Selasa, 30 Juli 2019

Kemunafikan (2)

Pingai bertanya, "Wahai saudaraku Bunglon, siapakah Abdullah bin Ubayy?" Bunglon berkata, "Abdullah bin Ubayy, juga disebut Ibnu Abi Salul bila merujuk pada neneknya, seorang kepala suku Arab Banu Khazraj dan salah seorang pemimpin Yathrib (sekarang dikenal sebagai Madinah). Abdullah ibnu Ubayy disukai oleh khalayak untuk menjadi penguasa berikutnya, akan tetapi, karena ia berasal dari suku Khazraj, kaum suku Aus, ragu menerimanya.
Ketika Rasulullah (ﷺ) sampai ke Yathrib, Ibnu Ubayy memandang bahwa kedatangan Rasulullah (ﷺ) telah merampas kekuatan utamanya sebagai kepala suku di Yathrib, dan yang menambah kekecewaannya, melihat putranya sendiri Hubab, yang kemudian dikenal sebagai Abdullah, dan putrinya, Jamilah, telah kembali memeluk Islam. Maka, ia memutuskan menunggu, mengira bahwa cepat atau lambat, pengaruh sang pendatang baru akan berkurang. Namun ternyata, itu tak terjadi, bahkan pengaruh Rasulullah (ﷺ) semakin berkembang. Berikut ini, muslihat dan upayanya untuk mempermalukan Rasulullah (ﷺ) dan untuk meruntuhkan negeri Islam saat itu.

Pada satu kesempatan, Rasulullah (ﷺ) pernah melewati rumah Ibnu Ubayy, tak ada niatan buruk terhadap Ibnu Ubayy. Pada saat itu, Ibnu Ubayy masih seorang non-muslim. Di sana, Rasulullah (ﷺ) melihatnya duduk bersama beberapa orang, demi kesantunan, Rasulullah (ﷺ) turun dari keledainya dan kemudian duduk bersama mereka. Dan seiring berkembangnya percakapan, Rasulullah (ﷺ) melantunkan beberapa bagian Al-Qur'an kepada mereka. Ibnu Ubayy tiba-tiba menegur dengan kasar kepada Rasulullah (ﷺ), "Tak yang lebih baik dari khotbahmu itu jika itu benar, duduklah di rumahmu dan khotbahkan kepada mereka yang datang kepadamu, namun yang tak datang kepadamu, janganlah bebani dengan pembicaraanmu itu, atau masuk mejelis dengan yang tak disukainya itu (Al-Quran'an)!" Rasulullah (ﷺ) dihinakan dan terkejut oleh perbuatan keji itu, dan pergi. Beliau (ﷺ) tak memerintahkan siapapun agar mencederai Ibnu Ubayy, atau tak pernah mengeluhkan kepada siapapun tentang kejadian itu, tak pernah terdengar dari mulut beliau (ﷺ).
Pengaruh Rasulullah (ﷺ) semakin berkembang, meskipun Ibnu Ubayy terus menerus berupaya memboikotnya, Rasulullah (ﷺ) tak pernah membalas. Segera, dan ternyata, Ibnu Ubayy mulai merasakan bahwa upayanya berbalik melawan dirinya sendiri karena pengaruhnya mulai berkurang, ia menyadari bahwa untuk mempertahankan pengaruhnya terhadap khalayak, ia harus masuk Islam sebagaimana orang lain masuk.
Meskipun ia bersumpah setia kepada Rasulullah (ﷺ) dan mengerjakan shalat secara teratur di masjid, namun para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, tak pernah yakin akan keimanannya, dan itulah masalah yang memprihatinkan, karena ia telah memperoleh pengaruh yang banyak, yang membuatnya lebih berbahaya dan bagaimana berbahayanya orang seperti ini, akan kita lihat nanti. Dan pada akhirnya, ia dikenal sebagai Pemimpin para orang Munafik.

Ibnu Ubayy berunding dengan Bani Qainuqa, yang memata-matai orang-orang Mekah, mereka pernah mengancam Rasulullah (ﷺ), “Wahai Muhammad, apakah engkau mengira kami ini seperti kaummu? Janganlah engkau membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang tak mengerti ilmu peperangan. Demi Allah, seandainya kami yang engkau dapati dalam peperangan, niscaya engkau akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini!” Setelah ancaman ini, mereka bahkan membunuh seorang muslim, lalu bersiap-siap melakukan perlawan, serta mengirim utusan untuk memanggil sekutu mereka untuk berperang mengakhiri Islam. Namun, sebelum sekutu mereka bisa datang atau mereka dapat sepenuhnya mempersiapkan diri, benteng mereka telah dikepung oleh kaum Muslimin dan akhirnya mereka harus menyerah tanpa syarat.
Banyak kaum Ansar berunding dengan Bani Qainuqa, namun wahyu turun dari Allah,

