Jumat, 27 April 2018

Hujan Batu Kerikil (1)

Sang pemikir berkata, "Wahai anak muda, waspadalah terhadap hal-hal yang akan mengalihkanmu kepada sesuatu yang tak terampunkan. Engkau hanya disibukkan dengan sesuatu yang lain. Jika pengalihan ini disengaja, maka engkau akan mengabaikan ibadah yang diwajibkan kepadamu, dan jika itu tak disengaja, dengan rahmat-Nya, pelakunya dapat dimaafkan dan dianggap sebagai suatu bentuk kealpaan. Jiwa dapat tergoda dan raga ini mudah disalahgunakan, dan karenanya, mereka dipersatukan. Itulah mengapa Allah berfirman dalam Surah At-Takatsur [ 102]: 1-8, "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu)."

Atas otoritas Ibnu 'Abbas, radiallahu anhu, penjelasan tentang penafsiran firman Allah ini, 'Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,' menurutnya: 'Saling bersaing dalam hal status dan garis keturunanmu telah mengalihkan perhatianmu. 'Sampai kamu masuk ke dalam kubur,' ini karena Bani Sahm dan Bani Abdul Manaf saling bersaing tentang suku mana yang terbaik, seperti jumlah penduduknya, dan menemukan bahwa Bani Abdul Manaf lebih banyak jumlahnya. Banu Sahm mengatakan pada saat itu, "Kami berakar dari ketidakadilan di zaman penyembah berhala; hitunglah yang masih hidup dan yang telah mati dari kaum kami, dan orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati dari kaum kalian.' Ketika mereka melakukannya, mereka menemukan bahwa Bani Sahm lebih banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ayat-ayat ini diwahyukan. Membangga-banggakan status dan garis keturunan akan mengalihkan perhatianmu sampai engkau mengunjungi kuburan untuk menghitung orang mati; Dikatakan juga bahwa ini berarti: bertambahnya harta dan anak-anak mengalihkan perhatianmu sampai engkau mati dan dimasukkan ke dalam liang lahat.
'Sekali-kali tidak'; ini adalah balasan dan ancaman bagi mereka. 'Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)', maksudnya apa yang akan engkau alami di alam kubur!
'kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu),' maksudnya, engkau akan tahu, apa yang akan dilakukan terhadapmu pada Hari Kiamat, dengan pengetahuan yang pasti! Apa yang engkau banggakan dalam kehidupan dunia ini. Kemudian, pada hari itu, pada Hari Kiamat, engkau akan ditanya tentang kenikmatan, engkau akan ditanya, bersyukurkah engkau atas semua karunia yang engkau nikmati ini, makanan, minuman, pakaian, dll .

Seorang pekerja menggunakan tubuhnya untuk bekerja, namun qalbunya tak terlalaikan oleh aktivitasnya itu. Allah tak menyebutkan secara umum objek dari persaingan mereka. Tak ada persaingan diantara hamba-hamba-Nya kecuali dalam menaati Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), dan segala hal yang akan berguna baginya pada Hari Dibangkitkan, harus termasuk dalam persaingan ini. Persaingan juga bisa berupa uang, kekuasaan, jabatan, wanita, ucapan, atau ilmu. Hal ini terutama berlaku bila orang tersebut membutuhkan objek ini. Ini bisa mencakup hal-hal yang tak perlu, bagaikan buku yang berjilid-jilid dan pertanyaan yang tak perlu dan cabang-cabangnya. Persaingan itu mencul ketika manusia berusaha memperoleh lebih dari yang lain, dan ini tak terkecuali jika itu untuk sesuatu yang akan mendekatkan diri kepada Allah. Persaingan termasuk bersaing dalam melakukan perbuatan baik. Muslim mencatat bahwa Abdullah bin Asy-Syikhkhir, radiallahu anhu, meriwayatkan, 'Aku datang ke Rasulullah (ﷺ) saat ia sedang mengucapkan surah, 'Kamu telah diperlalaikan oleh bermegah-megahan....' Ia (ﷺ) berkata, 'Anak-anak Adam menggugat, 'Hartaku, hartaku.' Dan ia (ﷺ) bersabda, 'Wahai anak Adam! Adakah sesuatu itu yang benar-benar menjadi milikmu, kecuali apa yang engkau makan, yang engkau pergunakan, atau yang engkau kenakan, dan kemudian menjadi usang atau engkau berikan sebagai sedekah dan memindahkannya untuk dirimu sendiri?" 

