"Wahai anak muda, bersyukurlah dengan rahmat Allah atas apa yang akan engkau dengar. Wahai umat Muhammad (ﷺ), engkaulah umat terbaik dan termulia. Allah takkan menghukum umat ini karena ketidaktaatan dan dosa-dosanya dengan cara yang sama Dia menghukum umat-umat terdahulu. Dia, Subhanahu wa Ta'ala takkan menyebabkan kehancuran dengan satu hukuman yang sangat berat seperti yang terjadi pada kaum 'Aad, ketika mereka dihancurkan oleh angin badai yang Dia lepaskan pada mereka selama tujuh malam dan delapan hari berturut-turut hingga mereka bergelimpangan bagai batang pohon kurma yang lapuk - bukankah telah engkau lihat puingpuingnya? Dia takkan menghancurkan umat ini sama seperti azab yang dijatuhkan atas kaum Tsamud yang terperangkap oleh teriakan yang mengerikan dan gempa bumi sehingga mereka menjadi gelimpangan mayat yang bersujud di rumah mereka. Dan Dia takkan menghancurkan umat seperti azab kaum Nabi Luth, yang Allah hempaskan angin-beliung dan batu dari langit serta membolak-balikkan negeri mereka," berkata sang darji kepada sang musafir muda.
Lalu ia melanjutkan, "Wahai anak muda, dengan hikmah dan rahmat-Nya, Allah akan mengazab umat ini karena dosa-dosa dan ketidaktaatannya, bila mereka berpecah-belah dan berkelompok-kelompok hingga mereka saling menghancurkan dan saling menyandera. Dari Khabbaab ibnu al-Aratt, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan dari ayahnya, "Pada suatu malam aku memperhatikan Rasulullah (ﷺ) shalat sepanjang malam, hingga waktu Subuh hampir tiba, Rasulullah (ﷺ) mengakkhiri shalatnya dengan taslim. Kemudian Khabbab menemui beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, demi bapak dan ibuku sebagai tebusanmu, sungguh aku tak pernah sebelumnya melihatmu shalat seperti shalatmu di malam ini!" Rasulullah (ﷺ) kemudian menjawab "Benar, itulah shalatnya orang yang yang penuh harap dan cemas. Aku bermohon kepada Rabbku, Tabaraka wa Ta'ala, tiga hal, lalu Allah mengabulkan dua dan menolak satu. Aku memohon kepada Rabbku, Tabaraka wa Ta'ala, agar ummatku tak dibinasakan sebagaimana umat-umat terdahulu, lalu Allah mengabulkannya. Aku memohon kepada Rabbku, Tabaraka wa Ta'ala, agar musuh tak menang atas umatku, lalu Allah mengabulkannya. Kemudian aku memohon kepada Rabbku, Tabaraka wa Ta'ala, agar tak menjadikan umatku terpecah berkelompok-kelompok, namun Allah tak mengabulkannya." Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, an-Nasa'i dan at-Tirmidzi, terdapat juga dalam Sahih Muslim, diriwayatkan oleh 'Amr ibnu Sa'd.
Dalam Al-Qur'an Mulia, Allah berfirman kepada kita tentang umat-umat yang mengabaikan nabi-nabi mereka, dan bagaimana Dia menghancurkan mereka dan mengirimkan beragam hukuman dan pembalasan. Kaum ‘Aad, umat Nabi Hud, yang dulu tinggal di bukit pasir lembah Ahqaf, dekat Hadramaut, di Yaman. Kaum Tsamud, umat Nabi Salih, yang tinggal di Al-Hijr, dekat Wadi Al-Qura. Orang-orang Arab mengenal tempat tinggal mereka dengan sangat baik, dan mereka sering melewatinya. Qarun, pemilik kekayaan terbesar beserta kunci-kuncinya. Fir'aun, raja Mesir pada masa Nabi Musa, alaihissalam, serta menterinya Haman, kedua orang Qibthiy ini tak beriman kepada Allah dan rasul-Nya," berkata sang darji kepada sang musafir muda. Kemudian ia berkata,"Tahukah engkau, ada negeri yang luluh lantak oleh azab Allah? Sebelum masa Nabi Musa, alaihissalam, di antara kaum yang diluluhkan Allah adalah kaum 'Aad, Tsamud, Madyan dan Aikah, kaum ar-Rass, ashabul Qaryah, kaum Nabi Luth, kaum Tubba', Ashabul Sabat, dan banyak generasi di antara mereka. Al-Quran Mulia tak berhubungan dengan fakta sejarah yang hanya untuk menuturkan sebuah kisah yang bernilai sejarah. Tujuan utamanya dalam menghubungkan sebuah peristiwa, adalah untuk menarik perhatian pada hasil akhirnya, menarik kesimpulan dan deduksi dari kejadian-kejadian ini, sehingga menjadi petunjuk bagi manusia dan terbukti menjadi ibrah bagi mereka, yang menjadi daya tarik bagi pemikiran dan emosi mereka bahwa dari peristiwa-peristiwa sejarah ini, akan diperoleh pelajaran. Pelajaran-pelajaran ini, hendaknya meyakinkan mereka bahwa keberadaan Allah adalah fakta yang tak terbantahkan dan bahwa Tangan Perkasa-Nya memainkan peran utama dalam urusan manusia. Hal ini juga harus menjadi perhatian mereka bahwa dengan mengikuti aturan-aturan dari Dien-Nya, akan membawa kesuksesan dan keselamatan, serta merupakan jalan menuju kemajuan. Inilah cakupan tentang Islam."
