Jumat, 04 Mei 2018

Ash-Shaihah (1)

Angsa melanjutkan kisahnya, "Pada saat itu, sang musafir muda sedang duduk, beristirahat di sebuah gubuk umum yang cukup besar. Ketika ia sedang beristirahat, dari kejauhan tampak ada empat titik hitam mendekat. Rupanya, empat titik itu adalah empat ekor kuda, dimana tiga dikendarai oleh tiga lelaki, dan satu kuda lagi terikat ke pelana kuda lain.
Setelah mendekat, salah seorang penunggang kuda itu, menyapa, "Assalamu 'alaikum, wahai anak muda, bolehkah kami bergabung di gubuk ini?" Sang musafir muda menjawab, "Wa 'alaikumussalaam wa rahmatullah, tentu saja saudara-saudaraku, lagipula, pondok ini disediakan untuk umum." Ketiga penunggang kuda itu mengikat kuda mereka, lalu memasuki gubuk. Mereka tak banyak bicara karena mereka terlihat sangat letih. Beberapa saat kemudian, mereka berbaring, tertidur. Sang musafir muda pun terlelap, kelelahan.
Entah berapa lama sang musafir muda tertidur, saat ia terbangun, salah seorang dari mereka sedang duduk, dari aromaya, ia sedang membuat kopi. Lelaki itu tersenyum, lalu menawarkan segelas kopi dan berkata, "Wahai  anak muda, dari ikat kepalamu, sepertinya engkau berasal dari negeri para pelayar?" Sang musafir muda menjawab, "Ya, betul! Lalu engkau, saudaraku, dari mana engkau berasal, dan kemana arah tujuanmu?" Lelaki itu berkata, "Kami semua berasal dari Negeri Utara. Kami adalah sukarelawan yang bertugas menjaga perbatasan Selatan. Ketika kami berangkat ke pos penjagaan, kami sebenarnya berempat, namun saat menjalankan tugas kami, salah seorang kawan kami, yang bertugas sebagai pengintai, hilang entah kemana." Sang musafir muda berkata, "Maaf saudaraku, aku turut prihatin! " Sang musafir muda diam sejenak, dan bertanya, “Jadi, kalian semua adalah prajurit?” Lelaki itu berkata, “Tidak! Tak semuanya, hanya teman yang satu ini, seorang prajurit. Aku seorang pematri, dan yang lainnya, seorang darji, tukang-jahit.” Sang musafir muda berkata, "Aku ingin sekali melihat perbatasan. Wahai saudaraku, maukah engkau menceriterakan apa yang terjadi di perbatasan?" Sang pematri berkata, "Wahai anak muda, tak banyak yang terjadi di perbatasan, namun selama aku bertugas, aku memperhatikan fenomena alam di sekitar perbatasan." Sang musafir muda berkata, "Sampaikanlah padaku ibrahnya!"
Sang pematri berkata, "Wahai anak muda, banyak hal yang tak kita ketahui, terutama fenomena alam ini. Sebenarnya ada semacam bahasa khusus dimana qalbu manusia berkomunikasi dengan alam semesta. Bahasa inilah bagian dari sifat manusia. Inilah bahasa yang tak menggunakan suara dan artikulasi. Inilah komunikasi ke dalam qalbu dan inspirasi bagi jiwa yang menjadi hidup setiap kali manusia melihat ke alam semesta untuk mendapatkan wawasan yang mengilhami atau yang menyenangkan. Oleh karenanya, Al-Quran sering mendesak manusia agar merenungkan alam sekitarnya, dengan berbagai cara, terkadang secara langsung dan terkadang dengan petunjuk, sentuhan dan jentikan. Dalam hal ini, ada fenomena alam semesta yang dijadikan pokok sumpah Allah dalam Kitab-Nya, yang berfungsi sebagai kerangka yang mengikuti ayat-ayatnya. Petunjuk eksplisit dan petunjuk tak langsung ini, sangat sering terjadi dalam Kitab terkini ini. Hampir tak ada surah yang tak mendorong manusia, dengan satu atau lain cara, agar berkomunikasi dengan alam semesta, dalam bahasa tersembunyi, sehingga ia dapat menghargai tanda-tandanya dan memahami sapaannya.
