Selasa, 08 Mei 2018

Ash-Shaihah (2)

Sang pematri berkata, "Di antara tanda-tanda bahwa seseorang yang mementingkan kehidupan dunia ini adalah orang itu mencintai orang-orang yang juga mementingkan kehidupan duniawi, lebih memilih mereka dan mengabaikan kewajiban melarang kejahatan yang mereka lakukan. Demikian pula kaum Tsamud, mereka membangkang kepada Allah, kufur pada-Nya, dan menyebarkan kejahatan di muka bumi. Bagi kaum ini, Allah menurunkan azab, mereka dimatikan oleh Ash-Shaihah, suara yang menggelegar.
Setelah hancurnya kaum Aad, kaum Tsamud menggantikan mereka dalam hal kekuasaan dan kemuliaan, mereka juga tergelincir ke dalam pemujaan berhala, karena kekayaan materi mereka bertambah, demikian pula kajahatan yang mereka perbuat. Sementara kebajikan yang mereka kerjakan sangatlah kurang. Seperti kaum Aad, mereka mendirikan bangunan-bangunan besar di dataran dan memahat rumah-rumah yang indah di perbukitan. Tirani dan penindasan menjadi lazim karena orang-orang jahat menguasai negeri itu. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Shalih bin 'Ubaid bin Asif bin Masikh bin Ubaid bin Khadir bin Tsamud bin Abir bin Iram bin Sam bin Nuh, sebagai utusan Allah untuk mengajak mereka menyatakan keesaan Allah dan hanya menyembah Dia. Ada yang mengatakan bahwa Nabi Shalih adalah Shalih bin Asif bin Masih bin Iram bin Tsamud bin Abir bin Iram bin Sam bin Nuh.

Selagi beberapa dari mereka ada yang beriman, sebagian besar masih tetap kufur dan menyakitinya dengan kata-kata dan perbuatan. Dalam Surah Hud [11]: 61, Allah berfirman, "Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata, 'Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).'"

Nabi Shalih, alaihissalam, dikenal karena hikmah, kesucian dan kebaikannya, serta dihormati oleh kaumnya sebelum wahyu Allah diturunkan kepadanya. Dalam Surah Hud [11]: 62, "Mereka (kaum Tsamud) berkata,, 'Wahai Shalih! Sungguh, engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang di harapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami.'"
Allah telah menjadikan mereka berumur panjang, dan mereka menghuni al-Hijr sampai Wadi al-Qura antara al-Hijaz dan Syria. Nabi Shalih terus mendorong mereka agar menyembah Allah, lepas dari pembangkangan dan kebatilan mereka. Seruannya untuk kembali kepada Allah, hanyalah membuat mereka nekad tak menanggapi. Ketika kejadian ini telah berlangsung cukup lama - begitu juga usaha Nabi Shalih - mereka berkata kepadanya, "Jika engkau benar, maka perlihatkanlah tanda pada kami."

Apa yang terjadi kemudian tentang mereka dan Nabi Shalih, alaihissalam, at-Tabari mencatat atas otoritas Amr bin Kharijah bahwa kaum Tsamud adalah kaum Nabi Shalih yang telah diberikan Allah umur panjang di dunia ini, dan Dia menjadikan tubuh mereka kebal. Begitulah, pernah ketika salah seorang dari mereka memulai pembangunan rumah dari lumpur kering dan tanah, lalu rumah itu roboh, orang itu masih tetap hidup. Ketika mereka melihatnya, mereka menggunakan keahlian mereka untuk membuat rumah di perbukitan. Mereka menebas perbukitan, membelahnya, dan melubanginya, dan merasa nyaman hidup di dalamnya. Kemudian mereka berkata, "Wahai Shalih, mintalah kepada Tuhanmu agar memperlihatkan kepada kami sebuah tanda bahwa engkau adalah utusan Allah."
Nabi Shalih berdoa kepada Allah, dan Dia memunculkan unta betina kepada mereka. Waktu minumnya ditetapkan pada hari tertentu, sedang hari yang lain milik mereka. Saat waktu minumnya, mereka akan membiarkan sang unta minum, dan kemudian memerah susunya sehingga susunya memenuhi setiap wadah, tempayan, dan kantung kulit. Akan tetapi, di suatu hari, saat hari sang unta itu minum, mereka menghalaunya dari air, dan tak membolehkan sang unta meminumnya; namun mereka tetap mengisi setiap tempayan, wadah, dan kantung air mereka.

