Jumat, 23 Februari 2018

Paradigma (1)

Para unggas pun kembali berkumpul. Seperti biasa, guru pertama bangsa unggas, Nuri bertindak sebagai moderator, sedangkan Murai, guru kedua bangsa unggas, bertindak sebagai nara-sumber. Ada hal yang menarik dari kedua guru bangsa ini. Sebenarnya, kualitas Murai sebagai orang berilmu lebih baik dibandingkan dengan Nuri, namun pada saat pemilihan guru bangsa, banyak unggas yang belum mengenal Murai. Mereka lebih banyak yang memilih Nuri dibanding Murai karena Nuri sangat dikenal oleh para unggas. Selain tampak cerdik, Nuri juga pandai memikat para unggas dari kelakukannya yang jenaka. Selain itu, khabar-cerita, lebih banyak menyebut Nuri daripada Murai. Namun, setelah waktu berjalan dan para unggas telah mengenal Nuri dengan baik, mereka sadar bahwa dengan kejenakaan saja, belumlah cukup untuk dapat memimpin mereka menuju kesempurnaan. Namun bagaimanapun, semuanya kembali kepada Allah, hidup akan terus berjalan.
Murai berkata, "Wahai saudara-saudariku, kita hendaknya melihat pada lensa yang melaluinya kita melihat dunia, juga di dunia yang kita lihat, dan bahwa lensa itu sendiri membentuk cara kita menafsirkan dunia. Jika kita ingin mengubah keadaan, pertama-tama kita hendaknya mengubah diri kita sendiri. Dan untuk mengubah diri kita secara efektif, seyogyanya kita terlebih dahulu  mengubah persepsi kita. Perspektif para ahli ilmu alam ataupun ahli pengobatan tentang sesuatu, berbeda dengan cara pandang orang mukmin yang berilmu. Ahli pengetahuan-alam dan ahli pengobatan, disibukkan dengan penelitian aspek-aspek menjaga kesehatan dan mencegah penyakit; orang mukmin, di sisi lain, "melihat" sesuatu dengan maksud untuk mengetahui bukti-bukti tentang Sang Pencipta; hikmah-Nya yang mengagumkan, kebebasan dan karunia-Nya yang luas, yang Dia, Subhanahu wa Ta'ala, perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, agar menanggapinya dengan dzikir dan syukur.
Masing-masing kita cenderung mengira, kita melihat sesuatu atau beragam hal, sebagaimana adanya, hingga kita menganggap bahwa kita objektif. Akan tetapi, bukan ini masalahnya. Kita melihat dunia, bukan sebagaimana adanya, namun sebagaimana yang kita lihat — atau, sebagaimana yang kita kondisikan melihatnya. Saat kita membuka mulut untuk melukiskan apa yang kita lihat, kita akan mendeskripsikan diri kita, persepsi kita, paradigma kita.
Nuri bertanya, "Apa Paradigma itu?" Murai berkata, "Paradigma adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani. Pada mulanya, merupakan istilah ilmiah, dan lebih umum digunakan saat ini untuk memaknai model, teori, persepsi, asumsi, atau kerangka berfikir. Dalam pengertian yang lebih umum, paradigma adalah cara kita "melihat" dunia — bukan dalam pengertian indera penglihatan kita, tetapi dalam pengertian mempersepsikan, memahami, menafsirkan.
Kata "melihat" itu, punya dua makna. Makna pertama, "melihat" dengan mata, organ lahiriah, yang dengannya seseorang dapat melihat, misalnya, langit biru, dengan bintang-bintangnya, ketinggian dan keluasan cakrawala. Dalam penglihatan seperti ini, manusia sama dengan spesies lain, dan karenanya bukan karena penglihatan itu manusia terdorong untuk menerapkannya.
Dalam makna lain, "melihat" adalah melampaui penglihatan lahiriah untuk memandang dengan mata-batin, sehingga gerbang langit terbuka bagi yang mengamati; ia mengembara di antara wilayah dan negerinya, dan bergaul dengan malaikatnya. Saat itulah gerbang dibuka baginya, satu demi satu, sampai perjalanan pikirannya membawanya ke Singgasana Yang Maha Pengasih, dimana ia membayangkan ukurannya yang amat-sangat besar; keagungan, kemuliaan dan ketinggiannya; ia membayangkan tujuh langit, dan tujuh bumi, yang massanya, dibandingkan dengan Arasy, hanya bagai sebuah cincin di padang pasir; ia membayangkan para malaikat mengelilingi Arasy, dengan lantunan puja dan puji kepada Allah, bangkit dalam suara yang berpadu.

