Jumat, 22 Juni 2018

Lemparkanlah Tongkatmu!

Almond berkata, "Wahai saudara-saudariku, seperti yang telah kusampaikan, Allah telah mengibaratkan kalimat yang baik itu, yakni kalimat Thoyyibah, dengan pohon yang baik, karena hasil dari kalimat yang baik, adalah perbuatan baik, dan pohon yang baik juga akan menghasilkan buah yang bermanfaat dan bagus. Sebagian besar ulama Tafsir mengatakan bahwa, kalimat yang baik berarti pernyataan bahwa tiada illah yang patut disembah dengan benar, selain Allah, inilah pernyataan Syahadah. Sesungguhnya, buah dari pernyataan ini, semuanya tersembunyi dan mewujudkan perbuatan baik karena setiap perbuatan baik yang diridhai Allah Ta'ala, seyogyanya menjadi hasil dari pernyataan ini.
Jika seseorang merenungkan perbandingan ini, ia akan menyadari bahwa hal ini, sesuai dengan pohon Tauhid, yang akarnya tertancapkan di qalbu orang mukmin, yang cabangnya terdiri dari amal-shalih, menjulang tinggi ke langit dan terus memberikan buah-buah perbuatan baik, yang tergantung pada keteguhan dan kemapanan Tauhid dalam qalbu dan kadar dimana seseorang benar-benar memperhatikan hak-hak perbuatan itu. Jadi, pohon itu hendaknya secara teratur disiram dengan perbuatan baik dan bermanfaat, dan hendaknya dilindungi dan diperkuat dengan membiasakannya mengingat Allah, dan merenungkan Kitab-Nya, jika tidak, maka mungkin menjadi kering dan tak bernyawa."

Lalu Almond berkata, "Sekarang, mari kita lanjutkan tentang Kisah Nabi Musa, alaihissalam!" Bulbul berkata, "Ya, itu yang kami tunggu-tunggu!" Almond berkata, "Nabi Musa meninggalkan Mesir menuju Midian, waktu perjalanan delapan malam. Ia tak punya makanan kecuali dedaunan pohon. Ia bertelanjang kaki dan tak mencapai Midian hingga telapak kakinya lepuh. Dan ketika ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum ternaknya, dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang gadis sedang menghambat ternaknya. Nabi Musa bertanya kepada mereka, “Apa maksudmu dengan berbuat begitu?” Keduanya menjawab, “Kami tak dapat memberi minum ternak kami, sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang ayah kami, seorang tua yang telah lanjut usianya.”
Nabi Musa merasa iba dan pergi ke sumur. Ia mengangkat batu yang menutup sumur, yang memerlukan sekelompok orang Midian agar dapat mengangkatnya. Nabi Musa menimba air untuk mereka dengan sebuah ember, dan merekapun memberi minum kawanan ternak mereka dan segera pulang ke rumah, karena biasanya mereka hanya memberi minum dari luapan palung. Lalu Nabi Musa bernaung di bawah pohon Samur dan berkata, "Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Ia meminta makanan hanya kepada Allah.

Ketika kedua gadis itu bergegas kembali ke ayah mereka, sang ayah bertanya kepada mereka tentang minuman ternak itu. Mereka menceritakan tentang Nabi Musa kepadanya, maka ia meminta salah seorang dari mereka kembali menemui Nabi Musa. Datanglah ia kepada Nabi Musa, berjalan dengan malu-malu, ia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami.” Maka Nabi Musa bangkit bersamanya dan berkata, "Jalanlah." Maka wanita itu berjalan di depannya, dan angin berhembus menerpanya sehingga Nabi Musa tanpa sengaja melihat bokongnya. Nabi Musa berkata, "Berjalanlah di belakangku, dan tuntun aku dari belakang jika aku keliru selama dalam perjalanan."
Sesampainya ke orangtua itu, Nabi Musa memperkenalkan dan menceriterakan perihal dirinya, orangtua itu berkata, “Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.” Dan salah seorang dari kedua gadis itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah ia sebagai pekerja pada kita, sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja pada kita ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya,” gadis inilah yang memanggil Nabi Musa. Orangtua itu berkata, "Aku telah melihat kekuatannya saat ia mengangkat batu itu, namun bisakah ia dipercaya? Apa yang engkau ketahui tentang dirinya? " Gadis itu berkata, "Aku sedang berjalan di depannya, dan ia tak mau melecehkanku, maka ia memintaku agar berjalan di belakangnya." Orangtua itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya, aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun, dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun, maka itu suatu kebaikan darimu, dan aku tak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” Nabi Musa berkata, “Itu perjanjian antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi. Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan.” Kelak, gadis yang mengundangnya itulah, yang dinikahinya.

