"Tidakkah engkau perhatikan, bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit? Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Rabb-nya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.
Aku hanyalah sebatang pohon, yang dicipta Allah dengan tujuan, untuk menyembah-Nya dan melayani manusia. Setiap manusia dan, tentu saja, para unggas, pastilah senang dan terhibur melihat pemandangan pohon yang indah. Seperti berlindung di bawahnya, menikmati buahnya yang lezat, memanfaatkan oksigen yang dihasilkannya dan menyerap karbondioksida yang dilepaskannya. Pohon adalah paru-paru dunia. Bahkan menggunakan setiap daun, akar serat dan kayu untuk berbagai keperluan. Batang pohonkupun, bisa dijadikan tongkat. Ketika cabang pohon mati, ia berubah menjadi tongkat dan tongkat takkan mendapatkan kekuatannya kecuali telah benar-benar mati. Tahukah engkau ada tongkat yang pernah, atas kehendak Allah, berubah dari benda mati, menjadi binatang?" berkata pohon Almond kepada para unggas. Bulbul berkata, "Aku tahu, itulah tongkat Nabi Musa, alaihissalam, dan juga atas kehendak Allah, ia menyebabkan laut terbelah menjadi dua!" Almond berkata, "Tongkat Nabi Musa, tetapi itu bukan aku. Khabarnya, tongkat Nabi Musa itu, diberikan oleh malaikat kepada seorangtua, yang kemudian menyerahkannya kepada Nabi Musa. Tapi, tahukah engkau, ada juga kisah lain tentang Nabi Musa? " Bulbul berkata, "Tidak, sampaikanlah kepada kami!"
Almond berkata,"Nabi Musa, alaihissalam, pernah berkhutbah di tengah-tengah Bani Israil, lalu Nabi Musa ditanya, 'Siapakah yang paling berilmu?' Ia menjawab, 'Aku.' Lantas Allah menegurnya karena ia tak mengembalikan ilmu tersebut kepada Allah. Allah mewahyukan kepadanya, “Sesungguhnya seorang hamba-Ku yang berada di pertemuan dua lautan adalah orang yang lebih berilmu daripadamu.” Selanjutnya Nabi Musa bertanya, “Wahai Rabbku, siapakah yang bisa mempertemukanku dengannya?” Allah menjawab, “Bawalah seekor ikan dalam sebuah keranjang. Bilamana engkau kehilangan ikan tersebut, maka disanalah ia berada.'
Lalu Nabi Musa berangkat bersama muridnya yang bemama Yusya’ bin Nun. Nabi Musa membawa seekor ikan yang telah ditaburi garam dalam sebuah keranjang. Nabi Musa dan muridnya berangkat dengan berjalan kaki sehingga sampai di sebuah batu karang, lalu Nabi Musa dan muridnya melepas lelah dan tidur di sana. Di lokasi itu, terdapat mata air yang disebut 'Ain Al-Hayat (Mata Air Kehidupan).
Sementara itu, ikan yang berada di dalam keranjang tersebut bergerak dan keluar dari keranjang lalu terjun ke dalam laut dengan cara yang sangat aneh. Allah menahan aliran air laut sehingga menjadi seperti sebuah jembatan sehingga ikan tersebut dapat melintasinya. Mereka meneruskan perjalanan pada siang dan malam hari. Murid Nabi Musa lupa memberitahukan bahwa ikan tersebut telah lepas. Pada suatu pagi Nabi Musa berkata kepada muridnya, “ Bawalah makanan itu kemari, sesungguhnya kita sudah merasa letih karena perjalanan kita ini.” Dan Nabi Musa takkan menghentikan perjalanan sebelum ia sampai ke tempat yang Allah perintahkan. Muridnya berkata, “Tahukah engkau, ketika kita mencari tempat berlindung di sebuah batu karang tadi, aku terlupa menceritakan tentang ikan itu. Setan telah membuatku lupa menceritakannya. Ikan tersebut masuk ke dalam laut dengan cara yang sangat aneh. Kemudian Nabi Musa berkata, “Kalau begitu itulah tempat yang kita cari." Lalu keduanya kembali ke tempat semula dengan menelusuri jejak mereka yang lalui.