Sang pemikir berhenti sejenak, ia mengernyitkan kening seakan mengingat sesuatu. Lalu ia berkata, "Wahai anak muda, ketahuilah bahwa kaum 'Aad binasa disebabkan oleh Hasib, hujan batu kerikil. Allah mengadzab mereka karena kepongahannya." Sang musafir bertanya, "Apa yang terjadi dengan kaum 'Aad?" Sang pemikir berkata, "Kita sebelumnya telah membicarakan tentang apa yang terjadi terhadap kaum Nabi Nuh, alaihissalam. Setelah Nabi Nuh wafat, anak-anaknya mendiami bumi ini dimana mereka berbaring. Terdapat kaum yang menjadi penindas dan durhaka kepada  Allah dan Nabi Nuh.. Allah mengirim utusan kepada mereka, tetapi , mereka tak beriman, dan mereka tetap bertahan dalam kelalaian mereka, maka Allah membinasakan mereka. Itulah dua kaum yang diturunkan dari Iram bin Sam bin Nuh, salah satunya adalah 'Aad bin Aush bin Iram bin Sam bin Nuh, yang juga disebut 'Aad, dan selanjutnya adalah Tsamud bin Abir bin Iram bin Sam bin Nuh, mereka adalah orang Arab Aribah." Sang musafir bertanya, "Apa orang Arab Aribah itu?' Sang pemikir berkata, "Dalam kitab Sahih lbnu Hibban dari Abu Dzar yang berhubungan dengan sebuah hadis yang sangat panjang tentang Para Nabi dan Rasul. Dalam hadits tersebut, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Di antara mereka ada empat nabi yang berasal dari orang Arab (yaitu): Hud, Salih, Syu'aib dan Nabi-mu, wahai Abu Dzar."
Orang-orang Arab yang ada sebelum Nabi Ismail, alaihissalam, diberi nama Arab Aribah. Mereka terdiri dari berbagai suku, termasuk: 'Aad, Tsamud, Jurhum, Tsams, Yudais, Amim, Madin,' Umlaq, 'Abid, Jasim, Qahtan, Bani Yaqthan, dan seterusnya. Sementara orang Arab Musta'ribah adalah keturunan Ismail bin Ibrahim al-Khalil. Nabi Ismail adalah orang bukan-Arab pertama yang fasih berbahasa Arab. Nabi Ismail belajar bahasa Arab dari suku Jurhum yang berhenti di tempat ibunya saat mereka akan bermigrasi. Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengajarkan kepadanya bahasa Arab dalam kefasihan dan kejernihan seperti bahasa yang diucapkan oleh Rasulullah (ﷺ).

Menurut Ibnu Katsir, kaum 'Aad tinggal bertahun-tahun di daerah perbukitan yang berangin di antara Yaman dan Oman. Mereka tumbuh dengan baik secara fisik dan terkenal karena keahlian mereka terutama dalam hal pembangunan gedung-gedung tinggi dengan menara-menara tinggi. Mereka bangsa yang luar biasa diantara segala bangsa, yang memiliki kekuasaan dan kekayaan, yang sayangnya, membuat mereka sombong dan congkak. Kekuatan politik mereka berada di tangan penguasa yang tak adil, siapun tak ada yang berani menghardiknya. Mereka mengetahui keberadaan Allah, dan mereka juga menyembah-Nya. Namun mereka tak mau hanya menyembah Allah. Mereka menyembah tuhan yang lain, juga, termasuk berhala. Inilah dosa besar yang takkan diampuni Allah.
Menurut At-Tabari, Allah mengutus Hud bin 'Abdallah bin Ribah bin al-Khalud bin 'Ad bin Aush bin Iram bin Sam bin Nuh, kepada mereka. Ada genealog mengklaim bahwa Nabi Hud, alaihissalam, adalah Eber bin Selah bin Arpakhsyah bin Sam bin Nuh. Kaum Aad menyembah tiga berhala, yang satu disebut Sada, yang lain disebut Samud, dan satunya lagi, al-Haba.'

Nabi Hud, alaihissalam, mengutuk penyembahan berhala itu dan menegur kaumnya. "Wahai kaum-Ku, apa gunanya batu-batu yang kalian ukir dengan tanganmu ini, lalu kalian sembah? Sesungguhnya, inilah penghinaan terhadap akal-budi. Hanya ada satu tuhan yang patut disembah dan Dialah Allah. Sembahlah Dia dan hanya Dia saja, itu wajib bagimu. Dia menciptakanmu, Dia menyediakan segala sesuatu untukmu dan Dialah tempat kembalimu. Dia memberimu fisik yang indah dan memberkahimu dalam banyak hal. Maka berimanlah kepada-Nya dan janganlah buta terhadap nikmat-Nya, atau nasib yang sama, yang menghancurkan kaum Nuh, akan menyusulmu." Dengan pertimbangan seperti itu, Nabi Hud berharap menanamkan iman kepada mereka, namun mereka menolak menerima risalahnya. Kaumnya bertanya kepadanya, "Inginkah engkau menjadi pemimpin dengan seruanmu itu? Bayaran apa yang engkau inginkan?" Nabi Hud berusaha menjelaskan kepada mereka agar memahami bahwa ia akan menerima pahala dari Allah; ia, alaihissalam, tak menuntut apapun dari mereka kecuali bahwa mereka membiarkan cahaya kebenaran menyentuh akal dan qalbu mereka.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surah Hud [11]: 50-52, "Dan kepada kaum ‘Aad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Ia berkata, 'Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada. Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?' Dan (Hud berkata), 'Wahai kaumku! Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras, Dia akan menambahkan kekuatan di atas kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling menjadi orang yang berdosa.'
(Bagian 2)