Jumat, 25 Mei 2018

Ketika yang Salah Dibenarkan (1)

Kemudian, sang prajurit pun berkata, "Wahai anak muda, untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, merupakan tugas yang sangat penting dan misi para Nabi, alaihimussalam, untuk menunaikan tanggung jawab ini. Bila tak ada nabi lagi yang hidup, tugas itu jatuh ke pundak para 'Ulama. Oleh karenanya, Al-Qur'an dan Hadis, sangat menekankan pada tugas ini, menjanjikan pahala yang banyak bagi mereka yang menjalankannya, dan memperingatkan agar tak menyianyiakan atau mengabaikannya. Al-Qur'an mengisahkan peran 'Ulama dalam kisah Ashabus-Sabat." Sang musafir muda berkata, "Sampaikanlah padaku tentangnya!" Sang prajurit berkata, "Beberapa waktu setelah zaman Nabi Musa, alaihissalam, sekelompok Bani Israil pindah menetap di pantai Laut Merah. Di sana, mereka mencari nafkah dengan menangkap ikan yang ada di sana, dan menjualnya. Mereka menangkap ikan selama enam hari dalam seminggu dan pada hari ketujuh, hari Sabtu atau hari Sabat, mereka menghabiskan hari itu untuk menyembah Allah.
Sebenarnya, Nabi Ibrahim, alaihissalam, telah menetapkan satu hari tertentu dalam seminggu, khususnya untuk menyembah Allah dalam tujuh hari, ia, alaihissalam, menetapkan hari Jumat. Selama masa Nabi Musa, alaihissalam, Bani Israil, dengan sifat keras-kepala mereka, menuntut bahwa hari untuk ibadah itu, harus diubah menjadi hari Sabtu. Mereka bersikeras, dan akhirnya, Allah berfirman kepada Nabi Musa, alaihissalam, melalui wahyu bahwa Dia, Subhanahu wa Ta'ala, telah mengabulkan permintaan mereka dan hari Sabtu menjadi hari beribadah. Oleh karenanya, mereka sekarang harus menghormati dan menghargai hari yang ditetapkan itu, serta juga, harus menjaga kesuciannya. Selanjutnya, akan terlarang bagi mereka, aktivitas jual-beli, menggarap lahan, berdagang dan berburu pada hari yang disucikan itu."

Sang musafir muda bertanya, "Lalu, bagaimana dengan para nelayan Bani Israil itu?" Sang prajurit berkata, "Selama enam hari itu, ikan sulit didapat karena bersembunyi, dan pada hari ketujuh, ikan-ikan itu nampak berenang bebas. Dengan cara inilah, Allah menguji Bani Israil itu, juga menguji kekuatan iman mereka, serta ketaatan mereka. Bahkan, semakin sulit mendapatkan ikan pada enam hari biasa, sebaliknya, pada hari ketujuh, ikan-ikan semakin banyak terlihat.
Selama beberapa hari, para nelayan Bani Israil ini bisa bersabar, melihat-lihat keadaan. Namun segera, beberapa dari mereka merasa tak tahan lagi dan mulai berencana untuk menghindari larangan memancing pada hari Sabat. Beberapa orang dari mereka menggali lubang besar di dekat laut dan juga membuat saluran yang mengarah ke lubang-lubang ini. Ini dilakukan pada hari Jumat dan ketika ikan muncul pada hari Sabat, dengan naiknya air laut, maka akan mencapai lubang-lubang itu melalui saluran-saluran yang dibuat. Dengan cara itu, ikan-ikan masuk ke lubang, yang kemudian akan dikeluarkan keesokan harinya, yakni pada hari Minggu.