Kemudian, orangtua itu meminta salah seorang putrinya mengambilkan tongkatnya, dan putrinya pun mengambilkan untuknya. Itulah tongkat yang diberikan malaikat yang berujud manusia kepada orangtua itu. Gadis itu masuk dan mengambil tongkatnya, lalu membawanya keluar. Ketika orangtua itu melihatnya, ia berkata kepadanya, "Bukan! Bawa yang lain." Maka gadis itu meletakannya dan mengambil yang lain, namun hanya tongkat yang satu itu saja yang selalu terambil. Ia terus mengembalikannya, namun setiap kali ia kembali, tongkat itulah yang berada ditangannya. Ketika Nabi Musa melihatnya, ia mendekati tongkat itu, mengambilnya, dan menggembalakan kawanan ternak dengan memakai tongkat itu. Orangtua itu merasa kesal, berkata, "Tongkat itu telah diamanahkan kepadaku." Iapun keluar menemui Nabi Musa, dan ketika ia bertemu dengannya, ia berkata, "Kembalikan tongkat itu!" Nabi Musa menjawab, "Ini tongkat milikku!" dan menolak mengembalikannya. Mereka berdebat, sampai mereka mencapai kesepakatan bahwa mereka akan menunjuk orang pertama yang mereka temui sebagai penengah. Seorang malaikat datang berjalan dan menjadi penengah, ia berkata, "Letakkan tongkat itu di tanah, dan siapapun yang mampu mengangkatnya, maka tongkat itu miliknya." Orangtua itu berusaha, namun tak mampu mengangkatnya. Nabi Musa mengambilnya dan dengan mudah mengangkatnya. Maka orangtua itu menyerahkan tongkkatnya kepada Nabi Musa, dan Nabi Musa bekerja untuknya selama sepuluh tahun.
Mengenai orang tua ini, ada yang berpendapat bahwa ia adalah Nabi Syuaib, alaihissalam. Namun ada yang berpendapat bahwa ia adalah keponakan Nabi Syuaib. Ada yang berpendapat bahwa orang yang mempekerjakan Nabi Musa bernama Jethro atau Yathra, penguasa Midian atau imam Midian. Nama kedua gadis itu adalah Liya dan Zipora, dan yang menjadi istri Nabi Musa adalah Zipora.
Waktu berlalu, dan ia tinggal di pengasingan jauh dari keluarga dan kaumnya. Periode sepuluh tahun ini sangat penting dalam hidupnya. Inilah periode persiapan besar. Tentu saja, pikiran Musa terserap ke dalam bintang-bintang setiap malam. Ia mengikuti matahari terbit dan matahari terbenam setiap hari. Ia merenungkan tanaman dan melihat bagaimana benih biji terbelah, tumbuh dan berkembang. Ia merenungkan air dan bagaimana bumi dihidupkan kembali dan berkembang setelah kematiannya. Tentu saja, ia tenggelam dalam Kitab Allah Yang Maha Agung, yang membuka wawasan dan qalbunya. Ia tenggelam dalam keberadaan Allah. Semua ini menjadi laten di dalam dirinya. Dien Nabi Musa sama dengan Nabi Yakub, alaihissalam, yang merupakan Dien Islam. Nenek moyangnya adalah Nabi Yakub, cucu Nabi Ibrahim, alaihissalam. Karenanya, Nabi Musa adalah salah seorang keturunan Nabi Ibrahim dan setiap nabi yang diutus setelah Nabi Ibrahim adalah salah seorang pengganti Nabi Ibrahim. Selain persiapan fisik, ada persiapan spiritual yang serupa. Semuanya lengkap dalam pengasingannya, di tengah padang pasir, dan di tempat-tempat padang rumput. Keheningan adalah jalan hidupnya, dan pengasingan adalah kendaraannya. Allah Yang Maha Kuasa mempersiapkan untuk nabi-Nya alat-alat yang nantinya akan dibutuhkannya menunaikan perintah Allah Ta'ala..

