Murai melanjutkan, "Sekarang, mari kita renungkan tentang hikmah Yang Maha Lembut, Yang Mahatahu, saat Dia memberi manusia ilmu yang dibutuhkannya dalam mengoptimalkan kehidupannya di dunia ini dan di akhirat kelak, sementara itu, Dia menahan ilmu yang tak dibutuhkan manusia, dan yang tak ada ruginya bila hilang. Dia memfasilitasi sarana untuk memperoleh ilmu yang dibutuhkan, semakin banyak yang dibutuhkan, semakin banyak Dia memfasilitasi perolehannya. Dia memberkahi ilmu dan pengakuan manusia atas Penciptanya, Allah Yang Maha Kuasa - jalan menuju ilmu seperti ini, akan sangat diperlancar.
Tak ada dalam cabang-cabang ilmu yang dapat menandingi hal yang penting ini, juga dengan kejernihan pikiran dan sifat bawaannya; Tak ada cabang ilmu yang memiliki banyak cara dan bukti seperti ilmu ini, tak ada yang sama dalam kejelasan dan kejernihannya - segala yang dilihat mata, semua yang didengar telinga, seluruh apa yang dipikirkan benakmu, semua apa yang terjadi padamu, dan semua yang diterima inderamu, adalah bukti dari Allah. Cara untuk mengenal Sang Pencipta itu, bawaan, dan terbukti dengan sendirinya, sehingga tak ada satupun cabang ilmu yang nyata seperti ilmu ini. Bukti yang paling menarik tak sesuai dengan fakta yang coba dibuktikannya. Itulah alasan mengapa para nabi Allah umumnya berkata kepada umat mereka, "Adakah keraguan tentang Allah?" Mereka berbicara dengan nada yang berarti tak meragukan lagi keberadaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia menetapkan bukti tentang eksistensi-Nya. Keesaan, sifat-kesempurnaan-Nya dari keberlimpahan sedemikian rupa, sehingga tak seorangpun kecuali Allah yang bisa mencantumkan segala keberagaman atau kuantitasnya; Kemudian, Dia menanamkannya di alam bawaan, dan secara umum mendarah daging di dalam benak; kemudian Dia mengirim para nabi-Nya untuk mengingatkan menusia tentang Dia.
Para nabi juga menguraikan sifat bawaan dan pikiran yang sebenarnya secara umum telah diketahui benar. Lihatlah bagaimana alam bawaan telah mendarah daging di dalamnya, menegaskan keberadaan Allah. Keesaan, atribut kesempurnaan, keutuhan, dan hikmah-Nya yang terkandung dalam ciptaan dan firman-firman-Nya, yang menegaskan kebenaran pesan utusan-Nya, dan kompensasi bagi orang-orang mukmin dengan menjadi pahala, dan hukuman yang pantas bagi orang yang bersalah. Jika alam bawaan dipelihara dalam keadaan aslinya sesuai saat penciptaannya, jika tak terkena pengaruh yang mencemari dan merusaknya, serta mengalihkannya dari apa yang dibuatnya, ia akan memastikan Keesaan Allah, kebutuhan bersyukur kepada-Nya dan menaati-Nya, atribut dan hikmah-Nya sebagaimana terkandung dalam tindakan-Nya, dan kepercayaan akan pahala dan siksa. Tapi karena sudah rusak dan dialihkan dari cara pembuatannya, ia mengingkari dan menolak segala sesuatunya.
Inilah sebabnya mengapa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus utusan-Nya sebagai pengingat yang menarik bagi mereka yang memiliki sifat bawaan yang belum rusak dan belum terdistorsi. Orang-orang ini menjawab para nabi dengan sukarela, atas kemauan mereka sendiri, dengan penuh semangat dan sepenuh hati, memperhatikan bukti yang mereka temukan di dalam qalbu mereka: bahkan ada yang tak perlu meminta mukjizat dan bukti supranatural; Mereka lebih merasakan kebenaran panggilan itu dibanding isinya; ini saja sudah cukup memastikan bagi mereka menjadi panggilan yang masuk akal; menjadi bukti dalam dirinya sendiri. Utusan tersebut juga menunjukkan kejujuran mereka dan menolak gugatan orang-orang yang memiliki sifat bawaan yang telah rusak, sehingga yang terakhir tak boleh mengeluh kepada Allah bahwa Dia tak mengirimkan petunjuk dan cahaya kepada mereka. Yang belakangan ini telah diperingatkan, dan bukti kesalahan mereka telah ditetapkan, sehingga ketika Allah mengadzab dan menghukum mereka. Dia takkan bersikap tak adil terhadap mereka.
Hikmah Allah yang tercermin dalam mengutus para nabi ke berbagai bangsa secara konstan, masing-masing menggantikan pendahulunya setelah meninggal; Adalah karena kebutuhan masyarakat akan para utusan dan nabi, karena pikiran mereka lemah; Dan mereka tak menerima pesan utusan sebelumnya dengan sungguh-sungguh. Banyak hal yang berubah saat kenabian Muhammad bin Abdillah, Rasul dan Nabi Allah (ﷺ). Allah mengutusnya untuk menyampaikan pesan kepada intelek yang lebih tercerahkan, kepada pikiran yang lebih tajam dan kaum-kaum yang berpengetahuan lebih baik. Pesan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (ﷺ) adalah yang paling matang sejak manusia paling awal hingga pada zamannya sendiri.
Sekarang renungkanlah rahmat Allah dalam memberkahi manusia dengan dua bentuk ekspresi, lisan dan ortografi. Keduanya telah ditekankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam catatan perjalanan mencantumkan rahmat-Nya kepada manusia. Lihatlah bagaimana Allah mengembunkan semua tahap penciptaan; empat tingkat eksistensi. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, memulai dengan penciptaan secara umum, yang merupakan pemberian eksistensi eksternal; karena manusia adalah sasaran perhatian. Dia beralih kepada keunikan penciptaan manusia untuk menunjukkan pentingnya penciptaan, yang Dia tekankan, sungguh menakjubkan. Dengan hanya mengingat penciptaannya, manusia dapat mengamati banyak aspek karunia Allah. Dalam hal ini, teks Al-Quran hanya menyebutkan perkembangan manusia dari gumpalan dari, sementara dalam konteks lain ia menyebutkan tahapan yang mendahuluinya. Hal pertama darimana penciptaan manusia dimulai adalah bumi dan lumpur, atau 'tanah liat'. Di beberapa ayat lain di dalam Al Qur'an, materi penciptaan lainnya ditekankan juga, cairan yang sedikit berharga (yakni air mani). Disini, Al-Quran menyebutkan tahap pertama formasi, gumpalan darah. Sebelumnya, ada setetes air mani, yang langsung mengarah ke segumpal darah.
Dalam konteks kekinian, fase ketiga disebutkan, mengajar dengan kalam, salah satu karunia terbesar yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, karena inilah sarana untuk melestarikan ilmu pengetahuan, membenarkan hak, mentransmisikan ajaran, merekam saksi, dan menghitung pertamggungjawaban transaksi antar manusia. Dengan tulisan, ilmu tentang leluhur dipelihara untuk keturunan mereka. Tanpa tulisan, peristiwa masa lampau tak dapat diakses pada periode selanjutnya, tradisi akan lenyap, aturan akan membingungkan, dan generasi penerus akan mengabaikan apa yang salah dari nenek moyang mereka; Hambatan utama untuk efisiensi dalam urusan duniawi dan religius akan terlupakan, yang menghapus banyak ilmu dari pikiran mereka.
Menulis adalah kendaraan yang menjaga ilmu agar tak tersesat, dengan cara yang sama ibarat lemari memuat barang-barang agar tak hilang. Di samping Al-Qur'an, menulis adalah salah satu karunia Allah yang paling berharga. Meskipun memperoleh ilmu dengan kalam diwujudkan oleh kecerdasan dan keterampilan, sarana yang memungkinkan hal ini, yaitu dengan menulis, merupakan berkah semata yang diberikan secara bebas oleh Allah, hibah gratis dari-Nya dan karunia tambahan yang meningkatkan kemampuan manusia. Allah-lah Yang mengajar manusia membaca dan menulis, terlepas dari usaha manusia untuk belajar. Tindakan belajar manusia adalah sebagai tanggapan terhadap Guru yang mengajar melalui kalam; Dia mengajar manusia, dan manusia belajar, melainkan dengan cara yang sama seperti Dia mengajarkan manusia bertutur, dan manusia pun berbicara.
Lagi pula, Siapakah yang memberi manusia kekuatan mental yang memungkinkannya melihat pesan masuk, lidah yang mengekspresikan apa yang ingin ia nyatakan, jari-jari yang menggoreskannya di atas kertas? Siapa yang menyediakan pikiran dengan kemampuan untuk memperoleh ilmu, kemampuan yang tak dimiliki oleh satwa? Siapa yang mengaktifkan lidah manusia untuk membuat ungkapan dan jari-jarinya untuk melakukan gerakan terampil? Siapa yang mendukung jari dengan tangan, tangan dengan lengan? Banyak tanda ajaran Allah dengan kalam yang tanpa henti kita lewati!
Sekarang, mari kita bahas sedikit tentang penulisan! Anggaplah dirimu, bagaimana engkau memegang pena, benda mati, menerapkannya pada kertas, benda mati lainnya, dan dari pertemuan kedua benda itu menghasilkan segala macam hikmah dan semua cabang ilmu, berbagai macam korespondensi, khotbah, prosa dan ayat dan risalah tentang isu-isu spesifik. Lalu, siapa, yang membuat gagasan itu muncul, mengalir dalam benakmu, dan mengimpresifkannya pada ingatanmu? Siapa yang menyebabkan ucapan yang mewakili gagasan itu mengalir di lidahmu, lalu ditulis dengan gerakan jarimu? Ini adalah prasasti yang menakjubkan yang muncul di sana, yang menyiratkan keajaiban yang lebih spektakuler daripada bentuknya yang terlihat; Ini memungkinkan engkau memenuhi keinginanmu, mewakili apa yang engkau bayangkan di kedalaman benakmu, dan mentransmisikannya jauh ke daratan dan berbagai wilayah; ini berfungsi di sana sebagai utusanmu, mewakili apa yang engkau katakan; mengumumkan apa yang akan diucapkan lidahmu, memainkan peran utusanmu, seringkali lebih efektif daripada utusan manusia. Siapa lagi selain Dia Yang telah mengajar dengan kalam-Nya, mengajar manusia apa yang tak ia ketahui?
Mengajarkan dengan kalam menyiratkan ketiga tingkat eksistensi: tingkat eksistensi mental, eksistensi verbal dan eksistensi ortografi. Pengajaran dengan menggunakan kalam merupakan indikasi bahwa Yang Maha Kuasa adalah Dzat yang menganugerahkan tingkat tersebut; Allah melimpahkan eksistensi material. Semua tingkat kapak eksistensi dikaitkan dengan Yang Maha Kuasa, dalam penciptaan dan pengajaran. Dalam firman-Nya, Dia menyebutkan dua ciptaan dan dua tindakan mengajar, ciptaan umum dan ciptaan khusus, pengajaran umum dan pengajaran khusus. Dia juga menyebutkan, mengacu pada diri-Nya, atribut 'Akram' (yang paling dermawan, paling mulia, yang paling sempurna) yang menyiratkan semua kebaikan dan kesempurnaan: semua kesempurnaan menjadi milik-Nya sebagai atribut, dan segala hasil yang baik darinya sebagai tindakan; Dia-lah 'Akram' di dalam Dzat-Nya, dalam sifat-sifat-Nya, dan dalam tindakan-Nya. Penciptaan dan pengajaran yang disebutkan di sini, disebabkan oleh kasih-sayang, kebebasan, dan karunia-karunia-Nya; tak berlanjut dari keperluan yang membutuhkannya: Dia-lah Yang Maha Kaya, Yang Maha Mulia.
Maka renungkanlah, bagaimana ilmu tentang Allah, kesaksian akan Keesaan-Nya, penegasan Nama dan Atribut-Nya, pesan dari utusan-utusan-Nya dan Hari Kiamat telah terbukti tertanam dalam alam bawaan, walaupun manusia seringkali tak menyadarinya. Ketika para utusan berseru padanya dan menyampaikan padanya, mereka memungkinkan manusia agar memperhatikan bahwa apa yang mereka sampaikan kepadanya, sebenarnya telah mapan terukir di alam bawaannya, bahwa pikirannya, dan bahkan inderanya, dan seluruh keberadaannya, bersaksi untuk itu. Inilah keyakinan yang bisa dicapai, tingkat kepercayaan yang digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai tempat tinggal di qalbu teman-teman dan sahabat-sahabat Allah."
Murai lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, jika engkau perhatikan apa yang Allah perintahkan agar direnungkan, hal itu akan membawamu pada ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentang keesaan-Nya, dan kebesaran-Nya yang agung seperti hikmah, anugerah, keadilan, murka, pahala, dan siksa. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, dengan demikian memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka agar merenungkan firman-firman-Nya. Wallahu a'lam."
"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan." - [QS.6:116]
(Bagian 1)
Referensi :
- Capt. Anas Abdul-Hameed Al-Qoz, Men and The Universe - Reflections of Ibn Al-Qayyem, Darussalam
- Sh. Al-‘Allamah Muhammad Amaan al-Jaami, The Keys to Happiness (Imam Ibn Al-Qayyim), Hikmah Publications
- Steven R. Covey, 7 Habits of Highly Effective People, Franklin Covey Co.