Sang musafir berkata, "Sampaikan padaku tentang Ashabul Rass!" Sang darji berkata, "Kata 'Rass' mengacu pada sumur kuno, dan dengan demikian Ashabul Rass adalah mereka yang tinggal di sekitar sumur kuno. Al-Qur'an mengisahkan dan menunjukkan ketidaktaatan kaum ini, dan azab yang dijatuhkan kepada mereka dalam bentuk kehancuran. Ashabul Rass disebutkan dalam Al-Qur'an, di antara orang-orang yang menolak utusan Allah dan mencemooh mereka dan sebagai hasilnya, menghadapi kehancuran." Sang musafir muda bertanya, "Mengapa mereka disebut Ashabul Rass?" Sang darji berkata, "Imam Ibnu Katsir, rahimahullah, menyatakan bahwa beberapa Mufassir berpendapat bahwa di daerah Azarbaijan, ada sumur kuno bernama Rass. Orang-orang yang tinggal di lembah itu disebut Ashabul Rass.
Penduduk Rass memiliki sumur darimana mereka menampung air guna kebutuhan mereka dan juga mengairi lahan mereka.Kaum ini pernah punya raja yang adil dan baik. Ketika sang raja wafat, mereka sangat berduka atas kematiannya dan berkabung dalam waktu yang lama. Setelah beberapa hari, setan mendekati mereka, menyaru sebagai raja dan berkata, “Aku belum berpulang melainkan menghilang, karenanya aku dapat menyaksikan apa yang kalian lakukan setelah kepergianku.” Kaum itu merasa senang. Setan kemudian memerintahkan agar mereka memasang tirai antara ia dan kaum Rass dan berpesan bahwa ia takkan pernah mati. Sebagian besar dari kaum ini mempercayainya, dan kemudian muncullah fitan bagi mereka.
Merekapun mulai menyembahnya. Maka Allah mengutus seorang Nabi yang memperingatkan mereka bahwa orang yang berbicara dari balik tirai itu sebenarnya, setan. Ia melarang mereka menyembahnya dan memerintahkan mereka agar hanya menyembah Allah, tak ada sekutu bagi-Nya. Nabi tersebut biasanya menerima wahyu selagi ia tidur dan namanya adalah Handzalah ibnu Syafwân. Namun, penduduk memusuhinya dan kemudian membunuhnya, kemudian melemparkannya ke dalam sumur. Air sumur itu kemudian mengering, akibatnya, kaum itu kekurangan air untuk minum dan mengairi lahan mereka. Perlahan-lahan kota mereka mulai berantakan, sedemikian rupa sehingga setelah beberapa waktu, hancur sepenuhnya, semuanya mati tanpa ada yang tersisa.
Ibnu Asakir menyebutkan di awal kitab sejarahnya, sepanjang penyebutan bangunan di Damaskus, bahwa Allah mengutus Nabi kepada kaum Rass yang bernama Handzalah ibnu Syafwân. Kaum itu mendustakan dan membunuhnya. Karenanya, 'Aad bin Aush bin Iram bin Saam bin Nuh, bersama putranya, meninggalkan ar-Rass dan menetap di al-Ahqâf. Setelah itu, Allah menghancurkan kaum Rass dan mereka tersebar di seluruh Yaman dan bagian lain bumi. Bahkan Jabrun bin Sa’d bin 'Aad bin Aush bin Iram bin Saam bin Nuh menetap di Damaskus dan membangun kota tersebut. Kemudian menamainya dengan sebutan kota Jabrun, yaitu kota Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Tak ada tiang yang terbuat dari batu yang jumlahnya melebihi yang ada di kota Damaskus. Lalu Allah mengutus Hud bin Abdullah bin Rabah bin Khalid bin al Khaluud bin Aad, yaitu dari anak keturunan 'Aad. Namun penduduk tersebut mendustakannya. Maka Allah membinasakan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Rass ada sebelum 'Aad dalam rentang waktu berabad-abad.
