Senin, 30 April 2018

Hujan Batu Kerikil (2)

Nabi Hud, alaihissalam, menjelaskan bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah akan menjadi penyebab kehancuran mereka, bahwa hanya Allah-lah Yang bisa menyelamatkan manusia, dan bahwa tiada kekuatan lain di bumi yang dapat menguntungkan atau mengancam yang lain. Perselisihan antara Nabi Hud dan kaumnya terus berlanjut. Tahun-tahun berlalu, dan mereka bertambah congkak dan keras kepala, dan lebih menindas serta menentang risalah nabi mereka. Selanjutnya, mereka mulai menuduh Nabi Hud sebagai orang gila. Suatu hari mereka berkata kepadanya, "Kami sekarang mengerti rahasia kegilaanmu, engkau telah menghina tuhan-tuhan kami dan mereka menyakitimu, karenanya engkau menjadi gila."
Allah berfirman dalam Surah Hud [11]:53-57, "Mereka (kaum ‘Aad) berkata, 'Wahai Hud! Engkau tidak mendatangkan suatu bukti yang nyata kepada kami, dan kami tidak akan meninggalkan sesembahan kami karena perkataanmu dan kami tidak akan mempercayaimu, kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.' Ia (Hud) menjawab, 'Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah bahwa aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dengan yang lain, sebab itu jalankanlah semua tipu dayamu terhadapku dan jangan kamu tunda lagi. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak satu pun makhluk bergerak yang bernyawa melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya). Sungguh, Tuhanku di jalan yang lurus (adil). Maka jika kamu berpaling, maka sungguh, aku telah menyampaikan kepadamu apa yang menjadi tugasku sebagai rasul kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tidak dapat mendatangkan mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pemelihara segala sesuatu.'"

Kemudian, Nabi Hud membiarkan mereka dan tuhan-tuhan mereka, serta menegaskan ketergantungannya pada Allah yang telah menciptakan dirinya. Nabi Hud menyadari bahwa adzab akan ditimpakan pada orang-orang yang tak beriman di antara kaumnya. Inilah salah satu hukum kehidupan. Allah, mengadzab orang-orang yang tak beriman, tak peduli betapa kaya, tiran atau hebatnya mereka. Nabi Hud dan pengikutnya menunggu janji Allah. Kekeringan menyebar ke seluruh daratan, karena langit tak lagi mau menurunkan hujannya. Matahari membakar pasir gurun kering, tampak laksana cakram api yang hinggap di kepala. Allah menahan hujan selama tiga tahun, dan mereka mulai menderita karenanya.
Kaum Nabi Hud bergegas menemuinya dan bertanya, "Kekeringan apa itu Hud?" Nabi Hud menjawab, "Allah murka kepada kalian, jika kalian beriman kepada-Nya, Dia akan menerimamu dan hujan akan turun, serta kekuatan kalian akan bertambah." Mereka mengejeknya dan bahkan lebih keras kepala, berucap kasar dan mempertahankan sikap durhaka mereka. Kekeringan semakin menjadi, pepohonan menguning, dan tanaman pun mati. Suatu hari tiba, ketika mereka melihat langit yang penuh dengan awan. Kaum Nabi Hud bergembira saat mereka keluar dari kemah sambil berteriak, "Awan, yang akan memberi kami hujan!" Seketika, cuaca berubah, dari panas yang kering dan membakar, menjadi dingin yang menyengat, disertai angin yang mengguncang segalanya; pepohonan, tanaman, kemah-kemah, lelaki dan wanita.
Angin bertambah gemuruh dari hari ke hari dan malam demi malam. Kaum Nabi Hud mulai melarikan diri. Mereka berlari ke kemah untuk bersembunyi, badai malah mengamuk, merobohkan kemah dari pancangnya. Mereka bersembunyi di balik selimut, namun badai seakan geram, dan mencabik-cabik selimut mereka. Badai memangkas pakaian dan kulit mereka. Badai menembus setiap rongga tubuh mereka dan menghancurkannya. Badai liar itu takkan menyentuh apapun sebelum menghancurkan atau membunuh. Menghisap intisarinya hingga terburai dan membusuk. Badai berkecamuk selama delapan hari tujuh malam. Badai tak kunjung berhenti hingga seluruh wilayah itu hancur menjadi puing-puing dan orang-orang jahatnya luluh-lantak, tertelan pasir gurun. Hanya Nabi Hud, alaihissalam, dan pengikutnya tetap tak tersentuh. Mereka pindah ke Hadramaut dan tinggal di sana dengan damai, menyembah Allah, Tuhan sejati mereka."

