Selasa, 18 Juni 2019

Rantai Emas Para Nabi

Gelatik bertanya, "Lalu, apa yang terjadi dengan Maryam?" Wari berkata, "Muhammad Ibnu Ishaq bin Yasar berkata, dalam kitab Sirahnya yang masyhur, dan juga ulama lainnya, 'Utusan orang-orang Nasrani dari Najran yang berjumlah 60 (enam puluh) orang datang kepada Rasulullah (ﷺ) dengan berkendara. Di antara mereka terdapat 14 (empat belas) orang pemuka mereka dan sebagai tumpuan segala urusan mereka. Mereka itulah al-‘Aqib yang bernama 'Abdul Masih, as-Sayyid yang bernama al-Aiham, Abu Haritsah bin 'Alqamah saudara Bakar bin Wa'il, Uwais bin al-Harist, Zaid, Qais, Yazid dan kedua puteranya, Khuwailid , 'Amr, Khahd, 'Abdullah, Muhsin. Sedang penanggung jawab mereka ada tiga orang yaitu Al-‘Aqib, ia pemimpin rombongan, pencetus ide, dan penentu perundingan, yang mereka tak bisa putuskan kecuali atas pendapatnya. Kedua, as-Sayyid, sebagai orang alim, pengatur perjalanan dan tempat singgah mereka. Dan ketiga, Abu Haritsah bin 'Alqamah, sebagai uskup dan pemimpin kajian mereka, yang aslinya berkebangsaan Arab, berasal dari Bani Bakar bin Wa'il, tetapi ia masuk Nasrani sehingga ia sangat diagungkan dan dimuliakan oleh orang-orang Romawi dan raja-raja mereka. Mereka membangunkan gereja-gereja untuknya serta mengabdikan diri mereka kepadanya, karena mereka mengetahui keteguhannya dalam memeluk agama Nasrani.”
Abu Haritsah bin ‘Alqamah ini sebenamya telah mengetahui ihwal, sifat, keadaan Rasulullah (ﷺ) yang diketahuinya dari kitab-kitab terdahulu, namun ia tetap terus memeluk agama Nasrani, karena ia merasa mendapat penghormatan dan kedudukan dari para pengikutnya.

Mereka tiba di Madinah dan menemui Rasulullah (ﷺ) di masjid Nabawi ketika beliau (ﷺ) sedang shalat ‘Ashar. Mereka mengenakan pakaian pendeta, yaitu jubah dan mantel dengan menunggang unta-unta milik para pemuka Bani al-Harits Ibnu Ka'ab. Sahabat Rasulullah (ﷺ) yang melihat mereka mengatakan, "Kami tak pemah melihat sesudah mereka utusan seperti mereka." Ketika itu, telah masuk waktu shalat mereka, maka mereka pun berdiri shalat di masjid Nabawi, lalu Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Biarkan mereka." Mereka mengerjakan shalat dengan menghadap ke Timur. Setelah itu beberapa orang dari mereka, berbicara kepada Rasulullah (ﷺ), antara lain Abu Haritsah bin 'Alqamah, al-‘Aqib 'Abdul Masih, dan as-Sayyid al-Aiham. Mereka semua ini adalah beragama Nasrani yang sefaham (sealiran) dengan faham Raja, meski ada perbedaan di antara mereka. Ada yang berpendapat bahwa ‘Isa adalah Allah, pendapat yang lain menyatakan bahwa ia adalah anak Allah, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa ia adalah salah satu dari trinitas. Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan itu.
Demikianlah keyakinan orang-orang Nasrani, mereka yang mengatakan Nabi ‘Isa adalah Allah, berhujjah bahwa ia dapat menghidupkan orang yang sudah mati, menyembuhkan orang yang buta dan penderita sakit kusta, serta dapat memberitahukan hal-hal yang ghaib, membuat bentuk burung dari tanah liat lalu meniupnya sehingga menjadi burung. Padahal semua itu berdasarkan perintah Allah. Dan agar Allah menjadikannya sebagai tanda kekuasaan-Nya bagi umat manusia.

Sedang yang menyatakan bahwa ‘Isa adalah anak Allah, mereka berhujjah bahwa ia tak berayah, dan dapat berbicara pada saat masih bayi, suatu hal yang tak dapat dilakukan oleh orang lain. Adapun yang berkeyakinan bahwa ‘Isa itu salah satu dari trinitas, mereka berhujjah pada firman Allah, "Kami melakukan, Kami memerintahkan, Kami menciptakan, dan Kami telah putuskan. Menurut mereka, "Jika Allah itu satu, niscaya Dia akan berkata, 'Aku berbuat, Aku memerintah, Aku memutuskan, dan Aku menciptakan.' Tetapi kata 'Kami' itu kembali kepada Allah, ‘Isa, dan Maryam." Mahatinggi dan Mahasuci Allah dari perkataan orang-orang yang zhalim dan ingkar dengan ketinggian yang setinggi-tingginya, karena semua yang mereka katakan itu telah disebutkan dalam al-Qur’an.

