Pelatuk berkata, "Wahai almond, sampaikanlah pada kami tentang kisah dua lelaki dalam Surah Al-Kahfi!" Almond berkata, "Wahai saudara-saudariku, Allah Azza wa Jalla, telah memberi gambaran tentang kehidupan di dunia ini. Allah berfirman dalam Surah Yunus [10]: 24, 'Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, hanya seperti air yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur karena air itu, di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, maka pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, memetik hasilnya, lalu datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, kemudian Kami jadikan tanamannya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada orang yang berpikir'."
Allah Subhanahu wa Ta'ala, memberi gambaran bahwa kehidupan duniawi ini, tampak indah di mata orang yang melihatnya, sehingga ia takjub dan terpesona dengan kemewahanannya, sehingga ia mengidamkannya, menginginkannya, kemudian tersesat olehnya - sampai ia mencapai tahap dimana ia mengira telah memilikinya dan menguasainya, kemudian tiba-tiba, dunia ini direbut darinya ketika ia sangat mendambakannya dan penghalang dibentangkan antara dirinya dan dunia itu. Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala, membandingkan keadaan ini dengan lahan dimana hujan turun, yang menyebabkan tetumbuhan bertunas, dan tanamannya mencapai kesempurnaan, serta tampak indah, menarik perhatian, namun menjebak, hingga ia mengira bahwa ia berkuasa dan berhak atasnya. Tiba-tiba, perintah Allah turun, dan bencanapun sontak menghancurkan tanaman-tanaman itu, menyebabkan lahan itu kembali seperti keadaan sebelumnya, yang tiada manfaat apa-apa. Karenanya, ia merasa gundah dan tangannya tak dapat berbuat apa-apa. Mirip dengan keadaan dunia ini dan orang yang menggantungkan nasib padanya.
Kisah dua lelaki ini, bila betul terjadi atau walau hanya sebuah perumpamaan, yang dituturkan sebagai peringatan, adalah jejak yang hampir sempurna dari perbandingan antara orang-orang musyrik Mekkah dan kaum Muslimin di zaman Jahiliyyah. Kaum musyrikin Mekkah saat itu, sangat angkuh bila duduk bersama orang miskin dan lemah di antara kaum Muslimin, mereka menemberang dan memamerkan harta-kekayaan dan kemuliaan garis keturunan mereka. Allah kemudian mewahyukan perumpamaan dua orang lelaki, salah seorang diantaranya, yang kufur, Allah berikan dua ladang anggur, dikelilingi dengan pohon kurma dan hasil panen yang berlimpah. Semua pohon dan tanaman itu, memunjung buahnya, mudah dipetik dan berkualitas baik.
Masing-masing dua ladang itu, menghasilkan banyak buah-buahan dan tak ada yang pernah berkurang. Dan sungai mengalirinya dari segala arah. Ia juga memiliki Thamar, kekayaan yang banyak, maka ia berkata kepada kawannya, yang mukmin, saat bercakap-cakap dengannya, “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat. Aku punya lebih banyak budak, pelayan dan anak-anak." Dengan berlagak, ia memamerkan kekayaannya dan mengajak kawannya itu, berdebat.
Lalu sang kufur memasuki ladangnya dan berkata, “Menurutku, ladang ini takkan binasa, selama-lamanya, dan menurutku, Hari Kiamat itu takkan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pastilah aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada semua ini. Dan andai saja bukan karena Tuhan menyayangiku, Dia takkan memberiku semua ini. Aku yakin mendapatkan yang lebih baik daripada semua ini sebagai balasan." Dirinya telah terjebak oleh tanaman, buah-buahan dan pohon-pohon yang nampak, serta sungai-sungai yang mengalir melalui celah-celah ladangnya. Ia mengira bahwa semua itu takkan pernah bisa binasa atau berakhir. Ini karena kurangnya pemahaman dan kelemahan imannya kepada Allah, dan karena ia terpikat dengan dunia dan perhiasannya, serta tak beriman pada Hari Akhir.
