"Para ulama menyebutkan beberapa latarbelakang terbunuhnya Nabi Yahya, aku hanya akan menyebutkan yang masyhur saja," Wari melanjutkan.
"Ketika Nabi Yahya mulai berdakwah, ia juga menyampaikan kepada mereka bahwa setelah dirinya, seorang nabi yang lebih agung dan lebih terkemuka, akan datang, orang-orang Yahudi mulai membenci dan memusuhinya. Mereka tak bisa mentolerir dakwahnya, dan suatu hari, mereka berkumpul di sekelilingnya dan bertanya, “Al-Masihkah engkau?” Ia menjawab, “Bukan.” Kemudian mereka bertanya, “Nabikah engkau?” Ia menjawab, “Bukan.” Kemudian mereka bertanya kepadanya, 'Nabi Illyaskah engkau?" Ia menjawab, "Bukan." Lalu mereka semua bertanya, "Lalu, siapakah engkau? Siapa yang mengabarkan kepada kami berita ini dan menyeru sepertu itu?" Ia menjawab, "Akulah suara yang memanggil dari gurun pasir, yang telah dibangkitkan untuk kebenaran." Mendengar hal ini, orang-orang Yahudi itu bangkit dengan marah dan akhirnya, mereka membunuhnya.
Menurut riwayat dari Wahb bin Munabbih, dikatakan bahwa ketika orang-orang Yahudi telah membunuh Nabi Yahya, mereka berbalik ke arah Nabi Zakariya dengan niat untuk membunuhnya pula. Ketika Nabi Zakariya melihat ini, ia melarikan diri dari mereka. Di depannya ada pohon besar dan ia masuk ke celah pohon tersebut. Orang-orang Yahudi mengikutinya. Mereka berusaha memaksanya keluar dari celah itu, dengan menembakkan anak-panah ke arahnya. Ketika anak-panah itu hampir mencapainya, Allah mewahyukan kepadanya, "Jika engkau hendak mengadukan perlakuan mereka kepada-Ku, maka Aku akan menghancurkan seluruh bumi ini, namun jika engkau mau bersabar dan istiqamah, maka Aku takkan menurunkan adzab dan amarah-Ku atas mereka."
Nabi Zakaria memilih bersabar dan menahan beban penganiayaan mereka tanpa mengeluh. Orang-orang Yahudi menebang pohon itu dan membelahnya menjadi dua, dan dengan demikian, mereka juga membelah Nabi Zakaria menjadi dua, membunuhnya.
Ada perbedaan pandangan diantara Ulama sejarah dan biografi, mengenai apakah Nabi Zakariya meninggal secara wajar atau juga mati syahid. Riwayat lain menyebutkan bahwa mereka memang menembakkan anak-panah, namun Nabi Zakaria selamat, ia kemudian wafat secara wajar. Namun, riwayat yang masyhur adalah bahwa orang Yahudi memang membunuhnya. Adapun bagaimana itu terjadi dan di mana, yang terbaik kita hendaknya mengatakan: Allahu a'lam.
Dari kisah Ibnu Jarir, menurut Ibn Mas'ud dan beberapa sahabat Nabi (ﷺ), "Seorang Israil bermimpi bahwa kehancuran Kuil dan bangsa Israil akan terjadi melalui putra seorang janda dari Babilonia-anak yatim piatu bernama Bukhtanashr. Mereka mempercayai mimpi itu, dan terbukti benar. Orang itu menanyakan tentang pemuda (dalam mimpinya) itu dan kemudian mendatangi ibu anak lelaki itu ketika putranya sedang mengumpulkan kayu bakar. Anak tersebut datang dengan seikat kayu bakar di atas kepalanya, melemparkannya ke bawah, dan duduk di dekat rumah itu. Lalu orang Israil itu bercakap-cakap dengannya dan memberinya tiga dirham, seraya berkata, “Belilah makanan dan minuman dengan ini.” Dengan sedirham itu, ia membeli daging, roti, dan anggur. Mereka makan dan minum. Keesokan harinya, hal yang sama terjadi, dan lagi pada hari ketiga. Kemudian orang Israil itu berkata, "Aku ingin engkau menulis wasiat untuk keselamatan diriku, jika suatu hari nanti engkau menjadi raja." Pemuda itu menjawab, "Engkau mengolok-olokku," dan orang Israil itu berkata, "Tidak, tapi tak ada salahnya jika engkau berdamai dengannya." Ibu anak itu berbicara, berkata kepada putranya, "Ada apa denganmu? Jika itu terjadi, terjadilah; jika tidak, takkan menyakitimu." Maka iapun menulis surat-jaminan bagi lelaki itu. Lalu orang Israil itu berkata, "Seandainya engkau datang, dan orang-orang di sekitarmu memisahkan kita; buatlah tanda yang dengannya engkau akan mengenaliku." Anak lelaki itu berkata, "Naikkanlah surat jaminan ini di atas sebuah tiang, sehingga aku dapat mengenalimu." Lalu lelaki Israil itu memberinya pakaian dan hadiah.