Menurut Abu at-Tufail, Nabi Shalih berkata kepada mereka, "Pergilah ke dataran yang tinggi," dan terjadi getaran hebat bagai seorang wanita yang akan melahirkan, dan bumi terbuka lebar, dan dari dalamnya keluar seekor unta. Nabi Shalih berkata, "Inilah unta Allah, sebuah tanda bagimu, biarkanlah ia makan di tanah Allah ini, dan jangan menyakitinya, agar adzab yang menyakitkan tak menerpamu. Ia berhak mendapatkan minum, dan kalian juga berhak mendapatkan minum, masing-masing pada hari yang ditentukan."
Menurut Ibnu Katsir, untuk sementara, kaum Nabi Shalih membiarkan sang unta merumput dan minum dengan bebas, tetapi di dalam hati, mereka membencinya. Namun, penampilan menakjubkan sang unta yang unik, membuat banyak orang menjadi pengikut Nabi Shalih, dan mereka berpegang teguh pada keimanan mereka kepada Allah.

Orang-orang yang tak beriman, sekarang mulai mengeluh bahwa sang unta besar ini, dengan kualitas yang tak biasa, meminum sebagian besar air mereka, dan menakut-nakuti ternak mereka. Mereka berencana membunuh sang unta, dan meminta bantuan kaum perempuan mereka membujuk kaum lelaki melaksanakan perintah mereka. Saduq binti Mahya, yang berasal dari keluarga kaya dan bangsawan, menawarkan dirinya sendiri kepada seorang pemuda bernama Masrai bin Mahraj dengan syarat ia membunuh unta itu. Aniza, seorang wanita tua, menawarkan salah seorang putrinya kepada seorang pemuda, Qudar bin Salif, sebagai imbalan bila ia dapat membunuh unta itu. Tentu saja para pemuda ini tergoda dan bersiap mencari tujuh orang lainnya untuk membantu mereka.
Mereka mengamati sang unta dengan seksama, mengawasi semua gerakannya. Saat sang unta datang minum di sumur, Masrai memanah kakinya. Sang unta berusaha lari namun terhambat oleh anak panah. Qudar mengikuti sang unta dan mengayunkan pedangnya ke kaki lain unta itu. Saat terjatuh ke tanah, ia menusuk sang unta dengan pedangnya. 

Menurut at-Tabari, Allah berfirman kepada Nabi Shalih, "Kaummu menganiaya untamu." Nabi Shalih bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, "Sesungguhnya bukan kami yang melakukannya." Ia berkata, "Jika bukan kalian yang melakukannya, seorang anak lelaki akan dilahirkan untuk kalian, yang akan membunuhnya." Mereka berkata, "Apa tanda anak itu? Demi Allah, jika kami menemukannya, kami akan membunuhnya!" Ia berkata, "Anak lelaki itu berkulit sedang, bermata biru, berambut cokelat kemerahan, dan rupa yang kemerahan."
Di kota itu ada dua tuan tanah yang kuat dan tak terkalahkan. Salah seorang dari mereka memiliki seorang putra yang tak ia perbolehkan menikah, dan yang satunya lagi memiliki anak perempuan yang tak menemukan orang yang setaraf. Sebuah pertemuan diatur di antara mereka dan salah seorang berkata kepada yang lain, "Apa yang menghalangimu menikahkan anakmu?" Ia menjawab, "Aku tak dapat menemukan pasangan yang sesuai untuknya." Yang lain menjawab, "Sesungguhnya putriku sama dengannya, dan aku akan mengatur pernikahan dengan anakmu." Maka merekapun menikahkan putra-putrinya, dan dari merekalah, anak itu lahir.

