Selasa, 15 Mei 2018

Manusia dan Semesta (2)

Sang pematri melanjutkan, “Saat usia Nabi Adam, alaihissalam, telah melampaui seratus tiga puluh tahun — yaitu, lima tahun setelah Qabil membunuh Habil — Hawa 'melahirkan Nabi Syith dan saudarinya, Hazurah. Saat Hawa' melahirkannya, malaikat Jibril, alaihissalam, berkata kepadanya, "Inilah pemberian Allah untuk menggantikan Habil. Nama Syith adalah bahasa Arab, Syath dalam bahasa Syria Kuno, dan Shith dalam bahasa Ibrani. Ia adalah pewaris Nabi Adam. Ketika ajal Nabi Adam telah mendekat, ia memanggil putranya, Syith, dan menunjuknya sebagai penerus. Nabi Adam mengajarkan padanya tentang waktu-waktu malam dan siang dan menunjukkan bagaimana setiap makhluk harus beribadah di setiap waktu. Ia memberitahu pula bahwa di setiap waktu, ada jenis makhluk tertentu yang beribadah didalamnya. Lalu Nabi Adam berkata kepada Nabi Syith, "Anakku, air bah akan muncul di bumi dan akan berakhir selama tujuh tahun." Nabi Adam menulis surat wasiatnya yang terakhir, yang ditujukan kepada Nabi Syith. Diriwayatkan bahwa Nabi Syith adalah penerus Nabi Adam, jadi setelah wafatnya Nabi Adam, pengelolaan segala urusan kemudian dibebankan padanya.

Allah mewahyukan seratus empat lembaran yang bertulis atau sahifah, dan Allah menurunkan lima puluh sahifah untuk Nabi Syith. Seluruh putra-putri Adam hari ini, silsilah mereka akan terlacak kembali ke Nabi Syith. Hal ini karena keturunan seluruh anak Adam lainnya, terkecuali Nabi Syith, telah lenyap sepenuhnya, dan tak satupun dari mereka yang tersisa. Dengan demikian, silsilah seluruh umat manusia hari ini, berasal dari Nabi Syith.
Setelah menuliskan wasiat terakhirnya, Nabi Adam, alaihissalam, wafat. Para malaikat berkumpul di tempatnya, karena Nabi Adam adalah sahabat terpilih dari Yang Maha Pemurah. Allah menurunkan kain kafan dan bahan balsem dari surga. Para malaikat kemudian mengambil alih pengurusan jenazahnya dan pemakamannya, dan menyembunyikannya dari pandangan. Para malaikat memandikan jenazahnya beberapa kali dengan sidr dan air, dan memakaikan beberapa lapisan kain kafan yang terpisah. Kemudian mereka menyiapkan liang-lahat dan menguburkannya setelah di shalatkan. Mereka kemudian berkata, "Inilah yang akan menjadi Sunnah anak-anak Adam."

Nabi Syith dan saudara-saudaranya berada di wilayah Timur, di sebuah desa pertama yang ada di bumi. Matahari dan bulan mengalami gerhana selama tujuh hari tujuh malam. Ketika para malaikat berkumpul untuk memakamkan Nabi Adam, Nabi Syith mengumpulkan surat wasiat terakhir tersebut, kemudian ditempatkannya di atas tangga, tersusun bagaikan naiknya para malaikat dan ruh ke langit, yang akan menyertai generasi yang ayah kita, Nabi Adam, telah bawa dari Surga, sehingga takkan ada kelalaian dalam mengingat Allah.

