. Aku berusaha sebaik mungkin, tetapi menyerahkan hasilnya di tangan-Nya, dan berkah mengalir masuk karena aku tak berusaha mengendalikan apa yang berada di luar kendaliku."
Nasir menyerap hikmah ini, dan hatinya merasakan percikan pemahaman. Ibrahim melanjutkan, "Bagian penting lain dari berkah adalah sedekah. Rasulullah (ﷺ) mengajarkan kita bahwa bersedekah takkan mengurangi harta. Disaat kita memberi dari harta kita yang sedikit, Allah memberkahi sisanya, mengembangkannya dengan cara yang tak terlihat. Jadi, Nasir, berkah dalam kekayaan tak selalu berupa lebih banyak uang, tetapi lebih kepada kemampuan memenuhi kebutuhan kita, menemukan sukacita, memberi dan merasa cukup." Sambil tersenyum, Nasir bertanya, "Tetapi, bagaimana saya memastikan bahwa aku tulus-ikhlas, Paman?"
Tatapan mata Ibrahim melembut. "Bersikaplah tulus dalam segala hal yang engkau lakukan. Hanya apa yang engkau lakukan untuk Allah-lah yang akan bertahan. Jika engkau bekerja hanya untuk dirimu sendiri, tindakanmu dibatasi oleh dirimu sendiri. Namun jika engkau bekerja untuk Allah, barokah memenuhi usahamu. Ketulusan ini mengubah rutinitas menjadi ibadah, dan hidup itu sendiri menjadi perjalanan menuju Allah.
Bila kita bekerja semat untuk diri sendiri atau keuntungan kita, upaya dan hasil yang kita peroleh cenderung dibatasi oleh kapasitas manusiawi kita. Waktu, energi, dan sumber daya kita terbatas, sehingga hasilnya seringkali sebanding dengan apa yang dapat kita capai. Perbedaan ini menunjukkan perbedaan antara pendekatan yang berpusat pada diri sendiri dan pendekatan yang berorientasi pada tujuan yang menghubungkan upaya seseorang dengan tujuan yang lebih tinggi.
Manakala kita bekerja hanya untuk diri sendiri, tujuan kita kerapkali terbatas, dibentuk oleh keinginan, ambisi, dan keterbatasan kita. Contoh, kita mungkin bekerja untuk mendapatkan sejumlah uang, mendapatkan status, atau memperoleh pengakuan. Tujuan-tujuan ini dapat dicapai, tetapi terbatas pada tingkat pribadi dan dibatasi oleh kemampuan, keadaan, dan sumber daya kita. Kepuasan yang diperoleh dari pencapaian tujuan-tujuan ini seringkali terasa berumur pendek dan dapat menyebabkan pencarian terus-menerus untuk mendapatkan lebih banyak lagi.
Bekerja hanya untuk diri sendiri dapat menyebabkan rasa terisolasi dalam berusaha. Kita mungkin merasa bertanggung awab sepenuhnya atas hasilnya, yang dapat menimbulkan stres dan kecemasan, terutama ketika segala sesuatunya tak berjalan sesuai rencana. Pendekatan ini seringkali mengabaikan sifat kehidupan dan alam semesta kita yang lebih luas dan saling terkait, dimana banyak faktor (di luar kendali kita) berkontribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan kita.
Walaupun ketika kita mencapai apa yang kita cita-citakan, kesuksesan pribadi mungkin masih meninggalkan rasa hampa. Mencapai tujuan semata-mata bagi keuntungan pribadi dapat terasa fana, karena keinginan manusia terus berkembang dan tumbuh. Itulah sebabnya mengapa banyak orang, meskipun mencapai kesuksesan duniawi yang berarti, akan masih merasa tak puas—mereka mendapati dirinya mengejar rasa kepuasan yang sepertinya selalu berada di luar jangkauan.
Bila pekerjaan kita hanya untuk diri kita sendiri, biasanya pengaruhnya tetap kecil. Kita akan hanya menguntungkan diri kita sendiri atau sekelompok kecil orang. Hal ini dapat menjadikan kehidupan yang terasa terisolasi, dimana tindakan kita tak melampaui lingkup pribadi atau melayani tujuan yang lebih besar daripada kepentingan langsung kita. Upaya tersebut takkan berkelanjutan setelah keterlibatan kita berakhir, dan mungkin tak punya dampak yang bertahan lama pada orang lain atau masyarakat yang lebih luas.
Pendekatan yang hanya berfokus pada diri sendiri kerap tak punya makna yang lebih besar, yang penting bagi banyak orang agar merasa terhubung dengan sesuatu di luar dirinya sendiri. Hal ini karena, ketika fokus tetap pada "aku", dampak dari setiap tindakan hanya dilihat melalui sudut pandang keuntungan pribadi, bukan visi yang lebih luas, yang dapat membawa tujuan dan kepuasan yang lebih dalam.
Ketika seseorang bekerja dengan niat untuk mengabdi kepada Allah, perspektifnya bergeser dari pandangan yang berpusat pada diri sendiri menjadi pandangan yang berpusat pada tujuan. Tindakan tak lagi dibatasi bagi keuntungan pribadi tetapi dilakukan sebagai bagian dari misi yang lebih luas, yang sejalan dengan tujuan Ilahi. Islam mengajarkan bahwa tindakan yang dilakukan karena Allah, pada hakikatnya lebih memuaskan, senan tindakan tersebut menghubungkan individu dengan tujuan yang lebih besar dan tak terbatas yang melampaui batasan duniawi.

"Tindakan yang dilakukan karena Allah" merujuk pada tindakan apa pun yang dilakukan dengan niat tulus agar beroleh ridha Allah dan memenuhi perintah-perintah-Nya, bukan untuk keuntungan pribadi, pengakuan, atau keuntungan duniawi. Dalam Islam, niat sangat penting, karena niat mengubah tindakan biasa menjadi tindakan ibadah jika dilakukan untuk mencari keridhaan Allah. Kunci dari sebuah tindakan yang dilakukan "karena Allah" adalah bahwa niat utama di balik tindakan tersebut adalah mencari keridhaan Allah. Hal ini melibatkan penyelarasan motif seseorang dengan apa yang telah diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah, bukan dengan keuntungan duniawi atau pengakuan dari orang lain semata. Tindakan-tindakan ini juga hendaknya sejalan dengan apa yang dianjurkan dalam Islam, termasuk tindakan ibadah, tindakan kebaikan, dan perilaku moral. Meskipun manfaat duniawi mungkin datang dari tindakan-tindakan ini, motivasi utama orang beriman tetaplah spiritual, dengan fokus pada perolehan berkah dan pahala Allah.
Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan tulus karena Allah sering disertai dengan komitmen yang lebih besar karena motivasi di baliknya lebih dari sekadar keuntungan langsung atau pujian sementara. Komitmen ini menunjukkan dedikasi untuk menegakkan prinsip dan nilai, bahkan saat hal itu menantang atau saat tiada yang melihat. Misalnya, mengajarkan nilai, moral, dan ilmu Islam kepada anak-anak untuk membimbing mereka menuju kebenaran karena Allah, bukan untuk kebanggaan pribadi. Ini termasuk kesabaran dan dedikasi, melihat pengasuhan anak sebagai bentuk ibadah.
Melakukan bisnis dengan jujur, bahkan ketika seseorang mungkin mendapat lebih banyak keuntungan dengan tidak jujur ​​karena seseorang menghargai perintah Allah agar bersikap jujur ​​dan adil. Integritas seperti ini, yang dipraktikkan agar Allah ridha, menjadi sumber barokah dalam mata pencaharian seseorang.
Jika dipercayakan dengan tanggungjawab, semisal posisi manajerial atau tugas, seorang Muslim berusaha agar bersikap adil dan tekun dalam memenuhinya, dengan tujuan menghormati kepercayaan yang diberikan kepada mereka oleh Allah, yang menghargai kejujuran. Tindakan sederhana semisal menghemat air, mendaur ulang, dan mengurangi sampah dapat dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab dalam mengelola Bumi, karena Allah telah mempercayakan peran ini kepada manusia. Islam menganjurkan kepedulian terhadap ciptaan, sehingga tindakan ini menjadi ibadah jika ditujukan untuk melestarikan ciptaan Allah.
Esensinya, bekerja semata-mata untuk diri sendiri dapat menyebabkan kehidupan yang dibatasi oleh keterbatasan seseorang, sementara bekerja untuk Allah membuka pintu bagi kemungkinan dan pemenuhan yang melampaui batasan pribadi. Tindakan tak hanya menjadi urusan individu tetapi bagian dari misi kolektif yang diilhami Allah yang berpotensi membawa dampak yang luas dan langgeng. Hal ini mengubah pekerjaan dari sekadar fungsional menjadi memuaskan secara spiritual."

Kata-kata itu meresap dalam di hati Nasir saat ia melihat Ibrahim, seorang lelaki yang benar-benar mewujudkan berkah barokah. Ibrahim melanjutkan, "Qalbu kita, Nasir, bagaikan cermin. Ia memantulkan apa pun yang berada di hadapannya. Jika qalbu kita dibersihkan dari keserakahan, iri hati, dan ketidaksabaran, ia memantulkan cahaya Ilahi. Jika engkau menginginkan ilmu tentang Allah, sucikan qalbumu dari ilusi dunia.' Qalbu yang bersih, merasakan barokah, melihat keindahan dalam kebersahajaan, dan sukacita dalam apa yang diabaikan orang lain."