Anak mereka itu, anak yang paling nakal dan setiap hari, ia tumbuh sama seperti anak lain yang tumbuh dalam seminggu, setiap minggu ia tumbuh seperti anak lain yang tumbuh dalam sebulan, dan setiap bulannya sama seperti yang lainnya tumbuh dalam setahun. Di kota itu, ada delapan penjahat yang tak pernah mau bertobat. Suatu hari, kedelapan orang yang tak pernah mengerjakan kebaikan ini, berkumpul bersama dua tuan tanah tersebut dan berkata, "Jadikan anak ini pemimpin kami, karena statusnya dan kebangsawanan kakeknya." Maka, merekapun menjadi sembilan orang. Merekalah yang tercantum dalam firman Allah, Surah An-Naml [27]:48, "Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan perbaikan."
Sekarang, Nabi Shalih tak mau tidur di kota bersama mereka, sebagai gantinya, ia menghabiskan malamnya di tempat shalat yang disebut Masjid Shalih. Pagi harinya, ia akan mendatangi mereka dan berdakwah, dan saat malam hari, ia kembali ke masjidnya dan bermalam di sana.

Menurut Ibnu Juraij, ketika Nabi Shalih menyampaikan kepada delapan penjahat itu, bahwa seorang anak laki-laki akan lahir, dan anak itulah yang akan membawa kehancuran mereka, mereka berkata, "Apa yang akan engkau perintahkan kepada kami?" Ia berkata, "Aku perintahkan kalian membunuhnya." Maka merekapun membunuh setiap anak lelaki yang ada kecuali seorang anak. Ketika tiba pada giliran anak lelaki itu, mereka berkata, "Jika kita tak membunuh anak-anak kita, kita masing-masing telah memiliki anak seperti ini, semuanya gara-gara Shalih!" Maka mereka pun berencana membunuh Nabi Shalih dengan berkata, "Marilah kita berpura-pura pergi keluar kota, dan membiarkan masyarakat melihat kita melakukannya. Kemudian kita akan kembali pada malam tertentu, pada bulan tertentu, dan menunggunya di tempat sholatnya, lalu membunuhnya, khalayak akan mengira bahwa kita keluar kota dan takkan mencurigai kita." Merekapun bersembunyi di sebuah batu besar dan menunggu di bawahnya. Allah menjadikan batu besar itu menimpa dan membinasakan mereka. Orang-orang yang mengetahui rencana mereka, menyusul mereka, dan melihat kebinasaan para penjahat itu, dan merekapun kembali ke kota sambil berteriak, "Wahai hamba Allah! Tidaklah cukup bagi Shalih memerintahkan mereka membunuh anak-anak mereka, maka ia membunuh mereka dengan tangannya sendiri." Penduduk kota kemudian berkumpul untuk membunuh sang unta, namun tak sanggup melakukannya, kecuali anak itu.

Salah seorang pengikut Nabi Shalihi menemuinya dan berkata, "Cepatlah, lihatlah untamu, ia dianiaya." Nabi Shalih bergegas mendatangi mereka, dan mereka menemuinya dan memohon maaf dengan berkata, "Wahai nabi Allah, si fulanlah yang membunuhnya, ini bukan perbuatan kami." Ia berkata, "Kita lihat dulu, sanggupkah kalian menyusul anaknya. Jika kalian dapat menemukannya, mungkin Allah akan menghapuskan adzab ini dari kalian." Maka mereka pergi mencari sang anak unta. Namun ketika sang anak unta melihat induknya terbujur, ia lari ke sebuah bukit kecil yang disebut al-Qarah dan naik ke sana. Mereka memburunya, tetapi Allah memerintahkan bukit itu menjualang ke langit sehingga burung pun pun tak sanggup mencapainya.
Nabi Shalih memasuki kota, dan ketika sang anak unta melihatnya, ia menangis hingga air matanya berlinang. Lalu ia mendekati Nabi Shalih dan melenguh sekali, sekali lagi, dan sekali lagi. Nabi Shalih berkata, "Setiap lenguhan terhitung satu hari. Nikmatilah diri di rumahmu selama tiga hari ini. Ini bukan janji palsu. Tanda adzab akan turun bahwa pada hari pertama wajahmu dip agi hari menjadi kuning, pada hari kedua akan memerah, dan pada hari ketiga, menghitam."