Para unggas pun kembali berkumpul. Seperti biasa, guru pertama bangsa unggas, Nuri bertindak sebagai moderator, sedangkan Murai, guru kedua bangsa unggas, bertindak sebagai nara-sumber. Ada hal yang menarik dari kedua guru bangsa ini. Sebenarnya, kualitas Murai sebagai orang berilmu lebih baik dibandingkan dengan Nuri, namun pada saat pemilihan guru bangsa, banyak unggas yang belum mengenal Murai. Mereka lebih banyak yang memilih Nuri dibanding Murai karena Nuri sangat dikenal oleh para unggas. Selain tampak cerdik, Nuri juga pandai memikat para unggas dari kelakukannya yang jenaka. Selain itu, khabar-cerita, lebih banyak menyebut Nuri daripada Murai. Namun, setelah waktu berjalan dan para unggas telah mengenal Nuri dengan baik, mereka sadar bahwa dengan kejenakaan saja, belumlah cukup untuk dapat memimpin mereka menuju kesempurnaan. Namun bagaimanapun, semuanya kembali kepada Allah, hidup akan terus berjalan.
Murai berkata, "Wahai saudara-saudariku, kita hendaknya melihat pada lensa yang melaluinya kita melihat dunia, juga di dunia yang kita lihat, dan bahwa lensa itu sendiri membentuk cara kita menafsirkan dunia. Jika kita ingin mengubah keadaan, pertama-tama kita hendaknya mengubah diri kita sendiri. Dan untuk mengubah diri kita secara efektif, seyogyanya kita terlebih dahulu mengubah persepsi kita. Perspektif para ahli ilmu alam ataupun ahli pengobatan tentang sesuatu, berbeda dengan cara pandang orang mukmin yang berilmu. Ahli pengetahuan-alam dan ahli pengobatan, disibukkan dengan penelitian aspek-aspek menjaga kesehatan dan mencegah penyakit; orang mukmin, di sisi lain, "melihat" sesuatu dengan maksud untuk mengetahui bukti-bukti tentang Sang Pencipta; hikmah-Nya yang mengagumkan, kebebasan dan karunia-Nya yang luas, yang Dia, Subhanahu wa Ta'ala, perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, agar menanggapinya dengan dzikir dan syukur.
Masing-masing kita cenderung mengira, kita melihat sesuatu atau beragam hal, sebagaimana adanya, hingga kita menganggap bahwa kita objektif. Akan tetapi, bukan ini masalahnya. Kita melihat dunia, bukan sebagaimana adanya, namun sebagaimana yang kita lihat — atau, sebagaimana yang kita kondisikan melihatnya. Saat kita membuka mulut untuk melukiskan apa yang kita lihat, kita akan mendeskripsikan diri kita, persepsi kita, paradigma kita.
Nuri bertanya, "Apa Paradigma itu?" Murai berkata, "Paradigma adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani. Pada mulanya, merupakan istilah ilmiah, dan lebih umum digunakan saat ini untuk memaknai model, teori, persepsi, asumsi, atau kerangka berfikir. Dalam pengertian yang lebih umum, paradigma adalah cara kita "melihat" dunia — bukan dalam pengertian indera penglihatan kita, tetapi dalam pengertian mempersepsikan, memahami, menafsirkan.
Kata "melihat" itu, punya dua makna. Makna pertama, "melihat" dengan mata, organ lahiriah, yang dengannya seseorang dapat melihat, misalnya, langit biru, dengan bintang-bintangnya, ketinggian dan keluasan cakrawala. Dalam penglihatan seperti ini, manusia sama dengan spesies lain, dan karenanya bukan karena penglihatan itu manusia terdorong untuk menerapkannya.
Dalam makna lain, "melihat" adalah melampaui penglihatan lahiriah untuk memandang dengan mata-batin, sehingga gerbang langit terbuka bagi yang mengamati; ia mengembara di antara wilayah dan negerinya, dan bergaul dengan malaikatnya. Saat itulah gerbang dibuka baginya, satu demi satu, sampai perjalanan pikirannya membawanya ke Singgasana Yang Maha Pengasih, dimana ia membayangkan ukurannya yang amat-sangat besar; keagungan, kemuliaan dan ketinggiannya; ia membayangkan tujuh langit, dan tujuh bumi, yang massanya, dibandingkan dengan Arasy, hanya bagai sebuah cincin di padang pasir; ia membayangkan para malaikat mengelilingi Arasy, dengan lantunan puja dan puji kepada Allah, bangkit dalam suara yang berpadu.
Ia melihat dengan mata-batinnya, firman-firman Allah turun dari atas, mengelola dunia dan mengarahkan tentara Allah, yang tak ada yang bisa menghitungnya kecuali Rabb dan Raja mereka. Ia mendapati bagaimana arahan turun untuk menentukan lahirnya banyak makhluk dan binasanya makhluk yang lain; siapa yang beroleh penghargaan dan siapa yang beroleh derita; siapa yang mendapat kedudukan dan siapa yang terlempar dari kursinya; terangkutnya berkah dari satu tempat ke tempat lain; dan pemenuhan segala macam kebutuhan, dalam segala keberagaman dan keberlimpahannya: yang akan bangkrut terselamatkan, orang miskin menjadi kaya, yang salah diluruskan, yang akan tertimpa bencana terselamatkan; pengampunan dosa-dosa, penyelesaian krisis, pertolongan bagi yang teraniaya, tuntunan bagi yang tersesat, pendidikan bagi orang yang tak mengetahui, pembebasan budak-belian, terselamatkan dari ketakutan, pertolongan bagi para pencari pertolongan; pemberdayaan orang yang lemah, dukungan bagi orang yang tertekan, bantuan bagi yang cacat, balasan bagi para penindas, penghentian agresi; segala keputusan menuju penegakan keadilan, simpati, hikmah dan kasih-sayang, semua seruan ini datang dari seluruh pelosok dunia, tak ada seruan yang mengalihkan perhatian-Nya dari seruan lain, permintaan dan permohonan yang begitu banyaknya tak membingungkan-Nya, berapa pun banyaknya, beragamnya, atau keserampakannya, Dia tak mengeluh atas desakan demi desakan, dan karunia-Nya yang berlimpah, tak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Nya, karena tiada illah selain Dia, Pemilik segala kebesaran, Yang Maha Bijaksana.
Dengan memahami hal ini, qalbu yang beriman sujud di hadapan Yang Maha Pengasih, ruku' dalam ketakjuban akan Dia, tunduk pada kekuatan-Nya; terikat pada hegemoni-Nya; Ia akan bersujud di hadapan Sang Raja, Al-Haqq, Al-Mubin, sebuah sujud yang tak pernah terputus sampai Hari Pengadilan. Semua ini dilakukan qalbu saat masih berada di tempatnya, di rumah, dan tak meninggalkan tempat tinggalnya yang merupakan keajaiban paling menakjubkan dari Allah dan kejadian yang luar biasa. Terberkahilah perjalanan, wisata yang paling menyenangkan, mengangkat manusia dan memberkahi hidupnya, serta memberinya keberlimpahan dan memastikan hasil akhir yang baik. Inilah perjalanan yang membangkitkan jiwa dan memenangkan kunci kebahagiaan; mengisi benak dan qalbu dengan kedamaian, tak terbawa kesusahan seperti perjalanan lainnya.
Sehubungan dengan ini, ada perbedaan antara ingatan dan pemikiran. Apa bedanya, engkau mungkin bertanya, antara mengingat dan berpikir? Mengetahui perbedaannya, akan bermanfaat bagi mereka yang menyadarinya. Berpikir dan mengingat adalah dasar dari tuntunan dan kesuksesan, dua kutub kebahagiaan. Itulah sebabnya kita sangat terpuaskan pada berpikir karena manfaat besar yang terkait dengannya dan kebutuhan besar akan hal itu. Ini seperti yang diucapkan Al-Hasan, "Orang-orang berilmu selalu mendasarkan pemikiran berdasarkan ingatan dan ingatan berdasarkan pemikiran, dan mereka membahasakan qalbu hingga mereka mulai mengartikulasikannya, dan mereka memperoleh pendengaran dan penglihatan."
Akan diketahui kemudian, bahwa pemikiran itulah pencarian qalbu untuk memperoleh ilmu yang telah digapai, ilmu yang belum diperoleh. Inilah realisasi tentang pemikiran, karena jika tak ada tujuan yang ingin dicapai melalui pemikiran, maka pemikiran akan menjadi tak mungkin. Berpikir tanpa titik fokal akan menjadi tak mungkin; dan sarananya adalah fakta-fakta yanng telah diperoleh. Jika cara ini diberdayakan untuk memperoleh apa yang sudah diketahui, takkan ada pemikiran. Dengan menyadari hal ini, kita dapat terus mengatakan bahwa seseorang yang berpikir berasal dari premis dan asumsi yang sudah ia ketahui tentang konsep yang ingin ia ungkapkan. Setelah tercapai dan diperoleh, ia mengingat berdasarkan hal itu, dan merasakan apa yang harus dicari dan apa yang harus dihindari; apa yang harus dipegang karena bernilai, dan apa yang harus dijauhi karena sia-sia.
Oleh karena itu, ingatan adalah buah dan hasil akhir dari pemikiran. Begitu seseorang mengingatnya, ingatan itu akan meningkatkan pemikiran, dan karenanya ia dapat mengambil kesimpulan yang tak mampu ia buat sebelumnya. Hubungan timbal-balik ini terus berlanjut, sejak berpikir hingga mengingat dan mengingat tentang ingatan pemikiran, selama perenungan berlangsung: ilmu dan kehendak berjalan tanpa terbatas, dan seseorang dapat berkembang tanpa batasan waktu, untuk memanfaatkan ilmu dan kehendak. Jika engkau menyadari bahwa tanda-tanda Allah berjalan sebagai pembuka mata dan pengingat, mencerahkan seseorang untuk mengatasi kebutaan qalbu dan agar membangunkannya dari kealpaannya, maka akan sangat dekatlah kebalikan dari ilmu itu dengan kebutaan qalbu, dan penyembuhannya adalah pencerahan; juga dengan kealpaannya, dan obatnya adalah ingatan. Idenya di sini adalah membangunkan qalbu dari kealpaannya dengan mendzikirkan tanda-tanda dari Allah. Agar berusaha mengikutinya sampai berakhir, kita harus mencurahkan seluruh hidup kita untuknya, dan bahkan saat itu pun kita takkan bisa menguras habis walau satupun rincian dari tanda-tanda-Nya secara komprehensif. Namun bila keseluruhannya tak dapat terlaksana, tak seharusnya diikuti dengan membuang persoalannya sama sekali. Pekerjaan dan waktu yang paling mulia adalah merenungkan tentang tanda-tanda Allah dan ciptaan-Nya yang menakjubkan, dari situ lalu dilanjutkan dengan menghubungkan qalbu dan kehendak kepada-Nya, dan bukan pada ciptaan-Nya.
Pikirkanlah, hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam mengingat dan melupakan, kualitas yang unik bagi spesies manusia. Renungkan banyak jasa yang diberikannya, dan manfaat yang didapat manusia darinya. Tanpa kemampuan mengingat, yang hanya dikaruniakan pada manusia, akan ada kekacauan besar dalam segala urusannya; ia takkan membedakan apa yang menjadi haknya dari apa yang menjadi kewajibannya; apa yang ia terima dari apa yang ia berikan; apa yang ia dengar dari apa yang ia lihat; apa yang diucapkannya dari apa yang dialamatkan kepadanya; ia takkan dapat membedakan kedermawanannya dari keantagonisannya; Ia takkan dapat mengingat orang-orang yang berurusan dengannya; ia takkan ingat dan berusaha mendekatkan diri dengan orang yang telah berbuat baik kepadanya, atau menghindari orang yang telah berbuat kejahatan; Ia takkan menemukan cara yang telah ia usahakan dan temukan dengan tepat, walau telah berulang-kali melakukannya; ia takkan mengumpulkan ilmu di bidang tertentu, bahkan karenanya, ia telah mencurahkan seluruh masa hidupnya; ia takkan mendapatkan keuntungan dari pengalaman, atau menarik pelajaran dari apa yang telah berlalu - dan sesugguhnya, bila hal itu terjadi, ia bukan lagi menjadi anggota umat manusia.
Lalu renungkanlah, kemudian, seluruh berkah dari semua manfaat yang ada ini. Pikirkan jumlah kebaikan setiap aspek yang direalisasikan untukmu, dan kemudian berapa banyak yang terwakili dalam keseluruhannya! Salah satu berkah yang paling ganjil adalah melupakan: tanpa melupakan, manusia takkan menemukan pelipur-lara atas kehilangan orang yang disayangi; kesedihannya akan menjadi tanpa akhir; ia tak bisa sembuh dari ketakutan akibat malapetaka; rasa berkabung akan menjadi permanen, kebenciannya akan berkobar selamanya; ia takkan menikmati hiburan apapun dengan pikirannya yang penuh dengan ingatan bencana; ia takkan mau bersikap lemah lembut dengan para penentangnya, atau meredanya perasaan iri-hati. Maka renungkanlah,, atas karunia Allah dalam memberimu kemampuan untuk mengingat dan melupakan, terlepas dari antitesis dan pertentangannya; masing-masing melakukan bagiannya sendiri-sendiri."
(Bagian 2)
Burung Pelatuk tampil ke depan dan berkata, "Wahai saudara-saudariku, seluruh ummat manusia adalah para musafir dalam kehidupan duniawi ini, dan setiap musafir berarak menuju tujuannya dan akan berhenti di tempat yang menyenangkan baginya. Siapapun yang bertujuan mencari Allah dan Hari Akhir adalah seorang musafir, dan tujuan dalam perjalanannya adalah menggapai ridha Allah, dan inilah tujuan, niat dan takdirnya.