Sang pemikir berkata, "Wahai anak muda, akibat dari perbuatan dosa adalah terhalangnya kesuksesan, pandangan yang salah, tak adanya kebenaran, rusaknya kalbu, lalai memuliakan Allah, banyak waktu terbuang, ciptaan lain terabaikan, adanya hijab antara hamba dan Tuhannya, doa tak terjawab, sempitnya kalbu, hilangnya berkah dalam kehidupan dan usia, terhalang memperoleh ilmu, terhina, ternista oleh musuh, sesaknya dada, kawan jahat yang akan merusak kalbu dan waktu terbuang, duka dan nestapa, hidup yang serba sukar, dan kekecewaan. Semua itu muncul karena perbuatan dosa dan lalai memuliakan Allah, laksana tanaman yang tumbuh oleh siraman, namun habis terlalap api. Kebalikan dari semua itu, adalah konsekuensi ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Kalimat 'La ilaha illallah' adalah sesuatu yang Allah beli. Harganya adalah surga, dan Rasulullah (ﷺ) adalah pengantarnya, dan engkau akan dengan senang hati berpisah dengan sebagian kecil kehidupan duniawi ini untuk mendapatkannya. Bagian yang hilang darimu adalah bagian terkecil dari sesuatu yang secara keseluruhan tak sebanding dengan sayap nyamuk. Maka, keluarkan dirimu dari dunia penyakit yang terbatas ini, masuklah ke dunia akhirat yang berbeda, yang memiliki apa yang tak pernah terlihat mata. Tiada yang mustahil di sana, dan cinta takkan pernah luntur. Wahai orang-orang yang menjual diri demi sesuatu yang akan menyebabkanmu menderita dan merasa sakit, dan yang juga akan kehilangan keindahannya, engkau menjual barang yang paling berharga dengan harga termurah, seolah-olah engkau tak tahu nilai barang atau kepicikan harganya. Tunggulah sampai tiba hari dimana setiap orang akan saling beradu untung-rugi dan engkau akan menemukan ketidakadilan perjanjian ini.


Wahai anak muda, bersyukurlah atas apapun yang Allah berikan kepadamu dari kehidupan duniawi ini. Berjalan dalam kehidupan duniawi ini, laksana berjalan di atas tanah yang penuh dengan satwa liar, dan airnya yang penuh dengan rombongan buaya. Hal yang menyebabkan suka-cita, berubah menjadi sumber nestapa. Kepedihan ada di tengah kenikmatan, dan kelezatan bersumber dari penderitaan. Bagai seekor burung melihat gandum, demikian juga pandangan seseorang tentang syirik, selagi kesia-siaan membuat penganutnya buta. Nafsu diberikan dalam kelimpahan kepada manusia, namun mereka yang beriman pada yang ghaib akan berpaling darinya, sementara orang-orang yang menuruti hawa nafsunya, akan menyesalinya.
Bila orang-orang sukses menyadari kenyataan kehidupan duniawi ini, mereka akan yakin betapa rendah derajatnya, mereka melepaskan hasrat mereka demi akhirat. Mereka terbangun dari ketidakpedulian untuk mengingat apa yang musuh mereka ambil selama masa kemalasan mereka. Kapan pun mereka melihat perjalanan jauh yang harus mereka jalani, mereka mengingat tujuan mereka, sehingga tampak mudah bagi mereka. Kapanpun saat hidup serasa pahit, mereka mengingat ayat ini, di mana Allah berfirman, dalam surah Al-Anbiya [21]: 103, 'Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.'"