Nasir merasakan perubahan dalam dirinya saat mendengarkan perkataan Ibrahim, yang memberinya inspirasi agar hidup dengan tujuan baru. Ia menyadari bahwa berkah lebih dari sekadar harta atau kesuksesan; berkah merupakan cara hidup yang menanamkan makna dan kelimpahan dalam setiap momen.

Pada hari-hari berikutnya, Nasir menghayati pelajaran Ibrahim. Ia memulai setiap hari dengan berdoa, bersyukur atas berkah yang diterimanya, mencari berkah dalam pekerjaannya, dan bersabar dalam perjuangannya. Perlahan-lahan, ia merasa penghasilannya bertambah, pekerjaannya terasa lebih ringan, dan hari-harinya terasa lebih penuh.

Suatu malam, ia kembali mengunjungi Ibrahim, kegembiraan tampak jelas di wajahnya. "Paman, aku merasakan berkah yang paman bicarakan. Hidupku tak berubah dalam hal harta-benda atau kemudahan, tetapi terasa lebih kaya, lebih bermakna."
Ibrahim meletakkan tangannya di bahu Nasir. "Kalau begitu, engkau telah paham. Barokah bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang bagaimana kita melihat, menjalani, dan menggunakan apa yang kita miliki. Itulah anugerah Allah, yang diberikan kepada mereka yang mencarinya dengan ketulusan, kesabaran, dan rasa syukur." Nasir mengangguk, kata-kata itu terukir di hatinya. Dan saat ia berjalan pulang di bawah bintang-bintang, ia merasa benar-benar diberkahi, karena ia akhirnya memahami hakikat barokah—anugerah Ilahi, kehidupan yang dipenuhi dengan berkah, dan hati yang damai, terhubung dengan Allah dalam setiap tarikan napas," pungkas Asoka

Saat fajar mewarnai langit dengan rona emas dan merah muda, tanaman-tanaman itu berpisah, hati mereka dipenuhi dengan pemahaman baru. Mereka telah belajar bahwa 'Barokah' bukanlah tujuan yang harus dicapai, tetapi sebuah perjalanan yang hendaknya dijalani, sebuah jalan yang diterangi oleh rasa syukur, kebajikan, dan kepercayaan.

Dan begitulah, mereka terus hidup di taman rahasia, kehidupan mereka merupakan bukti kekuatan 'Barokah', perwujudan hidup dari keindahan dan keanggunan yang dapat ditemukan walau dalam hal-hal terkecil sekalipun.
[Bagian 1]

Jumat, 08 November 2024

Konsep Barokah (2)

Saat malam semakin larut, para tanaman melanjutkan percakapan mereka, suara mereka menenun jalinan kearifan dan inspirasi. Mereka berbicara tentang pentingnya kesabaran, ketekunan, dan kepercayaan pada rencana Ilahi. Dan mereka bercakap tentang 'Barokah', percikan dalam diri kita, yang menunggu disulut.
Mawar kemudian berkisah, "Seorang Muslimah muda, Aisya, memulai ibadah haji pertamanya ke Mekkah. Saat ia melintasi tempat-tempat suci, rasa kagum menyelimuti dirinya. Ka'bah, Rumah Allah, berdiri megah, simbol kesatuan Ilahi. Ia menyentuh kain hitamnya, Kiswah, merasakan ikatan yang mendalam. Di tempat suci ini, ia merasakan rasa Barokah yang nyata, kehadiran Ilahi yang menyelubunginya.
Aisya teringat kata-kata kakeknya, yang sering berbicara tentang keberkahan yang dikaitkan dengan Rasulullah tercinta (ﷺ). Kakeknya mengisahkan para Sahabat (رضي الله عنهم), kehidupan mereka berubah oleh berkah Ilahi yang menyertai Rasulullah (ﷺ). Aisya merasakan kerinduan yang mendalam meneladani keimanan mereka dan mencari keberkahan Rasulullah (ﷺ). Barokah, terma yang berakar kuat dalam teologi Islam, menandakan berkah atau kebaikan Ilahi yang dianugerahkan kepada individu, tempat, atau objek. Inilah konsep yang melampaui sekadar materi, yang mewujudkan hubungan spiritual dengan Sang Ilahi.

Dikala Aisya melanjutkan perjalanannya, ia bertemu dengan banyak jamaah dari berbagai latarbelakang. Ia menyaksikan pengalaman bersama mereka tentang sukacita, rasa syukur, dan pembaruan spiritual. Menjadi jelas bahwa Barokah tak sebatas pada tempat-tempat suci saja. Barokah dapat ditemukan dalam tindakan pengabdian yang sederhana, persahabatan sesama umat beriman, dan keindahan alam.
Aisya merenungkan ajaran Imam al-Ghazali, seorang ulama Sunni terkemuka. Dalam bukunya, "Ihya Ulumuddin" (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), al-Ghazali membahas pentingnya mencari Barokah dalam segala aspek kehidupan. Ia menekankan peran niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah dalam menarik berkah Ilahi. Al-Ghazali, dalam karya-karyanya, menempatkan penekanan pentingnya niat (niyyah), ketulusan (ikhlas), dan ketergantungan pada Allah (tawakal) sebagai prinsip inti guna menarik berkah Ilahi dan memastikan kesuksesan spiritual.
Al-Ghazali menegaskan bahwa niat yang bersih sangat penting agar setiap perbuatan diterima oleh Allah dan mendatangkan keberkahan. Ia menekankan bahwa tindakan tanpa niat yang jelas dan benar adalah hampa nilainya. Dalam Ihya Ulumuddin, ia menjelaskan bahwa seseorang hendaknya memeriksa motifnya, berusaha menyelaraskan niatnya semata-mata dengan keridhaan Allah, bukan keuntungan atau pengakuan duniawi. Fokus pada niat ini memastikan bahwa bahkan kegiatan rutin, seperti bekerja atau belajar, menjadi tindakan ibadah jika dilakukan karena Allah, sehingga mendatangkan berkah.
Bagi Al-Ghazali, ketulusan niat merupakan landasan hubungan sejati dengan Allah dan landasan yang di atasnya semua tindakan hendaknya dilakukan. Ketulusan bermakna melakukan perbuatan murni karena Allah, tanpa mencari pujian, pahala, atau keuntungan duniawi yang tersembunyi. Al-Ghazali memperingatkan terhadap bentuk-bentuk ketidaktulusan yang subtil, semisal meminta persetujuan dari orang lain, yang disebutnya sebagai "syirik tersembunyi." Ia berpendapat bahwa hanya melalui ketulusan sejati seseorang dapat menarik berkah ilahi karena Allah menerima perbuatan yang dilakukan dengan hati yang bersih dan pengabdian yang murni.
Tawakal merupakan komponen penting lainnya dalam pendekatan Al-Ghazali untuk menarik berkah. Dalam pandangan Al-Ghazali, tawakal yang sejati bemakna percaya bahwa semata Allah-lah Yang mengendalikan seluruh hasil dan bahwa usaha seseorang hanyalah sarana. Ia mengajarkan bahwa seorang mukmin hemdkanya bertindak dengan tawakal kepada Allah, mengetahui bahwa, pada akhirnya, keberhasilan dan berkah datang dari-Nya saja. Kepercayaan penuh pada Allah ini menumbuhkan rasa damai dan keyakinan, mengurangi kecemasan atas masalah duniawi dan mengundang berkah, karena Allah mencintai mereka yang bergantung penuh kepada-Nya.
Al-Ghazali menggabungkan ketiga unsur ini—niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah—sebagai formula yang ampuh menerima karunia Allah. Tatkala seseorang bertindak dengan niat yang suci, terbebas dari keinginan duniawi, melakukan perbuatannya dengan ketulusan, dan behasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, ia menyelaraskan diri secara spiritual dengan kehendak Ilahi. Keselarasan ini menarik berkah Allah dan mengubah walau tindakan kecil menjadi sumber pahala dan manfaat yang sangat besar.

Dalam tafsirnya tentang Empat Puluh Hadits Imam Nawawi, Jami’ al-Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab menegaskan bahwa niat yang baik sangat penting bagi keabsahan dan pahala dari setiap tindakan. Ia menjelaskan bahwa niat mengubah tindakan duniawi menjadi tindakan ibadah jika dilakukan karena keridhaan Allah. Ia menekankan bahwa niat hendaknya terus-menerus diperiksa guna memastikan bahwa niat tersebut selaras dengan mencari keridhaan Allah, sebab inilah kunci keberhasilan di kedua dunia.
Dalam karya-karyanya, termasuk tafsirnya yang dikenal tentang Sahih Muslim, an-Nawawi menegaskan kembali bahwa setiap tindakan dinilai dari niatnya, dengan merujuk pada hadis, “Tindakan itu berdasarkan niat” (Innamal a’maal bin niyyah). Ia mengajarkan bahwa memiliki niat yang benar tak hanya mendatangkan berkah bagi tindakan, tetapi juga menghindarkan seseorang dari penyimpangan, karena seseorang secara sadar menyadari mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan.