قُلۡ لِّلَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا سَتُغۡلَبُوۡنَ وَ تُحۡشَرُوۡنَ اِلٰی جَہَنَّمَ ؕ وَ بِئۡسَ الۡمِہَادُ
"Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang yang kafir, 'Kamu (pasti) akan dikalahkan dan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal.'" ― (QS. 3:12)
قَدۡ کَانَ لَکُمۡ اٰیَۃٌ فِیۡ فِئَتَیۡنِ الۡتَقَتَا ؕ فِئَۃٌ تُقَاتِلُ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ اُخۡرٰی کَافِرَۃٌ یَّرَوۡنَہُمۡ مِّثۡلَیۡہِمۡ رَاۡیَ الۡعَیۡنِ ؕ وَ اللّٰہُ یُؤَیِّدُ بِنَصۡرِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَعِبۡرَۃً لِّاُولِی الۡاَبۡصَارِ
"Sungguh, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan Muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati)." ― (QS. 3:13)
Ibnu Ubayy menemui Ubadah bin Samit untuk membantu Bani Qainuqa, namun ia menolak karena umat Islam yang berunding dengan mereka telah membatalkan perundingan dengan mereka mengutip perintah Allah dalam Al-Qur'an. Tapi, lihatlah orang munafik ini, tak berbuat apa-apa, ia secara terbuka membantu Bani Qainuqa (melawan umat Islam, negeri Islam, Nabi, Quran dan Allah). Ia tak mau ikut dalam pengepungan dan bergabung dengan tentara Muslim, melainkan pergi ke kemah tentara muslim dan secara terbuka mengumumkan bahwa ia telah berunding dengan mereka!! Dengan nada memerintah, ia berkata kepada Rasulullah (ﷺ), "Wahai Muhammad! Perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik!" Lihatlah, ia menyebut musuh-musuh Islam, sahabat-sahabatnya! Apa yang akan engkau lakukan terhadap orang seperti ini, wahai para pengikut Sunnah dan pemegang syariah?
Rasulullah (ﷺ) mengabaikan perintah Ibnu Ubayy itu. Ibnu Ubayy mengulangi lagi permintaannya, namun beliau (ﷺ) berpaling sambil memasukkan tangannya ke dalam baju besinya. Wajah beliau (ﷺ) tampak marah, hingga raut wajahnya tampak merah padam. Beliau (ﷺ) mengulangi kembali ucapannya sambil memperlihatkan kemarahannya, “Celaka engkau, tinggalkan aku!” Ibnu Ubay menyahut, “Tidak, demi Allah, aku takkan melepaskanmu sebelum engkau mau memperlakukan para sahabatku itu dengan baik. Empat ratus orang tanpa perisai dan tiga ratus orang bersenjata lengkap telah membelaku terhadap semua musuhku itu. Hendakkah engkau menghabisi nyawanya dalam waktu sehari? Demi Allah, aku betul-betul mengkhawatirkan terjadinya bencana itu!”.
Sekarang, berpikirkah engkau bahwa Rasulullah (ﷺ) takut? Tentu saja tidak. Menurutmu, apa yang dilakukan Rasulullah (ﷺ) dan para sahabat? Membunuhnya, menyalibnya, memotong tangan dan kakinya bersilangan karena ia musuh Islam secara terang-terangan dan sedang membantu mereka yang memusuhi Islam, seorang munafik sejati? Rasulullah (ﷺ) bahkan tak mencaci, bahkan membiarkan saja, dan sebaliknya, beliau (ﷺ) besabda, “Aku serahkan mereka padamu dengan syarat mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan tak boleh hidup berdekatan dengan kota ini.” Inilah jawaban seorang manusia yang menjadi rahmat seluruh semesta, manusia terbaik dari umat manusia. Orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘ itu, kemudian pergi meninggalkan Madinah menuju sebuah pedusunan bernama Adzara‘at di daerah Syam. Belum berapa lama tinggal di sana, sebagian besar dari mereka mati ditimpa bencana.