Sampailah mereka di tempat batu karang tersebut, dan lihat! Ada seorang lelaki yang berselimutkan selembar pakaian hijau, dan itulah Khidhir. Nabi Musa memberi salam kepadanya dan ia pun membalas salamnya. Khidhir berkata, “Bagaimana mungkin ada salam di tanah airmu?” Nabi Musa berkata, “Aku adalah Musa.” Khidhir bertanya, “Musa Bani Israil?” Nabi Musa menjawab, “ Ya.” Khidhir berkata, “Sesungguhnya aku memiliki suatu ilmu yang telah diberikan Allah yang tak engkau ketahui. Sebaliknya, engkau juga memiliki suatu ilmu yang telah diberikan Allah, yang tak kuketahui.” Nabi Musa berkata kepada Khidhir, “Bolehkah aku mengikutimu?” Khidhir menjawab, “Sesungguhnya engkau takkan sabar mengikutiku. Bagaimana engkau dapat sabar terhadap sesuatu yang belum pernah engkau ketahui?” Nabi Musa berkata, “ Insya Allah, engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan aku takkan menentangmu dalam urusan apapun.” Khidhir berkata kepada Nabi Musa, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau bertanya sedikitpun, sebelum aku sendiri yang menerangkannya kepadamu.” Nabi Musa menjawab, “ Baiklah.”
Maka berangkatlah Khidhir dan Nabi Musa dengan berjalan di tepi pantai. Lalu sebuah perahu datang kepada mereka. Mereka berbicara dengan para penumpangnya meminta agar dibolehkan ikut. Ternyata mereka mengenal Khidhir, maka mereka membawa keduanya tanpa bayaran sepeserpun. Ketika mereka berdua berada diatas perahu itu, hinggaplah seekor burung di ujung perahu lalu mematuk paruhnya ke laut satu atau dua kali. Khidhir berkata kepada Nabi Musa, “Ilmu yang Allah berikan kepadamu dan kepadaku, tidaklah mengurangi ilmu Allah sedikitpun kecuali seperti hilangnya air lautan yang diambil oleh burung ini dengan paruhnya itu."
Selagi mereka masih berada di atas kapal, Nabi Musa terkejut ketika tiba-tiba Khidhir mengambil sebuah kapak, lalu mencabut sekeping papan pada perahu tersebut. Nabi Musa terkejut setelah mengetahui papan perahu tersebut tercabut. Nabi Musa berkata kepada Khidhir, “Apa yang engkau lakukan? Mereka telah membawa kita tanpa bayaran sepeserpun, lantas mengapa engkau dengan sengaja melubangi perahu mereka untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh engkau telah membuat kesalahan yang besar?” Khidhir berkata, “ Bukankah telah aku katakan, bahwa sesungguhnya engkau takkan dapat bersabar mengikutiku?” Nabi Musa berkata, “ Janganlah engkau menghukumku karena kelalaianku dan janganlah engkau membebaniku dengan suatu kesulitan dalam urusanku.”
Selanjutnya mereka berdua meninggalkan perahu tersebut. Sewaktu mereka sedang berjalan di tepi pantai, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang bocah yang sedang bermain dengan beberapa orang kawannya. Khidhir memegang kepala bocah tersebut kemudian mencabut kepalanya dan membunuhnya. Nabi Musa berkata, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, padahal ia tak pemah membunuh orang lain. Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar.” Khidhir berkata, “Bukankah telah aku katakan bahwa sesungguhnya engkau takkan dapat bersabar mengikutiku?” Nabi Musa berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu, sesudah kali ini, maka janganlah engkau memperbolehkanku menyertaimu, sesungguhnya engkau telah cukup memberikan uzur kepadaku.”
Mereka berdua meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai ke sebuah negeri, mereka meminta supaya penduduk negeri itu sudi menjamu mereka. Tetapi penduduk negeri itu tak ada yang mau menjamunya. Kemudian keduanya mendapati di negeri itu sebuah dinding rumah yang hampir roboh. Lalu Khidhir menegakkan dinding dengan mengusapnya. Nabi Musa berkata, “Kita mendatangi suatu kaum yang tak mau memberi kita makan dan tak mau menjamu kita, sementara engkau dengan sengaja mendirikan dinding yang hampir roboh tersebut. Jika engkau mau, engkau boleh mengambil upah dari pekerjaanmu itu.” Khidhir berkata, “Inilah perpisahan kita. Aku akan memberitahukan kepadamu, makna perbuatan-perbuatanku yang membuatmu tak sabar.”
Kemudian ia menjelaskan kepadanya, "Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja, yang akan merampas setiap perahu. Dan adapun anak itu, kafir, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau ia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Kemudian kami menghendaki, sekiranya Rabb mereka menggantinya dengan seorang anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anak itu dan lebih sayang kepada ibu bapaknya. Dan adapun dinding rumah itu, milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang shalih. Maka Rabb-mu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Rabb-mu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tak sabar terhadapnya.”