Aku sering bertanya-tanya ada atau tidakkah alasan bagi kegagalan dan keberhasilan, ataukah itu hanyalah sebuah hasrat belaka. Kebenarannya adalah bahwa alasannya didasarkan pada tingkat rasa syukur seorang hamba. Agar seorang hamba pantas menerima karunia Allah, ia harus tahu nilainya, dan potensi bahayanya, memuliakan Dia yang mengaruniakan itu padanya, bersyukur pada-Nya, dan ia tahu bahwa itulah rahmat dari Allah tanpa menghubungkannya dengan yang lain atau merasa pantas mendapatkannya. Seorang hamba hendaknya mengakui keesaan Allah, menggunakan berkah ini untuk memuliakan-Nya, mengakui bahwa semua ini karena rahmat-Nya, dan kemudian ia menyadari kesalahan dan kekurangannya saat ia tahu, ia tak pernah bisa memuliakan Allah dengan benar. Seorang hamba seyogyanya tahu bahwa jika Allah terus memberinya berkah ini, itu karena rahmat, kasih-sayang, dan ridha dari-Nya, dan jika Dia memilih mengambilnya kembali darinya, ia semestinya mengikhlaskannya.
Semakin banyak berkah yang Allah berikan kepada hamba-Nya, seyogyanya, semakin rendah hati, tunduk, memuji, dan takut kepada Allah yang dimiliki seorang hamba, dan jika diambil darinya, hal itu karena ia tak memuliakan Dia sebagaimana layaknya Dia dimuliakan. Yang Maha Kuasa dapat menarik kembali berkah-Nya dari siapapun yang tak mengakui atau menjaga berkah itu sebagaimana layaknya. Jika seorang hamba tak memuliakan Allah sebagaimana mestinya dan menyalahgunakan berkah ini, niscaya Allah akan mengambilnya kembali. Mereka yang mengetahui nilai dari berkah-berkah ini, akan menerima, mencintai, dan memuji siapapun yang memberinya, dan mencintai dan bersyukur kepada-Nya. Penyebab di balik kegagalan adalah ketidaksesuaian tempat, ketidaknyamanan, dan kekurangmampuan untuk menerima berkah; jika ia mendapat berkah, ia berkata, "Ini hakku dan aku mendapatkannya karena aku pantas mendapatkannya."
Ketika Nabi Sulaiman, alaihissalam, dianugerahi berkah dan harta yang dimilikinya, ia berkata, "Ini karena rahmat Tuhanku untuk mengujiku, bersyukur atau tidakkah aku!" Ia tak mengatakan: "Ini karena kehormatanku!" Nabi Sulaiman, alaihissalam, menyadari bahwa apapun yang ia dapatkan berasal dari Allah dan rahmat-Nya dan bahwa ia dirundung karenanya. Sebaliknya, ada seorang lelaki yang mendapat anugerah dari Allah, namun ia berkata, "Ini hakku, karena pahalaku."
Burung Punai bertanya, "Wahai saudaraku Pelatuk, siapakah lelaki itu?" Pelatuk berkata, "Inginkah engkau mendengarkan kisah tentangnya?" Punai menjawab, "Ya, sampaikanlah kepada kami!"
Lalu, Pelatuk berkata, "Alkisah seorang lelaki, yang hidup semasa Nabi Musa, alaihissalam, bernama Korah ibnu Izhar, yang dikenal sebagai Qarun. Menurut Malik bin Dinar, Musa bin Amram adalah saudara sepupu Korah, yang oleh Allah telah diberikan kekayaan yang berlimpah. Menurut Khaitamah, dikatakan bahwa kunci-kunci gudangnya diangkat oleh sekelompok orang yang kuat. Dikatakan juga bahwa ketika Korah keluar istana, kunci-kuncinya dibawa oleh enam puluh begal dengan muka dan kaki berwarna putih. Tak ada kunci yang panjangnya lebih besar dari sejari, dan masing-masing terhubung dengan setiap tempat hartanya. Abu Salih mengatakan bahwa kunci gudangnya dibawa oleh empat puluh begal. Dan hanya Allah Yang lebih mengetahui!
Qatadah mengatakan bahwa masyarakat memanggilnya "cahaya" karena suaranya merdu saat membaca Taurat, namun ia menjadi orang munafik. Syahr bin Hawsyab meriwayatkan bahwa musuh Allah memberontak karena nasib buruk dan cobaan yang dikehendaki Allah melalui hartanya yang berlimpah. Dikatakan bahwa Korah berbuat zhalim karena bermegah-megah dengan pakaian mewah. Masyarakat memperingatkan Korah tentang kezhalimannya itu, mencegah ia melakukannya, dan meminta ia agar mengeluarkan apa yang Allah berikan kepadanya untuk kepentingan-Nya serta menggunakannya untuk menaati-Nya, mereka berkata kepada Korah, "Janganlah berfoya-foya! Allah tak menyukai orang yang berfoya-foya. Tetapi kejarlah tempat tinggal di Akhirat dengan apa yang telah Allah berikan kepadamu. Jangan mengabaikan bagianmu dari dunia ini, dan bermurah-hatilah karena Allah telah bermurah-hati kepadamu. Jangan menjadi perusak di atas bumi ini; Allah tak menyukai para perusak.''
Tanggapan Korah menunjukkan ketidaktahuan dan ketidakpeduliannya akan kesabaran Allah terhadapnya, dimana Korah berkata kepada mereka, 'Aku telah diberi apa yang telah kuberikan di dunia ini hanya karena ilmu yang kumiliki.' Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan Korah adalah, "Jika Allah tak senang denganku dan tak mengetahui kesempurnaanku, Dia takkan memberiku semua ini." Namun Allah membantah pernyataannya itu, Dia berfirman, "Tidakkah ia tahu bahwa Allah telah menghancurkan generasi sebelumnya, orang-orang yang lebih kuat dari padanya dalam kekuatan dan lebih besar dalam hal mengumpulkan kekayaan. Jika Allah memberikan kekayaan dan dunia ini hanya kepada orang-orang yang menyenangkan-Nya dan memiliki kesempurnaan dengan-Nya, maka Dia takkan menghancurkan orang-orang yang memiliki kekayaan besar di hadapan-Nya yang tak dihancurkan-Nya, terlepas dari jumlah yang telah diberikan-Nya kepada mereka."
Tak satupun peringatan dari mereka yang memperingatkannya, maupun pengingat kepadanya yang mengingatkannya kepada Allah dan nasihat baik-Nya, mengubah Korah kembali dari ketidaktahuan dan kezhalimannya melalui penggunaan kekayaannya yang banyak itu. Sebagai gantinya, ia bertahan dalam jalan yang keliru dan sesat. Ia ke luar mengenakan perhiasannya, naik kuda putih dengan pelana ungu, dan mengenakan pakaian berwarna kuning. Ia membawa serta tiga ratus budak perempuan dengan pakaian serupa, dengan hiasan yang sama, serta empat ribu kawan-karibnya. Ada yang mengatakan bahwa para karibnya, yang ia bawa bersama dengan pakaian dan perhiasan yang sama, berjumlah tujuh puluh ribu.
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang yang telah tersesat, yang dihadapan mereka Korah menampakkan kemegahannya, menginginkan seperti apa yang telah diberikan kepadanya dan berkata, "Aduhai, akankah kita peroleh apa yang telah diberikan kepada Korah! Lihat! Ia bernasih sangat baik!"
Tetapi orang-orang yang mengetahui tentang Allah, tak setuju dengan mereka yang mengatakan itu, dan mereka menjawab, "Celakalah kalian! Kalian menginginkan apa yang telah diberikan kepada Korah! Berharaplah kepada Allah. Lakukan apa yang telah Allah perintahkan kepadamu, dan hentikan apa yang telah dilarang-Nya. Karena sesungguhnya pahala dan upah Allah bagi orang-orang yang taat kepada-Nya lebih baik bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dan rasul-rasul-Nya serta orang-orang yang mengerjakan amal-shalih, sesuai dengan apa yang telah Dia perintahkan. Mereka yang istiqamah dalam menghindari kemegahan hidup di dunia ini, dan yang lebih memilih pahala besar Allah atas amal shalih dibanding kesenangan dunia ini dan hawa nafsu dan yang bertindak untuk mendapatkannya sesuai kebutuhan itu."
Ketika pelaku kejahatan berlagak sombong dan melanjutkan jalannya yang keliru, meremehkan ridha Allah, Allah menguji Korah, dari petunjuk-Nya mengenai kekayaan dan hak-Nya yang diwajibkan kepadanya, dengan ketamakan yang ditunjukkan kepadanya, menjadi siksa yang paling menyakitkan dari siksaan-Nya, yang dengannya akan menjadi peringatan bagi mereka yang telah meninggalkan dunia ini, dan sebuah nasihat kepada orang-orang yang ditinggalkan.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin al-Haritz, Korah memperlakukan Nabi Musa, alaihissalam, sebagai musuh dan menganiayanya, sementara Nabi Musa memaafkan dan mengampuni Korah karena kekerabatan mereka. Hubungan ini terus berlanjut sampai Korah membangun sebuah rumah, membuat pintu emasnya dan menempelkan lembaran emas di dindingnya. Kepala suku Bani Israel mengunjunginya di pagi dan sore hari, dan ia menawarkan makanan kepada mereka, dan mereka bercakap-cakap dengannya dan membuatnya tertawa. Allah tak menimpakan kesusahan dan kemalangan kepada Korah hingga ia memanggil seorang wanita Israel yang dikenal dengan kata-kata yang tak senonoh dan terkenal karena penghinaannya. Wanita itu datang, dan Korah berkata kepadanya, "Inginkah engkau kujadikan orang yang kaya raya, kuberikan hadiah, dan berteman dengan istri-istriku? Dengan syarat bahwa saat pemimpin Bani Israil berada disini, engkau datang dan berkata, 'Wahai Korah, maukah engkau menjauhkan Musa dariku?' Wanita itu berkata," Tentu saja. " Maka, ketika Korah duduk bersama dengan pemimpin Bani Israil, ia memanggil wanita tersebut. Wanita itu datang dan berdiri di hadapannya, tapi Allah mengalihkan hatinya, menyebabkan ia bertobat. Ia berkata pada dirinya sendiri, "Aku tak melihat jalan taubat sekarang ini melainkan dengan tak melukai utusan Allah dan menghukum musuh Allah."
Lalu iapun berkata, "Sesungguhnya Korah berkata kepadaku, 'Inginkah engkau kujadikan orang yang kaya raya, kuberikan hadiah, dan berteman dengan istri-istriku? Dengan syarat bahwa saat pemimpin Bani Israil berada disini, engkau akan datang dan berkata, 'Wahai Korah, maukah engkau menjauhkan Musa dariku?'' Tapi aku tak melihat jalan taubat yang lebih baik melainkan dengan tak melukai utusan Allah dan menghukum musuh Allah." Saat wanita itu mengucapkan kata-kata ini, Korah merasa malu, menundukkan kepalanya, dan terdiam di antara para pemimpin Bani Israil, menyadari bahwa ia telah terjerembab ke dalam azabnya. Perbincangan itu menyebar di kalangan masyarakat hingga terdengar oleh Nabi Musa, alaihissalam. Ketika Nabi Musa mendengar kabar tersebut, amarahnya berkobar. Ia, alaihissalam, membersihkan dirinya dengan air, lalu berdoa dan menangis, ia berkata, "Wahai Rabb-ku, musuhmu telah menyakitiku, ia mencari-cari kemalangan dan aibku, wahai Rabb, beri aku kuasa atasnya!" Allah mewahyukan padanya, "Perintahkan bumi melakukan apapun yang engkau kehendaki, ia akan menaatimu." Nabi Musa menemui Korah, dan ketika ia bertemu dengannya, Korah melihat amarah di wajah Nabi Musa ke arahnya, dan ia berkata, "Wahai Musa kasihanilah aku!" Musa berkata, "Wahai bumi! Cengkamlah mereka!"
Rumah itu mulai bergerak dan tenggelam bersama Korah dan kawan karibnya sampai ke pergelangan kaki mereka. Korah mulai memohon, "Wahai Musa, kasihanilah aku!" Tetapi Musa berkata, "Wahai bumi, cengkam mereka!" Dan rumah itu bergerak dan tenggelam, menelan Korah dan teman-temannya sampai ke lutut, sementara ia memohon kepada Nabi Musa, "Wahai Musa, kasihanilah aku!" Musa melanjutkan, "Wahai bumi, cengkeramlah mereka!" Dan rumah itu pun tenggelam, dan Korah dan karibnya ditelan hingga ke pusar, saat itu Korah memohon kepada Nabi Musa, "Wahai Musa, kasihanilah aku!" Musa melanjutkan, "Wahai bumi, ambillah mereka!" Dan Korah, rumahnya, dan kawan-karibnya, semua ditelan bumi. Allah berfirman kepada Musa, "Wahai Musa, betapa kerasnya engkau! Namun-demi kemuliaan-Ku-seandainya saja ia menyeru-Ku, Aku akan menjawabnya."
Menurut Ibnu Abbas, ketika kewajiban bersedekah diturunkan, Korah mendatangi Nabi Musa dan setuju dengannya memberi satu dinar atas seribu dinar, dan setiap seribu dirham dengan satu dirham, dan satu artikel dari setiap seribu satuan- atau ia berkata, "Untuk setiap seribu domba, seekor domba." Kemudian Korah kembali ke rumahnya, membuat catatan tentang harta bendanya dan mendapati bahwa pajaknya akan sangat tinggi. Lalu ia mengumpulkan Bani Israel dan berkata, "Wahai Bani Israil, Musa telah memerintahkan kepadamu segala hal, dan kalian telah mematuhinya, akhirnya ia ingin mengambil barang milikmu." Mereka menjawab, "Engkau adalah sesepuh dan majikan kami, maka perintahkanlah seperti yang engkau inginkan." Ia berkata, "Aku perintahkan padamu, bawalah seorang pelacur, dan berikan upah yang disepakatinya, kemudian buat ia menuduh Musa berzinah dengannya." Maka, mereka memanggil pelacur itu, dan menetapkan upahnya, dengan syarat ia menuduh Nabi Musa berzinah dengannya. Kemudian Korah menemui Nabi Musa dan berkata, "Umatmu telah berkumpul untuk memberi perintah dan larangan kepada mereka." Maka pergilah Nabi Musa kepada mereka, sementara mereka berada di sebuah tanah lapang dan berkata, "Wahai Bani Israil, barangsiapa yang mencuri, tangannya akan dilenyapkan, barangsiapa berkata dusta, maka akan di pecut dengan delapan puluh cambukan; Dan barang siapa yang berzinah bila telah beristri, akan dicambuk sampai mati atau dirajam sampai mati."