Saat mereka terbangun di pagi hari, wajah mereka berubah kuning seakan dipoles dengan kunyit, baik yang muda maupun yang tua, lelaki dan perempuan. Ketika malam tiba mereka serentak berteriak, "Celaka! Sehari telah berlalu dan adzab akan menimpa kita." Ketika hari kedua mereka terbangun, wajah mereka memerah bagai dilumuri darah. Mereka berteriak, menjerit dan menangis, dan sadar bahwa inilah adzab mereka. Ketika petang tiba, mereka serentak berteriak, "Dua hari telah berlalu dan adzab akan menimpa kita." Saat mereka bangun pagi di hari ketiga, wajah mereka menghitam seolah dicat dengan tir. Mereka semua berteriak, "Celaka! Adzab telah menimpa kita!" Mereka membungkus diri mereka dengan kain kafan dan membalsem diri mereka. Balsem mereka terdiri dari gaharu dan asam, sedangkan tikar kulit dijadikan kafan mereka. Kemudian mereka menjatuhkan diri ke tanah dan mulai melihat ke atas dan ke bawah, antara langit dan bumi, tak tahu dari arah mana adzab akan menimpa mereka - entah dari atas, dari langit atau dari bawah kaki mereka, dari tanah, dihinakan dan terpisah-pisahkan.
Saat mereka terbangun pada hari keempat, mereka mendengar suara gemuruh dari langit bagai halilintar, dan suara dari segala penjuru bumi yang berpadu menjadi satu. Denyut jantung mereka terhenti, dan mereka tersujud di rumah masing-masing. Halilintar memenuhi langit, diikuti gempa yang dahsyat, menghancurkan seluruh kaum berikut negerinya. Negeri itu terguncang dengan keras, seluruh makhluk hidup musnah di dalamnya. Suara gemuruh itu tak berhenti sampai seluruh kaum Nabi Shalih yang kufur itu mati tak berdaya, semuanya, serempak. Bangunan kokoh maupun rumah batu pahatan mereka tak dapat melindungi mereka. Seluruhnya binasa sebelum mereka menyadari apa yang sedang terjadi. Adapun orang-orang yang beriman pada risalah Nabi Shalih, alaihissalam, diselamatkan, karena mereka telah meninggalkan tempat itu.

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa sewaktu Nabi kita tercinta (ﷺ) melewati rumah-rumah kaum Tsamud dalam perjalanan menuju medan pertempuran Perang Tabuk, ia (ﷺ) dan orang-orang yang mneyertainya berhenti di sana. Mereka mengambil air dari sumur yang digunakan kaum Tsamud untuk minum. Mereka menyiapkan adonan roti dan mengisi tempayan mereka dari sumur tersebut. Rasulullah (ﷺ) memerintahkan agar mereka segera mengosongkan kembali kantong kulit air dan memberikan adonan roti yang telah disiapkan itu kepada unta. Kemudian beliau (ﷺ) pergi bersama mereka sampai mereka berhenti di sumur tempat unta Nabi Shalih pernah minum. Beliau (ﷺ) memperingatkan mereka agar tak memasuki wilayah orang-orang yang telah diadzab itu, seraya berkata, "Aku khawatir jika kalian mungkin terpengaruh oleh penderitaan kaum itu, maka janganlah masuk ke tempat mereka."