Ibnu Taimiyyah menekankan keikhlasan atau ketulusan sebagai dasar dari semua ibadah, dengan menegaskan bahwa tanpa ikhlas, tiada tindakan yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Dalam Majmu’ al-Fatawa, ia menjelaskan bahwa keikhlasan seharusnya mendorong orang-orang beriman untuk hanya mencari keridhaan Allah, karena bahkan motif-motif tersembunyi seperti reputasi atau kesombongan dapat merusak ibadah. Ibnu Taimiyyah menyoroti bahwa ikhlas sejati mengundang berkah Allah karena hal itu menyelaraskan hati orang beriman hanya kepada-Nya.

Dalam Madarij as-Salikin, Ibnu Qayyim mendedikasikan satu bagian untuk tawakal, dimana ia menggambarkannya sebagai keseimbangan antara mengambil tindakan dan percaya pada kehendak Allah. Ia menekankan bahwa ketergantungan sejati melibatkan pengakuan akan kekuasaan Allah sambil tetap menjalankan tugas seseorang. Ibnu Qayyim mengajarkan bahwa ketergantungan yang seimbang seperti itu mendatangkan pertolongan dan berkah Ilahi karena mencerminkan kerendahan hati dan kepercayaan orang beriman hanya kepada Allah.

Dikenal oleh kegigihan dan keimanannya yang teguh, Imam Ahmad sering menonjolkan tawakal dalam ajarannya. Ia mengajarkan bahwa meskipun perlu berusaha, hati hendaknya tetap fokus kepada Allah semata sebagai pemberi rezeki. Nasihat Imam Ahmad tentang tawakal adalah bahwa tawakal tak hanya mendatangkan kedamaian, melainkan pula membuka pintu keberkahan, karena seseorang belajar melihat setiap hasil sebagai bagian dari hikmah dan rahmat Allah.

Para ulama ini sepakat bahwa niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah membangun landasan spiritual yang kuat. Bila dipadukan, prinsip-prinsip ini membersihkan qalbu dari gangguan duniawi, mengarahkan fokus seseorang kepada Allah, dan mendorong pendekatan yang seimbang terhadap upaya spiritual dan duniawi. Mereka menjelaskan bahwa kombinasi ini menarik berkah Ilahi dan membuka jalan bagi keberhasilan spiritual, karena hal ini menyelaraskan tindakan orang beriman dengan kehendak ilahi dan memurnikan jiwa dengan cara yang selaras dengan petunjuk Allah.

Al-Qur'an penuh dengan rujukan tentang Barokah. Dalam Surah al-Baqarah ayat 121, Allah menjanjikan berkah bagi mereka yang beriman dan mengerjakan amal shalih. Dalam Surah al-A'raf, ayat 157, Allah menggambarkan Rasulullah (ﷺ) sebagai rahmat bagi seluruh ciptaan, sumber Barokah bagi umat manusia.

Barokah muncul dalam berbagai bentuk dalam kehidupan orang beriman. Banyak hadis yang menekankan memulai perbuatan dengan "Basmalah" agar mendatangkan berkah. Praktik ini mencerminkan pola pikir bahwa berkah dicari dengan mengakui Allah sebagai sumber segala kebaikan.
Rasulullah (ﷺ) berdoa memohon berkah di pagi hari bagi umatnya. Bekerja di pagi hari dianjurkan agar beroleh berkah, karena waktu tersebut diyakini \penuh dengan berkah yang memungkinkan produktivitas lebih tinggi.
Dengan berokah, sumber daya yang terbatas menjadi cukup atau bahkan berlimpah. Misalnya, sebuah keluarga dapat merasakan kepuasan dan kecukupan dari penghasilan yang pas-pasan. Prinsip ini tercermin dalam hadis yang menyebutkan bahwa keberkahan dalam rezeki seseorang mendatangkan kepuasan dan kebercukupan yang melampaui kekayaan materi.
Barokah dapat membuat tindakan seseorang lebih berdampak. Al-Ghazali menyatakan bahwa barokah memberikan kedalaman spiritual pada tindakan, mengubahnya menjadi bentuk ibadah dan bhakti kepada Allah, meskipun tampak biasa saja. Gagasan ini diperluas ketika ia membahas bagaimana pekerjaan yang dilakukan dengan niat yang tulus menjadi sarana agar terhubung dengan Sang Ilahi.
Qalbu yang dipenuhi berkah akan merasakan ketenangan dan kepuasan. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa "Qalbu itu ibarat cermin," yang memantulkan apa yang menjadi fokusnya. Dengan membersihkan qalbu dari gangguan dan masalah duniawi, seseorang akan membukanya untuk menerima berkah Ilahi.
Melalui barokah, waktu terasa berlimpah. Tugas-tugas diselesaikan secara efisien, dan momen-momen dipenuhi dengan produktivitas yang lebih besar. Efek ini dikaitkan dengan pagi hari, waktu yang diberkahi dengan produktivitas sebagaimana ditunjukkan dalam hadis dan ditekankan dalam tradisi Islam.

Dalam karya-karya modern, seperti The Barakah Effect: More with Less (2018) karya Mohammad Faris, barokah dieksplorasi lebih jauh dalam konteks produktivitas dan fungsinya. Faris berpendapat bahwa produktivitas sejati bukanlah melakukan banyak hal, tetapi berfokus pada tindakan-tindakan yang bermakna dengan tujuan Ilahi. Ia menekankan bahwa ketulusan, rutinitas pagi hari, dan keselarasan dengan tujuan-tujuan spiritual seseorang sangat penting agar mengalami barokah. Karyanya merefleksikan ajaran-ajaran klasik, yang menunjukkan bagaimana barokah dapat terwujud dalam kehidupan modern melalui tindakan-tindakan yang disengaja dan qalbu yang terhubung dengan Allah.
Mohammad Faris mendefinisikan berokah sebagai berkah ilahi yang memungkinkan seseorang meraih lebih banyak dengan sedikit usaha, waktu, dan sumber daya. Ia menggambarkan barokah bukan sekadar peningkatan kuantitas, tetapi sebagai bentuk pengayaan spiritual yang meningkatkan kualitas hidup dan usaha seseorang.
Barokah adalah anugerah Allah, dan tak dapat diukur atau dijelaskan sepenuhnya melalui cara-cara material. Barokah seringkali terwujud dalam cara-cara yang tak dapat dihitung dengan kalkulasi biasa, semisal berproduktivitas yang lebih tinggi dalam waktu yang terbatas, kekayaan yang jauh melampaui apa yang tampak mungkin, atau mencapai hasil yang luar biasa dengan usaha yang minimal.

Faris menempatkan fokus yang penting pada manajemen waktu melalui sudut pandang Islam. Ia berpendapat bahwa barokah memungkinkan individu mencapai lebih banyak hal dalam waktu mereka dengan berfokus pada tugas-tugas yang bermakna dan berorientasi pada tujuan daripada sibuk tanpa hasil. Ia menyoroti pentingnya keseimbangan antara tanggungjawab spiritual dan duniawi. Barokah sejati datang ketika individu hidup selaras dengan iman mereka, memberikan perhatian yang semestinya pada kesejahteraan spiritual, fisik, dan emosional. Faris juga menyinggung konsep barokah dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Ketika orang berkontribusi pada well-being orang lain dan memelihara hubungan, Allah menempatkan barokah dalam upaya kolektif mereka.
Barokah dipandang sebagai unsur penting dalam menjalani kehidupan yang terpenuhi, produktif, dan bermakna, dimana ketergantungan yang lebih sedikit diletakkan pada kelimpahan materi dan lebih banyak fokus diberikan pada keberlimpahan spiritual dan keselarasan dengan prinsip-prinsip Islam. Barokah tak dapat diukur atau dikuantifikasi begitu saja; sebaliknya, ia dialami dengan cara-cara yang subtil namun kuat, semisal merasa lebih damai, mencapai tujuan dengan lebih efektif, atau menemukan bahwa waktu cukup untuk mengakomodasi semua tugas.