Ia melihat dengan mata-batinnya, firman-firman Allah turun dari atas, mengelola dunia dan mengarahkan tentara Allah, yang tak ada yang bisa menghitungnya kecuali Rabb dan Raja mereka. Ia mendapati bagaimana arahan turun untuk menentukan lahirnya banyak makhluk dan binasanya makhluk yang lain; siapa yang beroleh penghargaan dan siapa yang beroleh derita; siapa yang mendapat kedudukan dan siapa yang terlempar dari kursinya; terangkutnya berkah dari satu tempat ke tempat lain; dan pemenuhan segala macam kebutuhan, dalam segala keberagaman dan keberlimpahannya: yang akan bangkrut terselamatkan, orang miskin menjadi kaya, yang salah diluruskan, yang akan tertimpa bencana terselamatkan; pengampunan dosa-dosa, penyelesaian krisis, pertolongan bagi yang teraniaya, tuntunan bagi yang tersesat, pendidikan bagi orang yang tak mengetahui, pembebasan budak-belian, terselamatkan dari ketakutan, pertolongan bagi para pencari pertolongan; pemberdayaan orang yang lemah, dukungan bagi orang yang tertekan, bantuan bagi yang cacat, balasan bagi para penindas, penghentian agresi; segala keputusan menuju penegakan keadilan, simpati, hikmah dan kasih-sayang, semua seruan ini datang dari seluruh pelosok dunia, tak ada seruan yang mengalihkan perhatian-Nya dari seruan lain, permintaan dan permohonan yang begitu banyaknya tak membingungkan-Nya, berapa pun banyaknya, beragamnya, atau keserampakannya, Dia tak mengeluh atas desakan demi desakan, dan karunia-Nya yang berlimpah, tak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Nya, karena tiada illah selain Dia, Pemilik segala kebesaran, Yang Maha Bijaksana.

Dengan memahami hal ini, qalbu yang beriman sujud di hadapan Yang Maha Pengasih, ruku' dalam ketakjuban akan Dia, tunduk pada kekuatan-Nya; terikat pada hegemoni-Nya; Ia akan bersujud di hadapan Sang Raja, Al-Haqq, Al-Mubin, sebuah sujud yang tak pernah terputus sampai Hari Pengadilan. Semua ini dilakukan qalbu saat masih berada di tempatnya, di rumah, dan tak meninggalkan tempat tinggalnya yang merupakan keajaiban paling menakjubkan dari Allah dan kejadian yang luar biasa. Terberkahilah perjalanan, wisata yang paling menyenangkan, mengangkat manusia dan memberkahi hidupnya, serta memberinya keberlimpahan dan memastikan hasil akhir yang baik. Inilah perjalanan yang membangkitkan jiwa dan memenangkan kunci kebahagiaan; mengisi benak dan qalbu dengan kedamaian, tak terbawa kesusahan seperti perjalanan lainnya. 

Sehubungan dengan ini, ada perbedaan antara ingatan dan pemikiran. Apa bedanya, engkau mungkin bertanya, antara mengingat dan berpikir? Mengetahui perbedaannya, akan bermanfaat bagi mereka yang menyadarinya. Berpikir dan mengingat adalah dasar dari tuntunan dan kesuksesan, dua kutub kebahagiaan. Itulah sebabnya kita sangat terpuaskan pada berpikir karena manfaat besar yang terkait dengannya dan kebutuhan besar akan hal itu. Ini seperti yang diucapkan Al-Hasan, "Orang-orang berilmu selalu mendasarkan pemikiran berdasarkan ingatan dan ingatan berdasarkan pemikiran, dan mereka membahasakan qalbu hingga mereka mulai mengartikulasikannya, dan mereka memperoleh pendengaran dan penglihatan."
Akan diketahui kemudian, bahwa pemikiran itulah pencarian qalbu untuk memperoleh ilmu yang telah digapai, ilmu yang belum diperoleh. Inilah realisasi tentang pemikiran, karena jika tak ada tujuan yang ingin dicapai melalui pemikiran, maka pemikiran akan menjadi tak mungkin. Berpikir tanpa titik fokal akan menjadi tak mungkin; dan sarananya adalah fakta-fakta yanng telah diperoleh. Jika cara ini diberdayakan untuk memperoleh apa yang sudah diketahui, takkan ada pemikiran. Dengan menyadari hal ini, kita dapat terus mengatakan bahwa seseorang yang berpikir berasal dari premis dan asumsi yang sudah ia ketahui tentang konsep yang ingin ia ungkapkan. Setelah tercapai dan diperoleh, ia mengingat berdasarkan hal itu, dan merasakan apa yang harus dicari dan apa yang harus dihindari; apa yang harus dipegang karena bernilai, dan apa yang harus dijauhi karena sia-sia.