Wafatnya Nabi Adam terjadi pada hari Jumat. Hawa' hidup setahun setelah kematiannya. Lalu iapun wafat. Ia dimakamkan bersama suaminya. Tempat itu tetap menjadi makam Nabi Adam dan Hawa' hingga datangnya Air Bah. Kelak, Nabi Nuh, alaihissalam, lalu mengeluarkannya, menempatkannya di peti mati, dan membawanya di dalam bahtera. Ketika bumi telah menyerap air, ia mengembalikan mereka ke tempat dimana mereka berada sebelum Air Bah didatangkan.
Nabi Syith, dalam riwayat, tinggal di Mekah, melaksanakan Haji dan Umrah sampai ia wafat. Ia menambahkan lembaran sahifah yang diwahyukan oleh Allah kepadanya, kepada ayahnya, Nabi Adam, dan berperilaku sesuai dengan isinya. Ia membangun Kabah dengan batu dan tanah liat. Saat Nabi Syith jatuh sakit, ia menunjuk putranya, Anusy sebagai penerusnya. Sepeninggal ayahnya, Nabi Syith, Anusy mengambil-alih segala urusan dan bimbingan ke bawah kendalinya menggantikan ayahnya. Anusy menurunkan Qinan dan saudara-saudarinya. Qinan adalah penerusnya. Ia menurunkan Mahlayil dan saudara-saudarinya. Mahlayil adalah penerusnya. Ia memperanakkan Yarid dan saudara-saudarinya. Yarid adalah penerusnya. Ia memperanakkan Khanukh — yaitu, Nabi Idris, alaihissalam, dan saudara-saudarinya.

Khanukh atau Nabi Idris, alaihissalam, lahir dan dibesarkan di Babilonia, mengikuti ajaran dan agama Nabi Adam dan putranya, Nabi Syith. Nabi Idris adalah generasi ke-5 dari Nabi Adam. Ia menyeru manusia agar kembali ke agama leluhurnya, tetapi hanya sedikit yang mendengarkannya, sementara sebagian besar berpaling. Nabi Idris dan pengikut-pengikutnya meninggalkan Babilonia menuju Mesir. Di sana, ia menjalankan misinya, menyerukan manusia agar berlaku adil dan menegakkan keadilan, mengajarkan mereka ibadah dan memerintahkan mereka berpuasa pada hari-hari tertentu dan memberikan sebagian dari kekayaan mereka kepada orang miskin. Nabi Idris adalah keturunan Nabi Adam, yang pertama yang diberi kenabian setelah Nabi Adam dan Nabi Syith. Diriwayatkan pula, ia adalah orang pertama yang menemukan bentuk dasar penulisan.
Nabi Idris mengajarkan umatnya tentang Allah, dan menyeru mereka agar menerapkan aturan-aturan Agama. Ia menekankan bahwa satu-satunya yang yang pantas diibadahi adalah Allah. Hampir semua orang adalah Muslim selama kehidupan Nabi Idris, hanya ada beberapa yang tak taat dalam mengikuti aturan tertentu Agama. Nabi Idris tinggal di Mesir bersama umatnya selama waktu tertentu, menyeru manusia agar mengikuti ajaran Agama. Disebutkan bahwa ia hidup selama 82 tahun di atas Bumi. Kemudian, Allah mengangkatnya ke langit keempat, lalu ia diwafatkan di sana."

Lalu sang pematri berkata, "Wahai anak muda, hidup ini bagaikan lintasan balap kuda dan pengendaranya bersaing mencapai garis penghabisan. Inilah perumpamaan manusia dalam kehidupan ini, namun mereka tak menyadari bahwa mereka berada dalam perlombaan, karena mereka lalai. Mereka melupakan semua tentang Hari Perhitungan dan tak mempersiapkan kedatangannya. Namun, masa kehidupan mereka semakin berkurang dan ajal pun semakin mendekat. Al-Hasan berkata, "Engkau ingin dapat hidup seperti Nabi Nuh, meskipun Perintah Allah, kematian, mengetuk pintu seseorang setiap malam!"
Kita sering menyaksikan mereka, yang punya banyak kepemilikan harta di dunia ini, meninggalkannya hanya disertai kafan belaka, seperti halnya dengan mereka yang tak punya apa-apa. Semuanya menjadi sama ketika mereka dimasukkan ke dalam liang-lahat dan menghilang di dalamnya. Kuburan itu lantas akan menjadi taman di surga atau lubang di neraka."