Dalam Perang Uhud, pasukan muslim berjumlah 1000 pasukan, sedang berkemah untuk peperangan hari berikutnya melawan 3.000 pasukan. Saat subuh, Rasulullah (ﷺ) memerintahkan para pasukan bergerak. Namun, Ibnu Ubayy membujuk orang-orang munafik lainnya, pulang ke Madinah, ia tak sendirian, bersama 300 orang! Inilah pembelotan terbuka dan tak taat atas perintah langsung Allah dan Rasul-Nya (ﷺ). Ia bahkan tak membicarakan dengan Rasulullah (ﷺ) mengenai hal ini, dan ketika seorang sahabi berusaha menghentikannya, ia berkata, "Rasulullah (ﷺ) tak menghiraukanku dan mematuhi perintah orang-orang yang tak bisa membuat keputusan, aku tak paham mengapa kita harus mengorbankan nyawa kita." Sahabi lain berseru, "Aku memerintahkanmu, demi Allah, tak meninggalkan kaummu dan Nabimu (ﷺ) di hadapan musuh!" Ia balas berkata," Jika kami tahu kamu akan berperang, kami lebih baik tak ikut, kami tak mengira jika ada pertemuran ini!" Kata-katanya saat meninggalkan pasukan, sungguh mematahkan semangat.
Perang Uhud bukanlah pembantaian seperti yang dibayangkan dan diucapkan Ibnu Ubayy, hanya karena ada sahabat yang tak menaati perintah Rasulullah (ﷺ) selama pertempuran, mengakibatkan kekalahan bagi umat Islam, juga merupakan kerugian besar karena banyak yang terluka, yang terluka kecil hanya sedikit, dan banyak yang terluka parah, banyak juga yang gugur, termasuk Paman Rasulullah (ﷺ), Hamzah, yang tubuhnya dipenggal-penggal dengan sangat kejam. Dan juga, Abu Hanzalah ibnu Ar-Rabie, kerabat Rasulullah (ﷺ) dan seorang sahabi, yang bersama Islam sejak awal. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Aku tak pernah merasa lebih marah saat melihat tubuh Hamzah." Rasulullah (ﷺ) sendiri juga terluka parah di bahu kanannya dan tak bisa digerakkan.
Pasukan Muslim pulang dengan membawa mereka yang terluka, dan kaum Muslimin, termasuk Rasulullah (ﷺ), berkabung atas mereka yang gugur, dan mereka melihat Ibnu Ubayy bersukaria! Ia berkata setengah mencemooh, bahwa ia telah mengambil keputusan yang bijak, ia juga berkata, "Demi Allah! Aku seakan-akan telah melihat semuanya, andai mereka yang gugur pulang bersama kami, mereka takkan terbunuh!" Dengan mengatakan itu, ia tak hanya mengolok-ngolok iman orang-orang yang selamat, tetapi juga, mengolok-ngolok iman orang-orang yang telah gugur, iman orang-orang seperti Hamzah dan Hanzalah.
Para Sahabat merasa sangat terhina dengan ejekannya, dan Umar bin Khattab, memutuskan bahwa Ibnu Ubayy bersama dengan orang-orang yang bertanggung jawab lainnya, yaitu 300 orang yang disersi, harus dibunuh. Umar menemui Rasulullah (ﷺ) untuk menyampaikan bahwa ia akan melakukannya. Namun, Rasulullah (ﷺ) menolak permohonan itu dan melarang melakukannya! Umar langsung menaati perintah Rasulullah (ﷺ), akan tetapi, kita, bilakah kita taat seperti Umar?? Tidak, orang-orang munafik hari ini akan merasa sulit menelannya, tapi mereka menyanyikan lagu Sunnah, bahwa merekalah yang paling Sunnah. Celakalah kita karena apa yang kita anggap Syari'ah dari Nabi Terakhir (ﷺ). Celakalah kita, Rasulullah (ﷺ) tak ada di sekitar kita menjelaskan tentang Syari'ah, yang ada di sekeliling kita hanyalah Ulama Suu' yang melantunkan lagu Sunnah, Sunnah, Sunnah, tetapi hanya menerapkan sunnahnya Azar dan Namrud, Hamann dan Firaun, dan bukan Sunnah Baginda (ﷺ) tercinta.

Ibnu Ubayy, pada Jumat berikutnya, seperti biasa berlenggang menuju masjid, yang perlu kita catat, bahwa tak ada satupun Sahabat yang menghentikannya, memukulnya atau memintanyaagar tak memperluhatkan wajahnya di sekitar masjid atau, bahkan membunuhnya! Juga, tak ada yang melarangnya duduk di tempat terhormat yang biasa ia lakukan di setiap waktunya, tepat di sisi Rasulullah (ﷺ)! Di masa sebelumnya, setiap kali Rasulullah (ﷺ) naik menuju mimbar untuk menyampaikan khutbah, ia dengan sigap bangkit, dan sebelum Rasulullah (ﷺ) mulai berkata-kata, dengan sarkasme kemunafikannya, ia berkata, "Wahai manusia, inilah Utusan Allah, semoga dengannya Allah memberkahimu dan memberimu kekuatan, membantumu, oleh karena itu, hormati dan patuhilah." Tetapi kali ini, tidak, saat ia hendak berdiri, dua orang di sebelahnya tak dapat mengendalikan-diri, dan mencengkeramnya, dan dengan sikap santun, walau masih penuh dengan amarah, berkata, "Duduklah, wahai musuh Allah, engkau sepatutnya tetap di situ, setelah melakukan apa yang telah engkau lakukan. " Mereka hanya meminta agar ia tetap diam di tempat dan tak menyuruhnya pergi atau memukulnya, atau bahkan membunuh musuh Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) itu! Terpujilah mereka, karena mereka mengikuti Syari'ah sejati, tak seperti para 'Ulama Suu' yang ada sekarang ini, dan juga, mungkin di beberapa tempat, seperti beberapa Muslim yang ada saat ini. Kita akan melakukan yang sebaliknya, dan bahkan tak pernah merasa malu melakukannya. Kenyataannya, para dealer kebencian dan orang-orang yang haus darah, sekarang ini dianggap oleh banyak orang sebagai orang-orang yang shalih!