Korah berkata, "Walaupun jika itu engkau yang lakukan?" Nabi Musa menjawab, "Ya." Korah berkata, "Sesungguhnya engkau telah melakukannya." Nabi Musa berkata, "Celakalah engkau! Dengan siapa?" Korah menjawab, "Dengan si Fulanah." Musa memanggil wanita itu dan berkata, "Aku mempersumpahkan engkau demi Dia Yang telah menurunkan Taurat, benarkah apa yang dikatakan Korah?" Ia berkata, "Ya Allah! Karena engkau telah mengangkat sumpahku, maka aku bersaksi bahwa engkau tak bersalah, bahwa engkau adalah Utusan Allah, dan bahwa musuh Allah, Korah, menawariku uang agar menuduhmu berrzinah denganku. "
Nabi Musa bangkit, lalu bersujud. Allah mewahyukan padanya: "Angkatlah kepalamu, sebab Aku telah memerintahkan bumi menaatimu." Lalu Musa berkata kepada bumi, "Telanlah mereka!" Dan bumi menelan mereka hingga tertelan sebatas pinggang. Korah berseru, "Wahai Musa!" Namun Nabi Musa berkata, "Telanlah mereka!" Dan bumi pun menelan mereka hingga tenggelam hingga ke dada mereka. Korah berseru lagi, "Wahai Musa!" Tapi Nabi Musa berkata, "Telan mereka!" Dan merekapun lenyap ditelan bumi. Allah berfirman, "Wahai Musa! Korah memohon pertolonganmu, dan engkau tak menolongnya. Andai ia memohon pertolongan dari-Ku, Aku akan menjawabnya dan akan menolongnya."
Demikianlah, ia yang ditelan bumi adalah Qarun, dan mereka yang tenggelam dalam lautan adalah Firaun, Haman dan pasukannya, karena dosa-dosa mereka. Imam Ahmad, rahimahullah, dalam Musnadnya, meriwayatkan bahwa pernah Rasulullah (ﷺ) teringat akan shalat dan berkata, "Barangsiapa mengerjakannya secara rutin dan benar, akan menjadi cahaya, bukti dan keselamatan baginya pada Hari Kiamat. Dan barangsiapa yang tak melaksanakannya secara rutin dan benar, takkan ada baginya cahaya, bukti, maupun keselamatan. Dan, pada Hari Kebangkitan, ia akan berkumpul bersama Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay bin Khalaf."
Kemudian Pelatuk berkata, "Wahai saudara-saudariku, orang mukmin sadar bahwa segala berkah adalah milik Allah dan nikmat dari-Nya, dan bahwa Allah memberinya berkah walau ia tak layak mendapatkannya. Inilah karunia yang terus-menerus dari-Nya bagi hamba-hamba-Nya dan Dia berhak mencabutnya dari siapapun jika Dia menghendaki. Jika Allah menghalangi seseorang menerima berkah, Dia tak pernah menghalangi mereka dari apa yang layak mereka terima. Jika seorang hamba tak menyadarinya, ia mungkin berpikir bahwa ia pantas mendapatkannya dan bersikap sombong dengan mengira bahwa ia layak mendapat berkah ini, dan menyangka bahwa ia lebih baik dari yang lain.
Penyebab kegagalan didasarkan pada keadaan jiwa dan ketaatan jiwa itu terhadap sifatnya; asal mula ciptaan. Penyebab kesuksesan bergantung pada Allah, Yang memampukan seorang hamba menerima berkah-berkah-Nya. Penyebab kesuksesan berasal dari-Nya dan dari nikmat-Nya, dan Dia menciptakan keduanya, dan bahwa saat Dia menciptakan seluruh bagian bumi; sebagian memperoleh kehidupan tanaman, dan yang sebagian tidak. Dia menciptakan pohon; ada yang tumbuh berbuah dan ada yang tidak. Dia menciptakan lebah dan memperkenankannya menghasilkan madu beragam warna, juga tabuhan, sejenis tawon penyengat besar, yang tak bisa menghasilkan madu. Dia menciptakan jiwa-jiwa yang baik, yang mampu mengingat, menghargai, berterima kasih, memuji, dan menasihati hamba-hamba-Nya, dan juga menciptakan jiwa-jiwa yang jahat, yang tak mampu melakukannya. Dia-lah Yang Maha Bijaksana dan Yang Maha Mengetahui. Wallahu a'lam."
"(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." - [QS.2:3-5]
Referensi :
- Imam Ibn al-Qayyim, Al-Fawaid, Umm Al-Qura
- William M. Brinner, The History of At-Tabari : The Children of Israel, Volume III, SUNY Press
- Ibn Katheer, Stories of The Qur'an, Dar Al-Manarah
Kea berkata, "Kabarkan pada kami tentang nasihat kepada rakyat jelata kaum Muslimin, wahai orang bijak!" Serak-Jawa berkata, "Mengerjakan nasihat bagi rakyat jelata kaum Muslim mencakup: mengarahkan mereka ke arah yang baik bagi mereka, dalam kehidupan ini maupun akhirat kelak, tak merugikan mereka, mengajarkan tentang agama mereka dan hal-hal lain yang belum mereka ketahui, membantu mereka, menutup aib mereka, mengajak kepada yang ma'ruf dan memberantas kemungkaran di antara mereka. Ini juga mencakup kasih-sayang terhadap kawula muda dan mengormati para tetua..Seseorang juga akan merasa senang saat mereka bersukacita dan merasa sedih saat mereka berduka. Imam An-Nawawi menunjukkan bahwa para pendahulu shaleh saling bekerjasama dan saling menasihati sehingga mereka bahkan mengorbankan kepentingan duniawi mereka sendiri daripada kebutuhan saudara-saudari mereka.
Ketika seorang Muslim memegang kekuasaan atas ummat Muslim lainnya, penting agar ia bersikap tulus terhadap mereka dan melaksanakan apa yang menjadi kepentingan terbaik mereka sesuai dengan sraiah Islam. Kewajiban bersikap tulus oleh penguasa terhadap masyarakat, termasuk penunjukan para pejabat pemerintahan berdasarkan kemampuan dan kualifikasi mereka.
Seorang Muslim tak boleh mementingkan diri sendiri dan tak peduli dengan apa yang terjadi pada Muslim lainnya. Sebaliknya, adalah kewajibannya mengerjakan nasihat bagi ummat Muslim lainnya. Ini berarti, ia mengharapkan yang terbaik bagi mereka, dan memberikan yang terbaik bagi mereka jika berkemampuan melakukannya."
Kea berkata, "Kabarkan pada kami tentang tatakrama mengerjakan nasihat." Serak-Jawa berkata, "Nasihat adalah senjata yang ampuh, namun seperti kebanyakan senjata, jika penggunanya tak tahu bagaimana menggunakannya dengan benar, akan lebih banyak bahayanya dibanding kebaikannya. Salah satu alasan utama mengapa umat Islam tak memperhatikan nasihat ini karena kita telah lupa atau kita belum tahu cara yang tepat mengerjakan Nasihat.
Sekarang mari kita amati beberapa tatakrama yang baik, yang harus dimiliki seorang Muslim dalam mengerjakan nasihat. Yang pertama dan utama, seseorang mengerjakan nasihat untuk mencari ridha Allah. Hanya niat seperti itu yang pantas memperoleh pahala dari Allah dan penerimaan dari hamba-hamba-Nya. Jika niatnya bertentangan dengan ini, maka orang tersebut berhak atas kemarahan dan kemurkaan Allah serta kebencian dan penolakan orang lain - termasuk yang dinasihati.
Tatakrama berikutnya adalah, tak memfitnah orang yang dinasihati. Inilah derita yang menimpa banyak kaum Muslimin. Seringkali, setelah melihat lebih dekat, kita menemukan bahwa orang yang mengerjakan nasihat sebenarnya hanya ingin memfitnah orang yang ia nasihati karena ketidaksukaan pribadi. Ini tak layak dengan orang yang dinasihati dan dapat menyebabkan situasi yang lebih buruk tanpa hasil dari nasihat itu. Bagian terpenting dari nasihat adalah saling mengingatkan dan saling mengoreksi tindakan masing-masing. Membicarakan tentang sesuatu yang tak ingin disebutkannya kepada orang lain adalah hal yang lumrah, baik dalam perbuatan terpuji menasihati orang lain, maupun, dalam perbuatan tercela, meremehkan dan mempermalukan orang lain. Sesungguhnya, salah seorang ulama awal mengatakan, "Engkau tak sungguh-sungguh menasihatiku hingga mengatakan langsung padaku apa yang tak engkau sukai." Penting menyadari perbedaan antara kedua perbuatan ini untuk memenuhi kewajiban menasihati seseorang sambil tetap jauh dari perbuatan dosa mempermalukan orang tersebut.
Seyogyanya dipahami bahwa tak diperbolehkan menyebutkan kesalahan atau dosa Muslim lain hanya untuk disalahkan, ditertawakan atau dipermalukan. Namun, jika ada manfaat utama dalam menyebutkan kesalahan tersebut, maka dianjurkan atau wajib menyebutkannya. Misalnya, ada ulama hadits yang terpaksa menyebutkan kekurangan perawi tertentu. Tindakan ini adalah bagian dari nasihat mereka ke masyarakat Muslim secara keseluruhan, agar secara akurat memelihara hadis Nabi (ﷺ). Contoh lainnya adalah, menolak terhadap salah tafsir Al-Qur'an atau sunnah, yang mungkin disebarkan oleh beberapa orang dalam masyarakat Muslim. Ini suatu keharusan untuk menolak kejahatan itu, bahkan jika itu dilakukan dihadapan umum, selama tujuannya bukan untuk mempermalukan mereka, melainkan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan menghentikan kejahatan mereka.
Ketiga, nasihat sebaiknya diberikan secara tertutup. Nasihat akan menghasilkan buah terbaiknya bila diberikan kepada seseorang saat ia sendirian, karena dalam situasi seperti ini, orang tersebut cenderung tak terganggu oleh pemikiran orang lain. Penasihat yang tulus seharusnya tak membantu Iblis atas saudaranya dengan terang-terangan memarahinya dan membiarkan setan mempermalukan saudaranya agar tak mengambil nasihatnya. Ini menutup pintu kebaikan dan mengurangi kemungkinan diterimanya sebuah nasihat.
Keempat, nasihat seyogyanya diberikan dengan kesantunan, keramahan dan kelembutan. Penasihat yang tulus sebaiknya bersikap ramah, lembut dan santun dalam mengerjakan nasihat kepada orang lain, karena hal ini memungkin adanya tanggapan yang baik, yang diinginkan dari yang dinasihati. Seseorang seyogyanya memahami bahwa menerima nasihat itu ibarat membuka pintu, dan pintunya takkan terbuka tanpa kunci yang tepat. Orang yang diberi nasihat memiliki kalbu yang telah terkunci dalam beberapa hal, mungkin karena ia telah meninggalkan sesuatu yang telah Allah perintahkan padanya, atau telah melanggar sesuatu yang telah dilarang Allah baginya. Tak ada kunci yang lebih baik untuk membuka kalbu selain kesantunan dalam memberi nasihat, kelembutan dan keramahan dalam mengerjakan nasihat, seperti, dalam Sahih Muslim, Rasulullah (ﷺ) sampaikan, "Keramahan tak dapat ditemukan dalam hal apapun melainkan menambah keindahannya, dan apapun yang dikeluarkan darinya melainkan akan merusaknya."
Cinta adalah kekuatan pendorong penting di balik nasihat. Jika seseorang memiliki cinta yang kuat kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya dan sebagainya, perilakunya yang berhubungan dengan mereka, akan lebih tulus. Al-Fudhail ibnu Iyaadh berkata, "Cinta itu lebih baik dari pada rasa takut, tidakkah engkau perhatikan, jika engkau mempunyai dua hamba sahaya, dan seorang dari mereka mencintaimu selagi yang lain merasa takut padamu, orang yang mencintaimu akan tulus kepadamu saat engkau ada maupun tak ada, karena cintanya padamu. Namun, orang yang takut padamu, mungkin tulus kepadamu saat engkau ada, dan ia takut padamu, namun ia akan memperdayaimu dan takkan tulus kepadamu saat engkau tak ada."
Kelima, janganlah memaksa orang lain mengikuti nasihatmu: Adalah wajib bagi penasehat agar memberikan nasihat yang tulus kepada orang lain, tetapi bukan haknya memaksa orang lain mengikuti nasihatnya. Itu hanyalah hak penguasa Muslim atas rakyatnya, atau seorang Qadhi (Hakim) di wilayah yurisdiksinya. Penasihat yang tulus adalah orang yang membimbing menuju kebaikan, namun ia tak mengharuskan orang lain agar bertindak atasnya. Ibnu Hazm menulis bahwa seseorang seharusnya tak mengerjakan nasihat dengan syarat harus diterima, jika tidak, ia malah menindas, bukan menasihati, dan hanya bermaksud ditaati dan mengendalikan orang lain.
Keenam, memilih waktu yang tepat memberi nasihat. Yang memberi nasihat seyogyanya memilih waktu yang tepat untuk memberikan nasihatnya, karena seseorang takkan selalu siap menerima nasihat. Seseorang mungkin marah pada sesuatu, merasa geram karena tak mendapatkan apa yang ia inginkan, sedih atas kehilangan sesuatu, atau mungkin ada alasan lain yang dapat menghalanginya menerima nasihat.