Nabi Musa berkata pada dirinya sendiri bahwa tak ada orang yang lebih bijak selain orang ini atau yang telah mengucapkan hal seperti ini, dan karena alasan itulah, ia diperintahkan menemui Khidhir. Sesungguhnya, jika engkau menjaga Allah, Allah akan menjagamu dengan menjauhkamnu dari hasrat yang sia-sia dan keraguan dalam Imanmu, seperti yang diucapkan Khidhir kepada Nabi Musa, alaihissalam, "Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri.
Jika engkau menjaga perintah Allah di saat mudamu, Allah akan menjagamu di masa tuamu; Jika engkau menjaga perintah Allah, Allah akan menjaga anak-anakmu. Khidhir menjelaskan mengapa ia memperbaiki dinding tanpa meminta upah. Allah menjaga anak-anak yatim itu, karena ayah mereka orang yang shalih. Anak-anak yatim ini, belum cukup dewasa untuk dimintai pertanggungjawaban, sehingga kita tak dapat mengetahui akankah menjadi orang yang shalih atau tidak, tetapi alasan mengapa Allah menaruh harta karun di sana, karena ayah mereka adalah orang yang shalih. Dan sang ayah telah tiada, maka Allah menjaga anak-anak itu. Dan Allah mengutus Khidhir, bagaimanapun caranya, hanya untuk memperbaiki tembok itu. Jadi, Allah tak hanya akan menjaga anak-anakmu ketika engkau masih hidup, tetapi Dia juga akan menjaga mereka setelah engkau tiada, apa yang lebih baik dari itu ? Karenanya, jagalah perintah Allah."
Bulbul bertanya, "Seorang nabikah Khidhir itu?" Almond menjawab, "Imam Ahmad mencatat bahwa Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, mengatakan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda tentang Khidhir, "Ia disebut Khidhir karena ia duduk di Farwah yang tandus, yang memutih, lalu berubah menjadi hijau (Khadraa') di bawahnya."
Menurut Ibnu Kathir, Khidhir adalah seorang nabi. Buktinya adalah kata-kata ketika Khidhir berkata, "sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan aku melakukannya bukan atas kemauanku sendiri" dan dalam ayat 65 dari Surah Al-Kahfi, Allah berfirman, "Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami."
Bulbul bertanya lagi, "Masih hidupkah Nabi Khidhir?" Almond berkata, "Menurut Ibnu Katsir, bahwa Imam Al-Bukhari, Abu Al-Husain Ibnu Al-Munadi dan Syekh Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jawzi, berpendapat bahwa Al-Khidir telah wafat. Ibnu 'Abbas, radhiyallahu' anhu, berkata, "Allah mengambil Perjanjian dari para Nabi agar beriman pada Nabi Muhammad (ﷺ) dan mendukungnya jika ia muncul selama masa hidup mereka. Selain itu, mereka harus mengambil Perjanjian dari seluruh umat mereka untuk mengimaninya dan mendukungnya dengan cara yang sama. Oleh karena itu, Khidhir seorang Nabi atau Wali (pelindung atau penjaga), ia akan terikut dalam Perjanjian itu dan bahwa bila ia hidup dalam masa hidup Nabi Muhammad (ﷺ), ia akan mengikutinya dan tampil di hadapannya, mengucap sumpah setia dan iman yang mutlak.
Bila Khidhir masih hidup, ia akan bergabung dengan Nabi Muhammad (ﷺ), dan ia akan mengikuti agamanya dalam setiap menit. Inilah yang Nabi 'Isa, alaihissalam, ketika akan turun pada akhir zaman, ia akan memerintah seluruh dunia sesuai dengan hukum yang dibawa Nabi Muhammad (ﷺ). Namun, tak ada yang menegaskan bahwa Khidhir telah bertemu dengan Nabi Muhammad (ﷺ) dalam satu hari atau bahkan tak ada yang menyaksikan peperangannya melawan kaum musyrikin.
Pelatuk bertanya, "Dimanakah dapat kutemukan kisah ini?" Almond berkata, "Engkau dapat menemukannya didalam Al-Quran, Surah Al-Kahfi. Tema utama Surah al-Kahfi adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan melindungimu dari segala cobaan. Surah al-Kahfi penuh dengan kisah dan didalam setiap kisah itu, ada cobaan. Jika engkau membaca Surah al-Kahfi, ada empat kisah yang merupakan inti dari surah ini.
Yang pertama, adalah kisah para pemuda yang pergi mencari perlindungan didalam sebuah gua, dan di sanalah surah ini mendapatkan namanya. Inilah kisah tentang ujian terhadap iman, ketika orang menganiaya orang lain karena mereka beriman kepada Allah. Ada sekelompok pemuda, mereka beriman kepada Allah, namun Raja ingin membunuh mereka. Maka pergilah mereka mencari perlindungan didalam sebuah gua dan Allah melindungi mereka.