Sang musafir muda bertanya, "Hidup yang bagaimana, yang harus dihindari oleh setiap Muslim dan yang dilaknat dalam Al-Qur'an?" Sang pematri berkata, "Abu Safwan Ar-Ra'ini ditanya pertanyaan ini dan ia menjawab, 'Setiap aspek kehidupan yang engkau cintai demi kehidupan ini, dilaknat. Setiap aspek kehidupan yang engkau cintai demi Akhirat, tak termasuk dalam aspek kehidupan yang dilaknat. ”
Banyak orang bergegas mendapatkan dunia, takut kemiskinan dan ingin mengumpulkan kekayaannya, seolah-olah tinggal di dalamnya itu, kekal dan abadi. Mereka takut kemiskinan, namun tak takut takut hisab; mereka takut kelaparan, namun tak takut akan siksa and hukuman.

Al-Fudail menggambarkan perbedaan antara hari sebagai "Kemarin berlalu, hari ini sedang berlangsung dan esok sebuah harapan." Tahapan kehidupan ini terdiri dari siang dan malam dimana seseorang melakukan perjalanan secara terus menerus untuk mencapai tujuan akhir. Jika engkau mampu mengumpulkan cukup bekal yang benar bagi masing-masing tahap ini, maka lakukanlah, karena perjalanan itu pasti akan berakhir tiba-tiba. Dan mengenai hari-hari kehidupan ini, Al-Hasan berkata, “Wahai putra Adam! Hidup hanya beberapa hari, jadi jika harimu berlalu, hidupmu menjadi lebih singkat. ”
Oleh karena itu, bersegeralah mengumpulkan cukup bekal dalam perjalananmu di kehidupan ini dan sadari bahwa itu akan berakhir sebelum engkau cukup siap. Salah seorang Salaf menyurat kepada salah seorang sahabatnya, “Saudaraku, engkau mungkin berpikir bahwa engkau akan menetap, meskipun pada kenyataannya, engkau terus bepergian, didorong menuju kematian yang menyongsongmu. Sementara itu, masa hidup dipersingkat saat engkau bepergian dan apa yang engkau habiskan dalam hidupmu, takkan dikembalikan kepadamu sampai Hari At-Taghabun."
Sang musafir muda bertanya, "Apa itu Hari At-Taghabun?" Sang pematri berkata, "Hari Penghakiman, dimana ada orang yang akan kehilangan diri mereka, dan ada yang memenangkan kebahagiaan kekal mereka."

Kemudian sang pematri berkata, "Sesungguhnya, kesenangan hidup ini, jika dikumpulkan dari sumber yang halal dan dihabiskan secara sederhana di sumber yang halal, menambah indahnya hidup di dunia ini. Hal ini terutama terjadi jika seseorang menghabiskan sebagian dari kekayaannya untuk amal-shalih, membantu orang yang menderita dan menolong orang yang membutuhkan, anak yatim dan janda. Sufyan berkata, “Waspadalah terhadap kemarahan Allah berkenaan dengan tiga hal: waspadalah bahwa engkau jatuh ke dalam kegagalan tentang apa yang Dia perintahkan kepadamu. Waspadalah bahwa Dia melihatmu, sementara engkau merasa tak puas terhadap rezeki yang telah Dia berikan kepadamu. Waspadalah terhadap perasaan tawar-hati kepada Rabb-mu jika engkau berhasrat mengikuti pawai dunia ini, namun tak memperolehnya.”
Sesungguhnya, Allah membagi rezeki dalam kehidupan ini dan manusia hendaknya merasa puas dengan rezekinya, banyak ataupun sedikit, dan terlepas dari berolehkah ia kesenangan hidup atau tidak. Seseorang dituntut agar merasa puas dengan bagiannya dan tak merasa tertekan karenanya. Juga, seseorang hendaknya menghindar dari membandingkan dirinya dengan orang-orang yang lebih kaya daripada dirinya, tetapi lebih membandingkan dirinya sendiri dengan orang yang beriman dan menyembah Allah. Ada orang bijak pernah berkata, “Semua orang beriman yang mendengar tentang Surga dan Neraka, akan menghabiskan waktunya untuk menaati Allah, mengingat-Nya, berdoa kepada-Nya, membaca Al-Qur'an atau mengeluarkan sedekah.” Seorang lelaki berkata kepadanya, "Aku banyak menangis." Orang bijak itu berkata, "Lebih baik bagimu tersenyum saat mengakui kesalahanmu daripada menangis sambil merasa bangga dengan amal-shalihmu, karena perbuatan yang terakhir takkan naik lebih tinggi dari kepalanya." Lelaki itu memintanya agar memberi nasihat dan ia berkata, "Serahkan hidup ini kepada orang-orangnya, sama seperti mereka meninggalkan Akhirat kepada orang-orangnya. Jadilah seperti lebah dalam kehidupan ini, jika ia makan, ia makan makanan halal dan jika ia memberi makan, ia memberi makan makanan halal, dan jika ia terjatuh pada sesuatu, ia tak merusak atau mematahkannya. ”