Maka ketika Nabi Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan itu, kerinduan samar-samar muncul dalam hati Nabi Musa. Ia ingin kembali ke Mesir. Ia cepat dan teguh dalam membuat keputusan, menyampaikan kepada istrinya, "Besok kita akan berangkat ke Mesir." Istrinya berkata pada dirinya sendiri. "Ada ribuan bahaya dalam perjalanan yang belum kita ketahui." Namun, ia menaati suaminya. Nabi Musa meninggalkan Midian bersama keluarganya dan melakukan perjalanan melalui padang pasir sampai ia mencapai Gunung Sinai. Di sana, Nabi Musa menyadari bahwa ia telah tersesat. Ia memohon petunjuk Allah dan menunjukkan jalan yang benar. Saat malam tiba, mereka mencapai Gunung Tur. Lalu, ia melihat api di lereng gunung. Ia berkata kepada keluarganya, “Tunggulah di sini, sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari tempat api itu atau membawa sepercik api, agar kamu dapat menghangatkan badan.”
Namun ketika ia sampai ke tempat api itu, ia diseru dari arah pinggir sebelah kanan lembah, dari sebatang pohon, di sebidang tanah yang diberkahi, "Telah diberkahi orang-orang yang berada di dekat api, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.” Dan Allah berfirman, "Wahai Musa! Sungguh, Akulah Allah, Rabb seluruh alam! Sungguh, Aku adalah Rabb-mu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Tuwa. Dan Aku telah memilih engkau, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sungguh, Aku ini Allah, tiada illah selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku. Sungguh, hari Kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan waktunya agar setiap orang dibalas sesuai dengan apa yang telah ia usahakan. Maka janganlah engkau dipalingkan dari Kiamat itu oleh orang yang tak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti keinginannya, yang menyebabkan engkau binasa. Dan apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?” Nabi Musa berkata, “Ini tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan daun-daun dengannya untuk makanan kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu Nabi Musa melemparkan tongkat itu, namun ia melihatnya bergerak-gerak seakan-akan seekor ular yang gesit. Garpu tongkatnya menjadi mulut ular; pengaitnya menjadi jambul di punggungnya, bergeleng-geleng, dan ada taringnya. Seperti yang Allah kehendaki. Nabi Musa lari berbalik ke belakang tanpa menoleh. Allah berfirman, “Wahai Musa! Jangan takut! Sesungguhnya di hadapan-Ku, para rasul tak perlu takut. Kemarilah dan jangan takut. Sesungguhnya engkau termasuk orang yang aman."
Ketika ia mendekat, Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya pada keadaannya semula." Letakkan tanganmu ke dalam mulutnya." Nabi Musa mengenakan pakaian wol panjang, maka ia membungkus tangannya di lengan bajunya, karena ia takut pada ular itu. Lalu terdengar suara, "Lepaskan lengan bajumu dari tanganmu!" Dan ia melepaskannya. Kemudian ia meletakkan tangannya di antara rahang ular itu. Ketika ia melakukannya, ia menangkapnya, dan lihat! Ular itu kembali menjadi tongkatnya, dengan tangannya di antara kedua garpunya, dimana ia biasanya menggenggamnya, dan pengaitnya pada tempatnya. Tak ada yang tak ia kenali. Lalu Allah berfirman, "Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, ia akan keluar putih bercahaya tanpa cacat, dan dekapkanlah kedua tanganmu ke dadamu apabila ketakutan. Itulah dua mukjizat dari Tuhanmu yang akan engkau pertunjukkan kepada Fir‘aun dan para pembesarnya. Sungguh, mereka adalah orang-orang fasik.”