Raja orang Israil menghormati Nabi Yahya. Ia menyukai dan sering meminta nasehatnya, tak pernah memutuskan suatu masalah tanpanya. Namun raja ingin menikahi putri salah seorang istrinya. Ia bertanya kepada Nabi Yahya tentang hal itu, namun Nabi Yahya melarangnya, mengatakan, "Aku tak setuju engkau menikahinya." Berita ini sampai ke ibu sang putri dan ia membenci Nabi Yahya karena melarang raja menikahi putrinya. Ia pergi menemui putrinya itu saat raja sedang duduk menikmati anggurnya, memakaikannya dengan gaun merah yang lembut, parfum dan perhiasan; dan di atas semua perhiasan itu, pakaian hitam. Ia mengutus putrinya itu kepada raja, ia memerintahkannya agar menuangkan anggur untuk diminum dan melayaninya; dan jika sang raja menginginkannya, ia harus menolak sampai ia mengabulkan permintaannya. Jika sang raja mengabulkan permintaannya, ia harus meminta agar kepala Nabi Yahya dibawa kepadanya di atas nampan. Maka sang putri melakukan apa yang diperintahkan ibunya, mulai menyajikan minuman kepada raja, dan menawarkan lebih banyak lagi. Saat sang raja mulai mabuk, ia menginginkan sang putri. Sang putri berkata, "Aku takkan menurut sampai engkau memberikan apa yang kuminta." Raja berkata, "Apa yang engkau minta dariku?" Ia menjawab, "Aku memintamu agar memanggil Yahya dan kepalanya dibawa kepadaku diatas nampan ini." "Celaka, mintalah yang lain," kata sang raja; lalu ia berkata, "Aku tak ingin meminta yang lain."
Saat sang putri menolak, raja lalu memanggil Nabi Yahya; kepalanya dipenggal, namun kepala itu terus berbicara sampai diletakkan di hadapan raja. Kepala Nabi Yahya berkata, "Ia terlarang untukmu." Ketika sang raja bangkit dari duduknya, tiba-tiba darah Nabi Yahya mendidih. Raja meminta debu ditaburkan ke atasnya, namun darah itu naik mendidih di atas debu. Lebih banyak debu dilemparkan ke atasnya, namun darah itu naik di atasnya. Ia terus melemparkan debu ke atasnya hingga setinggi tembok kota, namun darah itu terus mendidih. Berita ini terdengar oleh Saiha'in yang segera memanggil kaumnya. Ia ingin mengirim pasukan ke sana, dan menunjuk seorang lelaki sebagai pemimpinnya. Bukhtanashr datang kepadanya dan berkata, "Kekuatan pasukan yang telah engkau kirim sangat lemah. Namun aku telah memasuki kota dan mendengar percakapan masyarakat di sana; karenanya, utuslah aku." Maka diutuslah Bukhtanashr. Ia berangkat dan mencapai tempat itu (Palestina), dimana mereka membentengi diri mereka terhadapnya di kota-kota mereka. Dengan demikian, ia tak dapat menaklukkan mereka. Keadaannya menjadi suram, dan pasukannnya kelaparan, ia berada di ambang kekalahan.