Faris menguraikan kerangka kerja "Budaya Barokah", yang merupakan pendekatan holistik dalam menjalani kehidupan yang seimbang, bermakna, dan penuh tujuan. Kerangka kerja tersebut memiliki tiga komponen utama: pola pikir (mindset), nilai-nilai (values), dan tindakan (action). Pertama, jalani hidup dengan pola pikir berkembang yang menghargai niat, rasa syukur, dan tawakal. Faris berpendapat bahwa atribut-atribut ini memungkinkan seseorang agar tetap fokus pada apa yang benar-benar penting dan tetap tangguh dalam menghadapi tantangan hidup. Kedua, mengadopsi nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam dan menekankan kesederhanaan, kepuasan, dan perilaku etis. Dengan memprioritaskan nilai-nilai daripada hasil, Faris menyarankan bahwa orang dapat mencapai berkah yang lebih besar dan, hasilnya, kehidupan yang lebih memuaskan. Mendorong tindakan yang mengundang barokah, seperti tindakan ibadah yang konsisten, disiplin diri, pelayanan kepada orang lain, dan menghindari pemborosan. Faris menekankan tindakan yang bertujuan selaras dengan niat dan nilai-nilai seseorang.
Faris memberikan langkah-langkah praktis untuk menumbuhkan barokah di beberapa area penting. Ia menyarankan memulai hari lebih awal, mengatur waktu dengan istirahat, dan berfokus pada kegiatan yang berdampak tinggi. Ia menyoroti anjuran Rasulullah (ﷺ) agar bekerja di pagi hari, yang dipandang penuh berkah.
Ketimbang hanya mengumpulkan kekayaan, Faris menganjurkan penghasilan yang diperoleh dengan etis, pengeluaran yang penuh kesadaran, dan pemberian sedekah. Ia menjelaskan bahwa harta yang diperoleh secara etis dan dibelanjakan dengan bijak mendatangkan berkah dan seringkali lebih bermanfaat daripada harta yang diperoleh melalui cara-cara yang egoistik atau meragukan.
Berkah dalam kesehatan dicapai melalui perawatan diri, gaya hidup yang seimbang, dan rasa syukur atas physical well-being. Faris menekankan pentingnya melihat kesehatan sebagai amanah dari Allah, merawatnya melalui olahraga yang cukup, pola makan yang tepat, dan menghindari kebiasaan yang merugikan.
Faris menekankan beberapa praktik sehari-hari yang mengundang berkah. Ia menjelaskan bahwa niat hendaknya selaras dengan ridha Allah dan melayani sesama, menjadikan setiap tindakan sebagai sumber berkah yang potensial. Mengungkapkan rasa syukur secara teratur, baik dalam shalat maupun dalam interaksi sehari-hari, mengundang berkah dan melipatgandakan berkah yang sudah ada.
Dengan bersedekah, Faris berpendapat bahwa harta seseorang akan dimurnikan dan diperluas sehingga mendatangkan berkah dan pahala yang tak terduga.
Faris menyajikan strategi untuk mencapai produktivitas disertai tujuannya. Ia menekankan bahwa bekerja dengan barokah perlu memprioritaskan kesehatan dan menghindari dorongan untuk produktivitas tanpa henti. Sebaliknya, Faris menganjurkan pekerjaan yang terfokus, istirahat, dan fleksibilitas. Menetapkan tujuan yang bermakna dan selaras dengan nilai-nilai seseorang, daripada mengejar metrik keberhasilan yang dangkal, mengarah pada kepuasan yang lebih besar dan membuka jalan bagi barakah dalam pekerjaan seseorang. Faris berpendapat bahwa berkontribusi pada well-being orang lain, termasuk keluarga, komunitas, dan masyarakat, mendatangkan barokah karena sejalan dengan tujuan yang lebih besar daripada diri sendiri.
Faris menyajikan barokah sebagai filosofi hidup yang menyentuh setiap aspek kehidupan dan kepemimpinan. Dengan berfokus pada keselarasan antara niat, tindakan, dan kehendak Allah, ia mendorong kita agar menjalani kehidupan yang mengutamakan kualitas, spiritualitas, dan pelayanan daripada materialisme dan persaingan.
Faris menekankan peran keterhubungan dalam menumbuhkan barokah. Ia menyoroti pentingnya ikatan keluarga, hubungan etis, dan dukungan masyarakat. Barokah akan muncul ketika individu memprioritaskan kebutuhan orang lain, entah itu menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga, mendukung teman, atau menjadi relawan di masyarakat.

Puncak dari ibadah haji Aisya adalah perayaan Idul Adha yang penuh suka cita. Saat ia mengikuti shalat berjamaah dan perayaan lainnya, ia merasakan rasa persatuan yang mendalam dengan sesama Muslim. Ia menyadari bahwa Barakah bukan hanya pengalaman individu, melainkan pula pengalaman kolektif. Dengan berbagi iman dan berkah, umat Islam memperkuat komunitas mereka dan berkontribusi pada penyebaran rahmat Ilahi.

Saat Aisya kembali ke rumah, ia membawa serta tujuan baru dan apresiasi yang lebih dalam terhadap konsep Barokah. Ia memahami bahwa itu bukan sekadar berkah yang harus dicari, tapi juga cara hidup, cerminan iman dan pengabdian seseorang kepada Allah."

Senin, 04 November 2024

Konsep Barokah (1)

Melati tua yang bijak, dengan kembang-kembang putih lembutnya, menambahkan, suaranya bagaikan melodi lembut yang terbawa sang bayu. "Barokah," katanya, "bukan sekedar berkah yang dianugerahkan dari atas, melainkan percikan yang menyala dalam setiap makhluk, potensi yang menunggu diwujudkan.
Konsep barokah (بركة) dalam perspektif Islam bermakna spiritual mendalam, yang menyentuh segala aspek kehidupan seorang Muslim. Barokah umumnya dipahami sebagai berkah atau peningkatan yang Allah berikan kepada manusia, waktu, kekayaan, atau tindakan, dan peningkatan ini tak selalu bersifat materi, melainkan kerap bersifat kualitatif—membuat sumber daya atau upaya seseorang dapat berkembang lebih jauh atau membuahkan hasil yang lebih besar.
Barokah merupakan konsep yang punya banyak sisi dalam Islam, yang menggambarkan keadaan berkah ilahi yang mendatangkan kebaikan, keberlimpahan, dan produktivitas dalam kehidupan seseorang. Tak seperti peningkatan fisik semata, barokah seringkali terwujud dalam cara yang menambah nilai, kepuasan, dan umur panjang bagi sumber daya, waktu, dan energi seseorang. Para ulama menggambarkan barokah sebagai kekuatan spiritual yang tak terlihat, yang memperkuat manfaat berbagai aspek kehidupan."

Lavender mengimbuhkan pula, "Rasulullah (ﷺ) sering menyebut barokah, menekankannya sebagai sesuatu yang memperkaya kehidupan di luar sarana fisik atau materi. Misalnya, beliau (ﷺ) mengajarkan bahwa bangun pagi mendatangkan berkah bagi keseharian seseorang, dan beliau (ﷺ) menekankan bahwa membelanjakan harta untuk bersedekah mengundang berkah menjadi kekayaan.
Barokah dipandang sebagai tanda kebaikan dan rahmat Allah, serta merupakan inti dari kehidupan yang tawakal (bersandar atau penyerahan segala urusan kepada Allah). Ajaran Sunni menekankan bahwa pengejaran barokah seseorang mencerminkan ketulusan, kebersyukuran, dan ketergantungan kepada Allah, karena hal itu menuntut pencarian pemenuhan spiritual di atas kesuksesan materi.
Dalam makna yang lebih luas, barokah sangat penting karena mengubah pendekatan orang beriman terhadap sumber daya dan waktu, mendorong kerendahan hati dan perilaku etis. Hal ini menggarisbawahi keyakinan bahwa kesuksesan dan rezeki datang dari Allah semata, membantu umat Islam fokus pada kualitas ketimbang kuantitas, dan membimbing mereka menuju kehidupan yang beretika dan bertanggungjawab."

Marigold yang ceria, selalu ingin tahu, berkata, "Tapi bagaimana kita menemukan percikan itu, Melati? Di mana ia bersembunyi?" Melati tersenyum, kuntumnya bergetar oleh tawa lembut. "Ia bersembunyi dalam hal-hal yang amat sederhana, Marigold," jawabnya. "Dalam embun yang berkilauan di dedaunanmu, dalam sinar matahari yang menghangatkan kuntum mekarmu, dalam napas yang menopang hidupmu.
Harta yang barokah bukan berarti menumpuk uang; melainkan bahwa sumber daya seseorang dapat digunakan jauh memenuhi kebutuhannya, dan melayani orang lain secara efektif. Waktu yang barokah memungkinkan seseorang mencapai lebih banyak hal dengan waktu yang lebih sedikit. Waktu yang sedikit dapat menghasilkan hasil yang luar biasa jika Allah memberkahinya. Ilmu yang barokah mencerahkan qalbu seseorang, membawa perubahan positif, dan memberi manfaat bagi individu dan masyarakat. Ikatan yang dipenuhi berkah bersifat harmonis dan saling mendukung, memperkaya keimanan dan emotional well-being kedua individu. Tempat-tempat tertentu, seperti Mekkah dan Madinah, dipandang punya barokah yang hakiki, dan melakukan ibadah di lokasi-lokasi ini, diyakini akan mendatangkan pahala dan berkah yang lebih besar.
Barokah (بركة) sering diterjemahkan sebagai "berkah" atau "kebaikan Ilahi." Barokah mencakup berbagai makna dan implikasi yang mencerminkan kelimpahan spiritual dan material yang dianugerahkan Allah.
Barokah dipandang sebagai bentuk kehadiran Ilahi yang meningkatkan berbagai aspek kehidupan, termasuk harta-benda, waktu, ikatan, dan usaha. Barokah diyakini sebagai manifestasi kasih karunia Allah yang dapat menghasilkan pertumbuhan kualitatif di luar ukuran kuantitatif belaka. Misalnya, sejumlah kecil makanan dapat mencukupi bagi banyak orang jika ada barokahnya, seperti yang diilustrasikan oleh kisah-kisah kehidupan Rasulullah (ﷺ) dimana beliau (ﷺ) mampu memberi makan kelompok besar dengan sumber daya yang minim oleh adanya barokah.
Terma barokah terkait dengan tiga dimensi utama:
  • Pertumbuhan dan Peningkatan: merujuk pada gagasan bahwa barakah mengarah pada peningkatan dalam apa pun yang disentuhnya, baik itu kekayaan maupun produktivitas.
  • Kesinambungan: Barakah menyiratkan kehadiran atau efek berlanjut, yang menunjukkan bahwa barokah bertahan lama dan tidak cepat berlalu.
  • Stabilitas: mencerminkan gagasan bahwa sesuatu yang diberkahi tetap berada di posisinya dan terus menghasilkan manfaat.
Ada beberapa prinsip dan praktik yang diyakini dapat menarik barokah dalam kehidupan seseorang:
  • Taqwa: Mengingat Allah dalam segala tindakan menumbuhkan lingkungan yang memungkinkan barokah tumbuh subur. Al-Quran menekankan bahwa mereka yang menjaga iman dan kebenarannya akan menerima rezeki yang berlimpah dari Allah.
  • Kedermawanan (Sedekah): Amal-shalih dipandang sebagai cara utama mengundang barokah. Kehidupan Rasulullah (ﷺ) mencontohkan prinsip ini melalui tindakannya yang murah hati terhadap masyarakatnya.
  • Rasa syukur: Mengakui dan bersyukur atas berkah Allah dapat meningkatkan pengalaman seseorang akan barokah. Pola pikir ini mendorong rasa puas dan positif, walaupun di masa-masa sulit.
Barokah tak semata tentang harta-benda atau materi; ia merupakan perwujudan pendekatan holistik terhadap kehidupan dimana pemenuhan spiritual, perilaku etis, dan kemurahan hati ilahi saling bersinggungan. Ia berfungsi sebagai pengingat bagi umat Islam dakam mencari berkah melalui amal shalih, kemurahan hati, dan hubungan yang sadar dengan Allah. Mengejar barokah mencerminkan pemahaman bahwa kesuksesan sejati mencakup kedalaman spiritual dan kesejahteraan materi, yang berakar pada kasih karunia Sang Pencipta."