Masih ada lagi kelakuan buruk Ibnu Ubayy sebagai tindakan pembangkangannya, saat berdesak-desakan menerobos kaum Muslim yang duduk di masjid, ia mendorong salah seorang Ansar, yang berdiri di pintu gerbang berkata, "Pulanglah dan biarkan Rasulullah (ﷺ) memohonkan ampunan untukmu!" Ibnu Ubayy menjawab, "Demi Allah! Aku juga tak memintanya memohonkan ampunan untukku!" Orang-orang munafik hanya mengikuti angan-angan mereka. Itulah hasrat, yang kita tahu, azam para 'Ulama yang lapar kekuasaan, yang berkata, "Mari kita lawan sistem Firaun!" Tetapi ia mengabaikan bahwa nabi Musa memohon ampunan karena membunuh seorang lelaki dari kaum Firaun!
Tak berhenti sampai di situ, Ibnu Ubayy dalam kemunafikannya dan upayanya melawan Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), akan kita saksikan dalam kasus Kasus Bani Nadir.
Bani Nadir adalah suku Yahudi, yang mengundang Rasulullah (ﷺ) ke benteng mereka dan berencana membunuhnya di sana, tetapi Rasulullah (ﷺ) tak menyerang mereka atau membunuh mereka dengan alasan makar dan akan membunuh Rasul, Khalifa, dan Kepala Negara Islam! Namun beliau (ﷺ) memberi mereka tangguh 10 hari dan meminta mereka agar meninggalkan Madinah dengan terhormat, atau, jika tidak, diperangi.
Mereka mulai bersiap pergi, akan tetapi, Ibnu Ubayy menjanjikan dukungan bagi Bani Nadir dan meminta mereka agar tetap tinggal, dan dengan demikian mereka tetap tinggal dan tak jadi pergi. Setelah 10 hari, Rasulullah (ﷺ) mengepung benteng mereka dan setelah beberapa hari, merekapun menyerah. Rasulullah (ﷺ) memaafkan setiap orang dari mereka dan meminta agar mereka segera pergi. Beliau (ﷺ) bersabda, "Pergilah dan aku tak meminta apapun dari kalian, bawalah semua barang milik kalian kecuali senjata!"
Merekapun berendeng keluar dari Madinah dengan musik dan nyanyian. Para Sahabat meriwayatkan bahwa mereka belum pernah melihat begitu banyak harta-benda dalam hidup mereka seperti apa yang diangkut unta mereka dan wanita mereka mengenakan emas dari ujung-rambut sampai ujung kaki, mereka bahkan membawa pintu rumah-rumah mereka!"
Adapun Ibnu Ubayy, apa yang Rasulullah (ﷺ) lakukan terhadapnya? Al-Quran takkan pernah merubah cara-cara Allah dan dengan demikian tak ada perubahan dalam cara-cara Nabi kita tercinta (ﷺ). Beliau (ﷺ) memperlakukannya seperti yang pernah beliau (ﷺ) lakukan padanya pada kesempatan sebelumnya, "Memaafkan!"
Inilah keputusan hakim dari hakim yang terbaik. Nabi Armia mengatakan tentang para ulama, hakim, dan para tabib agama palsu di kalangan Yahudi, "Pena kebathilan dari penulis yang bathil, tentu saja menghasilkan kebathilan," Sungguh, pernyataannya ini berlaku untuk para ulama, hakim, dan tabib agama palsu.
Engkau takkan percaya bahwa, Ibnu Ubayy, bahkan setelah apa yang dilakukannya pada peristiwa Uhud, belum diperkenankan menyertai umat Islam dalam setiap ekspedisi! Pernah itu terjadi, pada sebuah ekspedisi dimana dua orang muslim berselisih, salah seorang dari suku Ghifar (sekutu kaum Quraisy) dan yang lain dari suku Juhaima (sekutu Bani Khazraj yakni suku Yathrib, darimana Ibnu Ubayy berasal) dan keduanya berusaha melibatkan sekutu dan pedang mereka turut campur di antara para Sahabat! Namun Sahabat lain, yang memiliki pemahaman yang lebih baik, campur tangan dan menghentikan agar tak terjadi pertumpahan darah.

Ibnu Ubayy tak ikut bertanggungjawab atas pertengkaran ini, namun ia tak mau melepas kesempatan untuk melawan para Muhajirin dan mulai berencana menggulingkan pemerintahan dari orang-orang Mekah, yang dipimpin oleh Rasulullah (ﷺ). Ibnu Ubayy berkata kepada para Sahabat yang termasuk dalam sukunya, "Mereka (Muhajirin, orang-orang Quraisy) telah bertindak sejauh ini! Mereka berusaha memndapatkan perlakuan yang lebih di atas kita! Mereka berkerumun di negeri kita dan membuat kita tak nyaman. Tapi para tetua berkata, "Jika engkau memberi makan anjingmu yang gemuk, maka ia akan menggigitmu! Demi Allah, saat kita pulang kembali ke Madinah, yang lebih tinggi dan lebih kuat akan mengusir yang lebih rendah dan lebih lemah! " Mereka yang mendengarkannya, tak melaporkan hal ini kepada Rasulullah (ﷺ), hanya seorang anak lelaki, Zaid bin Arqam, dan kemudian, Allah!
Pertama, anak lelaki itu datang dan melaporkan kepada Rasulullah (ﷺ), dan demi mendengarkan ini, Rasulullah (ﷺ) sangat marah, Umar mengatakan bahwa ia akan pergi dan memenggalnya, Rasulullah (ﷺ) tak memperkenankan, beliau menolak Umar melakukannya dan Umar taat! Seorang wali akan mengikuti apa kata nabi, namun tidak bagi Ulama Suu'.
Ketika Ibnu Ubayy mengetahui bahwa Rasulullah (ﷺ) telah mengetahui apa yang ia ucapkan, ia bergegas menemui Rasulullah (ﷺ) dan bersumpah bahwa ia tak pernah mengatakan sesuatupun seperti itu. Tetapi masih ada saksi, Allah, Yang mengungkap pengkhianatan orang munafik, musuh Islam ini.