Tatkala dua pendeta berbicara kepada Rasulullah (ﷺ), beliaupun bersabda kepada keduanya, "Masuklah Islam." Jawab mereka berdua, "Kami telah memeluk Islam." Beliau (ﷺ) bersabda lagi, "Sesungguhnya kalian berdua belum masuk Islam, maka masuklah Islam." Merekapun menjawab, "Sungguh kami telah memeluk Islam sebelum dirimu." Beliau (ﷺ) pun bersabda, "Kalian berdua berdusta. Pengakuan kalian berdua bahwa Allah mempunyai anak dan penyembahan kalian terhadap salib, serta tindakan kalian memakan daging babi menghalangi kalian masuk Islam." Mereka berdua pun bertanya, "Lalu siapa ayahnya (‘Isa) itu, wahai Muhammad?" Rasulullah (ﷺ) diam dan tak memberikan jawaban kepada keduanya. Lalu dikarenakan ucapan mereka dan perbedaan pendapat di antara mereka, Allah menurunkan permulaan surat Ali-'Imran sampai 80 ayat lebih.
Selanjutnya Allah memerintahkan Rasulullah (ﷺ) agar bermubahalah dengan siapa yang menentang kebenaran mengenai diri Nabi ‘Isa setelah datangnya penjelasan dengan firman-Nya,
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
"Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istrimu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita ber-mubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” – (QS.3:61)

"Apa itu Mubahalah?" tanya Gelatik. Kaswari menjawab, "Mubahalah adalah berdoa dan memohon dengan tulus agar Allah melaknat orang yang berdusta. Banyak sahabat yang meminta Mubahalah, di antara mereka adalah Abdullah bin Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, yang meminta mubahalah untuk membuktikan bahwa masa penantian (Iddah) ) seorang wanita hamil berakhir ketika ia melahirkan bayi, bukan tiga bulan seperti umumnya. Di antara mereka, juga Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, yang meminta Mubahalah dalam masalah yang berkaitan dengan pengurangan bagian warisan (jika tak memungkinkna bagi setiap ahli waris memperoleh haknya yang sebenarnya)." Gelatik bertanya, "Haruskah Mubahalah dilakukan hanya antara orang-orang yang bertauhid dan Muslim? Atau dapat dilakukan antara dua orang Muslim?" Wari menjawab, "Mengenai diperbolehkankah hal ini dilakukan antara umat Islam, jawabannya boleh; sebagai buktinya, bahwa para sahabat melakukannya, seperti yang telah kusebutkan tadi. Bagi seorang Muslim, tentunya takkan mau memohonkan dan menginginkan saudaranya terkena laknat Allah, namun terkecuali jika ingin memberikan bukti terhadapnya, berusaha menghilangkan kesalahpahaman, menasihati dan memperingatkannya. Allahu a'lam."