Sang mukmin membalasnya, memperingatkan dan menghardik sang kufur karena menyangkal Allah dan membiarkan dirinya tertipu, "Tak yakinkah engkau bahwa Dia Yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes jauhar, lalu Dia menjadikan engkau seorang lelaki yang sempurna?" Inilah penolakan, menunjukkan betapa rawan penistaan sang kufur terhadap Rabb-nya, Yang menciptakan dan membentuk manusia dari debu - merujuk pada Nabi Adam, alaihissalam - kemudian menciptakan keturunannya dari cairan yang hina. Sang mukmin berkata, "Bagaimana bisa engkau menolak Rabb-mu dan tanda-tanda-Nya yang jelas kepadamu, yang setiap orang mengakui dalam dirinya sendiri, karena tiada seorangpun di antara makhluk-Nya yang tak tahu bahwa dirinya ada, dari ketiadaan, kemudian menjadi ada, dan keberadaannya bukan karena dirinya atau makhluk lain? Ia tahu bahwa keberadaannya itu karena Penciptanya, tiada Illah lain selain Dia, Pencipta segala sesuatu."
Lalu ia berkata, "'Aku takkan mau mengucapkan apa yang telah engkau ucapkan; melainkan aku mengakui Keesaan dan Keilahian Allah. Dialah Allah, hanya Dialah yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu, engkau tak mengucapkan 'Masya Allah, la quwwata illa billah' (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah), sekalipun engkau anggap harta dan keturunanku lebih sedikit daripadamu? Maka semoga Rabb-ku, kelak akan memberikan kepadaku ladang yang lebih baik dari ladangmu ini; dan Dia mengirimkan petir dari langit ke ladangmu, sehingga ladang itu menjadi tanah yang licin, atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka engkau takkan dapat menemukannya lagi.”
Para Salaf berkata, “Barangsiapa yang bersuka-cita dengan sesuatu, baik itu dalam hal keadaan dirinya, atau kekayaannya, ataupun anak-anaknya, hendaknya ia berkata, 'Masya Allah, la quwwata illa billah!' Dalam kitab Shahihah, dari Abu Musa, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan tentang khazanah diantara khazanah surga? La hawla wa la quwwata illa billah." Salah satu khazanah surga adalah mengakui dan menyatakan bahwa kemampuan melakukan perbuatan baik maupun menghindari perbuatan buruk, takkan mungkin terjadi tanpa pertolongan Allah. Dengan kata lain, orang yang menyatakannya dengan lidah dan mengakuinya di dalam qalbunya, maka seakan ia telah memperoleh sebuah kunci khazanah Surga.
Apa yang ditakutkan oleh sang kufur, dan apa yang diyakini sang mukmin, benar-benar terjadi. Badai menghantam ladangnya, ladang yang menurutnya akan berlangsung abadi, mengalihkan perhatiannya dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Iapun bertepuk sebelah tangan, menyesal dan sedih karena hartanya telah musnah, dan berkata, "Aduhai, sekiranya dulu aku tak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatupun.” Dan tiada lagi baginya segolongan pun yang dapat menolongnya melainkan Allah, marga ataupun anak-anaknya, tak dapat menolong karena ia telah merapik dengan sia-sia, dan iapun takkan dapat membela dirinya. Ketika Allah mengirimkan adzab padanya, takkan ada yang dapat menyelamatkannya. Di sana, Al-Walayah itu hanya dari Allah Yang Mahabenar. Dialah Pemberi pahala terbaik dan Pemberi balasan terbaik."