Nabi Musa berkata, “Wahai Rabb-ku, sungguh aku telah membunuh seorang dari golongan mereka, sehingga aku takut mereka akan membunuhku. Dan saudaraku Harun, ia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah ia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan perkataanku; sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku.” Allah berfirman, “Kami akan menguatkan engkau membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka takkan dapat mencapaimu; berangkatlah kamu berdua dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang. Jangan takut, mereka takkan dapat membunuhmu! Maka pergilah kalian berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sungguh, Kami bersamamu mendengarkan apa yang mereka katakan, maka datanglah kamu berdua kepada Fir‘aun dan katakan, “Sesungguhnya kami adalah rasul-rasul Rabb seluruh alam."
Nabi Musa berkata, “Wahai Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, Harun, saudaraku, teguhkanlah kekuatanku dengan keberadaannya, dan jadikanlah ia teman dalam urusanku, agar kami banyak bertasbih kepada-Mu, dan banyak mengingat-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Melihat keadaan kami.” Allah berfirman, “Sungguh, telah diperkenankan permintaanmu, wahai Musa! Dan sungguh, Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kesempatan yang lain sebelum ini, dan Aku telah memilihmu menjadi rasul untuk diri-Ku. Pergilah engkau beserta saudaramu dengan membawa tanda-tanda kekuasaan-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai mengingat-Ku; pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena ia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut."


Nabi Musa, Al-Kalim, kembali ke keluarganya, dan bersama-sama mereka melakukan perjalanan ke Mesir sampai tiba di malam hari. Ia disambut oleh ibunya, namun tak mengenali mereka. Ia mendatangi mereka pada malam di mana mereka makan tifsyil, sepiring gandum, dan ia berkemah di samping rumahnya. Kemudian Nabi Harun, alaihissalam, datang dan memperhatikan tamunya. Ia bertanya kepada ibunya tentang tamunya itu, dan ibunya mengatakan bahwa mereka adalah tamu. Nabi Harun mengundang Nabi Musa dan makan bersamanya. Ketika mereka duduk dan bercakap-cakap, Nabi Harun bertanya kepadanya, "Siapakah engkau?" Ia menjawab, "Akulah Musa." Keduanya berdiri, dan saling berangkulan. Ketika mereka telah akrab satu sama lain, Nabi Musa berkata kepadanya. "Wahai Harun! Pergilah bersamaku menemui Firaun, karena Allah telah mengutus kita kepadanya." Nabi Harun menjawab, "Aku dengar dan aku taat!" Namun ibu mereka berdiri dan berteriak, berkata, "Aku mohon, demi Allah, janganlah pergi ke Firaun, karena ia akan membunuh kalian." Tetapi mereka menolak dan pergi pada malam hari.
Mereka tiba di gerbang istana dan mengetuknya. Firaun terkejut, juga penjaga gerbang, dan Firaun berkata, "Siapa yang mengetuk pintu di malam seperti ini?" Penjaga gerbang memandang rendah dan bercakap-cakap kepada mereka. Nabi Musa berkata, "Aku adalah utusan Rabb alam semesta!" Penjaga gerbang ketakutan, ia menemui Firaun dan menyampaikan, "Ada orang gila yang bilang bahwa ia adalah Utusan Rabb alam semesta." Firaun berkata, "Biarkan ia masuk." Nabi Musa masuk dan berkata, "Sesungguhnya, Aku adalah utusan Rabb alam semesta, dan lepaskanlah Bani Israil pergi bersama kami." Firaun mengenalinya dan berkata, “Bukankah kami telah mengasuhmu dalam lingkungan keluarga kami, waktu engkau masih kanak-kanak dan engkau tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan engkau telah melakukan kesalahan dari perbuatan yang telah engkau lakukan dan engkau termasuk orang yang tak tahu berterima kasih.”