Ada di antara mereka bahkan menebarkan jaring dan kail mereka ke dalam air. Mula-mula ikan akan terjaring dan kemudian dikeluarkan pada hari Minggu setelah hari Sabat berakhir. Mereka cukup puas dengan rencana ini. Ketika 'Ulama mereka, orang-orang shalih dan selalu takut kepada Alllah, melarang mereka melakukan perbuatan ini, mereka hanya mengatakan bahwa Allah melarang memancing pada hari Sabat dan bahwa mereka tak sedang memancing pada hari itu melainkan pada hari Minggu. Walau qalbu dan benak mereka berbisik bahwa itu salah, namun karena sifat bajingan mereka, berkata pada diri sendiri bahwa rencana ini baik-baik saja dengan Allah.
Pada kenyataannya, mereka sebenarnya tak bertindak sesuai syari'at. Inilah rencana tipuan yang dirancang agar mengelabui perintah Allah. Inilah rencana penipuan dan kecurangan yang dengan sendirinya akan menyesatkan mereka, juga menyesatkan orang lain. Yang lainnya, mengikuti mereka dan begitulah yang terjadi, kelompok yang lebih besar, berbuat melawan syari'at hari Sabat. Melihat hal ini, sekelompok jiwa yang takut akan Rabb-nya, memberanikan diri dan berusaha sekuat tenaga agar mereka berhenti dengan tindakan-tindakan ini. Namun mereka tak mengindahkan. Kemudian kelompok ini terbagi menjadi dua kelompok, satu kelompok berpendapat bahwa tak ada gunanya berusaha menghentikan mereka. Mereka tak mau mendengarkan. Jika mereka menganggap itu dosa, masih ada kesempatan untuk meluruskan mereka. Namun melihat tanda-tanda bahwa mereka menjadikan sesuatu yang terlarang menjadi sesuatu yang halal, dapat dipastikan bahwa azab Allah akan mendekat.

Kelompok lain, merasa bahwa kewajiban merekalah menasihati orang yang berbuat mungkar agar berhenti melakukannya. Namun mereka tak menghiraukan dan kelompok ini masih tak kehilangan harapan sama sekali. Masih ada kemungkinan bahwa mereka akan menerima pertolongan Allah dan mengakhiri perbuatan buruk mereka. Al-Qur'an merekam percakapan mereka dalam surat an-Nisa [7], ayat 164, Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertakwa.”
Mereka yang melanggar kesucian hari Sabat melalui rencana penipuan mereka, terus melakukannya, tak mengindahkan kata-kata nasihat yang diberikan kepada mereka. Awalnya, Allah memberi mereka kesempatan untuk memperbaiki jalan mereka, namun akhirnya hukuman Allah turun atas mereka. Dengan cara yang sama, yang mereka lakukan melalui rencana mereka yang mengubah perintah Allah, maka Dia, Subhanahu wa Ta'ala, mengubah pula tampilan lahiriah mereka dan hanya dengan perintah sederhana, "Kun" Maka berubahlah mereka menjadi qirada, yakni kera. Seketika itu pula, hilanglah kehormatan mereka sebagai manusia, menjadi teguran dan pelajaran serta peringatan bagi para kaum setelahnya.