Kemudian datang lagi babak lain, memfitnah orang yang disebut Allah sebagai "Ummul Mukminin" Aisyah, radhiyallahu 'anha. Katakan, apa yang harus dilakukan pada orang yang memfitnah istri nabi? Dan fitnah keji bahwa ia melakukan perzinahan? Fitnah itu mengguncang jiwa kita dan membuat darah kita mendidih, marah, bahkan membaca kalimat-kalimatnya, jiwa kita sangat lemah dalam iman. Bagaimana keadaan di zaman Nabi (ﷺ) dan para Sahabat atas kejadian itu, tak dapat kita bayangkan! Tapi, bayangkanlah, agar engkau paham.
Fitnah ini dimulai oleh Ibnu Ubayy dan orang-orang munafik lain, namun tak mengherankan jika engkau tahu bahwa, Rasulullah (ﷺ), tak melakukan apapun terhadap mereka, bahkan tak memarahi mereka. Mereka yang dihukum, yang benar-benar beriman dan terlibat dalam penyebaran fitnah itu, itu juga, Rasulullah (ﷺ) tak memerintahkan menangkap mereka, tetapi merekalah yang datang dan mengakui kejahatan mereka dan meminta dihukum!
Sampai sekarang, Qadhi manapun, setidaknya akan menilai bahwa orang seperti ini harus diusir, tetapi Rasulullah (ﷺ) tak melarang ia menyertainya dalam sebuah ekspedisi, ia menemani Rasulullah (ﷺ) ke Hudaibiyah!
Saat itu, kaum Muslimin merasa kehausan dalam perjalanan dan membutuhkan air, yang tak dapat ditemukan, Rasulullah (ﷺ) berdoa dan Allah meperlihatkan mukjizat dimana air keluar dari dalam tanah, dan Muslim sejati akan bertambahnya imannya, namun tiadalah hujjah Allah itu mengurangi kemunafikan kaum munafik sejati. Seolah tiada lagi yang bisa membuat seorang munafik memperbaiki dirinya, bahkan peristiwa inipun, tidak. Ibnu Ubayy sedang minum air dan seorang lelaki bertanya kepadanya, "Dari dalam dirimu, wahai Abu Hubab, belumkah tiba waktunya bagimu melihat bagaimana engkau ditempatkan? Apa lagi yang bisa terjadi?" Mereka tahu bahwa Ibnu Ubayy, seorang munafik, itu sebabnya pertanyaan semacam itu diajukan kepadanya. Ibnu Ubbay menjawab dengan angkuh, "Aku sudah pernah melihat yang seperti ini sebelumnya!" Merasa ia terancam oleh orang itu, maka Ibnu Ubayy menemui Rasulullah (ﷺ), mengeluh tentang orang yang membuatnya merasa terancam! Ajib, Rasulullah (ﷺ) tahu apa yang telah terjadi dan sebelum Ibnu Ubayy dapat menyampaikan apapun, Rasulullah (ﷺ) mengajukan kepadanya pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan oleh lelaki itu. Ibnu Ubayy menjawab, "Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Lalu mengapa engkau ucapkan ucapan seperti yang telah engkau ucapkan?" Tentu saja Rasulullah (ﷺ) tahu mengapa ia mengucapkannya, Rasulullah (ﷺ) tak mencari jawaban, beliau (ﷺ) tahu, ia mengatakan itu untuk membuat orang lain lemah imannya. Tersudut dan tak ada lagi jalan keluar, Ibnu Ubayy berkata, "Aku mohon maaf," dimana putranya meminta Rasulullah (ﷺ) memohonkan ampunan untuknya, dan beliau (ﷺ) melakukannya!

Ada kisah lain yang menunjukkan hati Rasulullah (ﷺ) dengan apa yang akhirnya terjadi pada Ibnu Ubayy, saat Ibnu Ubayy merasa bahwa tak lama lagi ia akan mati, ada riwayat bahwa ia bertobat saat kematian sudah dekat, walaupun Allah menjelaskannya dalam Al-Qur'an bahwa orang yang terus-menerus melakukan kejahatan dan bertobat setelah melihat kematian, tobatnya tak dapat diterima dan ia takkan menerima ampunan, karena melakukan hal yang seperti itu, tanda kemunafikan itu sendiri. Allah berfirman,