Nabi Musa berkata, “Aku telah melakukannya, dan ketika itu aku termasuk orang yang khilaf. Lalu aku lari darimu karena aku takut kepadamu, kemudian Rabb-ku menganugerahkan ilmu kepadaku serta Dia menjadikan aku salah seorang di antara rasul-rasul. Dan itulah kebaikan yang telah engkau berikan kepadaku, sementara itu engkau telah memperbudak Bani Israil.” Fir‘aun bertanya, “Siapa Rabb seluruh alam itu?” Nabi Musa menjawab, “Rabb pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, itulah Rabb-mu jika engkau mempercayai-Nya.” Fir‘aun berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakannya?” Nabi Musa berkata, “Dia Tuhanmu dan juga Tuhan nenek moyangmu terdahulu.” Fir‘aun berkata, “Sungguh, Rasulmu yang diutus kepada kalian benar-benar orang gila.” Nabi Musa berkata, “Dialah Rabb Yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada di antara keduanya; jika engkau mengerti.” Fir‘aun berkata, “Sungguh, jika engkau menyembah Tuhan selain aku, pasti aku masukkan engkau ke dalam penjara.” Nabi Musa berkata, “Akankah engkau melakukan itu sekalipun aku tunjukkan kepadamu bukti yang nyata?” Fir‘aun berkata, “Tunjukkan bukti yang nyata itu, jika engkau termasuk orang yang benar!” Maka Nabi Musa melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya, yang membuka mulutnya dan meletakkan rahang bawahnya di lantai dan bagian atasnya di dinding istana. Kemudian berbalik arah ke Firaun untuk menangkapnya. Ketika Firaun melihatnya, ia ketakutan dan melompat, tercirit, meskipun sebelumnya ia tak melakukannya. Firaun tak dapat mengendalikan isi perutnya, meskipun mereka mengklaim bahwa selama lima atau enam hari, ia tak pernah masuk ke bilik air - seperti orang lain, dan itulah salah satu hal yang mendorongnya mengatakan bahwa tak ada manusia yang seperti dirinya. Namun, saat ia melompat, kotorannya tampak dan ia berteriak, "Hai Musa! Tangkaplah ular itu dan aku akan beriman kepadamu. Aku akan melepaskan Bani Israil bersamamu." Maka Musa pun meraih ular itu, dan kembali lagi menjadi tongkat. Lalu Nabi Musa mengeluarkan tangannya dari dalam bajunya, tiba-tiba tangan itu menjadi putih bercahaya bagi orang-orang yang melihatnya.

Setelah itu, Nabi Musa meninggalkan istana dan Firaun menolak beriman kepadanya atau mengirim orang Israel bersamanya. Firaun mencuru selama dua puluh malam sampai ia hampir mati; kemudian sakit itu berhenti. Ia berkata kepada para pemuka di sekelilingnya, “Sesungguhnya Musa ini pasti seorang pesihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu dengan sihirnya; karena itu adakah saran dari kalian?” Dan seseorang yang beriman di antara keluarga Fir‘aun yang menyembunyikan imannya berkata, “Akankah engkau membunuh seseorang karena ia berkata, “Rabb-ku adalah Allah,” padahal sungguh, ia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dirinyalah yang akan menanggung dosa dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian bencana yang diancamkannya kepadamu, akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta. Wahai kaumku! Pada hari ini kerajaan ada padamu dengan berkuasa di bumi, tetapi siapa yang akan menolong kita dari azab Allah, jika azab itu menimpa kita?” Fir‘aun berkata, “Aku hanya mengemukakan kepadamu, apa yang aku pandang baik; dan aku hanya menunjukkan kepadamu jalan yang benar.” Kepala sukunya berkata, "“Tahanlah untuk sementara, ia dan saudaranya, dan utuslah ke seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan pesihir, niscaya mereka akan mendatangkan semua pesihir yang pandai kepadamu.”

Almond berhenti sejenak, dan berkata, "Wahai saudara-saudariku, Allah Subhanahu wa Ta'ala, mewahyukan dua contoh mengenai orang-orang tak beriman; satu contoh dimana mereka diibaratkan dengan fatamorgana-dan yang lainnya, lapisan gelap gulita yang berlapis-lapis. Ini karena mereka yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran, ada dua jenis: orang yang secara keliru mengira bahwa telah memiliki keyakinan yang kuat - dan ketika kebenaran akhirnya mengungkapkan diri kepadanya, menjadi jelas baginya bahwa itu bertentangan dengan apa yang ia yakini, akhirnya terbukti bahwa keyakinannya itu tak memiliki landasan yang kuat sama sekali.
Tipe kedua, yaitu orang-orang yang laksana gelap-gulita yang berlapis-lapis, dan merekalah orang-orang yang mengenali kebenaran dan petunjuk, namun lebih menyukai kegelapan, kebatilan dan kesesatan. Wallahu a'lam."
"Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi tidak ada apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila ia mengeluarkan tangannya, hampir tak dapat melihatnya. Barangsiapa tak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka ia takkan mempunyai cahaya sedikit pun." - [QS.24:39-40]
Referensi :
- The History of al-Tabari, The Children of Israel, Volume III, Translated by William M. Brinner, SUNY Press
- Ibn Kathir, Stories of The Prophets, Darussalam
- Imam ibn Qayyim al-Jawziyyah, The Paragons of The Qur'an, Dar As-Sunnah