Ketika kelompok yang selalu mendakwahkan mereka agar berhenti dari perbuatan yang dilarang itu, melihat bahwa orang yang keras kepala dan tidak taat, tak mau menghentikan perbuatan mereka, merekapun lalu memutus hubungan dengan mereka, menghentikan semua kontak sosial dengan mereka, seperti makan dan minum bersama mereka, dan menjauh, menutup pintu mereka untuk menghindari segala jenis kontak dengan mereka. Maka ketika azab Allah dijatuhkan pada mereka, kelompok ini selama beberapa jam, tak mengetahuinya. Namun setelah beberapa lama mereka tak melihatnya, kelompok inipun keluar mencari khabar, dan bukannya menemukan manusia, mereka menemukan kera. Mereka berkata kepada mereka, ''Tidakkah telah kami peringatkan kalian tentang hukuman yang mengerikan ini? " Layaknya binatang, mereka menganggukkan kepala, mengakui, seraya air mata mengalir dari mata mereka dalam kesedihan. Mayoritas 'Ulama meyakini bahwa transformasi ini, nyata secara fisik. Transformasi itu membawa perubahan-perubahan dalam tubuh dan pembawaan mereka, sehingga mereka takkan dapat bertahan hidup dan mati segera."
Sang musafir bertanya, "Aku ingin tahu, berasal dari manusiakah, kera yang sekarang ini?" Sang prajurit berkata, "Ada sebuah hadits dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad, seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) pertanyaan yang mirip denganmu, dan Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Sesungguhnya, Allah tak menyebabkan ras orang-orang yang menderita transformasi itu, berkembang, atau mereka tak dapat bertahan hidup lama. Kera dan babi telah ada sebelumnya.'" Wallahu a'lam."
Sang prajurit lalu berkata, "Wahai anak muda, apapun malapetaka dan penderitaan yang telah menimpa, dalam hal kekayaan atau keamanan, bagi individu ataupun masyarakat, itu karena dosa-dosa mereka dan mereka telah mengabaikan perintah Allah dan hukum-hukum yang ditentukan, dan mereka mencari pembenaran di antara masyarakat selain dari yang ditentukan oleh hukum Allah, Dialah Yang menciptakan semua ciptaan dan lebih Penyayang dibanding ayah dan ibu mereka, dan Dia-lah yang tahu lebih baik dari diri mereka sendiri, apa yang paling bermanfaat bagi mereka. Kejahatan apa pun yang menimpa kita, baik itu kelaparan ataupun ketakutan, atau apapun yang menyebabkan bahaya, maka itu karena diri kita sendiri, kitalah orang-orang yang telah menganiaya diri kita sendiri dan membawa diri pada kehancuran. Banyak orang mengaitkan malapetaka yang menimpa mereka, baik yang berkaitan dengan kekayaan dan ekonomi, atau keamanan dan urusan politik semata-mata penyebab materialistis, hingga penyebab politik, alasan ekonomi, atau masalah karena keterbatasan. Ada beberapa orang yang meragukan dan berusaha untuk menimbulkan keraguan bahwa dosa adalah penyebab malapetaka, seperti kaum Nabi Luth."

Sang musafir muda berkata, "Sampaikan padaku tentang kaum Nabi Luth!" Sang prajurit berkata, "Aku akan memulai kisahnya ketika Allah mengutus malaikat Jibril bersama dua malaikat lainnya, Mikail dan Israfil, alaihimussalam. Mereka tiba, berjalan, dalam rupa lelaki muda. Para malaikat itu diperintahkan agar mengunjungi Nabi Ibrahim, alaihissalam, dan memberitakan padanya Sarah tentang kelahiran Nabi Ishak dan juga Nabi Yakub, alahimussalam, yang akan datang setelahnya. Ketika para malaikat itu mengunjungi Nabi Ibrahim, tak ada satupun tamu yang mengunjungi Nabi Ibrahim  selama dua minggu, dan hal itu tak tertahankan baginya. Nabi Ibrahim sering menjamu siapapun yang datang mengunjunginya, karena Allah telah memberinya kemakmuran dan memberinya rezeki, kekayaan, dan hamba, yang berlimpah. Maka ketika ia melihat para malaikat itu, ia bersukacita. Ia memperhatikan tamunya itu, yang memiliki kebaikan dan keindahan lebih dibanding tetamu yang pernah ia terima sebelumnya, dan ia berkata, "Tak seorang pun kecuali aku sendiri yang akan melayani orang-orang ini, dengan tanganku sendiri." Para malaikat menyapa, "Salaman!" Nabi Ibrahim menjawab, "Salamun!" Maka, iapun bergegas mendatangi pelayan-pelayan rumahnya dan membawa daging anak lembu tambun yang telah ia panggang hingga matang, menawarkannya kepada mereka, namun mereka tak menjangkaunya untuk dimakan. Ketika melihat ini, Nabi Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka dan merasa takut terhadap mereka, karena mereka tak memakan makanannya. Mereka berkata, "Jangan takut! Kami diutus untuk kaum Luth." Sarah berdiri di dekatnya, dan ketika ia mendengar perintah Allah itu, ia tertawa, ia mengetahui tentang kaum Luth. Kemudian mereka mengabarkan tentang kelahiran Nabi Ishak dan, setelah Nabi Ishak, Nabi Yakub, alaihimussalam, mereka mengabarkan bahwa ia akan punya putra dan cucu. Sarah menepis wajahnya, terkejut dan berkata, "Celaka aku! Bagaimana bisa aku punya anak, sedangkan aku seorang perempuan tua yang mandul?" Sarah berusia sembilan puluh tahun pada saat itu dan Nabi Ibrahim berumur seratus dua puluh tahun. Ketika rasa takut Nabi Ibrahim mereda, dan mendengar berita tentang Nabi Ishak dan Yakub, alaihimussalam, serta keturunannya melalui Nabi Ishak, ketakutannya menguap dan ia merasa aman. Ia berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah mengabulkan, meski aku telah berusia, Ismail dan Ishak. Sesungguhnya Rabb-ku, Dialah Yang mendengarkan doa!"

