Selasa, 06 Februari 2018

Dzun Nun (2)

Pipit bertanya, "Apa makna doa Nabi Yunus, alaihissalam?" Camar berkata, "Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Doa saudaraku Dzun-Nun, "Laa Illaha Illaa Anta Subhaanaka Innii Kuntu minazhzhaalimiin (Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk diantara orang-orang yang zhalim)," tidaklah ada seorangpun yang mengalami kesulitan lalu menerapkannya, melainkan Allah akan mengeluarkannya dari kesulitan itu.'"
Menurut Ibnu Taymiyyah, rahimahullah, pernyataan, 'Laa Illaha Illaa Anta' terdiri dari pengakuan Tauhid al-Ilahiyyah, yang pada gilirannya mencakup salah satu dari dua jenis doa yang telah disebutkan. Ini karena hanya kepada Ilaah-lah doa itu yang pantas ditujukan, baik ibadah maupun permohonan. Dia-lah Allah, tiada yang pantas disembah kecuali Dia.

Pernyataan, 'Innii Kuntu minazhzhhaalimiin' terdiri dari pengakuan atas dosanya, yang pada gilirannya mencakup permohonan ampunan. Ini karena seseorang mencari sesuatu, memintanya, melakukannya dengan menyatakan kalimat yang jelas, atau ia melakukannya dengan menyatakan ungkapan yang berisi informasi yang menyinggung hal ini, informasi tentang keadaan seseorang, atau keadaan yang ditanyakan kepada seseorang, atau keduanya.
Cara ini digunakan dengan jalan menunjukkan tatakrama yang baik dalam hal meminta dan memohon. Karena itu, jika seseorang berkata kepada orang lain, yang ia hormati, dan dari siapa ia menginginkan sesuatu, 'Aku lapar, aku sakit' ia memperlihatkan tatakrama dalam hal meminta. Jika ia mengatakan, 'Beri aku makan, berikan aku obat', ia bersikap kaku dalam permohonannya. Cara pertama memanifestasikan keadaan seseorang dan memberitahu orang lain tentang keadaannya, dengan cara kerendahan hati dan menunjukkan kebutuhan, yang pada gilirannya menyinggung suatu permintaan, sedangkan cara kedua menggambarkan keinginan yang pasti dan permintaan yang terang-terangan.

Cara terakhir ini, yakni cara permintaan langsung, jika muncul dari seseorang yang mampu mencapai objek keinginan dari yang meminta, seakan menggunakan bentuk perintah. Alasannya adalah mengungkapkan kebutuhan orang yang meminta atau karena manfaat yang dikandungnya. Jika muncul dari orang yang benar-benar membutuhkan, diarahkan kepada orang yang benar-benar mandiri, maka harus dianggap sebagai permintaan lugas yang dicapkan dengan kerendahan hati, yang menampakkan kebutuhan seseorang, dan mewujudkan keadaan seseorang.
Oleh karena itu, meminta melalui penggambaran keadaan dan kebutuhan seseorang, lebih baik dari perspektif pengetahuan dan deskripsi keadaan seseorang; meminta secara langsung lebih jelas dengan mengungkapkan maksud dan tujuan seseorang. Itulah sebabnya mengapa generalitas permohonan itu adalah dari cara yang kedua, pemohon mengingatkan apa yang ia inginkan dan memintanya. Jadi, ia segera bertanya setelah tujuannya terlintas dalam pikirannya, tanpa berhenti sejenak untuk menyebutkan atau menggambarkan kondisi seseorang yang meminta dan Yang diminta. Jika, bagaimanapun, orang ini menyebutkan keadaannya dan keadaan Yang diminta ditambah dengan permintaan langsung, ini akan menjadi bentuk permohonan yang lebih baik.

Sekarang muncul pertanyaan, mengapa hal ini bersesuaian dengan Sahibul Hut dan orang lain yang menghadapi situasi yang sama mengerikannya, memohon dengan menggambarkan keadaan mereka daripada meminta secara langsung? Jawabannya adalah bahwa situasi menuntut pengakuan bahwa musibah yang menimpa seseorang adalah karena dosanya. Oleh karena itu, sumber petaka ini adalah dosa, tujuan langsungnya adalah untuk membendung kerusakan, menyingkirkan kesulitan; Sedangkan keinginan untuk meminta pengampunan mengikutinya. Namun, ia tak secara langsung memohon agar musibah itu dihilangkan karena ada perasaan yang luar biasa di dalam dirinya bahwa ia telah melakukan dosa, menzhalimi dirinya sendiri, dan bahwa dirinya sendirilah penyebab dari ancaman musibah ini. Oleh karena itu, keadaan ini sesuai dengan situasinya, sehingga ia menyebutkan hal yang akan menghilangkan penyebab musibah itu, yaitu pengakuan atas dosanya. Jiwa, berdasarkan sifatnya, mencari kebutuhan mendesaknya, dalam hal ini penghilangan musibah yang dialaminya sebelum menghilangkan petaka yang ditakutkannya itu terjadi di masa depan.
Tujuan langsung dalam situasi ini adalah, keinginan untuk melihat hilangnya musibah yang diikuti oleh pengampunan, inilah yang paling penting dalam pikirannya, dan cara terbaik untuk memperoleh ini adalah menghilangkan penyebabnya, dan karenanya, ia menyatakan apa yang akan mencapai tujuannya.