Abdul Hamid Bilali menulis, "Memilih waktu dan tempat yang tepat adalah salah satu penyebab terbesar diterimanya nasihat dan pemberantasan kejahatan", dan seperti yang dikatakan Abdullah bin Mas'ud, "Kalbu ini terkadang merindukan sesuatu, dan juga penuh keterbukaan, namun kalbu ini juga terkadang merasa enggan dan menolak makanan..Maka dekatilah saat ia dalam keadaan merindu dan penuh keterbukaan, dan tinggalkanlah saat ia merasa enggan dan menolak makanan."
Ketujuh, nasihat yang bertentangan dengan Islam, tak perlu diikuti. Mengerjakan nasihat adalah bagian dari syariat Islam. Karena itu, jika seseorang memberi nasihat agar meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh syariat Islam, atau melakukan perbuatan tercela, maka itu bukan disebut nasihat. Yang memberi semacam itu harus berhenti melakukannya dan orang yang dituju seharusnya tak menerimanya. Misalnya, jika seseorang memintamu agar mencukur jenggotmu, memperlihatkan bagian tubuhmu dengan melepaskan hijab, berjabat tangan dengan wanita dalam wawancara kerja, berkencan dengan gadis yang engkau minati, bekerja di tempat yang menjual minuman keras, atau bekerja di bank berbasis riba, maka janganlah engkau manaatinya. Hal-hal ini tidaklah terhitung sebagai nasihat sesuai apa yang dimaksudkan Rasulullah (ﷺ) dalam bagian dari agama.
Bila nasihat diberikan dengan sopan, hasilnya biasanya sehat dan bermanfaat; Kecuali bila ada beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan nasihat tersebut. Salah satu faktor terpenting yang berkontribusi dalam penolakan nasihat dari sesama Muslim adalah keangkuhan. Keangkuhan mencegah seseorang menerima nasihat dan bertindak atasnya; sebaliknya, orang yang senantiasa berusaha melibas keangkuhan dari kalbunya, akan merasa lebih mudah menerima nasihat.
Sultaan menyatakan bahwa nasihat ini tak hanya terhadap umat Islam semata. Rasulullah (ﷺ) mengerjakan nasihat untuk kaumnya, suku Quraisy yang tak beriman di Makkah. Seorang Muslim seyogyanya berusaha mengerjakan nasihat kepada ummat non-Muslim. Hal ini dilakukan dengan mengajarkan mereka tentang Islam, dan berusaha menunjukkan jalan yang lurus. Saat memenuhi nasihat ini karena Allah, seseorang harus rela menanggung kesulitan karena Rasulullah (ﷺ) juga menanggung kesusahan.
Nasihat berasal dari kebenaran dan pemberi nasihat berasal dari orang lain, sementara orang yang angkuh adalah orang yang menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain. Kesombongan dan keangkuhan mencegah orang tersebut mengikuti sebuah nasihat, walaupun ia telah melihat kebenarannya. Sebaliknya, orang yang rendah hati akan menerima nasihat dari orang lain dengan sepenuh hati, tak peduli darimana asalnya, karena ia tahu bahwa sebuah amal-shaleh yang wajib dilakukan, disampaikan kepadanya."
Kemudian Serak-Jawa berkata, "Wahai saudara-saudariku, realitas agama ini, esensi agama ini atau komponen penting dari agama ini, adalah nasihat. Nasihat kepada Allah, kitab-Nya, utusan-Nya, pemimpin umat Islam dan masyarakat umum ummat Islam adalah sesuatu yang mempengaruhi setiap detik kehidupan ummat Islam. Tak ada waktu yang terlewatkan kecuali bahwa orang tersebut harus mencontohkan kualitas nasihat ini. Oleh karena itu, jika seorang Muslim tak dapat mencirikan dirinya sendiri sebagai pemberi nasihat, maka ia seharusnya, pada kenyataannya, mempertanyakan agamanya secara keseluruhan, jika ia tak mengerjakan persyaratan minimum nasihat kepada Allah atau kitab-Nya, atau utusan-Nya, dan seterusnya, dapatkah ia menyebut dirinya seorang Muslim? Dimanakah Islam atau lmannya tanpa nasihat ini? Itulah apa yang Rasulullah (ﷺ) jelas tunjukkan saat ia berkata, "Agama ini nasihat."
Nasihat juga memainkan peran penting bagi kesehatan masyarakat Muslim secara keseluruhan. Inilah salah satu aspek kunci yang melindungi masyarakat Muslim dari penyebaran kejahatan, karena mereka yang mungkin tergelincir dan melakukan kejahatan itu, dengan rasa cinta dan rasa persaudaraan yang tulus, diajak dan dibantu agar berhenti melakukannya. Perilaku seperti itu menjalin cinta, kerja sama dan kebersamaan di kalangan umat Islam yang menghapus keegoisan dan kebencian. Wallahu a'lam."
"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik." - [QS3:110]
(Bagian 1)
Referensi :
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary On The Forty Hadith Of Al Nawawi Volume 1, Al-Basheer Publications
- Darussalam Research Section, Golden dvice Series : Do Not Become Angry, Darussalam
Burung Serak-Jawa berkata,"Wahai saudara-saudariku, sesungguhnya, manusia selalu lupa, mereka berbuat dosa jika mereka melupakan Alah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, Allah mengutus para nabi dari kaum mereka sendiri untuk menasihati mereka." Para unggas bertanya, "Kabarkan pada kami apa nasihat itu, wahai Serak yang bijak?" Serak-Jawa berkata, "Nasihat berasal dari kata Arab yang biasanya diterjemahkan menjadi "ketulusan" atau "anjuran yang baik", namun sebenarnya, kata ini mewujudkan setiap jenis kebajikan. Nasihat biasanya diterjemahkan sebagai "ketulusan" karena salah satu konotasi pentingnya adalah menolak tipu-daya atau kecurangan. Ini salah satu penafsirannya. Namun, di sini sengaja dbiarkan dalam bentuk transliterasi. Kata nasihat memiliki dua makna dasar bahasa: pertama, membersihkan, membeningkan atau memperbaiki sesuatu dari segala elemen yang tak diinginkan, seperti dalam membeningkan madu dari bahan yang tak diinginkan; dan kedua, menyatukan atau menggabungkan sesuatu yang telah tersebar atau terpisah, seperti dalam menjahit pakaian. Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa nasihat itu menyiratkan seseorang menyukai yang terbaik bagi saudaranya, mengajaknya, menjelaskan kepadanya, dan mendorong agar melakukan apa yang baik itu. Inilah bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam yang benar. Inilah jalan sejati orang-orang beriman. Saat itulah orang-orang beriman menunaikan sejenis persyaratan sehingga mereka menetapi uraian orang-orang mukmin yang digambarkan di dalam al-Quran Surah al-Hujurat [49]:10, "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." Jadi, persaudaraan itulah hasil dari nasihat yang baik dan benar.
Nasihat menyiratkan bahwa seseorang menganjurkan dan membimbing orang lain ke arah apa yang terbaik bagi mereka dalam kehidupan ini dan akhirat kelak. Inilah pekerjaan utama dan terpenting dari para Nabi. Sesungguhnya, menjadi ciri utama orang berimanlah pentingnya karakteristik dalam mengerjakan nasihat. Berasal dari orang-orang Nasih atau yang memiliki ciri khas 'Nasih' adalah sesuatu yang telah diperintahkan Allah. Ini juga salah satu karakteristik penting yang dimiliki para nabi. Urusan nasihat ini adalah sesuatu yang mendasar dan merupakan ciri yang paling penting bagi setiap Muslim. Oleh karena itu, ketika seseorang memenuhi kewajiban nasihat kepada sesama umat Islam, ia sebenarnya memenuhi peran yang juga merupakan kewajiban atas ciptaan yang paling mulia, utusan Allah."
Serak-Jawa diam sejenak, lalu berkata, "Ada sebuah hadits tentang nasihat, dalam sahih Muslim, atas otoritas Abu Ruqayyah Tamim ibnu Aus, radhyiallahu 'anhu, Rasulullah (ﷺ) berkata, "Ad-dinu nasihah." Para sahabat berkata," Kepada siapa? " Rasulullah (ﷺ) menjawab, "Kepada Allah dan Kitab-Nya, dan Rasul-Nya, dan kepada para pemimpin umat Islam, serta kepada rakyat jelata kaum Muslimin."
Inilah pernyataan yang mendalam. Jika seseorang mempelajari makna nasihat dengan seksama dan melihat keseluruhan makna hadis ini, ia kemudian dapat mengerti mengapa Rasulullah (ﷺ) memberi pernyataan semacam itu. Dapat dikatakan bahwa tak ada yang benar-benar ada dalam agama Islam melebihi apa yang terliput oleh nasihat dengan obyek yang disebutkan dalam hadis ini. Dalam kalimat singkat ini, Rasulullah (ﷺ) telah menggambarkan esensi Islam. Implikasinya adalah salah satu dari semua inklusivitas. Salah satu penafsirannya adalah bahwa agama seseorang tak dapat sempurna kecuali jika ia mengerjakan nasihat itu kepada Allah, Kitab-Nya dan yang lainnya, yang disebutkan dalam hadis ini. Maknanya bukanlah nasihat yang ada pada Islam. Tapi maknanya adalah nasihat yang membentuk bagian terbesar dan pilar paling penting dari agama ini. Ini mencakup Islam, iman dan ihsan. Dan Allah lebih mengetahui.
Dan ada hadits lain mengenai nasihat, Muslim mencatat atas otoritas Abu Huraira, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) berkata, "Hak seorang Muslim atas seorang Muslim lainnya ada enam." Ia (ﷺ) ditanya, "Apakah itu, wahai Rasulullah?" Beliau (ﷺ) menjawab, "Ketika ia bertemu dengannya, ia memberi salam, saat ia mengundangnya, ia menjawabnya, jika ia meminta nasihatnya yang tulus, ia menasihatinya, jika ia bersin dan memuji Allah, ia memohonkan kepada Allah agar merahmatinya; jika ia sakit, ia mengunjunginya, dan saat ia meninggal, ia mengiringinya (yaitu, prosesi pemakamannya)."
Burung Kea berkata, "Kabarkan pada kami tentang nasihat kepada Allah, wahai Serak yang bijak!" Serak-Jawa berkata, "Ketika ditanya kepada siapa nasihat ini, Rasulullah (ﷺ) pertama-tama menjawab," Kepada Allah." Mengerjakan nasihat kepada Allah membutuhkan pemenuhan kewajiban apa yang diwajibkan dengan sebaik-baiknya, yaitu ihsan. Mengerjakan nasihat kepada Allah tak sempurna atau lengkap tanpa ini, dan inilah yang harus menjadi tujuan setiap Muslim.Namun, hal ini tak dapat dikerjakan tanpa adanya kecintaan terhadap apa yang telah Dia perintahkan. Ini juga menyiratkan bahwa seorang Muslim harus berusaha mendekat sedekat mungkin kepada Allah. Dengan mengerjakan amal-shaleh dengan ikhlas, dan dengan melarang yang mungkar dan menghindari perbuatan yang tak disukai. Mengerjakan nasihat kepada Allah mencakup segala tindakan ibadah berikut: beriman kepadaNya, tak menyekutukan-Nya, menegaskan semua sifat-sifat-Nya yang dinyatakan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, menaati-Nya, memenuhi perintah-Nya, berpantang dari apa yang dilarang-Nya, berusaha sebaik-baiknya agar dapat terus mengingat-Nya dalam segala keadaan, mencintai dan membenci karena Allah, berkawan dengan orang-orang yang mengikuti-Nya dan yang bekerja untuk tujuan-Nya, dan melawan orang-orang yang menentang-Nya dan yang berperang melawan tujuan-Nya, menghormati karena Allah dan marah saat hukum-hukum Allah diabaikan dan tak dihargai, mengenali berkah-berkah yang telah Dia anugerahkan dan bersyukur kepada-Nya atas berkah-berkah itu, dan seterusnya. Inilah mengerjakan nasihat kepada Allah.
Perhatikan bahwa semua hal tersebut di atas, memiliki beberapa aspek untuk menjernihkan sesuatu, seperti iman seseorang, atau menggabungkan sesuatu, seperti hubungan seseorang dengan Allah dan orang-orang mukmin. Inilah nasihat yang lengkap dan yang diinginkan, dan inilah agama lslam seperti yang Rasulullah (ﷺ) nyatakan. Nasihat kepada Allah, menyiratkan niat yang benar dalam hati untuk memenuhi hak-hak Allah, wajib dalam segala keadaan, bahkan dalam keadaan dimana tugas lain tak lagi wajib karena berada di luar kemampuan seseorang.
Tentunya, yang mendapat manfaat dari nasihat ini bukanlah Allah. Allah itu Maha Berdiri-Sendiri dan tak membutuhkan makhluk-Nya. Sebaliknya, hamba Allah sendirilah yang beroleh manfaat dari tindakan ini. Saat ia mengerjakan nasihat kepada Allah, ia menyucikan dirinya dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Oleh karena itu, Allah telah mewajibkannya bagi setiap individu dan hanya individu itu sendirilah yang memperoleh manfaat dari tindakan ini. Itulah rahmat dan berkah dari Allah."
Kea berkata, "Kabarkan pada kami tentang nasihat kepada Kitab-Nya!" Serak-Jawa berkata, "Kata, 'Kitab-Nya,' mengacu pada seluruh tingkatan wahyu. Oleh karena itu, hal ini mencakup semua kitab suci yang telah diwahyukan sebelumnya, dan juga Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Rasulullah (ﷺ). Mengerjakan nasihat kepada Kitab Allah mensyaratkan bahwa seseorang meyakini bahwa Al-Qur'an berasal dari Allah, bahwa itulah ucapan dan firman Allah yang tak diciptakan, dan bahwa ia tak seperti perkataan manusia. Selain itu, nasihat sempurna kepada kitab Allah mensyaratkan bahwa, sesuai kemampuan sesorang, membaca dan memahaminya dengan benar, menerapkannya, mempelajari peringatan, anjuran dan perumpamaannya. Mengajak orang lain agar beriman kepada kitab Allah juga merupakan bagian dari nasihat ini.