Sang pematri diam sejenak, lalu berkata, "Keangkuhan kaum Tsamud dan kejahatan mereka yang melampaui batas, menimpakan mereka petaka. Inilah adzab Allah. Karenanya, harus ada unsur pertanggungjawaban yang melekat pada kemampuan sadar manusia dan kebebasan memilihnya. Karena ia bebas memilih antara kecenderungannya, kebebasan itu harus ditambah dengan tanggungjawab. Ia dibebani tugas yang pasti terkait dengan kekuatan yang diberikan kepadanya. Tapi Allah, Yang Maha Pemurah, tak meninggalkan manusia tanpa bimbingan selain sifat, dorongan atau kesadarannya, serta kemampuan pengambilan keputusannya. Allah membantunya dengan mengirimkan pesan yang berisi kriteria yang akurat dan permanen, dan menunjukkan kepadanya tanda-tanda, di dalam dirinya dan di dunia pada umumnya, yang seharusnya membantunya memilih jalan yang benar, serta bebas dari penghalang, sehingga ia dapat melihat kebenaran. Dengan demikian, ia mengenali jalannya dengan mudah dan jelas, serta fungsi kemampuan pengambilan keputusannya yang sadar mengetahui sepenuhnya sifat dari arah yang dipilihnya,.dan implikasi dari pilihan itu. Inilah yang Allah kehendaki bagi manusia, dan apapun yang terjadi dalam kerangka ini, adalah pemenuhan langsung dari kehendak-Nya.

Manusia diangkat ke posisi tertinggi untuk bertanggungjawab atas tindakannya dan ia dibiarkan bebas memilih, dalam batas-batas kehendak Allah yang telah memberinya kebebasan ini. Tanggungjawab dan kebebasan memilih ini, oleh karenanya, menjadikan manusia mahluk terhormat di dunia ini, sebuah posisi yang layak bagi makhluk dimana Allah telah meniupkan sesuatu dari ruh-Nya sendiri dan yang telah Dia buat dengan tangan-Nya sendiri, dan diangkat di atas sebagian besar ciptaan-Nya. Hal ini juga menempatkan nasib manusia di tangannya sendiri - sesuai kehendak Allah - dan membuatnya bertanggungjawab untuk hal itu. Inilah yang akan menstimulasi kewaspadaan di dalam dirinya, dan juga rasa takut kepada Allah. Karena ia tahu bahwa kehendak Allah ditunaikan melalui tindakan dan keputusannya sendiri. Hal ini merupakan tanggungjawab besar yang menuntut agar seseorang selalu waspada. Hal ini juga mengingatkan manusia tentang kebutuhannya yang permanen agar mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Allah untuk memastikan bahwa keinginannya tak menjadi lebih baik darinya. Dengan demikian, manusia tetap selalu berada di dekat Allah, mengikuti tuntunan-Nya dan menerangi jalannya dengan cahaya Ilahi. Sesungguhnya, standar kemurnian yang bisa dicapai manusia itu, tak terbatas."

"Wahai anak muda, ada keterkaitan antara jiwa manusia, fakta-fakta dasar alam semesta, adegan konstan dan berulang-ulang, serta adzab Allah yang tak henti-hentinya menghukum para tiran. Dia melakukan ini sesuai rencana hikmah-Nya, yang menentukan waktu bagi segala sesuatu. dan tujuan bagi setiap tindakan. Dia-lah Tuhan manusia, alam semesta dan takdir. Wallahu a'lam bishawab."
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." - [QS.17:36]
[Bagian 1]
Referensi :
- Sayyid Qutb, In The Shade of Quran, Volume XVIII, The Islamic Foundation
- Ibn Kathir, Stories of the Prophet, Darussalam
- The History of Al-Tabari Volume II : Prophets and Patriarchs, translated and annotated by William M. Brinner, SUNY Press