اِنَّمَا التَّوۡبَۃُ عَلَی اللّٰہِ لِلَّذِیۡنَ یَعۡمَلُوۡنَ السُّوۡٓءَ بِجَہَالَۃٍ ثُمَّ یَتُوۡبُوۡنَ مِنۡ قَرِیۡبٍ فَاُولٰٓئِکَ یَتُوۡبُ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ عَلِیۡمًا حَکِیۡمً
"Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." ― (QS. 4:17)
وَ لَیۡسَتِ التَّوۡبَۃُ لِلَّذِیۡنَ یَعۡمَلُوۡنَ السَّیِّاٰتِ ۚ حَتّٰۤی اِذَا حَضَرَ اَحَدَہُمُ الۡمَوۡتُ قَالَ اِنِّیۡ تُبۡتُ الۡـٰٔنَ وَ لَا الَّذِیۡنَ یَمُوۡتُوۡنَ وَ ہُمۡ کُفَّارٌ ؕ اُولٰٓئِکَ اَعۡتَدۡنَا لَہُمۡ عَذَابًا اَلِیۡمً
"Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Aku benar-benar bertobat sekarang.” Dan tak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan adzab yang pedih." ― (QS. 4:18)
Abdullah, putra Ibnu Ubayy, meminta agar Rasulullah (ﷺ) berkenan datang menshalatkannya. Rasulullah (ﷺ) yang tak pernah menunjukkan tanda-tanda dendam terhadap Ibnu Ubayy, menghadiri pemakamannya. Saat Rasulullah (ﷺ) berdiri untuk shalat, Umar menarik baju beliau (ﷺ) dari belakang dan berkata, "Wahai Rasulullah, akankah engkau melakukannya? Bukankah Allah melarang menshalatkannya?" Islam mengajarkan umatnya agar memperlakukan manusia sesuai dengan keadaan zhahir mereka, urusan qalbu dan pikiran mereka, wewenang Allah. Umar berkata, "Sesungguhnya, ia seorang munafik." Setelah Rasulullah (ﷺ) melaksanakan shalat, maka Allah mewahyukan,
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
"Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." - (QS.9:84)
Ibnu Ubayy menikah tiga kali dan meninggalkan sembilan anak, yang semuanya menjadi Muslim yang taat. Dari istri pertamanya, Khaula binti Mundzir bin Haram dari Bani Malik bin an-Najjar, ia memperoleh, Hubab, yang kemudian dikenal sebagai Abdullah; Jamila binti Abdullah bin Ubayy; dan Qais bin Abdullah bin Ubayy. Dari istri keduanya, Raita binti Amir bin Qais dari Bani Sa'id, ia memperoleh, Malika binti Abdullah bin Ubayy; Ubada bin Abdullah bin Ubayy; Muhammad bin Abdullah bin Ubayy. Dari istri ketiganya, Lubna binti Ubada binti Nadl dari Bani Qauqal, ia memperoleh, Ramlah binti Abdullah bin Ubayy; Sa'ida binti Abdullah bin Ubayy; Ma'mar bin Abdullah bin Ubayy.

Orang-orang munafik, seperti orang-orang kafir, hanya berfokus pada dunia ini, keluarganya, seni dan keterampilannya. Ini karena keyakinannya akan akhirat tak berfondasi. Orang-orang munafik melupakan Allah, dan jika ia mengingat-Nya, sangatlah sedikit. Allah berfirman,

اَلۡمُنٰفِقُوۡنَ وَ الۡمُنٰفِقٰتُ بَعۡضُہُمۡ مِّنۡۢ بَعۡضٍ ۘ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمُنۡکَرِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَقۡبِضُوۡنَ اَیۡدِیَہُمۡ ؕ نَسُوا اللّٰہَ فَنَسِیَہُمۡ ؕ اِنَّ الۡمُنٰفِقِیۡنَ ہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ
"Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik." ― (QS. 9:67)
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ
"Setan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa golongan setan itulah golongan yang rugi." ― (58:19)
Orang beriman selalu mengingat Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
 يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً ‏
"Allah berfirman, 'Aku sesuai prasangka hamba-Ku (Aku kuasa melakukan untuknya apa yang ia pikirkan Aku lakukan untuknya), dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sebuah majelis maka Aku akan mengingatnya dalam majelis yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta, jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." [HR Al-Bukhari, 7405]
Seorang munafik, ingin orang tahu bahwa ia sedang mengerjakan shalat, membaca Al-Qur'an, bersedekah dengan terhormat, turut-serta dalam jihad, berpuasa, namun ketika ia sendirian, ia lupa sama sekali dengan agama. Ia melakukan yang diharamkan saat tiada yang melihatnya. Tsauban, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ‏"‏ ‏.‏ قَالَ ثَوْبَانُ ‏:‏ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ ‏.‏ قَالَ ‏:‏ ‏"‏ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا ‏
“Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada Hari Kiamat dengan banyak kebaikan laksana Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang beterbangan.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah sifat-sifat mereka pada kami agar kami tak menjadi seperti mereka, sedang kami tak mengetahui.” Beliau bersabda, “Adapun mereka, saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi, merekalah kaum yang jika bersendiri, mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” [HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
Neraka akan dipenuhi oleh orang-orang yang telah melakukan riya' dari tiga jenis berikut ini, syuhada, hafidz Al-Qur'an, dan dermawan. Meskipun mereka adalah pelaku hal-hal yang sangat bermanfaat, namun niatnya syogyanya ikhlas dan tak boleh ada kesombongan. Riya' adalah salah satu sifat kebathilan dan semacam syirik kecil. Ia merusak amal bila dilakukan dengan riya' dan alih-alih mendapat pahala, perbuatan seperti itu membuat pintu yang rentan terhadap adzab. Inilah tanda lain dari orang munafik.
Seorang mujahid mungkin berharap mendapatkan nama untuk dirinya dengan turut-serta dalam jihad. Seorang hafidz Qur'an atau seorang 'Ulama mengangankan agar mendapat pujian dari khalayak dan sedemikian rupa sehingga mereka ingin nama mereka tercetak besar dalam iklan majelis dan jamiah. Seorang dermawan membayangkan bahwa orang lain akan berbicara tentang dirinya sebagai orang yang baik-hati dan murah-hati. Jika semua ini dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah dan tak ada keinginan sama sekali untuk dipuja dan dielu-elukan, maka walau jika ia mendapatkan ketenaran, tak ada masalah.
Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Barangsiapa yang melakukan perbuatannya didengar, Allah akan membuat (niat jahatnya) terdengar, dan orang yang riya', Allah akan membuatnya terlihat (dengan niatnya)." Riya' semacam syirik kecil. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Yang paling kutakutkan untukmu adalah syirik kecil." Mereka bertanya, "Ya Rasulullah! Apa syirik kecil itu? " Beliau bersabda, "Riya'." Allah akan berfirman pada Hari Kiamat ketika Dia memberi ganjaran kepada manusia atas perbuatan mereka, 'Pergilah kepada mereka yang kamu perlihatkan (perbuatanmu) di dunia, dan lihatlah, adakah kamu memperoleh pahala dari mereka.'"Allah meninggalkan orang itu dengan perbuatan riya' dan syirik. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Pada hari Kiamat, Allah Ta’ala berfirman, ’Aku tidaklah butuh adanya tandingan-tandingan. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dalam keadaan menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkannya dengan perbuatan syiriknya itu.’”
Kita hendaknya melakukan apa saja agar dapat menghindari riya'. Di saat seseorang ingin dikenal oleh orang lain, ia mulai melakukan amalan agar mereka melihatnya, meskipun sebenarnya ia itu orang jahat. Jika ia menunjukkan kerendahan-hati karena Allah, Allah akan meninggikan derajatnya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Tak ada orang yang rendah hati melainkan Allah meninggikan derajatnya."