Hal ini menjadi jelas ketika seseorang memahami makna "Subhaanaka (Maha Suci Engkau)" karena pernyataan ini terdiri dari memuliakan Allah dan juga mensucikan-Nya dari segala kekurangan. Situasi dimana Nabi Yunus, alaihissalam, mendapati dirinya menuntut agar ia mensucikan Allah dari berbuat kezhaliman dan juga agar dirinya mensucikan Allah dari memberi hukuman tanpa alasan, oleh karena itu ia mengucapkan, 'Maha Suci Engkau, suci dari menzhalimiku atau menghukumku tanpa alasan, melainkan akulah orang yang zhalim yang telah menganiaya diri sendiri.'
Oleh karena itu, tergantung pada seorang hamba mengakui keadilan dan rahmat-Nya; Dia, Subhanahu Wa Ta'ala, takkan menindas manusia sedikit pun dan takkan menghukum siapapun kecuali dosa yang ia lakukan. Dia selalu memberikan rahmat-Nya kepada manusia, oleh karena itu, setiap hukuman dari-Nya timbul dari murni keadilan, dan setiap nikmat dari-Nya, berasal dari karunia-Nya. 

Jadi, ucapan Nabi Yunus, 'Laa Illaha Illa Anta' menegaskan Kemahaesaan Allah, berikut di dalamnya penegasan kesempurnaan ilmu, kuasa, rahmat, dan hikmah Allah, sama seperti penegasan rahmat karunia-Nya. Ini karena kata illah berarti yang patut disucikan, sang ma'luh. Fakta bahwa hanya Dia, Subhanahu Wa Ta'ala, pantas disembah adalah karena sifat-sifat-Nya yang mengharuskan Dia dicintai dengan cinta yang mutlak dan lengkap, dan ia menyerahkan diri sepenuhnya. Realitas pemujaan adalah cinta mutlak dan utuh, yang dipadu dengan ketundukan dan kerendahan hati di hadapan-Nya.

Ucapan Nabi Yunus, 'Subhaanaka' terdiri dari meninggikan Dia, yang dikombinasikan dengan mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan kezhaliman lain. Dengan cara yang sama, mengatakan 'Subhanallah' terdiri dari mensucikan Dia dari segala kejahatan dan penindasan, pengelakan ini pada gilirannya terdiri dari pemuliaan pada-Nya. Ini disebabkan penindas hanya menindas karena kebutuhannya untuk menindas, atau karena ketidaktahuannya, sedangkan Allah tak membutuhkan apapun dan Dia mengetahui segalanya. Dia tak membutuhkan apa-apa sedangkan seluruh ciptaan sangat membutuhkan Dia, pernyataan ini kemudian menyiratkan pemuliaan yang lengkap.

Apalagi permohonan ini menggabungkan tahlil (ucapan Laa Ilaaha illallah) dengan tasbih (ucapan Subhaanallah). Tahlil ditemukan dalam pernyataan, " Laa Illaaha Illaa Anta" dan tasbih dapat ditemukan dalam pernyataan, 'Subhaanaka,' Ada di dalam Sahih al-Bukhari dan Ibnu Majah dimana Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ucapan terbaik dan paling mulia setelah Al Qur'an adalah, dan semuanya berasal dari Al Qur'an : 'Subhanallah, al-Hamdulillah, Laa ilaaha illallah dan Allahu Akbar. "
Tahmid bergandengan dengan tasbih dan mengikutinya , takbir (ucapan Allahu Akbar) berjalan beriringan dengan tahlil dan mengikutinya. Termuat dalam Muslim dan al-Tirmidzi bahwa Rasulullah (ﷺ) pernah ditanya tentang ucapan apa yang terbaik dan paling mulia, ia (ﷺ) menjawab, 'Apa yang Allah pilih untuk para malaikatnya: Subhanallah wabihamdihi.' Dan dalam al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah (ﷺ) berkata, 'Ada dua ucapan yang ringan di lidah, berat di Mizan, dan dicintai oleh Yang Maha Penyayang: 'Subhanallahi wa bilhamdihi dan Subhanallahil 'Aziim.'