Dari kejadian ini, kita tahu bahwa barangsiapa, yang dengan mata, melihat peringatan dan dengan telinga, mendengarkan peringatan, cukuplah mengetahui bahwa siapa saja yang mengabaikan perintah Allah dan menentang perintah-Nya, melakukan perbuatan dosa dan ketidaktaatan, setelah diberi waktu untuk memperbaiki-diri dan bertobat, namun masih juga bertahan dengan cara pemberontakan mereka, maka datanglah azab Allah yang menghancurkan mereka. Wallahu a'lam."
Sang musafir bertanya, "Sampaikan padaku tentang Ashabul Qaryah!" Sang darji berkata, "Saat engkau membaca Al-Quran, Surah Ya-sin [36], kisah ini disebutkan dalam, ayat 13-29. Ada sebuah kota, di mana ada seorang raja, yang disebut Antikhus, putra Antikhus, yang menyembah berhala." Kemudian Allah mengutus untuknya dan kaumnya, tiga utusan, yang namanya Shadiq, Mashduq dan Syalum, dan kaum itu mendustakan mereka. Awalnya, Allah mengutus dua utusan, mereka mengingkari keduanya. Kemudian Allah menyokong dan menguatkan mereka dengan utusan ketiga, dan mereka berkata kepada penduduk kota itu, "Sungguh, kami adalah utusan dari Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan yang memerintahkanmu untuk menyembah-Nya, tampa menyekutukan-Nya" Namun penduduk kota itu berkata, "Kalian hanyalah manusia seperti kami, bagaimana mungkin kalian bisa menerima wahyu, sedangkan kalian hanyalah manusia biasa dan kamipun manusia biasa, lalu mengapa kami tak menerima wahyu seperti kalian? Andai kalian itu utusan-Nya, seharusnya, kalian itu malaikat." Para utusan berkata, "Allah mengetahui bahwa kamilah utusan-Nya untuk kalian. Jika kami berbohong, Dia akan mengazab kami, namun Dia akan memenagkan kami atas kalian, dan kalian akan tahu siapa yang akan berakhir bahagia di akhirat. Tugas kami hanyalah menyampaikan kepada kalian, risalah yang sedang kami sampaikan; jika kalian mengimaninya, maka kebahagiaan akan menjadi milik kalian di dunia dan akhirat, namun jika kalian mengingkarinya, maka kalian akan segera tahu akibatnya."
Penduduk itu berkata, "Sesungguhnya, kalian membawa nasib buruk untuk kami. Jika kalian tak menghentikan dakwah kalian, kami pasti merajam kalian, dan pastilah hukuman dari kami akan menyakitkan." Para utusan berkata, "Nasib buruk itu hanyalah prasangka kalian sendiri. Mungkinkah itu terjadi bila kalian diperingatkan? Sebaliknya, kalianlah orang yang melampaui batas."
Penduduk kota itu memutuskan membunuh para utusan itu, lalu seorang lelaki datang berlari dari jauh di sudut kota, untu membantu utusan-utusan melawan kaumnya. Namanya, Habib An-Najjar, dan ia tukang pembuat tali. Ia seorang yang sakit-sakitan, penderita kusta, dan ia sangat dermawan, mengeluarkan setengah dari penghasilannya untuk sedekah. Ia membujuk kaumnya agar mengikuti para utusan yang datang kepada mereka. Ia berkata, "Wahai kaumku, ikutilah para pembawa risalah itu. Ikutilah mereka yang tak meminta ayaran apapun atas pesan yang mereka sampaikan kepadamu, dan mereka dibimbing dengan benar dalam apa yang mereka serukan kepadamu, maka sembahlah Allah, tanpa sekutu. Pada Hari Kiamat, ketika Dia akan membalas perbuatanmu: jika amalmu baik maka engkau akan diberi pahala dan jika amalmu buruk maka engkau akan disiksa. Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Berhala-berhala yang engkau sembah itu takkan takkan berguna sama sekali jika Allah menghendaki terjadi bencana pada diriku. Berhala-berhala itu, tak dapat menyebabkan kerusakan apapun atau membawa manfaat apapun, dan mereka tak dapat menyelamatkanku dari kesulitan yang aku hadapi. Maka sesungguhnya, aku harus berada di pihak yang benar. Sesungguhnya, pasti aku berada dalam kesesatan yang nyata. jika menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu Allah."
Saat penduduk kota mulai merajamnya, ia berkata, 'Ya Allah, tuntunlah kaumku karena mereka tak tahu!' namun penduduk kota terus melemparinya hingga ajal menjemputnya, dan ia masih terus berdoa dan tak seorangpun yang sudi menolongnya. Mereka menginjaknya sampai ususnya keluar dari bagian punggungnya.