Aspek penting agar mengerjakan nasihat Al-Qur'an adalah membela dan melindunginya dari segala jenis penyimpangan atau salah tafsir. Nasihat kepada kitab Allah, mencakup mempertahankannya melawan tuduhan tak benar yang dibuat terhadapnya. Memberikan penghormatan yang layak dan memperlakukan Al-Qur'an dengan cara yang benar, juga merupakan bagian dari nasihat ini. Seorang Muslim seyogyanya tak menyentuh Al-Qur'an saat ia dalam keadaan berhadats. Sesungguhnya, lebih baik ia tak menyentuh Al-Qur'an kecuali jika ia telah bersuci. Seseorang juga seharusnya tak melakukan tindakan apapun yang dianggap menghina Al-Qur'an, seperti melemparkannya ke tanah atau meninggalkannya di tumpukan sampah. Karena nasihat adalah aspek penting dari agama, setiap muslim harus mempertimbangkan poin-poin ini dan bertanya kepada dirinya sendiri, sungguh-sungguhkah ia mengerjakan nasihat kepada Allah dan Kitabullah."
Kea berkata, "Kabarkan pada kami tentang nasihat kepada Rasul-Nya!" Serak-Jawa berkata, "Nasihat kepada Rasulullah (ﷺ) termasuk mempercayai pesannya, percaya kepada semua yang ia bawa sebagai wahyu Ilahi, menaatinya, mendukung dan membelanya, mempertahankan kehormatannya dan menghormati statusnya. Aspek nasihat yang terpenting dan yang paling penting adalah bahwa seseorang menerima Rasulullah (ﷺ) sebagai pemimpin sejati dan sebagai perkataan akhir dari manusia sehubungan dengan agama. Ia (ﷺ) adalah satu-satunya otoritas manusia sejati, dan tak ada pendapat dan pernyataan orang lain yang menggantikannya. Pendapat orang lain yang bila bertentangan dengan apa yang diucapkan Rasulullah (ﷺ), maka ia tak mengerjakan nasihat yang benar kepada Rasulullah (ﷺ). Mengerjakan nasihat kepada Rasulullah (ﷺ) juga termasuk berteman dengan mereka yang mencintainya dan memusuhi mereka yang menentangnya. Yang juga penting adalah menghidupkan kembali sunnahnya, menyebarkan, mempelajari dan mengajarkan pesannya, dan mendoakannya (ﷺ).
Mengerjakan nasihat kepada Rasulullah (ﷺ) termasuk mencintai keluarga dan sahabat-sahabatnya. Ibnu Utsaimin mencatat bahwa sangat penting seseorang mencintai dan menghormati Sahabat Rasulullah (ﷺ). Ini karena teman seseorang, pada intinya, karib dan orang kepercayaan terdekatnya. Di antara para sahabat, Rasulullah (ﷺ) memilih dekat dengan Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan lainnya. Inilah pilihannya dan ia mengungkapkan cintanya kepada para sahabatnya dalam beberapa kesempatan. Ketika seseorang menghina atau merendahkan sahabat mulia semacam itu, seseorang sebenarnya menghina Rasulullah (ﷺ) karena mereka adalah orang-orang terdekat Rasulullah (ﷺ). Sesungguhnya, Ibnu Utsaimin menitikberatkan, seseorang sebenarnya menghina Allah saat menghina Sahabat Nabi (ﷺ). Allah-lah yang memilih jiwa-jiwa mulia itu untuk menjadi Sahabat Nabi (ﷺ) dan menjadi orang-orang yang akan membawa agama ini, memelihara Al-Qur'an dan meneruskan sunnah Nabi (ﷺ). Lebih jauh lagi, ketika seseorang meremehkan para Sahabat dan meragukan kesalehan mereka, seseorang meragukan agama itu sendiri karena melalui orang-orang ini, atas kehendak Allah, bahwa agama tersebut disebarkan dan diteruskan ke generasi berikutnya.
Akhirnya, mengerjakan nasihat kepada Rasulullah (ﷺ) mencakup mencintai orang-orang yang mengikuti, membela dan berusaha menghidupkan kembali sunnahnya. Mereka bekerja karena Allah dalam mendukung Rasulullah (ﷺ), maka tak ada tempat bagi siapapun yang ada kebencian didalam hatinya terhadap mereka."
Kea bertanya, "Kabarkan pada kami tentang nasihat kepada Pemimpin Muslim!" Serak-Jawa berkata, "Ada dua jenis" pemimpin "di kalangan umat Islam, yang pertama adalah pemimpin agama atau ulama, sementara yang kedua adalah pemimpin duniawi atau penguasa. Kata-kata dari hadits ini menyiratkan kedua kategori pemimpin itu. Pentingnya nasihat bagi mereka yang berkuasa dapat ditemukan dalam hadis lain. Misalnya, Imam Malik mencatat bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Sesungguhnya, Allah ridha denganmu karena tiga hal dan tak ridha denganmu dengan tiga hal. Dia ridha denganmu karena menyembah-Nya dan tak ridha denganmu karena menyekutukan-Nya, karena berpegang erat pada tali Allah dan tak berpecah-belah, dan karena saling tulus-ikhlas dengan orang-orang yang telah Allah tetapkan dalam urusanmu... "
Tak ada orang yang bisa mengelak dari memberi atau menerima nasihat. Setiap orang sepatutnya bersikap tulus dan memberikan anjuran yang baik. Setiap orang membutuhkan nasihat dan seyogyanya diberikan kepada semua orang, tak peduli seberapa tinggi pangkat atau prestisius orang tersebut. Apa yang berhubungan dengan kepasrahan kepada Allah dan berbagi, semuanya sama. Tak ada yang luput dari hukuman dan tak ada yang tak membutuhkan nasihat. Sessungguhnya, seorang penguasa atau ulama seyogyanya menjadi orang pertama yang menerima nasihat yang tulus dari orang lain. Pada saat yang sama, merekalah yang termasuk orang pertama yang pantas menerima penghormatan dan persaudaraan yang tulus.
Mengerjakan nasihat kepada para pemimpin umat Islam mencakup: membantu mereka saat mereka menjalankan kebenaran, menaati mereka dalam hal yang benar, mengingatkan mereka jika mereka salah atau alpa, bersabar dengan mereka saat mereka melakukan hal-hal yang tak disukai orang, berjihad dengan mereka dan tak memberontak melawan otoritas mereka yang benar. Kita juga harus mendoakan agar mereka mendapat petunjuk dan keshalihan, karena petunjuk dan keshalihan mereka akan menguntungkan umat Islam secara keseluruhan. Abu Utsman Saad ibnu Ismail al-Khairi berkata, "Dengan memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan berdoa agar ia benar dan mendapat petunjuk dalam ucapan dan tindakannya, karena jika ia benar, urusan rakyat akan menjadi baik. Dan janganlah berdoa agar mereka celaka, karena hal itu akan menambah keburukan mereka dan menambah cobaan bagi kaum Muslimin."
Ibn Utsaimin menganjurkan bahwa seseorang seyogyanya menasihati mereka secara langsung bertatap-muka jika memungkinkan; jika tidak, bisa menulis surat kepada mereka atau menghubungi orang yang berhubungan langsung dengan mereka. Imam Malik berkata, "Adalah hak bagi setiap Muslim atau orang yang didalam hatinya Allah letakkan ilmu dan pemahaman agar menemui orang-orang yang berkuasa dan menyerukan amar ma'ruf nahiy mungkar, dan menasihati mereka. Hal ini karena jika orang berilmu tersebut menemui penguasa dan menyerukan amar ma'ruf nahiy mungkar, jika memang ada, inilah kebajikan yang tiada lagi kebajikan yang melebihinya."
Hadis ini menekankan bahwa seseorang harus menunjukkan sikap yang tulus sehubungan dengan penguasa Muslim yang sah. Penguasa Muslim adalah manusia, dan mereka cenderung berbuat kesalahan. Oleh karena itu, mereka membutuhkan nasihat dan anjuran yang baik seperti muslim lainnya. Namun, karena apa yang mereka lakukan berpengaruh pada banyak orang, mengerjakan nasihat kepada mereka lebih penting lagi. Al-Qarni menyatakan bahwa itulah mengapa seseorang dapat menemukan begitu banyak hadis yang menekankan nasihat kepada para penguasa, menasihati mereka untuk melakukan yang benar dan melarang mereka dari apa yang batil.
Tujuan interaksi seseorang dengan para penguasa atau diskusi tentang penguasa haruslah benar dan membawa mereka kembali ke jalan yang benar. Oleh karena itu, berbicara kepada mereka dengan cara yang tak menunjukkan kesopanan, menunjukkan kurangnya rasa hormat kepada mereka, dan tampak hanya berusaha mempermalukan mereka, bukanlah cara yang tepat untuk mengerjakan nasihat kepada para penguasa. Sebenarnya, ketika Allah mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun kepada Firaun, yang mereka pahami betul kejahatan dan kekerasannya, Allah memerintahkan kepada mereka, dalam Surah Taha [20]: 44, "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut."
Lebih jauh lagi, menyebarkan keburukan dari para penguasa, yang tak bermanfaat, bertentangan dengan nasihat yang harus dikerjakan seseorang terhadap para penguasa. Secara umum, hasil dari perbuatan tersebut adalah kebencian dan keburukan tanpa kebajikan yang patut. Sebaliknya, ketika mereka salah, mereka seyogyanya diingatkan bahwa mereka salah - tapi kita harus selalu berhati-hati dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diambilnya membawa manfaat lebih besar daripada kerugiannya. Untuk alasan ini, banyak pendahulu Islam yang saleh menekankan nasihat kepada penguasa secara pribadi dan bukan di depan umum. Sesungguhnya, Al-Haakim dan Ahmad mencatat bahwa Rasulullah (ﷺ) sendiri mengemukakan hal itu, "Barangsiapa yang ingin memberi nasihat kepada seorang penguasa tentang sebuah masalah, jangan lakukan secara terbuka. Sebaliknya, ia harus menyerahkannya sendiri dan bertatap langsung dengannya membicarakan hal itu. Jika penguasa itu menerima nasehatnya (masalah selesai). Jika ia tidak (menerima nasehatnya), orang tersebut telah memenuhi (kewajiban) kepadanya."
Bagian dari nasihat kepada para penguasa juga terjadi saat penguasa menempatkan seseorang yang bertanggungjawab atas masalah apapun atau meb=nugaskannya melakukan hal itu sesuai yang diamanatkan syariah Islam, orang tersebut harus menunaikan tugasnya dengan terhormat dan jujur dan tak memperdayai atau menipu penguasa tersebut dengan cara apapun. Al-Khattaabi menyebutkan bahwa seseorang seharusnya tak menipu para penguasa dengan memberikan pujian palsu kepada mereka. Dengan kata lain, seseorang harus berurusan dengan mereka dengan cara yang diridhai Allah dan melakukannya karena Allah, dan takut akan adzab-Nya.
Para ulama adalah pemimpin dalam arti bahwa mereka membimbing masyarakat mempelajari Al-Quran dan Sunnah. Merekalah orang-orang yang memahami dan mengetahui bagaimana syariah Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Posisi mereka sangat penting dalam masyarakat secara keseluruhan. Oleh karenanya, sangat penting bahwa nasihat yang tepat dikerjakan terhadap mereka.
Nasihat kepada mereka menyiratkan, misalnya, menerima ilmu yang mereka sampaikan, menerima keputusan pribadi mereka jika mereka memberi bukti yang benar terhadap keputusan mereka, berpikiran positif tentang mereka dan tak mencurigai mereka. Selanjutnya, seperti yang dikatakan Syaikh Ibnu Utsaimin, seseorang seharusnya tak berusaha mencari-cari kesalahan atau kelalaian mereka. Ulama hanyalah manusia biasa dan mereka tak luput dari kesalahan. Seseorang harus menerima kenyataan ini dan seyogyanya memperbaikinya dengan cara yang benar. Namun, mencari-cari kesalahan mereka dan memanfaatkan kesalahan mereka, tidaklah tepat. Ketika seseorang melakukannya, ia tak hanya meragukan ulama itu, tetapi intinya, ia meragukan seluruh ulama dan syariah Islam secara keseluruhan."
(Bagian 2)
Camar melanjutkan, "Sesungguhnya, manusia telah diciptakan untuk tujuan yang mulia dan agung, hanya untuk menyembah Allah, tanpa sekutu apapun. Dan bentuk ibadah terbesar dan paling mulia adalah doa." Pipit bertanya, "Apa itu doa?" Camar berkata, "Doa adalah inti ibadah. Doa adalah bentuk ibadah spiritual yang mulia dan yang memungkinkan para ciptaan agar menghargai Keagungan dan Kemuliaan Sang Pencipta. Inilah salah satu ibadah teragung, dan salah satu cara terbaik mendekatkan para pelaksana ibadah kepada Allah.
Kata doa adalah kata benda verbal (masdar) dari kata kerja da'a yang berarti menyeru, memanggil. Al-Khattabi berkata: "Makna doa adalah para hamba memohon pertolongan Allah, dan meminta agar selalu mendapat petunjuk-Nya. Intinya adalah bahwa seseorang menunjukkan kebutuhannya kepada Allah, dan membebaskan dirinya dari kekuatan atau kemampuan untuk berubah dalam hal apapun oleh dirinya sendiri. Karakteristik inilah tanda penghambaan, dan di dalamnya adalah perasaan tunduk manusia. Doa juga membawa pengertian memuji Allah, dan mensifatkan-Nya dengan Kedermawanan dan Karunia."
Ibnu al-Qayyim mendefinisikannya sebagai, "Meminta apa yang bermanfaat bagi orang tersebut, dan meminta penghilangan apa yang merugikannya, atau (meminta) penolakan (sebelum hal itu menimpanya)".