Kemudian, datanglah seorang wanita Israil tua dan bertanya, "Di mana komandan pasukan?" Dibawalah ia ke Bukhtanashr, lalu ia berkata, "Aku tahu bahwa engkau akan mundur dengan pasukanmu, tanpa menaklukkan kota ini." Ia berkata, "Ya. Masa tinggal kami sudah cukup lama, pasukanku kelaparan, aku tak bisa melanjutkan pengepungan." Wanita tua itu lalu berkata, "Maukah engkau jika aku membuka gerbang kota untukmu, engkau akan mengabulkan permintaanku (yaitu, bunuh siapa yang kuperintahkan untuk engkau bunuh, dan berhenti ketika aku memerintahkannya)?" "Ya," jawabnya. Ia kemudian berkata," Di pagi hari, bagi pasukanmu menjadi empat bagian; tempatkan setiap bagian di setiap sudut, angkat tanganmu ke langit, dan berseru, 'Kami memohon kemenangan-Mu, wahai Rabb, demi darah Yahya." Kota itu pasti akan takluk." Mereka melakukannya sesuai yang diperintahkan, dan kotapun ditaklukkan. Lalu mereka memasukinya dari segala sisi.
Lalu wanita tua itu berkata kepadanya, "Teruslah membunuh hingga darah ini mereda." Wanita tua itu menuntunnya ke darah Nabi Yahya yang naik setinggi tembok. Di atasnya ia membunuh sampai darahnya mereda. Ia membunuh tujuh puluh ribu lelaki dan wanita. Ketika darahnya telah tenang, wanita tua itu berkata kepadanya, "Berhenti." Karena jika seorang nabi dibunuh, Rabb takkan ridha hingga sang pembunuh dibunuh, dan yang memerintahkan pembunuhan itu.
Kemudian pemilik surat jaminan keamanan datang ke hadapannya beserta suratnya. Bukhtanashr menahan diri tak membunuhnya dan keluarganya, namun ia menghancurkan Kuil Suci, dan atas perintahnya, kuil itu dipenuhi dengan mayat. Ia berkata, "Siapapun yang melemparkan mayat di sana, akan dibebaskan dari pajak tahunan."
Orang-orang Romawi membantunya dalam penghancuran itu karena bangsa Israil telah membunuh Nabi Yahya. Ketika Bukhtanashr menghancurkan kuil, ia menawan para tokoh dan pemimpin Israil, di antaranya Daniel, Eli, Azariah, dan Misel, semuanya anak-anak para nabi; ia juga membawa para kepala suku mereka dengannya. Ketika ia tiba di Babilonia, Bukhtanashr menemukan bahwa Saiha'in telah wafat. Dengan demikian, ia datang untuk memerintah sebagai penggantinya, dan ia menahan Daniel dan teman-temannya dengan sangat hormat. Namun orang-orang Majusi iri pada mereka, dan mencela mereka di hadapan Buktanashr, "Daniel dan kawan-kawannya tak menyembah ilahmu, dan mereka tidak mengambil bagian dari hewan-hewanmu yang disembelih." Bukhtanashr memanggil para tawanan itu dan menanyai mereka.
Menurut Ibnu Jarir, sang sejarawan, bahwa Bukhtanashrlah yang berperang melawan Israil setelah mereka membunuh Nabi Yahya, sedang pendapat para pakar Muslim dan non-Muslim dalam sejarah dan pengetahuan pra-Islam, ada kekeliruan. Karena mereka dengan suara bulat mengatakan bahwa Bukhtanashr berperang melawan orang Israil ketika mereka membunuh nabi mereka, Syia atau Isaiah, di zaman Armaya (Jeremiah) bin Hilkia; dan bahwa menurut orang-orang Yahudi dan Nasrani, 461 tahun memisahkan usia Armaya dan penghancuran Bait Suci oleh Buktanashr dari kelahiran Nabi Yahya. Mereka menyatakan bahwa hal itu jelas ditegaskan dalam naskah-naskah suci mereka, karena mereka menghitung tujuh puluh tahun dari penghancuran Al-Quds oleh Bukhtanashr hingga rekonstruksi di zaman Cyrus, putra Ahasuerus, gubernur (isbahbadh) dari Babilonia atas nama Ardasyir Bahman bin Isfandiyar bin Bisystasb dan kemudian atas nama putrinya Khumani; kemudian delapan puluh delapan tahun setelah pembangunan kembali Al-Quds untuk kemenangan Sikandar (Alexander orang Yunani) atas Khumani, dan aneksasi kekaisarannya bagi kerajaannya; kemudian 303 tahun dari Sikandar hingga kelahiran Yahya. Ini, kata mereka, menghasilkan 461 tahun.