“Bagaimana cara meningkatkan keberkahan dalam kehidupan sehari-hari?” tanya Marigold. Melati menjawab, "Agar menambah barokah dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat mengadopsi berbagai praktik yang berakar pada iman dan amal shalih. Berikut beberapa cara efektif mengundang barokah ke dalam hidupmu:
1. Bertawakal: Tempatkan kepercayaan penuh kepada Allah sebagai pemberi rezeki utama. Mengenali kendali-Nya atas segala aspek kehidupan menumbuhkan rasa damai dan ketergantungan yang dapat mengarah pada peningkatan berkah.
2. Dapatkan Penghasilan Melalui Cara Halal: Turut dalam praktik penghasilan yang sah (halal). Menghindari sumber pendapatan yang dilarang (haram) sangat penting, karena berkah diyakini tak ada ketika ada kezhaliman.
3. Bersikap tulus dalam Bertransaksi: Lakukan semua transaksi dengan jujur ​​dan berintegritas. Ketulusan dalam bertransaksi di depan umum sangat dihargai dalam Islam dan menarik berkah Ilahi.
4. Bersyukur: Ucapkan rasa-syukur secara teratur atas apa yang engkau miliki. Mengakui karunia Allah dapat membuka pintu lebih banyak berkah, karena rasa syukur dikaitkan dengan peningkatan rezeki.
5. Bersedekah: Secara teratur menyumbang kepada mereka yang membutuhkan tak hanya membantu orang lain tetapi juga membersihkan harta dan mengundang lebih banyak berkah ke dalam hidupmu. Rasulullah (ﷺ) menekankan bahwa sedekah tak mengurangi harta.
6. Memohon ampunan: Secara teratur memohon ampunan Allah atas dosa dan kekurangan. Tindakan kerendahan hati ini dapat mengarah pada peningkatan barokah, sebab ampunan membuka jalan menuju kemurahan dan karunia Ilahi.
7. Membaca dan merenungkan Al-Quran: Membaca dan merenungkan Al-Quran setiap hari dapat meningkatkan kesadaran spiritual dan membawa berkah ke dalam berbagai aspek kehidupan.
8. Makan Bersama Keluarga: Berbagi makanan dengan keluarga menumbuhkan persatuan dan diyakini dapat meningkatkan berkah dalam makanan. Rasulullah (ﷺ) mendorong makan bersama sebagai sumber berkah.
9. Memulai Hari Lebih Awal: Bangun lebih pagi, terutama shalat Subuh, terkait dengan berkah dalam manajemen waktu dan produktivitas sepanjang hari.
10. Menyebut Nama Allah: Memulai tugas dengan mengucapkan "Bismillah" (Dengan nama Allah). Praktik ini mengundang kehadiran dan berkah Allah ke dalam usahamu.
11. Jaga Hubungan Kekerabatan: Menjaga hubungan kekeluargaan merupakan cara lain menjemput barokah, karena ikatan kekeluargaan yang kuat dianjurkan dalam Islam.
Dengan mengintegrasikan praktik-praktik ini ke dalam rutinitas sehari-hari, individu dapat menumbuhkan lingkungan yang kaya akan berkah, yang mengarah pada kehidupan yang lebih memuaskan dan penuh berkah baik secara material maupun spiritual."

Keheningan menyelimuti taman saat para tanaman merenungkan kata-kata Melati. Kemudian, Mawar yang agung, kuntumnya yang merah merekah di senjakala, berbicara. "Barokah ditemukan dalam rasa syukur," katanya. "Dalam mengakui karunia yang diberikan kepada kita, dalam menghargai keindahan yang ada di sekitar kita. Barokah tersedia bagi siapa saja yang hidup dengan niat tulus, iman, dan rasa syukur kepada Allah. Mereka yang berusaha bertakwa, mengikuti Sunnah Rasulullah (ﷺ), dan menunjukkan kepercayaan, kerendahan hati, dan kedermawanan sangat dianjurkan mencari dan menerima barokah."

Asoka, dengan cabang-cabangnya yang anggun menjulang tinggi, menambahkan, "Dan dalam berbagi karunia kita dengan orang lain, dalam menyebarkan sukacita dan kebaikan. Barokah dapat dicari kapan saja, tetapi periode, tindakan, dan niat tertentu diyakini sangat kondusif terhadapnya:
  • Di waktu pagi: Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” Memulai hari lebih awal, dengan tujuan dan doa, diyakini dapat mengundang barpkah dalam waktu dan aktivitas seseorang.
  • Ibadah: Melaksanakan shalat, khususnya shalat lima waktu, dan berdzikir, berpuasa, dan membaca Al-Qur'an merupakan tindakan yang mengundang barokah.
  • Sedekah: Memberi mereka yang membutuhkan adalah bentuk rasa syukur dan kasih sayang, yang tak semata membersihkan harta-benda tapi juga mendatangkan barokah. Al-Qur'an dan Hadits seringkali menegaskan bahwa sedekah tak mengurangi harta-kekayaan tetapi malah menambahnya dengan cara yang tak terlihat.
  • Masa-masa Sulit: Umat Islam didorong mencari barokah dan bersandar pada hikmah Allah selama menghadapi tantangan, percaya bahwa barokah akan datang dalam bentuk yang tersembunyi, semisal ketahanan, kesabaran, atau pemahaman yang lebih besar."
[Bagian 2]

Sabtu, 02 November 2024

Konsep Tawakal (2)

Melati menjawab, "Tawakal dan Tauhid merupakan konsep dasar dalam Islam, tetapi keduanya punya tujuan yang berbeda dan mewujudkan aspek yang berbeda dari keimanan seorang Muslim. Memahami perbedaan keduanya sangat penting guna memahami pandangan dunia Islam yang lebih luas.
Tauhid mengacu pada keesaan dan keunikan Allah. Keyakinan ini mendasar dalam Islam yang menegaskan bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang menekankan keesaan-Nya dalam esensi, atribut, dan ibadah. Tauhid merupakan inti dari keimanan seorang Muslim dan sering dipandang sebagai aspek terpenting dari teologi Islam. Tauhid mencakup tiga kategori: Tauhid al-Rububiyyah (Mengesakan Tuhan); Tauhid al-Uluhiyyah (Mengesakan Allah dalam beribadah); Tauhid al-Asma wa-Sifat (Keesaan dalam Nama-nama dan Sifat atau Atribut Allah).
Sebaliknya, tawakal bermakna berserah-diri sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha mencapai tujuan. Tawakkal menandakan sikap orang beriman yang berserah diri kepada kehendak Allah sambil secara aktif melaksanakan tanggungjawabnya. Tawakkal menekankan keseimbangan antara usaha manusia dan kendali Ilahi atas hasilnya.
Tujuan utama tauhid ialah membangun pemahaman yang jelas tentang monoteisme, yang merupakan hakikat keimanan Islam. Tauhid berfungsi sebagai dasar bagi segala tindakan ibadah dan perilaku etis dalam Islam. Beriman pada tauhid membentuk seluruh praktik keagamaan seorang Muslim, membimbing mereka menyembah Allah semata dan menolak segala bentuk politeisme (syirik).
Tawakal memberi manfaat psikologis dan spiritual dengan mendorong orang beriman agar tetap beriman kepada hikmah Allah saat menghadapi tantangan hidup. Tawakal menumbuhkan ketahanan, ketenangan pikiran, dan kestabilan emosi selama menghadapi cobaan, sehingga memungkinkan individu bertindak tegas sambil mengandalkan Allah untuk hasilnya.
Meskipun tauhid sendiri tak secara langsung melibatkan usaha manusia, tauhid mengharuskan umat Islam melakukan ibadah dengan tulus yang ditujukan kepada Allah semata. Pengakuan tauhid mengharuskan umat beriman agar bertindak sesuai dengan ajaran Islam, yang meliputi melaksanakan shalat, bersedekah, dan ibadah-ibadah lainnya.
Tawakal secara eksplisit melibatkan usaha manusia yang dipadukan dengan keyakinan kepada Allah. Tawakal mengajarkan bahwa meskipun individu hendaklah berusaha keras mencapai tujuannya—baik melalui pekerjaan, pendidikan, atau pengembangan pribadi—pada akhirnya mereka seyogyanya menyerahkan hasilnya ke tangan Allah. Dualitas ini menyoroti bahwa baik tindakan maupun ketergantungan pada kehendak Ilahi merupakan bagian integral dari kehidupan seorang mukmin.
Tauhid berakar kuat dalam teologi Islam sebab menentukan hakikat Tuhan dan menetapkan parameterr dalam beribadah. Tauhid membentuk pemahaman seorang Muslim tentang hubungan mereka dengan Allah dan menggarisbawahi pentingnya monoteisme sebagai aspek keimanan yang tak dapat dinegosiasikan.
Tawakal mencerminkan pemahaman orang beriman akan Kemahakuasaan dan Kemurahan-hati Allah. Tawakal menekankan bahwa meskipun manusia berhak untuk bertindak, mereka hendaknya menyadari bahwa kendali utama berada di tangan Allah. Pemahaman ini menumbuhkan kerendahan hati dan rasa syukur di antara orang beriman."