Dimulai dengan beberapa sentuhan estetika yang terpancar dari alam semesta dan fenomenanya, di dalam Kitab-Nya, dalam Surah As-Syams [91], ayat 1-10, Allah berfirman, "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Demi bulan saat ia mengikutinya. Demi siang bila menampakkannya. Demi malam bila menutupinya. Demi langit dan Yang mendirikannya. Demi bumi dan Yang menghamparkannya. Demi jiwa dan Yang menyempurnakannya. Maka Dia mengilhamkan kepadanya, akan kejahatan dan kebaikannya. Maka berbahagialah sesiapa yang membersihkannya, dan celakalah bagi sesiapa yang mengotorinya."
Allah bersumpah dengan benda-benda ini dan fenomena universal sama seperti Dia, Subhanahu wa Ta'ala, bersumpah demi jiwa manusia, bagaimana jiwa itu terbentuk, dan inspirasi yang diterimanya. Sumpah ini memberi para makhluk makna tambahan dan menarik perhatian manusia padanya. Manusia seyogyanya merenungkan fenomena ini dan berusaha memaknainya, dan juga merenungkan tujuan penciptaannya. Fenomena ini membentuk kerangka kerja yang mencakup kebenaran hakiki, yaitu sifat manusia, kemampuan inherennya, pilihan tindakannya, dan tanggungjawabnya dalam menentukan nasibnya sendiri.
Lihatlah sang mentari saat ia beranjak ke atas cakrawala, sungguh indah dipandang. Di pagi musim dingin, ia memberikan kehangatan. Di musim panas, saat dimana suasananya ringan dan segar sebelum panas terik pada siang hari, dan di saat itulah sang mentari sangat terang cahayanya.
Renungkan juga sang rembulan, yang dengan tersipu mengiringi sang mentari dan ikut menebarkan cahayanya yang indah dan jernih. Antara rembulan dan qalbu manusia, ada daya pikat yang mapan, ada di dalam jiwa manusia yang terdalam. Inilah daya pikat yang terlahir kembali setiap kali keduanya bersua. Sang rembulan mengeluarkan bisikan-lembut dan ilham istimewanya ke dalam qalbu manusia, dan ia melantunkan syair pujiannya kepada Allah, Sang Pencipta. Pada malam yang cerah, engkau hampir bisa merasakan dirimu berlayar menembus sinaran sang rembulan yang meluluhkan resah-gelisah, dan menikmati kesempurnaan suka-cita saat engkau merasakan Kodrat Sang Pencipta melampaui ciptaan yang tanpa celah ini.
Renungkan pula bola dunia ini yang diterangi oleh sang mentari, engkau akan menemukan sebuah kiasan yang tersembunyi mengenai fakta bahwa cahaya sang mentari menyingkap tabir gelap bumi ini, dan berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Keakraban kita dengan sang mentari dan cahayanya, membuat kita cenderung mengabaikan keindahan dan fungsinya. Petunjuk Al-Qur'an inilah mengingatkan kita pada tontonan sehari-hari yang luar biasa.
Tak terabaikan pula, malam-gulita, kebalikan dari apa yang terjadi di terangnya siang. Ia laksana tirai yang melingkupi dan menyembunyikan segalanya. Ia juga meninggalkan kesan tersendiri pada setiap orang, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia, tak kalah pentingnya dibandingkan dengan siang hari.

Kemudian tataplah cakrawala dan perhatikanlah, bila cakrawala disebutkan, pikiran kita langsung menuju ke langit dengan kubahnya yang agung, di atas kita, dimana kita melihat bintang-bintang dan planet-planet bergerak, masing-masing berada di alam garis-edarnya. Namun sebenarnya, kita tak tahu pasti akan sifat langit yang sebenarnya. Akan tetapi, apa yang kita lihat di atas kita, memang memiliki gagasan suatu bangunan dan susunan, karena tampak pada kita rangkaian struktur yang kokoh dan utuh. Bagaimana dibangun dan apa yang membuatnya tetap bersama saat mengapung di tempat yang tak terbatas itu, kita tak punya jawabannya. Segala yang telah maju di bidang ini hanyalah pendapat, yang dapat dianggap tak berlaku atau termodifikasi. Namun bagaimanapun juga, kita yakin, bahwa Kodrat Ilahi-lah, dari Dia Yang Maha Suci, Yang memegang struktur ini bersama-sama, seperti yang ditekankan dalam Al-Qur'an, Surah Fatir [35]: 41, "Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tak lenyap; dan jika keduanya akan lenyap tak ada seorang pun yang mampu menahannya selain Allah. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun." Inilah satu-satunya kebenaran hakiki dan mutlak tentang masalah ini.