Orang munafik hendaknya menyadari bahwa perbuatannya akan sia-sia jika ia melakukannya dengan pamer dan akan menjadi perbuatan syirik. Hanya Allah yang bisa membalas atau menghukum. Tak ada orang yang bisa melakukannya. Seseorang hendaknya sekuat tenaga agar tak melakukan perbuatan syirik, namun mungkin ia tak berhasil. Rasulullah (ﷺ) mengajarkan doa ini dan hanya Allah-lah Yang Maha Pengampun,

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أُشْرِكَ بِك وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا أَعْلَمُ
(Allaahumma Innii A'udzu bika an Usyrika bika wa Anaa A'lamuhuu wa Astaghfiruka Limaa Laa A'lamuhu)
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tak aku ketahui."
[HR Ahmad 4/403. Lihat juga Al-Albani, Sahih al-Jami 'As-Saghir 3/233 dan Sahih at-Targhib wat-Tarhib 1/19]
[Bagian 3]
[Bagian 1]

Jumat, 26 Juli 2019

Kemunafikan (1)

Pingai bertanya, "Wahai Bunglon, saudaraku, mohon maaf, sewaktu di sekolah dulu, aku diajarkan bahwa bunglon berubah warna sesuai dengan warna lingkungan di sekitarnya untuk berkamuflase. Benarkah itu?" Bunglon berkata, "Subhanallah! Kami, para Bunglon, adalah hewan yang dapat berlari dengan kecepatan 33 kilometer per jam. Ketika ada musuh menyerang, kami akan dapat dengan mudah melarikan diri, takkan bersembunyi. Lalu, mengapa kami berubah warna? Pada keanyataannya, kami tak bisa memilih perubahan warna sesuai apa yang kami inginkan, melainkani tergantung pada suasana-hati, suhu udara, dan cahaya. Jika kami sedang marah, maka warna kulit kami akan berubah menjadi gelap. Namun di masa musim kawin, warna kami akan berubah menjadi cerah untuk menarik perhatian lawan jenis kami. Dan jika kami sedang kedinginan, warna tubuh kami akan menjadi gelap karena warna gelap akan menyerap panas lebih mudah. Warna tubuh kami dapat berubah jadi beragam warna, seperti pink, biru, jingga, merah, kuning, dan hijau.
Yang pasti kami berbeda dengan orang-orang munafik, orang-orang yang memihak ke sana dan ke sini, asalkan menguntungkan dirinya. Kamilah hamba-hamba Allah yang tak menyekutukan Dia, kami selalu bertasbih memuliakan-Nya dalam setiap tarikan dan hembusan nafas kami."
Pingai berkata, "Jika demikian saudaraku, sampaikan kepada kami tentang orang-orang munafik!" Bunglon berkata, "Wahai saudara-saudariku, aku hanya seorang hamba Allah, yang faqir ilmu, apa yang akan kusampaikan, hanyalah apa yang pernah kudengar dari guruku dan dari buku rujukan guruku. Ikutilah dengan seksama!

Ketika Allah mengutus Rasul-Nya (ﷺ) dan beliau (ﷺ) menyampaikan risalahnya, ada orang-orang yang menolaknya dan ada yang beriman padanya. Dari orang yang beriman padanya, ada yang hanya mengenakan pakaian iman tanpa sungguh-sungguh mengimaninya, sehingga mereka menyebabkan kerusakan. Mereka disebut kaum Munafiq. Seorang munafik berwajah dua dan orang-orang seperti itulah, manusia yang paling buruk. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah (ﷺ) bersabda,