Kisah kedua adalah kisah para lelaki dengan dua kebun. Inilah kisah tentang ujian uang, fitnatul maal. Apa yang terjadi ketika uang telah merasuki kepalamu. Apa yang terjadi ketika uang menyebabkan engkau menjadi sombong, dan solusinya di sini adalah, menyadari bahwa dunia ini hanya sementara, bahwa Allah memberi dan engkau tak mau memberi, maka semua yang engkau miliki pada akhirnya akan diambil.
Kisah ketiga adalah kisah Nabi Musa dan Khidhir, alaihimassalam, dan cobaan utama disini adalah ujian ilmu yang disalahgunakan, jika ilmu itu tak mengarahkanmu pada kerendahan-hati. Mungkin bahwa, bahkan ilmu itu dapat menjadi cobaan hidup, dan bahkan, ilmu itu dapat menyebabkan keangkuhan jika disalahgunakan. Namun, tentu saja Nabi Musa, alaihissalam, dapat mengatasinya, dan dalam kerendahan-hatinya, ia belajar dari orang lain selain dirinya, dan karenanya, kemuliaannya bertambah.
Dalam Kitab-Nya, Allah kadang menyebutkan 'ilmu itu dengan cara yang terpuji; merujuk pada ilmu yang bermanfaat, dan di sisi lain, Dia menyebutnya dengan cara yang tercela; merujuk pada ilmu yang tak bermanfaat. Adapun kategori pertama, disebutkan saat Allah menyebutkan kisah Nabi Musa yang bertanya kepada Khidhir, alaihimassalam, "Bolehkah aku mengikutimu hingga engkau dapat mengajariku petunjuk yang benar yang telah diajarkan kepadamu?" Ini tak lain melainkan ilmu yang bermanfaat. Selai itu, juga terletak pada apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wahyukan tentang kisah Nabi Adam, alaihissalam. Dia mengajarinya nama-nama segala hal.
Selain itu, disebutkan pula tentang, ada orang yang menimba ilmu, akan tetapi, ilmu mereka tak bermanfaat. Ilmu ini, bagi dirinya sendiri, bermanfaat, namun orang yang diberikan kepadanya ilmu itu, tak diuntungkan olehnya. Sesungguhnya, Allah menyesatkan mereka, terlepas dari ilmunya. Dalam Surah Al-A'raf [7]: 185-186], Allah berfirman, "Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai ia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang yang sesat. Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka laksana anjing, jika engkau menghalaunya, dijulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir."
Adapun kategori kedua ilmu itu, Allah mewahyukan dengan cara mencela, contoh-contohnya dapat ditemukan dalam wahyu-Nya tentang sihir."
Kisah terakhir adalah kisah Dzulqarnain, dan kisahnya adalah ujian terhadap kekuasaan, fitnah mulkan mulkiyya, ujian dalam mengendalikan orang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan, Dia menguji Dzulqarnain dengan cobaan ini. Tetapi, bagaimana Dzulqarnain mengatasinya? Dengan terus-menerus menyadari bahwa Allah adalah Malikul-Mulk. Ia mungkin Dzulqarnain, yang menguasai Timur dan Barat, tetapi Allah adalah Dzul Jalali wal Ikram, Dialah Pemilik segala kemuliaan dan kesempurnaan, dan Dialah Raja dari segala raja."Referensi :
Kemudian, Almond berkata, "Wahai saudara-saudariku, para pendiri Kampung Bayan ini, telah menjaga Allah dan Allah telah menjaga mereka dan generasi-generasi penerusnya. Sekarang, giliran kitalah untuk tetap menjaga Allah, semoga Allah tetap menjaga kita dan generasi-generasi penerus kita. Allah mewahyukan bahwa Dia telah menjadikan dunia ini tempat tinggal sementara, dihiasi dengan keindahan sementara, dan Dia menjadikannya tempat pengujian, bukan tempat bermukim. Imam Ahmad mencatat, Abu Maslamah meriwayatkan dari Abu Nadrah, dari Abu Said, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Dunia ini manis dan hijau, dan Allah menjadikan kalian generasi yang saling berganti, maka Dia memperhatikan apa yang akan kalian lakukan."
Kemudian Allah mewahyukan bahwa dunia ini akan berlalu dan berakhir. Wallahu a'lam."
"Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabb-ku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Rabb-ku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." - [QS.18:109]
- The History of al-Tabari, The Children of Israel, Volume III, Translated by William M. Brinner, SUNY Press.
- Ibn Kathir, Stories of The Qur'an, Dar Al-Manarah
- Ibn Kathir, Stories of The Prophets, Darussalam
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume VI, Darussalam
- Ibn Rajab al-Hanbali, The Excellence of Knowledge, Daar Us-Sunnah