"Mengapa penetapan Baitulmaqdis kepada Bani Israil dicabut kembali oleh Allah? Apakah mereka kurang tawakal?" tanya Anturium.
Asoka menjawab, "Penunjukan Baitulmaqdis untuk Bani Israel dibatalkan karena beberapa faktor yang terkait dengan ketidakpatuhan, pelanggaran moral dan spiritual, serta pelanggaran perjanjian. Perspektif ini berasal dari ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan komentar dari para ulama, yang sering merujuk pada contoh-contoh dalam sejarah Bani Israel yang mencerminkan tema-tema ini.
Al-Qur'an menuturkan bahwa Bani Israel berulangkali diberi perintah dan perjanjian oleh Allah, tetapi mereka sering tak mampu menegakkan perjanjian ini. Misalnya, dalam Surah Al-Ma'idah (5:12-13), Allah mengingatkan Bani Israel tentang perjanjian yang mereka buat untuk menyembah-Nya saja, mendirikan shalat, membayar zakat, dan beriman kepada para rasul. Namun, mereka berulang kali tak mau mematuhi perintah-perintah Ilahi ini dan perlakuan buruk mereka terhadap para nabi dipandang sebagai alasan mencabut nikmat Ilahi, termasuk kekuasaan mereka atas Baitulmaqdis. Allah berfirman,
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ لَعَنّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
"(Namun,) karena mereka melanggar janjinya, Kami melaknat mereka dan Kami menjadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman-firman (Allah) dari tempat-tempatnya [maksudnya, mengubah teks ayat dengan cara mendahulukan, mengakhirkan, menambahkan, atau mengurangi, dan memalingkan makna kalimat dari pemahaman yang sesungguhnya] dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka, kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tak berkhianat). Maka, maafkanlah mereka dan biarkanlah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang muhsin." [QS. Al-Ma'idah (5):13]
Al-Qur'an memaparkan dalam Surah Al-Ma'idah (5:20-26) bahwa Nabi Musa memerintahkan Bani Israel agar memasuki Baitulmaqdis yang telah ditetapkan Allah bagi mereka. Namun, karena takut dan tak mau menghadapi tantangan yang ada, mereka tidak taat dan menolak masuk. Peristiwa ini, menurut para ulama, merupakan penolakan kritis terhadap perintah Allah dan menyebabkan mereka mengembara di padang gurun selama 40 tahun sebagai hukuman.
Para nabi Bani Israel seringkali menyerukan mereka agar berstandar moral yang lebih tinggi, memperingatkan mereka terhadap pengrusakan, materialisme, dan ketidakadilan. Akan tetapi, karena mereka terus-menerus melakukan pelanggaran, terutama yang berkaitan dengan keadilan dan tauhid, hak-hak istimewa mereka perlahan-lahan dicabut. Surah Al-Baqarah (2:61) menyoroti contoh-contoh sikap tidak bersyukur dan berpaling dari petunjuk Ilahi sebagai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penghakiman Allah terhadap mereka. Allah berfirman,
وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نَّصْبِرَ عَلٰى طَعَامٍ وَّاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ مِنْۢ بَقْلِهَا وَقِثَّاۤىِٕهَا وَفُوْمِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا ۗ قَالَ اَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِيْ هُوَ اَدْنٰى بِالَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ ۗ اِهْبِطُوْا مِصْرًا فَاِنَّ لَكُمْ مَّا سَاَلْتُمْ ۗ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيّٖنَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۗ ذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ ࣖ
"(Ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa, kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan. Maka, mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah.” Ia (Musa) menjawab, “Akankah engkau meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota. Pasti engkau akan memperoleh apa yang engkau minta.” Kemudian, mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena sesungguhnya mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu ditimpakan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas." [QS. Al-Baqarah (2):61]
Ajaran Islam menyatakan bahwa nikmat Allah dapat berpindah dari satu kaum ke kaum lain jika kaum tersebut tak mampu melaksanakan tanggungjawabnya. Sebagaimana dirujuk dalam Surah Muhammad (47:38),
هٰٓاَنْتُمْ هٰٓؤُلَاۤءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِۚ فَمِنْكُمْ مَّنْ يَّبْخَلُ ۚوَمَنْ يَّبْخَلْ فَاِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَّفْسِهٖ ۗوَاللّٰهُ الْغَنِيُّ وَاَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ ۗوَاِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْۙ ثُمَّ لَا يَكُوْنُوْٓا اَمْثَالَكُمْ ࣖ
"Ingatlah bahwa kamulah orang-orang yang diajak menginfakkan (hartamu) di jalan Allah. Lalu, di antaramu ada orang yang kikir. Padahal, siapa yang kikir sesungguhnya, ia kikir terhadap dirinya sendiri. Allahlah Yang Maha Kaya dan kamulah yang fakir. Jika kamu berpaling (dari jalan yang benar), Dia akan menggantikanmu dengan kaum yang lain dan mereka takkan (durhaka) sepertimu."
Para ulama kerap memandang pencabutan tersebut sebagai bagian dari hikmah dan keadilan Allah, yang berfungsi sebagai hukuman atas ketidaktaatan dan sarana membimbing orang lain. Transisi dari penunjukan Bani Israel atas Baitulmaqdis ke masyarakat lain dipandang sebagai peringatan dan pengingat akan pentingnya menegakkan perintah-perintah Ilahi dan kehidupan yang shalih.
Ulama Islam menunjuk pada kombinasi antara pelanggaran perjanjian, ketidaktaatan, dan ketidakberhasilan spiritual sebagai alasan pencabutan penunjukan Bani Israel atas Baitulmaqdis. Pandangan ini menekankan bahwa kebaikan Ilahi bersifat bersyarat dan berfungsi sebagai pengingat akan akuntabilitas dan pentingnya menjaga komitmen seseorang kepada Allah."

"Apa peran Tawakal dalam mengatasi tantangan pribadi?" tanya Anturium. Asoka menjawab, "Tawakal memainkan peran penting dalam mengatasi tantangan pribadi. Tawakal menumbuhkan pola pikir penerimaan dan kesabaran, yang memungkinkan individu bangkit kembali dari kemunduran. Keyakinan kepada Allah ini memberikan kekuatan selama masa-masa sulit, membantu menghadapi tantangan dengan keanggunan dan ketekunan.
Dengan menyerahkan kendali dan percaya pada rencana Allah, tawakal meredakan kecemasan dan stres. Orang-orang beriman menemukan kedamaian dalam mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan hikmah Ilahi, yang membantu menjaga stabilitas emosional.
Tawakal mendorong orang-orang beriman membuat keputusan yang tepat sekaligus melepaskan kecemasan tentang hasilnya. Keseimbangan ini memungkinkan tindakan yang lebih percaya diri dan tegas, dengan mengetahui bahwa hasil akhirnya ada di tangan Allah.
Mempraktikkan tawakal memperdalam iman dan hubungan seseorang dengan Allah, memperkuat keyakinan bahwa Dialah perencana utama. Ikatan spiritual ini memberikan kenyamanan dan bimbingan selama ketidakpastian hidup.
Tawakal meningkatkan kesadaran dengan mendorong individu agar fokus pada saat ini, mengurangi kekhawatiran tentang masa depan atau penyesalan tentang masa lalu. Latihan ini meningkatkan mental well-being secara keseluruhan.
Jadi, tawakal memberdayakan individu agar menghadapi tantangan pribadi dengan ketahanan, ketenangan pikiran, dan iman yang kuat pada hikmah Allah.
Tawakal memberikan kontribusi yang signifikan dalam membangun ketahanan emosional dalam beberapa cara. Dengan menyerahkan kegalauan kepada Allah, tawakkal mengurangi kecemasan dan stres. Penyerahan ini menumbuhkan rasa damai, yang memungkinkan individu menghadapi tantangan tanpa diliputi oleh rasa takut atau ketidakpastian. Tawakal mendorong perspektif dimana tantangan dipandang sebagai ujian atau peluang tumbuh, ketimbang hambatan yang tak dapat diatasi. Pergeseran kognitif ini meningkatkan kekuatan emosional dan menumbuhkan pendekatan proaktif terhadap kesulitan.
Berpasrah pada hikmah Allah menanamkan keyakinan dan harapan, yang memungkinkan individu menghadapi kesulitan dengan keberanian. Orang-orang beriman menemukan pelipur lara dalam pemahaman bahwa Allah memiliki rencana, yang meningkatkan kemampuanbya mengatasi kesulitan. Tawakal menumbuhkan kesabaran, mendorong individu agar tetap teguh selama ujian. Ketahanan ini berakar pada keyakinan bahwa waktu dan hikmah Allah adalah sempurna, membantu orang-orang beriman menanggung masa-masa sulit dengan anggun. Berlatih tawakal membekali individu dengan mekanisme penanganan yang efektif dengan menekankan ketergantungan pada dukungan Ilahi. Hubungan spiritual ini bertindak sebagai kekuatan penstabil selama masa sulit, yang meningkatkan emotional well-being. Tawakal memberdayakan individu agar membangun ketahanan emosional dengan menumbuhkan kekuatan batin, mengurangi stres, dan mendorong pola pikir positif terhadap tantangan hidup.