Kaum Majusi sepakat dengan kaum Nasrani dan Yahudi tentang periode kehancuran Al-Quds dan tentang Bukhtanashr. Mereka juga setuju tentang kisah orang Israil hingga kemenangan Sikandar al-Maqduni atas Al-Quds, dan kematian Darius. Namun mereka saling bertentangan tentang lamanya periode antara masa pemerintahan Sikandar dan kelahiran Yahya, karena mereka berpendapat bahwa periode itu selama 51 tahun. Antara kaum Majusi dan Naasrani ada perbedaan, tentang lamanya periode antara pemerintahan Sikandar dan kelahiran Yahya.
Kaum Nasrani menyatakan bahwa Nabi Yahya dilahirkan enam bulan sebelum Nabi Isa, dan bahwa raja Israil bernama Herod Antipus (juga disebut Haddad bin Haddad) yang membunuhnya, karena Herodias yang merupakan istri saudara Herod, Filipus. Herod mencintainya, dan ia setuju berbaring bersamanya. Ia memiliki seorang putri, Salome (ada yang menyebutnya sebagai Aril ratu Shida). Herod ingin tinggal bersama Herodias, istri saudara laki-lakinya, namun Nabi Yahya melarangnya dan mengatakan kepadanya bahwa itu tak diperbolehkan. Herod mengagumi anak perempuan itu dan suatu hari ia menggodanya, dan kemudian meminta bantuan; Herod setuju, dan memerintahkan salah seorang prajuritnya agar melaksanakan permintaannya. Ia kemudian memerintahkan sang prajurit membawa kepala Nabi Yahya, dan sang prajurit pun patuh. Ketika Herod mengetahuinya, ia terkejut dan sangat ketakutan.
Adapun menurut Ibnu Ishaq, orang-orang Israil berkembang setelah itu, maksudnya, setelah mereka kembali dari Babel ke Yerusalem. Mereka melampaui batas, dan Rabb kembali mengutus para nabi kepada mereka. Diantara nabi-nabi itu ada yang ditolak, ada yang dibunuh, sampai nabi terakhir yang diutus kepada mereka adalah Zakariya, Yahya (Yohanes Pembaptis), putra Zakariya, dan 'Isa, putra Maryam. Merekalah keturunan Daud, alaihimassalam.
Ketika Allah mengangkat Nabi 'Isa dari tengah-tengah mereka ke langit, mereka membunuh Nabi Yahya. Ada yang mengatakan, ketika mereka membunuh Nabi Yahya, Allah mengirim kepada mereka seorang raja Babel bernama Khardus. Ia bergerak melawan mereka dan memasuki Palestina. Ketika ia menaklukkan mereka, ia memanggil salah seorang kepala pasukan militernya, seorang lelaki yang disebut Nabuzaradzan, sang algojo, kepada siapa ia berkata, "Aku bersumpah demi keilahianku bahwa jika aku mengalahkan rakyat Al-Quds, aku akan membunuh mereka sampai darah mereka mengalir di tengah perkemahanku, dan sampai kutemukan bahwa tiada lagi yang bisa dibunuh. " Raja memerintahkan Nabuzaradzan membunuh mereka semua sampai selesai.