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman: "Sesungguhnya, Rabb-mu telah berfirman: "Serulah Aku dan Aku akan menjawabmu!" Mereka yang sombong menyembah Allah akan masuk neraka, dihinakan!" "
Allah memerintahkan kita meminta pada-Nya dan mengajukan permohonan kepada-Nya, serta menganggap diantara orang-orang yang tak meminta kepada-Nya, terlalu sombong menyembah Allah. Dari sini, dipahami bahwa doa adalah salah satu tindakan penyembahan, dan makna ini secara eksplisit dinyatakan oleh Rasulullah (ﷺ). Nu'man ibnu Basyir meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda: "Do'a adalah ibadah".
Ketika seseorang berdoa kepada Allah, ia secara implisit mengakui keberadaan Allah, dan bahwa Dia adalah Tuhan Yang sejati. Orang yang melakukannya menyatakan dengan tindakannya bahwa Allah mengendalikan segala hal, karena hanya Allah-lah Yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menjawab doanya. Ia mengakui bahwa Allah adalah Yang Memelihara, Yang Menopang, Yang Menciptakan dan Tuhan dari seluruh ciptaan, dan semua inilah inti dari Tauhid al-Rububiyyah. Doa juga mensyaratkan bahwa hanya Allah-lah yang pantas disembah (Tauhid al-Uluhiyyah), karena jika hanya Allah Yang memiliki kendali penuh atas ciptaan, dan jika hanya Dia Yang dapat menjawab seruan seseorang yang dalam kesusahan, maka hanya Dia yang berhak menerima penyerahan-diri dan ibadah kita. Doa juga mewajibkan bahwa Allah memiliki Nama dan Atribut yang Paling Sempurna (Tauhid al-Asma wa al-Sifat). Karena hanya Dia Yang bisa mendengar keluhan seorang hamba, tak peduli di manapun hamba itu berada, dan hanya Dia Yang dapat memahami keadaan dimana hamba itu berada. Ilmu-Nya jauh lebih lengkap daripada ilmu hamba itu sendiri tentang penderitaan yang ia alami. Demikian pula, hanya Allah Yang memiliki kekuatan dan kewenangan tertinggi dalam memberikan apa yang dimohonkan hamba-Nya. Jadi, doa adalah pratanda Tauhid yang kuat dalam ketiga aspeknya.
Pipit bertanya, "Adakah tipe-tipe doa itu?" Camar berkata, "Doa dapat dikategorikan dalam berbagai cara, tergantung pada perspektif yang digunakan seseorang. Ketika seseorang memeriksa teks al-Qur'an dan sunnah, ia akan menemukan bahwa ada dua jenis doa. Tipe pertama, yang merupakan bahasa yang paling dikenal orang, dikenal sebagai doa al-mas'alah, atau doa permononan. Ini saat seseorang memohon diberi sesuatu yang bermanfaat baginya, atau meminta agar dihindarkan dari marabahaya. Hamba tersebut memohon kepada Allah agar memenuhi suatu kebutuhannya, misalnya, ia berkata, "Ya Allah! Berikan aku kebaikan di dunia ini, dan kebaikan di akhirat! " Ini contoh doa al-mas'alah.
Tipe kedua dikenal sebagai doa al-ibadah. Konsep ini sangat luas, karena setiap tindakan ibadah termasuk ke dalam jenis doa ini. Setiap pujian yang diucapkan seseorang, setiap doa yang ia mohonkan, dilakukan dengan permohonan dan jeritan dari dalam qalbu setiap orang beriman: "Ya Allah, aku melaksanakan ibadah ini karena Engkau Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa! Engkaulah Satu-satunya yang pantas bagi segala pujian! Ya Allah! Terimalah ini dariku! " Oleh karena itu, ketika seseorang mengucapkan, 'Alhamdulillah' atau 'Subhanallah', ini dapat dijadikan contoh doa al-ibadah. Ketika seseorang shalat, atau memberi zakat, atau puasa, semua ini contoh doa al-ibadah.
Kedua jenis doa ini secara inheren saling terkait satu sama lain. Setiap doa al-masalah secara intrinsik mengandung doa al-ibadah, dan setiap doa al-ibadah memerlukan sebuah doa al-masalah.
Ketika seorang Muslim berdoa, "Ya Allah! Berkahilah aku dengan keturunan orang-orang yang shaleh", maka ini adalah contoh nyata dari sebuah doa al-mas 'alah, karena ia meminta beberapa keuntungan. Namun, doa sederhana ini menyiratkan, tanpa ia mengatakanpun, bahwa Allahlah yang mendengar doanya, dan menjawabnya, dan Dialah Yang memberi rezeki, dan memberkahi keturunannya. Ini menyiratkan bahwa Allah adalah Yang Maha Hidup, Pemberi kehidupan, Yang Maha Penyayang, Yang menjawab doa hamba-hamba-Nya. Doa sederhana ini mengisyaratkan orang tersebut menjadikan atribut kepada Allah, sifat yang indah dan sempurna. Jadi, pada saat bersamaa, doa al-masalah ini secara intrinsik mengandung doa al-ibadah.
Ketika seseorang mengucapkan, 'La haula wa la quwwata illa billah', ini adalah doa al-ibadah, karena tak ada yang benar-benar diminta dari Allah. Namun, ucapan ini juga merupakan doa al-mas'alah kepada Allah. Ketika seseorang menegaskan bahwa tak ada kekuatan, juga tak mungkin ada yang dapat mengubah apapun, kecuali dengan kehendak dan perkenan Allah, maka ini secara otomatis bahwa ia meminta kepada Allah, dan hanya kepada Allah, kapanpun ia ingin mencapai sesuatu. Jadi, doa al-ibadah ini juga doa al-mas'alah.
Kapanpun kata doa muncul dalam Al-Qur'an dan Sunnah, ada satu dari tiga kemungkinan: merujuk pada kedua jenis doa itu, atau mengacu pada doa al-mas'alah, atau mengacu pada doa al-ibadah.
Doa pada hakikatnya, menyeru atau meminta kepada makhluk lain. Oleh karena itu, doa dapat dikategorikan sesuai dengan apa yang diminta, karena mungkin saja apa yang diminta itu ditujukan kepada Allah, dan mungkin saja, kepada yang selain Allah. Mungkin juga orang yang menggabungkan du'a al-mas'alah dan doa al-ibadah ke tuhan yang sama setiap saat, atau ia membedakannya. Jadi ini mengarah pada empat kategori manusia. Kategori pertama adalah orang-orang yang menyembah selain Allah, dan menyeru yang lain sepanjang waktu. Orang-orang ini tak mengakui Allah sebagai Tuhan atau Yang patut disembah.
Kategori kedua adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, dan menyembah-Nya, namun tak pernah meminta apapun kepada-Nya. Sebagai gantinya, mendasarkan gagasan mereka pada logika sesat, mereka menggunakan perantara untuk mendekati Allah, dan meminta perantara ini untuk memberkahi mereka dengan apa yang mereka butuhkan.
Kategori ketiga adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan menyembah-Nya, namun hanya mendekat kepada-Nya pada saat-saat kesusahan. Ketika mereka dalam situasi yang sangat putus asa, mereka menggabungkan doa al-ibadah dan doa al-mas'alah kepada Allah, namun pada saat yang lapang, mereka menyeru selain Allah.
Kategori terakhir adalah Muslim sejati, yaitu orang-orang yang selalu menggabungkan doa al-ibadah dan doa al-mas'alah dan mengarahkannya kepada Allah, dan hanya kepada Allah. Jadi mereka mengarahkan ibadah, sholat, dan amal mereka kepada Allah, dan mereka hanya memohon kepada-Nya, untuk segala kebutuhan mereka.
Do'a adalah perbuatan yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa doa adalah sarana untuk menunjukkan kefakiran dan ketidakmampuan seseorang kepada Allah. Inilah cara menghinakan diri seseorang kepada Allah dan mengakui kekuatan dan kemampuan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ketika seseorang menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak dan kekuatan Allah, maka ia juga menyadari bahwa cara terbaik untuk mencapai tujuan apapun adalah dengan memohon kepada Allah. Bagaimanapun juga, orang bijak adalah orang yang membuat rencana terbaik agar sampai pada tujuannya dan menggunakan cara optimal untuk mencapai tujuannya.
Salah satu doa yang dijamin mendapat jawaban adalah doa yang dibuat seorang Muslim bagi saudara Muslimnya tanpa ketidakhadiran saudaranya itu. Karena doa semacam inilah tanda cinta dan solidaritas yang jelas diantara umat Islam. Fakta bahwa seseorang mengingat Muslim lain dalam ketidakhadirannya, dan mengangkat tangannya kepada Allah untuk melakukan sebuah doa khusus untuknya, jelas membuktikan bahwa ia hanya menginginkan kebaikan baginya. Ini menunjukkan kekhawatiran dan kepedulian yang ia miliki bagi sesama Muslim.
Doa adalah obat bagi segala penyakit. Penyakit terdiri dari dua jenis: fisik dan spiritual. Penyakit fisik adalah penyakit yang dihadapi manusia dari waktu ke waktu, seperti demam dan rasa sakit serta nyeri pada tubuh. Penyakit spiritual, atau penyakit jiwa, juga bisa dibagi menjadi dua kategori: penyakit keraguan dan penyakit hasrat. Semua masalah yang berkaitan dengan jiwa berasal dari dua jenis penyakit ini.
Penyakit hasrat adalah dorongan dan hasrat yang tak diperbolehkan, yang menimpa seseorang sehingga ia tak memiliki kekuatan untuk melawan atau mengatasinya. Jadi orang yang mencuri, melakukannya karena ia sangat lemah mengendalikan keinginannya akan uang, dan tak memiliki keyakinan yang diperlukan untuk membatasi dirinya pada cara menghasilkan uang yang diperbolehkan. Demikian juga, orang yang berzina, melakukannya karena lemahnya iman, yang menyebabkannya meninggalkan cara yang diperkenankan untuk memuaskan keinginannya dan karenanya mengikuti jalan yang tak dapat dibenarkan.
Penyakit keraguan adalah penyakit yang terjadi karena kesalahpengertian atau kesalahpahaman. Kesalahpahaman semacam ini bisa disengaja atau tak disengaja. Jadi, misalnya, ketika ada Muslim yang berdoa kepada selain Allah, itu karena mereka belum memahami konsep doa, dan belum menghargai Nama dan Atribut Allah. Oleh karena itu, mereka berdoa kepada yang lain, memberikannya sifat, yang sebenarnya hanya milik Allah.
Doa adalah obat bagi semua penyakit ini. Adapun penyakit-penyakit ragawi, maka jelas bahwa seseorang berdoa kepada Allah agar menyembuhkannya dari penderitaan fisik atau penyakit yang ia derita. Mengenai penyakit hasrat, cara seseorang menghilangkannya adalah dengan memohon kepada Allah, berdoa agar Allah memberikan kepadanya iman yang diperlukan untuk menghindari dosa yang ia lakukan. Dengan menyadari bahwa hanya Allah yang dapat memberinya kebaikan seperti itu, ia secara otomatis menunjukkan keyakinan dan harapannya kepada Allah, dan dalam prosesnya mempertebal imannya. Mengenai penyakit keraguan, cara seseorang menyembuhkannya adalah dengan tulus berdoa kepada Allah agar memberinya petunjuk, dan agar memberkahi dirinya dengan iman dan pemahaman yang benar tentang Al-Qur'an dan Sunnah.
Ketika seseorang berdoa, ia akan menemukan bahwa doa ini, jalan keluar dari masalah yang ia hadapi. Tak peduli seberapa besar masalahnya, ia menyadari bahwa ada jalan keluar dari masalah ini melalui doa. Jadi semangatnya terangkat, dan ia optimis akan keadaannya. Doa memberinya harapan, dan meningkatkan keyakinannya pada rahmat Allah. Ini membuka sebuah pintu yang menunjukkan kepadanya jalan keluar dari kandang masalah yang ia hadapi, dan lampu yang menerangi jalan keluar dari kegelapan.
Orang yang berdoa dengan tulus, membuka 'hubungan' baru dengan Allah, yang tak ada sebelum ia memulai doanya. Ia menyeru Allah, dengan tulus, dengan sepenuh hati, berkonsentrasi pada doanya, yakin bahwa Allah mendengarnya, mengharapkan jawaban Allah, dan takut akan penundaannya. Ia menyeru Allah dengan Nama dan Sifat-Nya yang paling indah, mungkin untuk pertama kalinya mewujudkan arti sebenarnya dan penerapan dari Nama dan Atribut ini. Imannya meningkat, karena harapan dan ketakutan meningkat, dan cintanya kepada Allah juga meningkat. Pada saat yang sama, ia mengingat dosanya, karena dosa ibarat pintu tertutup yang mencegah agar doa tak diijabah, dan ia khawatir, karena dosa-dosa ini, doanya akan ditolak. Maka, ia bertobat kepada Allah, dan mengubah cara hidupnya, berusaha menyenangkan Allah, menyadari bahwa hanya Dia-lah yang bisa mengubah keadaannya, dan dengan demikian, dalam prosesnya, ia mengembangkan sebuah hubungan baru dengan Allah."
Camar berkata, "Wahai saudara-saudariku, sangat diharapkan bahwa seyogyanya kita hanya menggantungkan asa kepada Allah dan tak takut akan penindasan dari-Nya, karena Allah takkan menzhalimi hamba-hamba-Nya walau sedikit pun, malah sebaliknya, merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri. Namun seharusnya mereka takut bahwa Allah akan membalas dosanya. Doa adalah permohonan dari qalbu orang beriman yang ditujukan kepada Allah - Yang Maha Mendengar segala sesuatu, Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. Pengakuan yang berasal dari qalbu orang beriman bahwa ia lemah dan tak berdaya, bahwa ia tak dapat mencapai apapun tanpa bantuan dan pertolongan Allah. Inilah penegasan implisit dari setiap Nama dan Sifat Allah, karena hal itu menegaskan bahwa Allah adalah Yang Maha Pencipta, Yang Maha Memimpin, Yang Mengendalikan segala urusan, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mampu. Wallahu a'lam."