Jadi kedua pernyataan ini, yang telah disebutkan bersama dengan tahmid (ucapan Alhambulillah) dan yang lainnya disebutkan bersama dengan ta'zim (pemuliaan dan pengagungan Allah), tasbih terdiri dari pengabaian segala yang jahat dan cacat dari Allah, dan pada gilirannya mencakup penegasan semua kualitas dan kesempurnaan yang indah. Tahmid telah disebutkan dalam konteks yang sama seperti ta'zim dengan cara yang sama seperti jalaal (keagungan) yang disebutkan di samping ikram (kehormatan dan rasa hormat), tak semua hal yang ditinggikan harus dicintai dan dipuji, dan tak semua yang dicintai itu harus dipuja dan ditinggikan. Ibadah didirikan berdasarkan cinta yang lengkap, dicontohkan oleh pujian, dalam ucapan Subhaanallah wa bihamdihi, dan kerendahan hati yang lengkap, dicontohkan dengan pemuliaan dalam ungkapan Subhaanallahil 'Azim. Oleh karena itu dalam ibadah, seseorang mengalami cinta kepada Allah dan memuji kualitas keindahan-Nya, sama seperti seseorang mengalami kerendahan hati di hadapan-Nya, yang berasal dari keagungan dan kemegahan-Nya. Selain itu, hal ini terdiri dari pengagungan dan penghormatan, karena Allah adalah Yang sepantasnya digambarkan dengan memiliki al-jalal dan al-ikram, dan dengan semestinya diagungkan dan dimuliakan.

Ucapan, 'Laa Illaha Illaa Anta Subhaanaka Innii Kuntu minazhzhhaalimiin', termasuk di dalamnya makna dari empat ucapan yang merupakan kalimat terbaik dan paling unggul setelah Al-Qur'an. Keempat ungkapan ini pada gilirannya mencakup makna Nama-nama Indah dari Allah dan Atribut-Nya yang agung, maka itu mengandung pujian yang sempurna.
Ucapan, 'Innii Kuntu minazhzhhaalimiin' terdiri dari pengakuan akan realitas situasinya. Tak mungkin seorang hamba pernah bebas dari pelanggaran atau menyatakan dirinya bebas darinya, terutama saat bercakap-cakap dengan Tuhannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Tidaklah pantas seorang hamba berkata,' Aku lebih baik dari pada Yunus bin Matta'. Beliau (ﷺ) juga bersabda, "Barangsiapa berkata, 'Aku lebih baik dari pada Yunus bin Matta, telah berbohong."
Siapapun yang menganggap dirinya lebih baik dari Nabi Yunus, alaihissalam, menganggap bahwa ia tak perlu mengakui dosanya, adalah pembohong. Itulah sebabnya mengapa para pemimpin ciptaan takkan pernah menganggap diri mereka, dalam hal ini, lebih baik daripada Nabi Yunus, alaihissalam, sebaliknya mereka akan mengakui sama seperti yang dilakukan oleh ayah mereka, Nabi Adam, alaihissalam, dan penutup para Nabi, Nabi Muhammad (ﷺ)."

Pipit bertanya, "Mengapa permohonan ini dapat menghilangkan musibah?" Camar berkata, "Pernyataan Tauhid membuka pintu menuju kebaikan, dan memohon ampunan menutup pintu keburukan. Orang mukmin, saat musibah menimpanya, takkan pernah menyalahkan Rabb-nya. Sebaliknya, ia akan kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya dan berharap hanya kepada Allah. Oleh karena itu, setiap asa haruslah diharapkan dari Allah dan bukan pada objek apapun, bukan pada kemampuan, atau kekuatan seseorang, ataupun tindakannya. Menaruh harapan pada selain Allah adalah syirik, ini berlaku meskipun Allah telah menetapkan sarana dan sebab yang mengarah pada terjadinya sesuatu, namun cara ini tak dapat muncul secara mandiri, melainkan harus ada sesuatu penyebab pendukung untuk mencapai tujuannya, sama seperti rintangan apapun yang menghambat pencapaian ini harus dihilangkan, namun itu tak dapat diraih dan tak dapat bertahan kecuali atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam."
"Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban Kami menyelamatkan orang yang beriman." - [QS. 10:103]
[Bagian 1]
Referensi :
- Ibn Taymiyah, The Relief from Distress, An Explanation to the Dua of Yunus, Daar Us-Sunnah