Para malaikat itu lalu berkata kepadanya, "Kami akan menghancurkan penduduk kota itu, karena mereka orang-orang yang zhalim." Nabi Ibrahim berkata kepada mereka, "Menurut kalian, adakah lima puluh orang mukmin di antara penduduk Sodom?" Mereka berkata, "Jika ada lima puluh di antara mereka, kami takkan mengazab mereka." Ia berkata, "Dan empat puluh?" Mereka berkata, "Atau jika ada empat puluh." Ia berkata, "Dan tiga puluh?" Mereka berkata, "Atau jika ada tiga puluh." Sampai ia mencapai sepuluh, dan mereka berkata, "Dan bahkan jika ada sepuluh." Ia berkata, "Tiadakah kaum yang tak memiliki sepuluh orang mukmin di dalamnya." Ketika para malaikat memberi tahu Nabi Ibrahim tentang keadaan kaum Nabi Luth, ia berkata kepada mereka, "Luth ada di sana." Dan para utusan berkata, “Kami paling tahu siapa yang ada di sana. Kami hendak membawanya dan keluarganya, semua kecuali istrinya, yang akan ditinggalkan.“

Sang musafir muda bertanya, "Lalu, siapakah Luth?" Sang prajurit berkata, "Luth bin Haran bin Tarih, adalah putera saudara lelaki Nabi Ibrahim. Ia juga seorang nabi. Nabi Luth, alaihissalam, berkelana dari tanah Babilonia bersama paman dari pihak ayahnya, Nabi Ibrahim, Al-Khalil, mempercayai dan mengikuti agamanya. Mereka pergi ke Suriah sebagai buronan, dan ikut pula bersama mereka, Sarah binti Nahor. Ayah Nabi Ibrahim, Tarih, ikut bersama mereka, masih menentang agama Nabi Ibrahim dan tetap tak beriman. Ketika mereka sampai di Haran, Tarih meninggal, dalam keadaan tak beriman. Nabi Ibrahim, Nabi Luth, alaihimussalam, dan Sarah, pergi ke Syria dan kemudian ke Mesir, yang diperintah oleh seorang Firaun. Disebutkan bahwa Fir'aun ini adalah Sinan bin 'Alwan bin Ubaid bin 'Uwayj bin 'Imlaq bin Lud bin Sam bin Nuh. Juga dikatakan bahwa ia adalah saudara ad-Dahhak, yang telah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir.
Sarah adalah salah seorang manusia terbaik yang pernah ada. Ia tak pernah mengkhianati Nabi Ibrahim dengan cara apa pun, sehingga Allah memuliakannya. Ketika kebaikan dan kecantikannya sampai kepada Firaun, ia mengirim pesan kepada Nabi Ibrahim, bertanya, "Siapakah wanita yang bersamamu itu?" Ia menjawab, "Ia adalah saudariku." Ia khawatir, jika Firaun mengetahui bahwa Sarah adalah istrinya, ia akan membunuhnya agar dapat memilikinya. Firaun berkata kepada Nabi Ibrahim, "Dandanilah dan utuslah kepadaku agar aku bisa melihatnya."  Nabi Ibrahim pulang menemui Sarah dan berkata, "Raja tiran ini bertanya padaku tentangmu, dan aku mengatakan bahwa engkau adalah adikku. Jadi jangan beritahu apapun saat engkau bertemu dengannya. Engkau adalah saudariku seiman, karena di seluruh negeri ini, tak ada lagi Muslim selain kita."