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa bila ia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.." - [QS. 2:186]
Referensi :
- Abu Ammaar Yasir Qadhi, Du'a The Weapon of the Believer, Al-Hidaayah
Pipit bertanya, "Apa makna doa Nabi Yunus, alaihissalam?" Camar berkata, "Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Doa saudaraku Dzun-Nun, "Laa Illaha Illaa Anta Subhaanaka Innii Kuntu minazhzhaalimiin (Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk diantara orang-orang yang zhalim)," tidaklah ada seorangpun yang mengalami kesulitan lalu menerapkannya, melainkan Allah akan mengeluarkannya dari kesulitan itu.'"
Menurut Ibnu Taymiyyah, rahimahullah, pernyataan, 'Laa Illaha Illaa Anta' terdiri dari pengakuan Tauhid al-Ilahiyyah, yang pada gilirannya mencakup salah satu dari dua jenis doa yang telah disebutkan. Ini karena hanya kepada Ilaah-lah doa itu yang pantas ditujukan, baik ibadah maupun permohonan. Dia-lah Allah, tiada yang pantas disembah kecuali Dia.
Pernyataan, 'Innii Kuntu minazhzhhaalimiin' terdiri dari pengakuan atas dosanya, yang pada gilirannya mencakup permohonan ampunan. Ini karena seseorang mencari sesuatu, memintanya, melakukannya dengan menyatakan kalimat yang jelas, atau ia melakukannya dengan menyatakan ungkapan yang berisi informasi yang menyinggung hal ini, informasi tentang keadaan seseorang, atau keadaan yang ditanyakan kepada seseorang, atau keduanya.
Cara ini digunakan dengan jalan menunjukkan tatakrama yang baik dalam hal meminta dan memohon. Karena itu, jika seseorang berkata kepada orang lain, yang ia hormati, dan dari siapa ia menginginkan sesuatu, 'Aku lapar, aku sakit' ia memperlihatkan tatakrama dalam hal meminta. Jika ia mengatakan, 'Beri aku makan, berikan aku obat', ia bersikap kaku dalam permohonannya. Cara pertama memanifestasikan keadaan seseorang dan memberitahu orang lain tentang keadaannya, dengan cara kerendahan hati dan menunjukkan kebutuhan, yang pada gilirannya menyinggung suatu permintaan, sedangkan cara kedua menggambarkan keinginan yang pasti dan permintaan yang terang-terangan.
Cara terakhir ini, yakni cara permintaan langsung, jika muncul dari seseorang yang mampu mencapai objek keinginan dari yang meminta, seakan menggunakan bentuk perintah. Alasannya adalah mengungkapkan kebutuhan orang yang meminta atau karena manfaat yang dikandungnya. Jika muncul dari orang yang benar-benar membutuhkan, diarahkan kepada orang yang benar-benar mandiri, maka harus dianggap sebagai permintaan lugas yang dicapkan dengan kerendahan hati, yang menampakkan kebutuhan seseorang, dan mewujudkan keadaan seseorang.
Oleh karena itu, meminta melalui penggambaran keadaan dan kebutuhan seseorang, lebih baik dari perspektif pengetahuan dan deskripsi keadaan seseorang; meminta secara langsung lebih jelas dengan mengungkapkan maksud dan tujuan seseorang. Itulah sebabnya mengapa generalitas permohonan itu adalah dari cara yang kedua, pemohon mengingatkan apa yang ia inginkan dan memintanya. Jadi, ia segera bertanya setelah tujuannya terlintas dalam pikirannya, tanpa berhenti sejenak untuk menyebutkan atau menggambarkan kondisi seseorang yang meminta dan Yang diminta. Jika, bagaimanapun, orang ini menyebutkan keadaannya dan keadaan Yang diminta ditambah dengan permintaan langsung, ini akan menjadi bentuk permohonan yang lebih baik.
Sekarang muncul pertanyaan, mengapa hal ini bersesuaian dengan Sahibul Hut dan orang lain yang menghadapi situasi yang sama mengerikannya, memohon dengan menggambarkan keadaan mereka daripada meminta secara langsung? Jawabannya adalah bahwa situasi menuntut pengakuan bahwa musibah yang menimpa seseorang adalah karena dosanya. Oleh karena itu, sumber petaka ini adalah dosa, tujuan langsungnya adalah untuk membendung kerusakan, menyingkirkan kesulitan; Sedangkan keinginan untuk meminta pengampunan mengikutinya. Namun, ia tak secara langsung memohon agar musibah itu dihilangkan karena ada perasaan yang luar biasa di dalam dirinya bahwa ia telah melakukan dosa, menzhalimi dirinya sendiri, dan bahwa dirinya sendirilah penyebab dari ancaman musibah ini. Oleh karena itu, keadaan ini sesuai dengan situasinya, sehingga ia menyebutkan hal yang akan menghilangkan penyebab musibah itu, yaitu pengakuan atas dosanya. Jiwa, berdasarkan sifatnya, mencari kebutuhan mendesaknya, dalam hal ini penghilangan musibah yang dialaminya sebelum menghilangkan petaka yang ditakutkannya itu terjadi di masa depan.
Tujuan langsung dalam situasi ini adalah, keinginan untuk melihat hilangnya musibah yang diikuti oleh pengampunan, inilah yang paling penting dalam pikirannya, dan cara terbaik untuk memperoleh ini adalah menghilangkan penyebabnya, dan karenanya, ia menyatakan apa yang akan mencapai tujuannya.
Hal ini menjadi jelas ketika seseorang memahami makna "Subhaanaka (Maha Suci Engkau)" karena pernyataan ini terdiri dari memuliakan Allah dan juga mensucikan-Nya dari segala kekurangan. Situasi dimana Nabi Yunus, alaihissalam, mendapati dirinya menuntut agar ia mensucikan Allah dari berbuat kezhaliman dan juga agar dirinya mensucikan Allah dari memberi hukuman tanpa alasan, oleh karena itu ia mengucapkan, 'Maha Suci Engkau, suci dari menzhalimiku atau menghukumku tanpa alasan, melainkan akulah orang yang zhalim yang telah menganiaya diri sendiri.'
Oleh karena itu, tergantung pada seorang hamba mengakui keadilan dan rahmat-Nya; Dia, Subhanahu Wa Ta'ala, takkan menindas manusia sedikit pun dan takkan menghukum siapapun kecuali dosa yang ia lakukan. Dia selalu memberikan rahmat-Nya kepada manusia, oleh karena itu, setiap hukuman dari-Nya timbul dari murni keadilan, dan setiap nikmat dari-Nya, berasal dari karunia-Nya.
Jadi, ucapan Nabi Yunus, 'Laa Illaha Illa Anta' menegaskan Kemahaesaan Allah, berikut di dalamnya penegasan kesempurnaan ilmu, kuasa, rahmat, dan hikmah Allah, sama seperti penegasan rahmat karunia-Nya. Ini karena kata illah berarti yang patut disucikan, sang ma'luh. Fakta bahwa hanya Dia, Subhanahu Wa Ta'ala, pantas disembah adalah karena sifat-sifat-Nya yang mengharuskan Dia dicintai dengan cinta yang mutlak dan lengkap, dan ia menyerahkan diri sepenuhnya. Realitas pemujaan adalah cinta mutlak dan utuh, yang dipadu dengan ketundukan dan kerendahan hati di hadapan-Nya.
Ucapan Nabi Yunus, 'Subhaanaka' terdiri dari meninggikan Dia, yang dikombinasikan dengan mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan kezhaliman lain. Dengan cara yang sama, mengatakan 'Subhanallah' terdiri dari mensucikan Dia dari segala kejahatan dan penindasan, pengelakan ini pada gilirannya terdiri dari pemuliaan pada-Nya. Ini disebabkan penindas hanya menindas karena kebutuhannya untuk menindas, atau karena ketidaktahuannya, sedangkan Allah tak membutuhkan apapun dan Dia mengetahui segalanya. Dia tak membutuhkan apa-apa sedangkan seluruh ciptaan sangat membutuhkan Dia, pernyataan ini kemudian menyiratkan pemuliaan yang lengkap.
Apalagi permohonan ini menggabungkan tahlil (ucapan Laa Ilaaha illallah) dengan tasbih (ucapan Subhaanallah). Tahlil ditemukan dalam pernyataan, " Laa Illaaha Illaa Anta" dan tasbih dapat ditemukan dalam pernyataan, 'Subhaanaka,' Ada di dalam Sahih al-Bukhari dan Ibnu Majah dimana Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ucapan terbaik dan paling mulia setelah Al Qur'an adalah, dan semuanya berasal dari Al Qur'an : 'Subhanallah, al-Hamdulillah, Laa ilaaha illallah dan Allahu Akbar. "
Tahmid bergandengan dengan tasbih dan mengikutinya , takbir (ucapan Allahu Akbar) berjalan beriringan dengan tahlil dan mengikutinya. Termuat dalam Muslim dan al-Tirmidzi bahwa Rasulullah (ﷺ) pernah ditanya tentang ucapan apa yang terbaik dan paling mulia, ia (ﷺ) menjawab, 'Apa yang Allah pilih untuk para malaikatnya: Subhanallah wabihamdihi.' Dan dalam al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah (ﷺ) berkata, 'Ada dua ucapan yang ringan di lidah, berat di Mizan, dan dicintai oleh Yang Maha Penyayang: 'Subhanallahi wa bilhamdihi dan Subhanallahil 'Aziim.'
Jadi kedua pernyataan ini, yang telah disebutkan bersama dengan tahmid (ucapan Alhambulillah) dan yang lainnya disebutkan bersama dengan ta'zim (pemuliaan dan pengagungan Allah), tasbih terdiri dari pengabaian segala yang jahat dan cacat dari Allah, dan pada gilirannya mencakup penegasan semua kualitas dan kesempurnaan yang indah. Tahmid telah disebutkan dalam konteks yang sama seperti ta'zim dengan cara yang sama seperti jalaal (keagungan) yang disebutkan di samping ikram (kehormatan dan rasa hormat), tak semua hal yang ditinggikan harus dicintai dan dipuji, dan tak semua yang dicintai itu harus dipuja dan ditinggikan. Ibadah didirikan berdasarkan cinta yang lengkap, dicontohkan oleh pujian, dalam ucapan Subhaanallah wa bihamdihi, dan kerendahan hati yang lengkap, dicontohkan dengan pemuliaan dalam ungkapan Subhaanallahil 'Azim. Oleh karena itu dalam ibadah, seseorang mengalami cinta kepada Allah dan memuji kualitas keindahan-Nya, sama seperti seseorang mengalami kerendahan hati di hadapan-Nya, yang berasal dari keagungan dan kemegahan-Nya. Selain itu, hal ini terdiri dari pengagungan dan penghormatan, karena Allah adalah Yang sepantasnya digambarkan dengan memiliki al-jalal dan al-ikram, dan dengan semestinya diagungkan dan dimuliakan.
Ucapan, 'Laa Illaha Illaa Anta Subhaanaka Innii Kuntu minazhzhhaalimiin', termasuk di dalamnya makna dari empat ucapan yang merupakan kalimat terbaik dan paling unggul setelah Al-Qur'an. Keempat ungkapan ini pada gilirannya mencakup makna Nama-nama Indah dari Allah dan Atribut-Nya yang agung, maka itu mengandung pujian yang sempurna.
Ucapan, 'Innii Kuntu minazhzhhaalimiin' terdiri dari pengakuan akan realitas situasinya. Tak mungkin seorang hamba pernah bebas dari pelanggaran atau menyatakan dirinya bebas darinya, terutama saat bercakap-cakap dengan Tuhannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Tidaklah pantas seorang hamba berkata,' Aku lebih baik dari pada Yunus bin Matta'. Beliau (ﷺ) juga bersabda, "Barangsiapa berkata, 'Aku lebih baik dari pada Yunus bin Matta, telah berbohong."
Siapapun yang menganggap dirinya lebih baik dari Nabi Yunus, alaihissalam, menganggap bahwa ia tak perlu mengakui dosanya, adalah pembohong. Itulah sebabnya mengapa para pemimpin ciptaan takkan pernah menganggap diri mereka, dalam hal ini, lebih baik daripada Nabi Yunus, alaihissalam, sebaliknya mereka akan mengakui sama seperti yang dilakukan oleh ayah mereka, Nabi Adam, alaihissalam, dan penutup para Nabi, Nabi Muhammad (ﷺ)."
Pipit bertanya, "Mengapa permohonan ini dapat menghilangkan musibah?" Camar berkata, "Pernyataan Tauhid membuka pintu menuju kebaikan, dan memohon ampunan menutup pintu keburukan. Orang mukmin, saat musibah menimpanya, takkan pernah menyalahkan Rabb-nya. Sebaliknya, ia akan kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya dan berharap hanya kepada Allah. Oleh karena itu, setiap asa haruslah diharapkan dari Allah dan bukan pada objek apapun, bukan pada kemampuan, atau kekuatan seseorang, ataupun tindakannya. Menaruh harapan pada selain Allah adalah syirik, ini berlaku meskipun Allah telah menetapkan sarana dan sebab yang mengarah pada terjadinya sesuatu, namun cara ini tak dapat muncul secara mandiri, melainkan harus ada sesuatu penyebab pendukung untuk mencapai tujuannya, sama seperti rintangan apapun yang menghambat pencapaian ini harus dihilangkan, namun itu tak dapat diraih dan tak dapat bertahan kecuali atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam."
"Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban Kami menyelamatkan orang yang beriman." - [QS. 10:103]
[Bagian 1]
Referensi :
- Ibn Taymiyah, The Relief from Distress, An Explanation to the Dua of Yunus, Daar Us-Sunnah