Tawakal dapat sangat membantu mengatasi kecemasan dan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa keimanan dan keyakinan yang kuat kepada Allah berhubungan negatif dengan kecemasan dan depresi, yang mengarah pada kepuasan pribadi yang lebih besar. Tawakal mendorong pola pikir dimana individu percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan dan pada akhirnya baik, sehingga mengurangi ruang pikiran negatif yang terkait dengan depresi. Dengan melihat tantangan sebagai ujian dari Allah, tawakal menumbuhkan kesabaran dan penerimaan, yang sangat penting bagi ketahanan emosional selama masa-masa sulit.
Percaya pada rencana Allah meringankan beban stres dan kecemasan, memungkinkan individu agar fokus pada upaya mereka sambil menyerahkan hasilnya kepada hikmah Ilahi. Tawakal berfungsi sebagai strategi penanggulangan yang efektif, memungkinkan individu menavigasi ketidakpastian hidup dengan rasa damai dan harapan, sehingga mengurangi perasaan putus asa. Mengintegrasikan tawakal ke dalam praktik terapi dapat meningkatkan hasil pengobatan kecemasan dan depresi dengan memperkuat keyakinan positif dan mendorong penerimaan kehendak Allah.
Tawakal dapat bertindak sebagai faktor pelindung terhadap gejala depresi. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang kuat kepada Allah dapat meredam hubungan antara keterikatan cemas kepada Allah dan depresi. Ketika para individu punya tingkat tawakal yang tinggi, mereka cenderung tak mengalami gejala depresi, bahkan saat mengalami kecemasan. Efek perlindungan ini muncul karena tawakal menumbuhkan keyakinan positif dan penerimaan terhadap kehendak Allah, yang dapat melindungi individu dari kondisi emosional negatif semisal kesedihan dan keputusasaan. Sebaliknya, tingkat tawakal yang rendah dapat memperburuk perasaan depresi, terutama pada mereka yang memiliki keterikatan cemas kepada Allah."

"Adakah hubungan antara barokah, tawakkal, dan taqwa?" tanya Anggrek.
Aglonema menjawab, "Barokah atau berkah, tawakal, dan takwa merupakan konsep yang saling terkait dalam ajaran Islam, yang mencerminkan hubungan orang beriman dengan Allah dan pendekatan mereka terhadap kehidupan. Kita akan membahasnya di episode berikut, bi'idznillah."
[Konsep Barokah Bagian 1]
[Konsep Tawakal Bagian 1]

Jumat, 01 November 2024

Konsep Tawakal (1)

Melati menjawab, "Takwa dan tawakal adalah dua konsep dasar dalam Islam yang saling terkait erat, masing-masing memainkan peran penting dalam kehidupan seorang mukmin. Memahami hubungan keduanya membantu memperjelas bagaimana umat Islam mengarungi iman dan ketergantungan mereka kepada Allah.
Takwa mengacu pada kesadaran yang tinggi terhadap Allah, meliputi keshalihan, rasa takut kepada Allah, dan komitmen menaati perintah-perintah-Nya. Takwa sering digambarkan sebagai keinsafan terhadap Allah dalam segala tindakan, yang mengarah pada perilaku yang benar dan integritas moral. Takwa memotivasi orang beriman menghindari dosa dan berjuang bagi kebaikan, bertindak sebagai tindakan perlindungan terhadap kekeliruan. Tawakal bermakna percaya sepenuh hati kepada Allah, hanya mengandalkan Dia guna bimbingan dan dukungan dalam segala hal. Tawakal mewujudkan menyerahkan urusan seseorang kepada Allah setelah melakukan upaya (ikhtiar) guna mencapai tujuannya. Tawakal mencerminkan keimanan yang mendalam, yang mengakui kendali Allah atas segala aspek kehidupan.

Tawakal, sebuah konsep penting dalam Islam, merujuk pada tindakan menaruh kepercayaan dan ketergantungan penuh kepada Allah. Konsep ini berakar kuat dalam ajaran Islam, yang menekankan pada keimanan dan perbuatan. Terma tawakal (تَوَكُّل) berasal dari kata kerja bahasa Arab tawakkala, yang bermakna "mengandalkan" atau "percaya penuh." Tawakal menandakan keyakinan orang beriman pada rencana Allah dan kemampuan-Nya mengelola urusannya. Tawakal mewujudkan gagasan percaya pada hikmah Allah sambil secara aktif mengupayakan tindakan yang diperlukan guna mencapai tujuan seseorang.
Dalam Islam, tawakal dipandang sebagai aspek penting dari keimanan. Tawakal bukan sekadar ketergantungan pasif, melainkan melibatkan:
  • Keikhlasan: Keyakinan sejati bahwa seluruh manfaat dan mudharat pada akhirnya berada di tangan Allah.
  • Upaya: Berusaha secara aktif memenuhi tanggungjawab seseorang sambil mempercayakan kepada Allah atas hasilnya. Pendekatan ganda ini sering diilustrasikan oleh hadis dimana Rasulullah (ﷺ) menasihati seseorang agar mengikat untanya sebelum mempercayakan sepenuhnya kepada Allah, menekankan bahwa seseorang hendaknya mengambil langkah-langkah praktis di samping keimanannya.
Al-Quran menekankan tawakal dalam berbagai ayat, yang menegaskan pentingnya tawakal:
وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ
"... Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya ...." [QS. At-Talaq (65):3]
Ayat ini menggambarkan bahwa orang yang beriman sejati menunjukkan tawakal sebagai bagian dari keimanannya, memperlihatkan ketergantungan kepada Allah saat menunaikan kewajibannya.
Dalam penerapannya, tawakal menganjurkan umat Islam agar:
  • Mengambil Tindakan Pencegahan: Melakukan tindakan yang diperlukan agar melindungi kepentingannya, seperti bekerja keras untuk mencari nafkah atau mencari pertolongan medis saat sakit.
  • Serahkan Hasilnya kepada Allah: Setelah melakukan yang terbaik, orang beriman hendaknya menyerahkan hasilnya kepada Allah, menerima apa pun yang datang sebagai bagian dari ketetapan-Nya (qadr).
Pendekatan berimbang ini membantu mencegah kesalahpahaman tentang tawakal sebagai angan-angan belaka atau kepasifan. Sebaliknya, ia menekankan keterlibatan aktif dengan kehidupan sambil mempertahankan iman pada kendali utama Allah atas segala hal.