Mereka yang mengingat kematian akan melirik sedikit saja pada kehidupan dunia ini dan akan melihatnya dengan jelas, karena segel yang menghalangi penglihatan mereka akan terlepas. Kehidupan dunia ini singkat, tak peduli seberapa besar harta yang engkau kumpulkan di dalamnya. Sesungguhnya, semua ini akan berakhir ketika kematian menyongsong dan mengakhiri kenikmatan dan kesenangan. Al-Hasan berkata, "Kematian telah mengungkap realitas kehidupan ini dan tak meninggalkan kesempatan bagi orang bijak untuk bersenang-senang di dalamnya."
Imam Ahmad dan At-Tirmidzi, rahimakumullah, mencatat, Abu Kabsyah meriwayatkan bahwa Nabi (ﷺ) bersabda, "Manusia terdiri dari empat jenis dalam kehidupan ini: Seorang hamba yang Allah telah berikan kekayaan dan ilmu agama, jadi ia takut akan Rabb-nya dengan apa yang ia berikan kepada kaum kerabatnya dan tahu hak-hak Allah atas kekayaannya, dan inilah nilai yang terbaik. Dan seorang hamba, yang Allah berikan ilmu tetapi bukan kekayaan, jadi niatnya tulus dan ia berkata, 'Jika aku punya uang, aku akan melakukan seperti yang si Fulan lakukan (tipe pertama),' ia akan dinilai menurut niatnya dan pahalanya sama. Dan seorang hamba, yang Allah berikan kekayaan, namun bukan ilmu, jadi ia bingung dan menghabiskan kekayaannya tanpa ilmu; ia tak takut pada Rabb-nya tentang hal itu, tak memberi kepada kaum-kerabatnya, atau mengetahui Hak-hak Allah atas kekayaannya. Inilah nilai yang terburuk. Dan seorang hamba, yang Allah tak berikan kekayaan atau ilmu, namun ia berkata, 'Jika aku punya uang, aku akan melakukan seperti orang biasa (tipe orang ketiga dan terburuk). Jadi ia akan diadili sesuai dengan niatnya dan ganjarannya akan sama. ”[Hasan-Sahih]
Oleh karenanya, kehidupan ini ibarat lahan pertanian yang ditanami dan disimpan untuk Hari Akhirat. Ia hendaknya diisi dengan ibadah dan ketaatan kepada Allah, mengumpulkan sebanyak mungkin rezeki dan bekal yang halal guna kehidupan di Akhirat kelak.