Bulbul bertanya, "Apa itu Al-Walayah?" Almond berkata, "Ada yang menyebutnya sebagai Al-Walayah, yang bermakna bahwa seluruh kepatuhan hanya kepada Allah, yaitu, pada Hari dimana setiap orang, yang beriman maupun kafir, akan kembali kepada Allah, patuh dan berserah-diri kepada-Nya ketika keputusan dijatuhkan. Ada juga yang menyebutnya sebagai Al-Wilayah, bersandar bahwa pada hari itu, segala ketentuan hanyalah milik Allah. Ada yang menyebutnya Haqqu (Benar), yang mengacu pada Al-Wilayah. Ada yang menyebutnya, Haqqi, yang merujuk pada Allah, Azza wa Jalla.
Tentang kisah dua lelaki ini, akhir-akhir ini, telah muncul fenomena di antara kita, dimana ada seseorang yang ingin menunjukkan jati-dirinya. Ia berkata, "Aku lebih baik, aku lebih moderat daripada kalian!" Namun ketika ditanya, "Apa perbedaan antara bersikap moderat dan bersikap wajar?" Alih-alih menjelaskan, ia berbalik menuduh, "Aku lebih toleran daripada kalian! Kalian tak menunjukkan rasa-toleransi!" Benarkah? Bagaimana dengan paradox toleransi yang menyatakan bahwa jika suatu masyarakat menunjukkan toleransi yang tanpa batas, kemampuannya untuk bersikap toleran, pada akhirnya akan dicengkeram atau dihancurkan oleh sikap intoleran? Karena, toleransi yang tanpa batas, akan bertransformasi menjadi intoleransi. Bukankah bila ke dalam secangkir teh manis, ditambahkan gula terus-menerus, akan terasa getir? Ini bukanlah untuk menghalangi toleransi ataupun moderasi, namun sebagai pengingat diri, karena pada kenyataanya, kata-kata toleransi dan moderasi, terkadang dipergunakan sebagai aral jalan kebenaran.
Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Janganlah menganggap diri kalian lebih shalih. Hanya Allah-lah Yang mengetahui keshalihan di antara kalian." Dalam Surah An-Najm [53]: 32, Allah berfirman, "(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa." Jadi, janganlah mengatakan dirimu lebih suci, atau lebih baik, tetapi lihatlah kekuranganmu dalam ketaatan. Kemudian, jika ada orang yang mengatakan dirimu baik, andai mereka tahu kekuranganmu, tentulah mereka akan menjauh."
Referensi :Almond lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, bila Allah menganugerahkan karunia-Nya kepada seorang mukmin, bukanlah keangkuhan dan kepomgahan yang ditampakkannya, ia akan meletakkan dahinya diatas tanah dan mengakui segala karunia itu, dan dengan lidah dan qalbunya, ia menyatakan, 'Wahai Allah, sekiranya bila Engkau tak menganugerahkan pemberian ini, aku takkan mampu mendapatkannya. Segala karunia ini, dari sisi-Mu.'
Sungguh beruntung orang yang merenungkan terlebih dahulu akibat dari suatu tindakan sebelum melakukannnya. Dan yang malang adalah, ia yang tanpa memikirkan akibatnya, bersikap angkuh dan berbangga-diri, dan kemudian ketika hasilnya muncul, ia terdiam melihat akibatnya, dan merasa sedih dan menyesal. Saat itu, kesedihan dan penyesalan, tiada gunanya. Dalam kisah tersebut, para penyangkal akan dihadapkan dengan malapetaka. Dan petaka yang sama juga harus dihadapi oleh Firaun, dan ia juga akan dipaksa mengakui, pada saat itu, bahwa andai, sebelum tertimpa adzab, ia mendengarkan nasihat Nabi Musa, alaihissalam, adzab itu takkan melandanya. Wallahu a'lam."
"Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." - [QS.18:45-46]
- Ibn Kathir, Stories of The Qur'an, Dar Al-Manarah
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume VI, Darussalam
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex
- Imam ibn Qayyim al-Jawziyyah, The Paragons of The Qur'an, Dar As-Sunnah