Kisah yang berkaitan dengan Nabi Musa (alaihissalam) dalam Surah Al-Maidah (Surat 5) secara khusus menyoroti episode keraguan dan ketidaktaatan Bani Israel memasuki Baitulmaqdis, yang telah ditetapkan (pada waktu itu, lalu dicabut kembali) Allah bagi mereka. Kisah tersebut diceritakan dalam ayat 20–26 dan berisi pelajaran penting tentang keimanan, kebergantungan kepada Allah, dan konsekuensi dari pembangkangan.
Nabi Musa mengingatkan umatnya tentang berkah Allah, mendorong mereka agar bersyukur dan memenuhi perintah agar masuk ke Baitulmaqdis. Ia menuturkan bagaimana Allah menyelamatkan mereka dari tirani Firaun, membelah Laut Merah bagi mereka, dan mengirimkan mereka petunjuk dan perbekalan.
Nabi Musa menyampaikan perintah Allah kepada Bani Israel agar memasuki Baitulmaqdis, yang dijanjikan kepada mereka. Namun, mereka menunjukkan keraguan dan ketakutan. Mereka mengatakan bahwa orang-orang yang kuat dan menakutkan mendiami negeri itu, membuat mereka enggan masuk.
Di antara orang Israel, dua orang bertakwa, yang diberkahi dengan wawasan dan keberanian, mendesak kaumnya agar beriman. Mereka mendorong orang lain agar memasuki negeri itu, mengingatkan mereka bahwa jika mereka mengandalkan Allah, mereka akan mengatasi rintangan apa pun. Allah berfirman,
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
"Berkatalah dua orang lelaki di antara mereka yang bertakwa, yang keduanya telah diberi nikmat oleh Allah, “Masukilah pintu gerbang negeri itu untuk (menyerang) mereka (penduduk Baitulmaqdis). Jika kamu memasukinya, kamu pasti akan menang [yakni, jika kamu menaati perintah Allah dengan penuh percaya kepada-Nya, niscaya Dia akan memenuhi janji-Nya kepadamu]. Bertawakallah hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang mukmin.” [QS. Al-Ma'idah (5):23]
Meskipun ada dorongan ini, bani Israel menolak perintah itu karena takut dan bahkan mengatakan kepada Musa bahwa mereka takkan masuk selama orang-orang perkasa itu masih ada di sana. Mereka dengan menantang berkata padanya,
يٰمُوْسٰٓى اِنَّا لَنْ نَّدْخُلَهَآ اَبَدًا مَّا دَامُوْا فِيْهَا ۖفَاذْهَبْ اَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَآ اِنَّا هٰهُنَا قٰعِدُوْنَ
"Hai Musa, sesungguhnya kami sampai kapan pun takkan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya. Oleh karena itu, pergilah engkau bersama Rabbmu, lalu berperanglah kalian berdua. Sungguh, kami tetap di sini saja." [QS. Al-Ma'idah (5):24]
Sangat frustrasi dan sedih karena pembangkangan mereka, Musa berdoa kepada Allah, mengungkapkan ketidakberdayaannya atas ketidaktaatan mereka. Ia meminta Allah menghakimi antara dirinya dan orang-orang yang memberontak, karena ia tak lagi mampu membimbing mereka. Sebagai tanggapan atas ketidaktaatan mereka, Allah menetapkan bahwa bani Israel akan mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun, tak dapat memasuki Baitulmaqdis. Hukuman ini berfungsi sebagai konsekuensi atas kurangnya iman mereka dan periode pembaruan bagi generasi mendatang.
Kisah ini sangat terkait dengan konsep tawakal (bergantung kepada Allah), dan hubungan ini terbukti dalam beberapa aspek kisah tersebut. Tawakal melibatkan kepercayaan penuh kepada Allah saat mengambil tindakan yang diperlukan dan percaya pada hikmah dan kekuatan-Nya menghasilkan yang terbaik.
Nabi Musa (alaihissalam) menyerukan kepada bani Israel memasuki Baitulmaqdis, sebuah perintah langsung dari Allah. Meskipun ada tantangan dan ketakutan yang berperan, mereka yakin akan bantuan Ilahi jika mereka bertindak dengan iman. Ini menggambarkan bahwa tawakal bukanlah tentang menghindari upaya atau berdiam diri dalam kepasifan; sebaliknya, tawakal mengharuskan mengambil tindakan, bahkan ketika hasilnya tampak menakutkan. Allah mengharapkan mereka agar percaya kepada-Nya saat mereka secara fisik berangkat, mewujudkan tawakal melalui ketaatan dan usaha.
Dua orang shalih dalam kisah tersebut mencontohkan tawakal sejati dengan mendorong orang-orang agar bertindak dengan berani dan beriman. Seruan mereka agar "bersandar pada Allah" mencerminkan tawakal yang dalam dan penuh keyakinan, dimana mereka percaya bahwa pertolongan Allah terjamin jika bani Israel mengikuti perintah-Nya. Ulama Sunni sering menekankan bahwa tawakal melibatkan keyakinan yang tak tergoyahkan pada pertolongan Allah, bahkan dalam situasi dimana kekuatan manusia saja mungkin tampak tak cukup. Nasihat mereka berfungsi sebagai pengingat bahwa kepercayaan kepada Allah diperkuat melalui perintah-perintah-Nya dan dapat mengatasi rintangan duniawi apa pun.
Penolakan bani Israel memasuki negeri itu karena takut (dan sesungguhnya memang begitulah sifat kaum tegar tengkuk ini: penakut) kepada penduduk yang kuat menunjukkan kurangnya tawakal, yang akhirnya menyebabkan hukuman bagi mereka. Ulama Sunni memandang hal ini sebagai pelajaran bahwa ketidakmauan menaruh kepercayaan kepada Allah, terutama ketika Dia telah memberikan petunjuk yang jelas, tak hanya menyebabkan kerusakan rohani melainkan pula dapat mengakibatkan kesulitan duniawi. Hukuman mereka dengan mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun berfungsi sebagai pengingat bahwa ketidaktaatan dan kurangnya kepercayaan pada hikmah Allah dapat mencegah individu mencapai kesuksesan yang mereka inginkan.
Tanggapan Nabi Musa menonjolkan tawakal. Ia berusaha sekuat tenaga menyemangati umatnya, mengingatkan mereka akan nikmat dan kekuasaan Allah. Ketika ia menghadapi penentangan, ia berdoa kepada Allah, memohon keputusan-Nya, dan menaruh kepercayaannya pada keputusan Allah. Kepasrahan Musa kepada Allah, meskipun ditolak oleh umatnya, merupakan contoh tawakal yang kuat bagi orang-orang beriman. Ulama Sunni mencatat bahwa bentuk ketergantungan ini merupakan penyerahan diri sepenuhnya kepada hikmah Allah, terutama ketika menghadapi tantangan di luar kendali seseorang.

Tawakal berakar pada dua prinsip:
  • Berpasrah diri disertai dengan tindakan: Bergantung pada Allah bukan berarti mengabaikan langkah-langkah praktis. Sebaliknya, orang beriman hendaknya mengambil langkah yang diperlukan lalu memasrahkan kepada Allah atas hasilnya, seperti yang terlihat pada kedua orang beriman yang mendorong bani Israel agar mengambil tindakan
  • Percaya pada Hikmah Allah: Tawakal juga bermakna menerima ketetapan Allah, walaupun tampak terasa sulit. Hukuman yang diterima bani Israel karena kurangnya kepercayaan mereka mencerminkan pentingnya menerima hikmah Allah dalam perintah-perintah-Nya. Tanggapan Musa semakin menegaskan bahwa walaupun menghadapi kekecewaan, kembali memohon petunjuk kepada Allah dan menaruh kepercayaan pada rencana-Nya merupakan hal yang penting.
Kesalahpahaman umum tentang tawakal, seringkali menyebabkan kesalahpahaman tentang konsep penting ini dalam Islam. Berikut ini beberapa kesalahpahaman yang umum terjadi:
1. Tawakal Sama dengan Fatalisme: Kesalahpahaman yang signifikan adalah menyamakan tawakal dengan fatalisme. Sementara tawakal melibatkan kepercayaan aktif dan ketergantungan kepada Allah, fatalisme menyiratkan penerimaan pasif terhadap keadaan tanpa usaha. Tawakal mendorong orang beriman agar mengambil tindakan sambil berpasrah pada rencana akhir Allah, yang kontras dengan gagasan agar pasrah pada takdir tanpa campur tangan apa pun.
2. Tawakal Berarti Tidak Bertindak: Beberapa orang secara keliru percaya bahwa tawakal menganjurkan agar tidak melakukan apa pun dan hanya menunggu hasil. Kenyataannya, tawakal menekankan pentingnya mengambil tindakan yang diperlukan sambil mempercayakan hasilnya kepada Allah. Hadits "Ikat untamu lalu serahkan pada Allah" menggambarkan keseimbangan antara usaha dan ketergantungan ini.
3. Kesalahpahaman tentang Kepercayaan: Banyak yang menyederhanakan tawakal hanya sebagai kepercayaan kepada Allah tanpa menyadari sifatnya yang bernuansa. Tawakal sejati melibatkan pendekatan holistik di mana seseorang menyelaraskan niat dan tindakan mereka dengan keimanan kepada hikmah Allah, mengakui bahwa meskipun mereka harus berusaha, hasil akhirnya ada di tangan Allah.
4. Terlalu menekankan Kendali Ilahi: Sebagian orang mungkin menafsirkan tawakal sebagai melepaskan semua tanggungjawab atas tindakan mereka, meyakini bahwa karena Allah mengendalikan segalanya, maka usaha pribadi tak diperlukan. Perspektif ini melemahkan ajaran Islam bahwa orang beriman hendaknya secara aktif mengejar tujuan mereka sambil mempercayai Allah guna meraih kesuksesan.
5. Kurangnya Pemahaman tentang Kedalaman Spiritualnya: Tawakal terkadang dipandang sebagai konsep dangkal yang tak memiliki kedalaman, yang menyebabkan kesalahpahaman tentang signifikansinya dalam pertumbuhan dan ketahanan spiritual. Tawakal adalah prinsip mendalam yang menumbuhkan kesabaran, rasa syukur, dan penerimaan terhadap ketetapan Allah, yang memperkaya hubungan orang beriman dengan iman mereka.
Dengan mengklarifikasi kesalahpahaman ini, umat Islam dapat lebih menghargai hakikat tawakal yang sebenarnya sebagai prinsip aktif dan dinamis, yang memadukan iman dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.

Singkatnya, tawakal menawarkan banyak manfaat yang meningkatkan emotional well-being dan perkembangan spiritual bagi umat Islam. Dengan menumbuhkan ketenteraman pikiran, ketahanan, ketulusan, dan hubungan yang lebih kuat dengan Allah, tawakal berfungsi sebagai prinsip panduan dalam menghadapi tantangan hidup sambil mempertahankan iman pada hikmah Ilahi.

“Apa beda Tawakal dengan konsep Islam lainnya semisal Tauhid?” tanya Amaryllis lagi.