Nabi Nuh, alaihissalam, memilih tempat di luar kota, jauh dari laut. Ia mulai bekerja siang dan malam membangun bahtera itu. Kaumnya terus mengolok-olok, "Wahai Nuh, lebih menarikkah bidang pertukangan bagimu daripada kenabian? Mengapa engkau membangun sebuah bahtera di tempat yang jauh dari laut? Akankah engkau menyeretnya ke air atau anginkah yang akan membawanya untukmu? " Dalam Surah Hud [11]: 38-39, Allah beerfirman, "Dan mulailah ia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Ia (Nuh) berkata, 'Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal.'”
Bahtera telah terbangun, dan Nabi Nuh duduk menunggu perintah Allah. Allah mewahyukan kepadanya, bahwa jika air telah keluar dari tanur yang ada di rumah Nabi Nuh, itu akan menjadi tanda awal kemunculan Air Bah, dan tanda kepada Nabi Nuh agar segera bertindak. Tanur itu, tungku batu milik Hawa dan akhirnya menjadi milik Nabi Nuh.
Maka, tibalah hari yang mengerikan itu saat tanur di rumah Nabi Nuh terluap air. Nabi Nuh bergegas membuka bahtera dan memanggil orang-orang mukmin. Ia juga membawa serta sepasang margasatwa, jantan dan betina, dari setiap jenis satwa, unggas dan serangga. Melihat ia membawa makhluk-makhluk ini ke bahtera, kaumnya tertawa terbahak-bahak: "Nuh pasti telah hilang akal! Apa yang akan ia lakukan dengan hewan-hewan itu?" Firman Allah dalam Surah Hud [11]: 40, "Hingga apabila perintah Kami datang dan tanur (dapur) telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalamnya (kapal itu) dari masing-masing (hewan) sepasang (jantan dan betina), dan (juga) keluargamu kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu dan (muatkan pula) orang yang beriman.” Ternyata orang-orang beriman yang bersama dengan Nuh hanya sedikit.
Air naik dari celah-celah permukaan bumi; Tak ada celah yang airnya tak naik. Hujan laksana tertuang dari langit, dalam jumlah yang tak pernah terlihat sebelumnya di bumi. Air terus mengalir dari langit, yang naik dari celah-celah bumi; detik demi detik, ketinggiannya terus bertambah. Lautan dan ombak menyerbu daratan. Bagian dalam bumi bergerak dengan cara yang aneh, dan lantai-lantai samudera tiba-tiba terkuak, membanjiri lahan kering. Bumi, untuk pertama kalinya tenggelam.
At-Tabari meriwayatkan dari Ummul Mukminin, Aisyah, radhiyallahu 'anha, berkata, "Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Jika saja Allah menunjukkan belas kasihan kepada siapapun di antara kaum Nabi Nuh, maka itulah ibu dari seorang bayi.' Rasulullah bersabda, 'Nuh telah hidup bersama kaumnya selama 950 tahun, menyeru mereka kepada Allah. Kemudian pada waktunya, ia menanam sebuah pohon yang tumbuh dan bercabang ke segala arah. Ia kemudian menebangnya dan mulai membangun sebuah bahtera. Orang-orang yang lewat bertanya kepadanya apa yang sedang dilakukannya. Ia menjawab, 'Aku sedang membangun sebuah bahtera!' Mereka mengolok-oloknya dan berkata, 'Engkau sedang membangun sebuah bahtera di atas lahan kering? Bisakah mengambang?' Ia menjawab, 'Lihatlah nanti.' Ketika ia menyelesaikan bahtera itu dan 'tanurnya telah berasap,' dan semakin banyak air di jalanan, seorang ibu yang sangat mencintai bayinya merasa khawatir. Ia pergi ke gunung dan naik setinggi sepertiga darinya. Air menggapainya, ia naik setinggi dua pertiganya, air menggapainya lagi, ia lalu naik ke puncak. Ketika air sampai ke lehernya, ia mengangkat bayinya dengan kedua tangannya hingga air menghanyutkannya, sekiranya Allah menunjukkan rahmat kepada siapapun dari mereka, pastilah ibu dari sang bayi."