Nabuzaradzan memasuki Kuil. Ia berdiri di tempat di mana mereka biasa mempersembahkan persembahan mereka, dan ia menemukan ada darah di sana yang mendidih. Ia bertanya kepada mereka, "Wahai Bani Israil, mengapa darah ini mendidih? Sampaikan tentang hal ini dan jangan menyembunyikan apapun." Mereka berkata, "Itulah darah persembahan yang telah kami persembahkan dan yang tak diterima dari kami; dan karena itu mendidih, seperti yang engkau lihat. Kami telah mempersembahkan persembahan selama delapan ratus tahun, dan persembahan itu selalu diterima, kecuali yang ini." Ia berkata, "Kalian belum mengatakan yang sebenarnya." Mereka menjawab, "Jika keadaan seperti dulu, akan diterima; namun martabat kerajaan kami, nubuat dan petunjuk, telah dicabut, itulah sebabnya persembahan kami ini tak diterima." Nabuzaradzan membunuh tujuh ratus tujuh puluh pemimpin mereka di tempat itu, namun darahnya tak mereda. Atas perintahnya, tujuh ratus pemuda mereka dibawa dan disembelih, namun tetap tak reda. Ia memerintahkan agar tujuh ribu anak lelaki dan isteri-isteri mereka dibunuh di sana, namun darahnya masih tak tenang. Ketika Nabuzaradzan melihat bahwa darahnya tak mereda, ia berkata kepada mereka, "Wahai Bani Israil, celakalah kalian. Ceritakanlah yang sebenarnya, dan pikullah bebannya demi Rabb-mu. Sudah lama kalian telah memiliki tanah ini, berbuat sesukamu di atasnya. [Katakan padaku], sebelum yang terakhir dari kalian terbunuh, lelaki maupun wanita. " Ketika mereka melihat betapa beratnya kekacauan itu, mereka mengatakan yang sebenarnya, "Inilah darah nabi kami yang sering berusaha memperingatkan kami tentang murka Ilahi. Seandainya kami taat kepadanya, ia akan membimbing kami. Ia pernah memberitahu kami tentang engkau, namun kami tak mempercayainya. Kami membunuhnya, dan inilah darahnya."
Nabuzaradzan kemudian bertanya, "Siapa namanya?" Mereka menjawab, "Yahya, putra Zakariya." Ia berseru, "Sekarang kalian telah mengatakan yang sebenarnya kepadaku. Itulah sebabnya Rabb kalian mengadzab kalian."
Ketika Nabuzaradzan merasa bahwa mereka telah mengatakan yang sebenarnya, ia bersujud lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya, "Turunkan gerbang kota, singkirkan dari mereka yang ada di sini dari tuan rumah Khardus." Ia tetap bersama orang Israil itu. Kemudian ia berseru, "Wahai Yahya, putra Zakaria, Rabb-ku dan Rabb-mu tahu penderitaan yang diderita oleh umatmu dalam bebanmu, dan berapa banyak dari mereka yang terbunuh demi engkau. Tenanglah sekarang, oleh rahmat Ilahi, sebelum aku memusnahkan kaummu." Kemudian darah Nabi Yahya mereda sehingga Nabuzaradzan menghentikan pembunuhan itu."
Wari terdiam, lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, tiadalah orang yang lebih celaka dan hina daripada orang yang mencelakai wali Allah, yang tak pernah menyusahkan mereka atau berusaha mengambil kekayaan dan harta benda mereka. Bahkan, tanpa meminta bayaran apapun, ia berusaha memperbaiki kehidupan dan membhaktikan diri bagi pembangunan karakter, perilaku, dan keyakinan mereka, sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi mereka di dunia ini dan di Akhirat kelak.
Atas rahmat Allah, seseorang seyogyanya tak boleh menyerah, dan bahkan jika ia berdoa kepada Allah dengan tulus, kemudian tujuannya tak tercapai, itu bukan berarti bahwa Allah telah berpaling darinya. Terkadang, Allah dalam hikmah-Nya mengetahui bahwa hal-hal tertentu yang didoakan seseorang dapat membahayakan dirinya, yang tentu saja orang itu tak mengetahuinya karena ilmunya yang terbatas. Dan kadang-kadang demi manfaat umum dari semua itu, diperlukan bahwa manfaat individu seseorang, hendaknya tertunda. Dalam hal apapun, putus-asa atas rahmat dan karunia Allah, jelas bukanlah hal yang terpuji. Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Maulana Hifzur Rahman Seoharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex.
- Moshe Perlmann, The History of At-Tabari, Voume IV : The Ancient Kingdom, SUNY Press.
- Ibn Kathir, Stories of the Prophet, Darussalam.
[Bagian 1]
[Bagian 2]