Kemudian sang pemikir berkata, "Wahai anak muda, kembalilah kepada Allah dan carilah Dia melalui mata, telinga, hati, dan lidahmu, dan jangan lupa mencari Dia melalui keempat cara ini. Sesiapa yang mematuhi-Nya, mereka melakukannya dalam empat cara ini, dan sesiapa yang tak melakukannya, juga melakukannya dengan empat cara ini. Yang beruntung adalah mereka yang mendengar, melihat, berucap, dan menyergap saat mencari ridha Allah, dan yang merugi adalah orang yang melakukannya hanya untuk mencari kesenangan dan keinginannya sendiri.
Betapa indahnya mengenal Allah Subhanahu Wa Ta'ala! Namun, bagaimana mungkin seseorang mengenal-Nya tapi tak menyayangi-Nya? Bagaimana mungkin seseorang bisa mendengar pemanggil namun tak mau menjawabnya? Bagaimana mungkin kita bisa mengetahui keuntungan yang bisa didapat dalam berurusan dengan-Nya, tetapi masih lebih memilih yang lain? Bagaimana mungkin seseorang bisa merasakan kepahitan karena tak menaati-Nya, namun tetap menjauhkan diri dari keinginan untuk mematuhi-Nya? Bagaimana mungkin seseorang bisa merasakan peliknya percakapan biasa, namun gagal membuka kalbumu untuk mengingat-Nya? Bagaimana mungkin seseorang bisa disiksa karena bergantung pada yang lain, namun tak bergegas kembali kepada-Nya dalam indahnya taubat?
Mungkin, akan sangat mengejutkan jika mengetahui bahwa selagi engkau membutuhkan Dia, engkau masih enggan bergerak ke arah-Nya, karena engkau menyeru yang lain. Tiada yang dapat memanjakan diri dalam keharaman, kecuali dua alasan, yang pertama tak beriman kepada Allah, terlepas dari kenyataan bahwa jika seseorang mematuhi-Nya, pastilah ia mendapat keuntungan yang terbaik dari hal-hal yang halal. Kedua, mengetahui bahwa siapapun yang mengorbankan apapun karena Allah, pastilah Dia akan memberinya sesuatu yang lebih baik daripada yang telah dikorbankannya itu. Sayangnya, keinginannya yang sia-sia melampaui kesabarannya, dan hasratnya menguasai pikirannya. Orang yang pertama itu, berilmu dangkal, dan orang yang kedua itu, berwawasan sempit.
Orang yang mendekati Allah akan menemukan kebahagiaan sejati. Inilah orang yang sama, yang mengakui bahwa ia bodoh, bahwa amalnya tak sempurna, dan bahwa ia sendiri tak pantas, dan bahwa ia terus-menerus gagal memberikan hak Allah sesuai dengan yang sepantasnya dipersembahkan kepada-Nya. Jika Allah menghukumnya karena dosa-dosanya, ia sadar bahwa itulah keadilan, dan jika orang tersebut berbuat baik, ia akan melihatnya sebagai berkah Allah, dan jika Allah menerimanya, itu rahmat dari-Nya, dan jika Dia tak mengabulkannya, itu karena tak pantas disampaikan kepada-Nya. Jika ia berbuat jahat, ia akan melihat itu sebagai akibat ditinggalkan oleh Allah, dan bahwa Allah telah melepaskan perlindungan untuknya, dan karena ia berbuat dosa, dan inilah keadilan. Ia mengakui kebutuhannya kepada Allah dan tahu bahwa ia tak bisa adil terhadap dirinya sendiri. Jika Allah mengampuninya, itu karena nikmat dari-Nya. Seluruh masalah bergantung pada melihat Allah sebagai Yang Maha Baik dan melihat dirinya sebagai pendosa dan lalim. Ketika sesuatu menyenangkannya, ia melihatnya sebagai pertolongan dari Allah dan bahwa Dialah yang memberikan itu kepadanya, dan setiap kali ada sesuatu yang tak menyenangkannya, ia tahu bahwa itu karena dosanya, dan bahwa Allah berlaku adil padanya dalam segala hal.
Saat rumah para pencinta hancur, mereka memohon kepada Allah agar penghuninya bisa kembali dan menemukan kedamaian serta kebaikan. Bila seseorang yang mencintai Allah telah menetap di bawah debu selama bertahun-tahun, ia akan teringat pada ketaatannya kepada Allah dalam kehidupan duniawi ini, dan akan menemukan kebaikan yang dihasilkannya. Wallahu a'lam."
"Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, namun tak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka bagai hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah." - [QS.7:179]
(Bagian 1)
Referensi :
- Ibn Kathir, Stories of the Prophet, Darussalam
- The History of Al-Tabari Volume II : Prophets and Patriarchs, translated and annotated by William M. Brinner, SUNY Press
- Ibn Al-Qayyim, Al-Fawaid, Umm Al-Qura