Para ulama punya pandangan berbeda mengenai jumlah orang yang bersama Nabi Nuh di atas bahtera itu. Ibnu Abbas menyatakan bahwa ada 80 orang mukmin, Nabi Nuh membawa di dalam bahtera itu, anak-anaknya, Sem, Ham, dan Yafet, dan menantu perempuannya, istri dari anak-anaknya, dan juga tujuh puluh tiga keturunan Nabi Syits yang meyakininya. Jadi, ada delapan puluh orang di dalam bahtera itu. Kaab al-Ahbar berpendapat bahwa ada 72 orang mukmin. Yang lain mengklaim bahwa ada 10 orang mukmin bersama Nabi Nuh. Istri Nabi Nuh, tak beriman, sehingga ia tak ikut dengannya; demikian pula anak Nabi Nuh, yang diam-diam menjadi kafir namun berpura-pura beriman di hadapan Nabi Nuh. Juga sebagian besar kaum Nabi Nuh adalah orang-orang yang tak beriman, sehingga tak ikut masuk ke dalam bahtera. Allah berfirman tentang anak Nabi Nuh dalam Surah Hud [11]: 41-47, "Dan ia (Nuh) berkata, ”Naiklah kamu semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” Ia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka ia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan. Dan difirmankan, “Wahai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan) berhentilah!” Dan air pun disurutkan, dan perintah pun diselesaikan dan kapal itupun berlabuh di atas gunung Judi, dan dikatakan, ”Binasalah orang-orang zhalim.” Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya ia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.” Ia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi."
Menurut Ibnu 'Abbas, radhiyallahu 'anhu, Allah menurunkan hujan selama empat puluh hari empat puluh malam. Saat hujan menimpa mereka, satwa liar, binatang piaraan, dan burung-burung, seluruhnya bergabung bersama Nabi Nuh yang nantinya akan berkembang-biak. Sesuai yang diperintahkan Allah, ia membawa sepasang, dua dari masing-masing jenis. Ia juga membawa jenazah Nabi Adam, alaihissalam, menjadikannya hijab antara wanita dan pria. Mereka naik ke bahtera pada hari ke sepuluh bulan Rajab, dan turun dari bahtera pada Hari Asyura (hari kesepuluh bulan Muharram); oleh karena itu, orang-orang berpuasa pada Hari Asyura.
Bahtera membawa mereka berlayar ke seluruh penjuru bumi dalam enam bulan. Bahtera itu tak berhenti walau telah sampai ke Wilayah Suci Mekah dan Madinah. Namun, bahtera itu tak memasuki Wilayah Suci, namun mengitarinya selama seminggu. Rumah Suci yang dibangun oleh Nabi Adam, terangkat. Setelah bahtera itu mengelilingi Wilayah Suci, bahtera itu menjelajahi bumi bersama orang-orang di atasnya dan akhirnya, sampai di bukit al-Judi, sebuah bukit yang kakinya berada di negeri Mosul, dimana bahtera itu berlabuh setelah enam bulan pada penggenapan tujuh malam, atau, menurut pendapat lain, setelah genap enam bulan.
Setelah bersandar di atas bukit al-Judi, dalam Surah Hud [11]: 48, "Difirmankan, 'Wahai Nuh! Turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami, bagimu dan bagi semua umat (mukmin) yang bersamamu. Dan ada umat-umat yang Kami beri kesenangan (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab Kami yang pedih.'"
Air yang berasal dari dalam tanah, terserap oleh bumi. Air yang turun dari langit, menjadi lautan yang terlihat di bumi saat ini. Sisa-sisa terakhir Air Bah di bumi ada di Hisma. Air itu tetap berada di bumi selama empat puluh tahun setelah peristiwa Air Bah, dan kemudian menghilang.
Dengan adanya perintah Ilahi ini, bumi kembali tenang, banjir mulai surut, dan tanah kering kembali bersinar di bawah cahaya matahari. Banjir telah membersihkan bumi dari orang-orang kafir dan orang musyrik. Nabi Nuh melepaskan burung-burung, dan ketukan nadi bumi ini mulai menghantar. Setelah itu, turunlah orang-orang mukmin. Nabi Nuh meletakkan dahinya ke atas tanah dalam sujud. Yang selamat menyalakan api dan duduk di sekitarnya. Menyalakan api di dalam bahtera tak diperbolehkan karena akan membakarnya. Tak seorangpun dari mereka makan makanan yang dipanaskan selama berada di atas lantai bahtera itu. Setelah bongkar muatan, ada puasa sehari untuk bersyukur kepada Allah.