"Jadi, Rasulullah (ﷺ) mengajak mereka bermubahalah. Mereka berkata, 'Wahai Abul Qasim! Perkenankan kami memikirkan masalah ini dan kembali kepadamu setelah kami putuskan apa yang akan kami lakukan.' Mereka meninggalkan Rasulullah (ﷺ) dan berunding dengan Al-'Aqib, kepada siapa mereka meminta nasihat. Mereka berkata kepadanya, "Wahai Abdul-Masih! Apa saranmu?" Ia berkata, "Demi Allah, wahai saudaraku seiman! Kalian telah tahu bahwa Muhammad (ﷺ) itu seorang Rasul dan bahwa ia membawakanmu kata terakhir tentang sesamamu (Nabi 'Isa). Kalian juga tahu bahwa tak ada Nabi yang melakukan Mubahalah dengan orang lain, dan orang-orang tua di antara mereka tetap aman dan orang-orang muda tumbuh dewasa. Sesungguhnya, akan menjadi akhir hidupmu jika kalian melakukannya. Jika kalian telah memutuskan bahwa kalian tetap dalam agama kalian dan keyakinanmu tentang sesamamu (Isa), maka lakukan perjanjian dengan lelaki itu (Nabi Muhammad (ﷺ)) dan pulanglah ke negerimu." Mereka datang menemui Rasulullah (ﷺ) dan berkata," Wahai Abul Qasim! Kami memutuskan bahwa kami tak dapat melakukan Mubahalah denganmu dan bahwa engkau tetap dalam agamamu, dan kami juga tetap dalam agama kami. Namun, utuslah bersama kami seorang utusan dari Sahabatmu yang engkau sukai untuk menilai di antara kami mengenai perselisihan keuangan kami, karena engkau dapat diterima oleh kami dalam hal ini. '"Kemudian Rasulullah (ﷺ) menunjuk Abu' Ubaidah bin Al-Jarrah sebagai wali amanat.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata, "Al-‘Aqib dan as-Sayyid, keduanya pemuka Najran datang kepada Rasulullah (ﷺ). Mereka berdua bermaksud mengajak mubahalah dengan Rasulullah (ﷺ), lalu salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lainnya, "Jangan kau lakukan hal itu. Demi Allah, jika ia itu seorang Nabi, lalu kita saling melaknat dengannya, maka kita dan keturunan kita takkan beruntung." Setelah itu keduanya berkata, "Kami akan memberikan apa yang kamu minta. Utuslah bersama kami seseorang yang dapat dipercaya, dan jangan engkau utus kecuali orang yang benar-benar jujur." Beliau (ﷺ) pun bersabda, "Aku pasti akan mengutus seseorang yang benar-benar dapat dipercaya untuk ikut bersama kalian." Para Sahabat pun berharap mendapat kehormatan sebagai utusan beliau (ﷺ). Lalu beliau bersabda, "Berdirilah, wahai Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah." Ketika Abu ‘Ubaidah berdiri, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Inilah orang yang dapat dipercaya dari umat ini." Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينًا، وَإِنَّ أَمِينَنَا أَيَّتُهَا الأُمَّةُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
"Setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan dari umat ini adalah Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah."
 
Wari diam sejenak, lalu melanjutkan, "Wahai saudara-saudariku, delapan puluh tiga ayat pertama Surah Ali Imran, terkait dengan delegasi dari Najran yang tiba di Madinah pada tahun kesembilan Hijrah (632 M). Ayat-ayat ini diwahyukan untuk membantah kaum Nasrani - 'alaihim la'aainullah - yang berpendapat bahwa Allah memiliki anak. Maha Suci Dia dan jauh dari apa yang mereka persekutukan dengan-Nya.
Lima ayat pertama dari Surat Ali Imran menjelaskan tentang Tauhid, Keesaan Allah, yang merupakan titik perbedaan mendasar antara Islam dan agama-agama lain serta antara orang kafir dan seorang Muslim sejati. Mereka yang beriman pada Keesaan Allah (dan semua nabi-Nya, alaihimassalam) adalah Muslim dan mereka yang tak beriman, disebut sebagai orang-orang kafir atau non-Muslim. Allah berfirman,
الم
"Alif Lam Mim." – (QS.3:1)
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
"Allah, tiada ilah selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)." – (QS.3:2)
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ
"Dia menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, menegaskan (kitab-kitab) sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil," – (QS.3:3)
مِنْ قَبْلُ هُدًى لِلنَّاسِ وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
"sebelumnya, sebagai petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan. Sungguh, orang-orang yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh azab yang berat. Allah Mahaperkasa lagi mempunyai hukuman." – (QS.3:4)
إِنَّ اللَّهَ لا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ
"Bagi Allah, tiada sesuatupun yang tersembunyi di bumi dan di langit." – (QS.3:5)
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Dialah yang membentukmu dalam rahim menurut yang Dia kehendaki. Tiada ilah selain Dia. Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." – (QS.3:6)