Sang pematri melanjutkan, "Wahai anak muda, merenungkan kehidupan ini hendaknya mengingatkanmu bahwa ini hanyalah sebuah perjalanan yang dimulai dari keintiman, antara sang ayah dan sang ibu, melewati hidup ini dan berakhir di liang-lahat. Setelah dikuburkan, ada lagi tempat berkumpul dan kemudian tempat tinggal permanen, semoga di hunian yang tentram, yang bebas dari segala kekurangan dan kehidupan yang abadi. Kita tersandera oleh musuh kita (setan) dan dibawa turun ke bumi. Oleh karena itu, kita harus berusaha sekuat tenaga agar membebaskan diri kita sendiri dan dengan istiqamah berbaris menuju tempat hunian kita yang lama. Ketahuilah bahwa perjalanan dalam kehidupan ini berkaitan dengan nafas seseorang, yang menuntunnya menjalani kehidupan ini, bagai sebuah kapal yang berlayar. Namun dalam hal ini, kapal kehidupan itu sedang berlayar selagi seseorang duduk diam di dalamnya, tanpa menyadari bahwa hidupnya sedang berlalu dengan sangat cepat.

Manusia membutuhkan bekal yang cukup dalam perjalanannya sepanjang hidup, namun satu-satunya bekal yang mencukupi menuju akhirat adalah Taqwa (takut akan Allah). Karena itu, seseorang hendaknya berusaha keras dan bersabar saat menjalankan Taqwa. Jika tidak, ia akan menjerit, ketika saatnya akan pergi, "Ya Rabb-ku, kirim aku kembali," namun akan dikatakan kepadanya, "Tidak." Maka orang yang lalai ini harus bangun dari perjalanannya yang malas melewati tahap kehidupan. Ini pasti terjadi, karena ketika ia melakukan perjalanan, Allah menunjukkan kepadanya tanda-tanda-Nya, Allah membawa ketakutan kepada hamba-Nya dengan tanda-tanda ini, agar mencegah mereka menyimpang dari Jalan yang lurus dan Dien yang benar. Ia yang sarana perjalanannya menyimpangkannya dari Jalan yang lurus, meskipun ia menyaksikan Tanda-Tanda Allah yang membuatnya takut, hendaknya segera kembali kepada Allah dengan meninggalkan apa yang membuatnya menyimpang dari Jalan yang lurus itu, sambil menyesali kesalahannya.
Sebaliknya, ia yang mempersiapkan Pertemuan dengan Allah dan menghabiskan waktunya melakukan apa yang akan menguntungkannya di Akhirat, pasti akan merasa bahagia pada Hari ketika kekayaan atau keturunan takkan ada lagi. Suatu hari ketika berbagai catatan perbuatan akan ditayangkan, qalbu akan terguncang ketakutan dan batin akan merasa bingung. Engkau akan melihat banyak manusia dan berpikir bahwa mereka mabuk; tiadalah mereka mabuk, melainkan siksaan Allah amatlah pedih. Tentunya, ia yang menggunakan kehidupan ini sebagai jalan untuk mengarahkannya ke Akhirat dan Surga, seluas langit dan bumi, maka jalannya adalah Jalan yang lurus. Ia akan diarahkan ke tempat hunian yang damai atas rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedang bagi mereka yang menginginkan kehidupan dunia ini, akan memudar saat mereka menghembuskan nafas terakhir. Selama saat-saat mengerikan ini, kehidupan dunia akan meninggalkan mereka dan melarikan diri. Perbedaan antara mereka dan tipe yang pertama adalah bahwa orang-orang yang shalih, menyukai kehidupan ini, namun lebih memilih Akhirat. Inilah mengapa Allah membuat jalan mereka menuju Akhirat menjadi mudah dan membantu mereka mengatasi segala rintangan dan halangan. Wallahu a'lam."
"Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak di antara manusia? Tetapi banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Barangsiapa dihinakan Allah, tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki." - [QS.22:18]
Referensi :
- Abdul-Malik bin Muhammad bin Abdul Rahman Al-Qasim, Life is a Fading Shadow, Darussalam - Sayyid Qutb, In The Shade of Quran, Volume XVIII, The Islamic Foundation
- Ibn Kathir, Stories of the Prophet, Darussalam

- The History of Al-Tabari Volume I : General Introduction and From the Creation of the Flood, translated by Franz Rosenthal, SUNY Press 
 - The History of Al-Tabari Volume II : Prophets and Patriarchs, translated and annotated by William M. Brinner, SUNY Press