Setelah menatap langit, lalu lihatlah kembali ke bumi, sekelilingmu. Bumi dan penghamparannya sebagai persiapan menuju munculnya kehidupan. Sesungguhnya, kehidupan manusia dan satwa tak mungkin terjadi seandainya bumi tak terhamparkan. Ini memang karakteristik khusus dan hukum alam yang telah Allah berikan dalam pencptaan bumi ini, yang memungkinkan terjadinya kehidupan di atasnya, sesuai kehendak dan rencana-Nya. Tampaknya, jika salah satu dari ketetapan-ketetapan ini dilanggar atau dikacaukan, kehidupan di bumi akan menjadi tak mungkin atau berubah alurnya. Yang mungkin paling penting dalam hal ini adalah, penghamparan bumi yang disebutkan dalam Surah An-Nazi'at [79]: 30-31, "Dan setelah itu, bumi Dia hamparkan. Darinya Dia pancarkan mata air, dan (ditumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya." Sungguh, terbentangnya bumi ini, mengingatkan kita pada Sunnatullah.
Allah telah menciptakan manusia dengan sifat dualitas dan kemampuannya. Dualitas itu adalah dua bahan dalam kejadian dirinya, tanah geluh dan ruh Allah, membentuk dua kecenderungan yang setara terhadap kebaikan atau kebatilan, mengikuti tuntunan Ilahi atau tersesat. Manusia mampu mengenali kebaikan sama seperti ia mengenali kebatilan dalam segala hal yang ia hadapi, dan ia juga mampu mengarahkan dirinya sendiri ke satu arah, juga ke arah lain. Kemampuan ganda ini sangat tertanam dalam dirinya. Semua faktor eksternal, seperti risalah Ilahi, hanya berfungsi untuk membangkitkan kemampuannya dan membantunya menempuh jalan yang dipilihnya. Dengan kata lain, faktor-faktor ini tak menciptakan kemampuan bawaan ini; tetapi hanya membantu mengembangkannya.
Selain kemampuan bawaannya, manusia dilengkapi dengan kemampuan nalar yang menentukan garis tindakannya. Karenanya, ia bertanggungjawab atas perbuatan dan keputusannya. Ia yang menggunakan kemampuan ini untuk memperkuat kecenderungannya terhadap apa yang baik dan untuk menyucikan dirinya serta melemahkan dorongan hasratnya, akan berhasil dan beruntung. Sebaliknya, ia yang menggunakan kemampuan ini untuk membenamkan kebaikan di dalam dirinya, akan merusak dirinya sendiri.
Tak ada keraguan lagi, mereka yang menaati Allah dan melaksanakan perintah-Nya dalam kehidupan ini, akan menikmati kebaikan yang banyak; menunaikan sedekah, membelanjakan sesuai yang dibutuhkannya, membantu menyebarkan ilmu Islam, membangun masjid, dan sebagainya. Dalam hal seperti ini, harta benda itu menjadi berkah dari Allah, Yang memerintahkan mereka membelanjakan harta dengan cara yang menguntungkan kelak di Kehidupan Akhirat. Namun, kenyataan bahwa umat manusia menghabiskan hidup ini dalam permainan yang melalaikan, dan berulang-kali berbuat dosa dan kesalahan. Meskipun mereka telah diingatkan, namun terkadang, mereka lupa atau bahkan mengabaikannya, membawa kehancuran diri sendiri, seperti yang terjadi pada kaum Tsamud." Sang musafir berkata, "Sampaikan padaku tentang Kaum Tsamud, wahai orang berilmu!"
[Bagian 2]