Dikatakan kepadanya, "Masuklah ke surga." Maka, iapun masuk ke surga dengan segala keberlimpahannya, seraya Allah melepas segala duka, lara, dan keletihannya di dunia ini. Saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memuliakannya, ia berkata, "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui bagaimana Rabb-ku telah memaafkanku dan menempatkanku di antaraorang-orang yang dimuliakan." Ia berharap, kaumnya dapat mengetahui apa yang telah dilihatnya dengan mata sendiri dari kemuliaan Allah. Jika mereka dapat melihat pahala besar dan berkah yang kekal, yang telah ia capai, akan menuntun mereka agar mengikuti para utusan itu. Semoga Allah mengampuninya dan ridha dengannya, karena ia sangat menginginkan agar kaumnya mendapat petunjuk.
Kemudian, Allah menghancurkan sang raja tiran, dan menghancurkan penduduknya, dan mereka pun lenyap dari muka bumi, tanpa ada jejak sama sekali. Allah berfirman, 'Kami tak menurunkan suatu pasukanpun dari langit kepada kaumnya, dan Kami tak perlu menurunkannya. Tak ada siksaan terhadap mereka melainkan dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka mati.' Allah berfirman kepada kita bahwa Dia membalas kaumnya setelah mereka membunuhnya, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, murka kepada mereka, karena mereka telah mendustakan utusan-Nya dan membunuh sahabat-Nya. Allah berfirman kepada kita bahwa Dia tak mengirim pasukan malaikat, Dia juga tak perlu mengirimkannya; faktanya akan lebih sederhana dari itu. Allah mengutus Jibril, alaihissalam, yang membuka dua daun pintu gerbang kota. Lalu hanya dengan sekali as-Sayhah, satu teriakan, dari Jibril, maka tiba-tiba mereka mati semua. Suara mengelegar tersebut menjadikan mereka membisu dan tak berkutik. Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya."
Sang musafir muda berkata, "Bisakah engkau sampaikan padaku, apa pelajaran moral dari peristiwa ini?" Sang darji berkata, "Pertama, para pendusta berpikiran bahwa seorang utusan Allah haruslah orang yang sakti dan bukanlah manusia biasa. Keyakinan ini didasarkan pada kebodohan, karena kenyataannya, manusia hidup di bumi ini, maka akan lebih logis bila pembawa pesan itu hendaknya manusia biasa. Kedua, dimanapun jejak kejahatan dan kerusakan banyak terjadi, disanalah keshalihan dan kebajikan juga akan menunjukkan jati-dirinya dan di atas gelanggang untuk mendukung kebenaran, akan tampak keperkasaannya. Ketiga, semakin kebenaran mulai bersinar terang, kejahatan juga akan menjadi semakin lazim, dan alih-alih membawa alasan yang jelas, bahkan lebih cenderung pada perkelahian dan kekerasan, namun para mujahid takkan peduli dan siap mempertaruhkan nyawa demi kebenaran itu."
Sang darji kemudian berkata, "Maka takutlah kepada Allah, wahai anak muda! Dan perhatikanlah urusanmu dan bertobatlah di hadapan Rabb-mu serta perbaiki jalanmu ke arah-Nya. Sadarilah bahwa hukuman-hukuman yang telah datang kepadamu dan cobaan-cobaan yang telah ditimpakan kepadamu, akibat dari perbuatanmu sendiri dan dosa-dosamu. Karenanya, setiap ada deraan, bertobat dan kembalilah kepada Allah, serta mintalah perlindungan Allah, Subhanahu wa Ta'ala, dari kesengsaraan. Kesengsaraan yang berkaitan dengan seseorang: pembunuhan, penyakit dan diusir dari rumah, cobaan yang berkaitan dengan berkurangnya kekayaaan dan hilangnya harta, dan cobaan yang berkaitan dengan Dien, yakni hasrat dan keraguan yang menyerang qalbu dan menjadikan umat ini menjauh dari Dien Allah, serta menjauhkan mereka dari jalan para pendahulu kita yang shalih, para salaf, akan menyebabkan mereka menuju jalan kehancuran. Cobaan atas qalbu adalah cobaan yang terburuk dan yang terberat dari segala cobaan di dunia ini, sejak munculnya malapetaka duniawi, yang hasilnya menyebabkan kerugian di dunia ini. Cepat atau lambat, cobaan itu akan berlalu, namun fitan atas Dien itu bisa berakibat hilangnya kebahagiaan dunia dan akhirat."
Referensi :"Tidak ada siksaan terhadap mereka melainkan dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka mati." - [QS.36.29]
- Ibn Katheer, Stories of the Quran, Dar Al-Manarah
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume VII, Darussalam
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex
- Shaykh Muhammad ibn Saalih al-’Uthaymeen, The Ill Effects of Sins, Al-Hidaayah