Nabi Ibrahim membawa Sarah ke raja tiran itu, kemudian shalat. Ketika Sarah berhadapan dengan sang tiran, raja itu hendak menyentuhnya, namun tiba-tiba ia menjadi lumpuh. Ia berkata, "Berdoalah kepada Tuhanmu dan aku takkan menyakitimu." Maka, Sarahpun berdoa, dan sang tiran kembali dapat bergerak. Kemudian, sang tiran mengulurkan tangannya lagi, dan sekali lagi, ia lumpuh. Dan ia berkata, "Berdoalah kepada Tuhanmu dan aku takkan menyakitimu." Sarah kembali berdoa, dan sang tiran dapat bergerak lagi. Kemudian ia melakukan hal yang sama lagi, dan sekali lagi ia lumpuh. Dan ia meminta Sarah agar berdoa lagi dan iapun dapat bergerak lagi. Sang tiran kemudian memanggil pengurus rumah-tangga raja dan berkata, "Kamu tak membawakan manusia, kamu membawakan setan. Bawa ia pergi dan berikan Hajar padanya." Sarah dibawa keluar dan diberi Hajar, dan iapun turut bersamanya. Ketika Nabi Ibrahim melihat Sarah pulang, ia menyela shalatnya dan berkata, "Ada apa?" Sarah menjawab, "Allah telah melindungiku dari orang yang tak beriman dan telah memberiku Hajar sebagai sahaya." Hajar adalah puteri seorang raja yang ditawan oleh Firaun. Ia seorang wanita yang berpenampilan baik dan Sarah memberikannya kepada Nabi Ibrahim seraya berkata, "Aku menganggapnya wanita yang suci, maka ambillah ia. Mungkin Allah akan memberimu seorang putra darinya." Karena Sarah mandul dan sudah tua tanpa memiliki putra bagi Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim telah berdoa memohon kepada Allah agar memberinya seorang putra yang shalih, namun doanya belum terjawab hingga ia  tua dan Sarah mandul. Kelak, Hajar melahirkan Nabi Ismail, alaihissalam.

Nabi Ibrahim, Nabi Luth, dan Sarah kembali ke Suriah. Nabi Ibrahim menetap di Palestina dan menempatkan Nabi Luth, keponakannya, di Yordania, dan bahwa Allah mengutus Nabi Luth kepada kaum Sodom. Penduduk kota Sodom adalah orang-orang kafir, dan juga tak bermoral, seperti firman Allah dalam Al-Qur'an, Surah Al-Ankabut [29], ayat 28-29, "Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, 'Kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu. Pantaskah kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan melakukan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?' Maka jawaban kaumnya tak lain hanya mengatakan, 'Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.'
Nabi Luth mengajak mereka menyembah Allah. Dengan perintah Allah, ia berusaha mencegah mereka melakukan hal-hal yang tak disukai Allah seperti perampokan, berbuat cabul, dan memasuki lelaki melalui duburnya. Karena mereka terus melakukan perbuatan itu dan menolak bertobat, Nabi Luth menyampaikan ancaman malapetaka yang menyakitkan terhadap kaumnya itu. Namun ancamannya tak menyadarkan mereka, dan nasihatnya hanya menambah sifat keras-hati, kekurangajaran, dan menantang azab Allah. Mereka menolak tegurannya, berkata kepadanya, 'Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.' Akhirnya, Nabi Luth memohon pertolongan Rabb-nya, karena masalah itu terus berlanjut, mereka terus-menerus berbuat zhalim. Kemudian Allah mengutus malaikat Jibril, alaihissalam, dan dua malaikat lainnya, mereka datang dalam rupa lelaki muda.
Setelah menemui Nabi Ibrahim, kemudian para malaikat itu bergerak ke arah Sodom, kota kaum Nabi Luth. Ketika sampai di sana, mereka bertemu dengan putri Nabi Luth yang sedang menimba air.
[Bagian 1]