Oleh karena itu, ingatan adalah buah dan hasil akhir dari pemikiran. Begitu seseorang mengingatnya, ingatan itu akan meningkatkan pemikiran, dan karenanya ia dapat mengambil kesimpulan yang tak mampu ia buat sebelumnya. Hubungan timbal-balik ini terus berlanjut, sejak berpikir hingga mengingat dan mengingat tentang ingatan pemikiran, selama perenungan berlangsung: ilmu dan kehendak berjalan tanpa terbatas, dan seseorang dapat berkembang tanpa batasan waktu, untuk memanfaatkan ilmu dan kehendak. Jika engkau menyadari bahwa tanda-tanda Allah berjalan sebagai pembuka mata dan pengingat, mencerahkan seseorang untuk mengatasi kebutaan qalbu dan agar membangunkannya dari kealpaannya, maka akan sangat dekatlah kebalikan dari ilmu itu dengan kebutaan qalbu, dan penyembuhannya adalah pencerahan; juga dengan kealpaannya, dan obatnya adalah ingatan. Idenya di sini adalah membangunkan qalbu dari kealpaannya dengan mendzikirkan tanda-tanda dari Allah. Agar berusaha mengikutinya sampai berakhir, kita harus mencurahkan seluruh hidup kita untuknya, dan bahkan saat itu pun kita takkan bisa menguras habis walau satupun rincian dari tanda-tanda-Nya secara komprehensif. Namun bila keseluruhannya tak dapat terlaksana, tak seharusnya diikuti dengan membuang persoalannya sama sekali. Pekerjaan dan waktu yang paling mulia adalah merenungkan tentang tanda-tanda Allah dan ciptaan-Nya yang menakjubkan, dari situ lalu dilanjutkan dengan menghubungkan qalbu dan kehendak kepada-Nya, dan bukan pada ciptaan-Nya.

Pikirkanlah, hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam mengingat dan melupakan, kualitas yang unik bagi spesies manusia. Renungkan banyak jasa yang diberikannya, dan manfaat yang didapat manusia darinya. Tanpa kemampuan mengingat, yang hanya dikaruniakan pada manusia, akan ada kekacauan besar dalam segala urusannya; ia takkan membedakan apa yang menjadi haknya dari apa yang menjadi kewajibannya; apa yang ia terima dari apa yang ia berikan; apa yang ia dengar dari apa yang ia lihat; apa yang diucapkannya dari apa yang dialamatkan kepadanya; ia takkan dapat membedakan kedermawanannya dari keantagonisannya; Ia takkan dapat mengingat orang-orang yang berurusan dengannya; ia takkan ingat dan berusaha mendekatkan diri dengan orang yang telah berbuat baik kepadanya, atau menghindari orang yang telah berbuat kejahatan; Ia takkan menemukan cara yang telah ia usahakan dan temukan dengan tepat, walau telah berulang-kali melakukannya; ia takkan mengumpulkan ilmu di bidang tertentu, bahkan karenanya, ia telah mencurahkan seluruh masa hidupnya; ia takkan mendapatkan keuntungan dari pengalaman, atau menarik pelajaran dari apa yang telah berlalu - dan sesugguhnya, bila hal itu terjadi, ia bukan lagi menjadi anggota umat manusia.

Lalu renungkanlah, kemudian, seluruh berkah dari semua manfaat yang ada ini. Pikirkan jumlah kebaikan setiap aspek yang direalisasikan untukmu, dan kemudian berapa banyak yang terwakili dalam keseluruhannya! Salah satu berkah yang paling ganjil adalah melupakan: tanpa melupakan, manusia takkan menemukan pelipur-lara atas kehilangan orang yang disayangi; kesedihannya akan menjadi tanpa akhir; ia tak bisa sembuh dari ketakutan akibat malapetaka; rasa berkabung akan menjadi permanen, kebenciannya akan berkobar selamanya; ia takkan menikmati hiburan apapun dengan pikirannya yang penuh dengan ingatan bencana; ia takkan mau bersikap lemah lembut dengan para penentangnya, atau meredanya perasaan iri-hati. Maka renungkanlah,, atas karunia Allah dalam memberimu kemampuan untuk mengingat dan melupakan, terlepas dari antitesis dan pertentangannya; masing-masing melakukan bagiannya sendiri-sendiri."
(Bagian 2)