Tauhid adalah keyakinan yang konsisten, yang diberitakan oleh semua nabi. Nabi Adam, alaihissalam, adalah nabi pertama yang menyajikan risalah Tauhid di hadapan manusia. Bahwa pesan atau risalah itu akan tetap berlaku setelahnya melalui keturunannya, tak sulit dipahami. Akan tetapi, setelah berlalunya waktu, saat cara hidup Bani Adam bergeser dari risalah aslinya, muncullah Nabi Nuh, alaihissalam, yang menyeru manusia menuju prinsip yang sama. Setelah perjalanan waktu yang lama, Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Yaqub, alaihimassalam, yang lahir di Irak dan Suriah tegak berdiri dengan seruan yang sama. Kemudian diikuti Nabi Musa, Harun dan para nabi lainnya dalam urutan, yang semuanya menganut prinsip Tauhid yang sama dan mengundang manusia untuk hal yang sama. Kemudian, setelah perjalanan waktu yang panjang, Nabi Isa, alaihisalam, mencul dengan seruan yang sama. Selain itu, Nabi Isa-lah yang terdepan dalam memberitakan tentang kedatangan Nabi Muhammad (ﷺ). Al-Qur'an dalam berbagai ayat, menggambarkan sejarah Nabi Isa cukup terperinci dan dengan cara mengenalkan kisah hidupnya, menyentuh kisah ibunya, Maryam. Nabi 'Isa dalam Al Qur'an, terkadang disebut' Isa '. Di beberapa tempat ia disebut Al-Masih dan di beberapa tempat lain disebut sebagai 'Ibnu Maryam' atau 'Putra Maryam.'
Pada puncakya, Nabi Muhammad al-Mustapha (ﷺ) yang memberkahi dunia dengan seruan bersama semua nabi. Allah membentuk semua lelaki dan perempuan di dalam rahim ibu mereka sesuai dengan hikmah-Nya, Yang telah menciptakan miliaran lelaki dan perempuan dengan ciri-ciri yang dapat dibedakan, membentuk identitas masing-masing individu yang berbeda dari yang lain. Karena itu, hanya Dia-lah Yang harus disembah.

Petunjuk dan ketersesatan berasal dari Allah. Ketika Allah memberi petunjuk seseorang, Dia menjadikan qalbunya cenderung ke arah yang baik dan benar; dan saat Dia menetapkan membiarkan seseorang tersesat, Dia memalingkan qalbunya dari jalan yang lurus. Ini seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi (ﷺ). Syahr bin Hausyab berkata: “Aku berkata kepada Ummu Salamah, “Wahai Ummul Mukminin, apa do’a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah (ﷺ) jika berada di sisimu?”
Ummu Salamah menjawab,
كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِهِ « يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ ».
“Yang sering dibaca oleh Nabi (ﷺ) adalah, ’Ya muqallibal quluub tsabbit qalbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan qalbu, teguhkanlah qalbuku di atas agama-Mu)’.”
Ummu Salamah pernah bertanya pada Rasulullah (ﷺ),
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لأَكْثَرِ دُعَائِكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau lebih sering berdo’a dengan do’a, ’Ya muqallibal quluub tsabbit qalbii ‘ala diinik?"
Rasulullah (ﷺ) menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
“Wahai Ummu Salamah, yang namanya qalbu manusia, selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” [HR At-Tirmidhi, 3522, Hasan]
Dia-lah Allah, berkuasa mutlak. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki. Oleh karena itu, mereka yang peduli tentang bagaimana agar tetap istiqamah dalam iman mereka, mereka pergi ke sumbernya - memohon dan berdoa kepada Allah agar dapat tetap istiqamah.

Inilah rantai emas para nabi, mulai dari Nabi Adam hingga zaman Penghulu Para Nabi (ﷺ), sekitar seratus dua puluh empat ribu nabi yang diberkahi, dilahirkan dalam zaman yang berbeda, berbicara dalam berbagai bahasa, hidup di berbagai negara. Mereka semua menyampaikan dan mengajarkan kebenaran yang sama. Sebagian besar dari mereka bahkan tak memiliki kesempatan saling bertemu. Mereka berada di zaman ketika, komunikasi melalui tulisan belum sepopuler sekarang ini, yang bila pada waktu itu memungkinkan bagi seorang nabi, ia dapat saja mengakses beragam buku dan tulisan orang lain serta mungkin mengutip seruan para para nabi sebelumnya sebagai miliknya. Sebaliknya, yang terjadi, bahwa setiap nabi di antara mereka, muncul berabad-abad, terpisah satu sama lain, dan tak punya sumber informasi tentang nabi-nabi lain, kecuali wahyu yang diterima olehnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kesepakatan bersama sekelompok besar nabi yang terdiri dari, tidak kurang seratus dua puluh empat ribu orang, dari waktu dan tempat yang berbeda, mungkin cukup menetapkan prinsip, bahkan terlepas dari keyakinan mereka yang intrinsik. Namun saat seseorang melihat sifat-sifat pribadi para nabi yang mulia, dan pada standar kebenaran dan keadilan setinggi mungkin yang ditetapkan oleh mereka, orang seyogyanya yakin bahwa risalah atau pesan mereka itu, benar, dan seruan mereka, otentik. Wallahu a'lam.
Rujukan :
- Shaikh Shafiurrahman Al-Mubarakpury, Tafsir Ibn Katheer, Abridged Volume 2, Darussalam
- Maulana Mufti Muhammad Shafi, Ma'ariful Qura'an Volume 2, Maktaba-e-Darul-'Uloom