Al-Qur'an telah menutup tirai kisah Nabi Nuh, alaihissalam. Kita tak tahu pasti bagaimana kejadian selanjutnya. Yang kita tahu atau bisa kita pastikan, bahwa di ranjang kematiannya, Nabi Nuh meminta anak-anaknya agar hanya menyembah Allah, Nabi Nuh pun wafat. Direkam oleh Ahmad dan at-Thabrani, Abdullah Ibnu Amr Ibnu 'Ash meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ketika kematian Nuh mendekat, ia menegur anak-anaknya, 'Sesungguhnya, aku akan memberi kalian nasihat yang jauh ke depan, mengajak kalian agar mengerjakan dua hal, dan juga memperingatkan kalian agar tak melakukan dua hal. Aku meminta agar kalian mengimani bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa bila tujuh langit dan tujuh bumi diletakkan di satu sisi Mizan, dan kalimat "La ilaha illallah" diletakkan di sisi lain, yang terakhir akan lebih berat dari yang pertama. Aku peringatkan kalian agar tak menyekutukan Allah dan lawanlah keangkuhan.'"
Sang pemikir diam sejenak, lalu berkata, "Wahai anak muda, kita membutuhkan orang yang beraqidah, bukan orang yang berfalsafah. Kita membutuhkan orang-orang yang dapat mengatasi penyakit dan masalah ummat ini, dan para filsuf takkan sanggup mengerjakannya. Sekedar pendapat atau opini, secara emosional hanyalah kesuraman dan tak bersemangat. Jika pendapatnya terbukti benar, ia hanya senyum kecut, dan jika pendapatnya terbukti salah, tak masalah, karena ia telah mempersiapkan tindakan pencegahan untuk mencatat bahwa pendapatnya mungkin saja salah, walau ia yakin benar, dan pendapat orang lain, yang menurutnya salah, mungkin benar adanya.
Tetapi, orang yang beraqidah, hangat dan antusias, dan tak merasa puas kecuali bila aqidahnya sempurna. Orang yang berfalsafah, dapat dengan mudah mengubah pikirannya dan menganut gagasan baru, karena ia hanya mengikuti bukti, atau kepentingannya sendiri saat semuanya muncul dalam bentuk bukti. Orang yang beraqidah, berkeyakinan pasti dan tetap; tak ada keraguan bagnya dan ia tak sekedar berspekulasi. Aqidahnya benar dan tak berubah, dan di hari esok, masih akan tetap benar. Ia tak lagi bergantung pada bukti-bukti. Baginya, tak ada keraguan dan dugaan.
Opini belaka ibarat bangkai; yang tak bernyawa kecuali jika dihembuskan dengan ruh aqidah. Opini belaka bagai gua yang gelap, yang tetap gelap kecuali aqidah menyinarkan sinar ke dalamnya. Opini belaka bagai genangan air, dimana nyamuk-nyamuk bertelur. Di sisi lain, aqidah itu laksana samudera raya dimana serangga-serangga yang tak penting, takkan bisa berkembang-biak. Opini belaka bagai nebula yang tak berbentuk, sementara aqidah laksana bintang gemerlap. Opini belaka menimbulkan masalah dan hambatan, mementingkan hasrat ragawi, menimbulkan keraguan dan menumbuhkan keseganan, sementara aqidah, tak pedulikan bahaya, menyebabkan pegunungan bergetar, mengubah catatan sejarah, menghapus keraguan dan keseganan, dan menimbulkan kekuatan dan kepastian; ia tak mementingkan apapun kecuali pencapaian tujuan jiwa ini. Wallahu a'lam."
(Bagian 1)"Allah, tiada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar." - [QS.2:255]
Referensi :
- Ibn Kathiir, Stories of The Prophets, Darussalam
- The History of at-Tabari, Volume I, General Introduction and From the Creation to the Flood, translated by Franz Rosenthal, SUNY Press.
- 'Umar S. al-Ashqar, Belief in Allah - In the Light of the Qur'an and Sunnah, IIPH