‏ تَجِدُ مِنْ شَرِّ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ ذَا الْوَجْهَيْنِ، الَّذِي يَأْتِي هَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ
"Sesungguhnya termasuk orang terburuk di sisi Allah pada Hari Kiamat, adalah orang yang bermuka dua yang mendatangi mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan mukanya yang lain." (HR Al-Bukhari, 6058]
Orang munafik akan bersandar pada apa yang tampak menguntungkan baginya dan merekalah yang paling berbahaya bagi manusia. Sejarah Islam bersaksi bahwa umat ini selalu menderita di tangan orang-orang munafik, dan telah terjadi pula kisah yang sama pada hari ini. Jika seorang penguasa munafik maka umat Islam akan mengalami kemunduran dan kemerosotan. Rasulullah (ﷺ) sering memperingatkan umat Islam tentang orang munafik. Beliau (ﷺ) bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari umat ini, adalah setiap orang munafik dengan lisan yang berilmu." [Musnad Aḥmad 140; Shahih oleh Ahmad Syakir]
Hari ini, penyakit kemunafikan telah berjangkit di kalangan umat Islam. Karenanya, wahai saudara-saudariku, tujuan diskusi kita, dimaksudkan mengajak kita agar menghindari perbuatan munafik dan membantu kita mengenali orang munafik. Orang beriman yang tulus kemudian dapat melindungi dirinya dari kemunafikan. Kebutuhan saat ini, mematuhi Syariat Islam dan berjihad melawan orang-orang kafir, namun orang-orang munafik telah memunculkan banyak keraguan tentang jihad sedemikian rupa sehingga para Mujahid yang berpartisipasi dalam Jihad, goyah dan tak yakin lagi. Selain itu, orang-orang munafik berpihak pada orang-orang kafir, sehingga kemenangan tampak seperti mimpi yang jauh dan sumir. Bersama dengan musuh-musuh Islam, para pemimpin negara-negara Islam memasang tali-kekang mereka untuk merusak Islam.

Kata Arab, Nifaq, bermakna kemunafikan. Kata Munafiq berasal dari kata Nafiqa. Kata ini bernakna lubang tikus liar yang memunculkan dirinya karena banyak lumpur yang menutup kepalanya. Satu sisi dari tubuhnya, tersembunyi dan yang lainnya, terlihat. Munafiq, atau orang munafik, disebut demikian karena ia menyembunyikan kekafiran dan mengungkapkan sisi lain keyakinannya. Hasan, rahmatullah alaih, mendefinisikan kemunafikan, "Disebutkan bahwa kemunafikan, perbedaan antara yang tertutupi dan yang terbuka, antara kata dan perbuatan, dan antara yang masuk dan yang keluar. Dan dikatakan bahwa dasar kemunafikan dimana ia tumbuh adalah dusta."
Kemunafikan adalah penyakit spiritual yang berakar sangat dalam dan menyeluruh. Qalbu seseorang dapat meluap-luap dengannya namun tak menyadarinya, karena sifatnya yang tersembunyi dan halus; Seringkali, hal itu membuat seseorang berpikir bahwa ia melakukan yang benar namun pada kenyataannya, ia menyebarkan kerusakan.

Ada dua jenis kemunafikan, yang menyangkut iman, kemunafikan besar atau nifaq akbar atau nifaq i'tiqadi, dan yang menyangkut perbuatan, atau nifaq ‘amali, atau kemunafikan kecil atau nifaq ashghar. Pertama, nifaq i'tiqadi, kemunafikan iman, yaitu orang yang lebih menghargai keyakinan orang-orang kafir, menyekutukan Allah, tak menyukai Rasulullah (ﷺ), namun menyembunyikannya dengan berpura-pura beriman dan mencintai beliau (ﷺ), perbuatannya berlawanan dengan syahadatnya, memilih selain hukum Allah dan memilih perintah lain selain perintah Rasulullah (ﷺ). Orang-orang seperti ini, pastilah ternasuk orang-orang kafir. Mereka menyembunyikan ketidakpercayaan mereka atas motif pribadi untuk menyebarkan tujuan mereka yang tercela. Alih-alih membela agama, mereka berusaha meredam keyakinan umat Islam dan menjadikannya ragu tentang Rasulullah (ﷺ). Kadang-kadang mereka berperang melawan umat Islam karena dengki dan iri-hati, namun jika mereka membutuhkan sesuatu, mereka menunjukkan cinta yang sangat besar kepada umat Islam.
Kedua, nifaq ‘amali, kemunafikan dalam perbuatan, tak mengeluarkan seseorang dari Islam tetapi menjadikannya menyerupai orang munafik. Ia memiliki salah satu tanda kemunafikan, misalnya suka berdusta. Menghianati amanah, melanggar janji, melecehkan dan mencaci-maki, dan sebagainya. Ijma' para ulama, orang seperti ini tak keluar dari Islam, namun jelas berbuat dosa besar dan selalu ada kemungkinan ia menjadi seorang munafik i'tiqadi.
Hafiz Abdus Salaam Ibnu Muhammad mengatakan, 'Jika seorang mukmin sesekali melakukan dosa-dosa ini, maka ia tak digolongkan sebagai orang munafik karena orang beriman juga tak terhindar dari berbuat dosa. Namun, jika telah terbiasa berbuat dosa ini, maka orang tersebut, seorang munafik. Jika semua tanda-tanda ini ditemukan pada seseorang, maka tak mungkin ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) dengan ikhlas. Maka, jika ia jelas-jals pendusta, ia tak pernah memenuhi janjinya, ia sering khianat, maka ia tak hanya seorang munafik 'amali, melainkan juga i'tiqadi, karena iman termasuk dalam ucapan dan janji. Dusta adalah hal yang asing bagi orang-orang beriman. Allah berfirman,

اِنَّمَا یَفۡتَرِی الۡکَذِبَ الَّذِیۡنَ لَا یُؤۡمِنُوۡنَ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ ۚ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ الۡکٰذِبُوۡنَ
"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong." - (QS.16:105)
Pingai bertanya, "Apa penyebab tumbuhnya kemunafikan?" Bunglon berkata, "Sejarah mengungkapkan bahwa salah satu dari tiga hal berikut ini, penyebab tumbuhnya kemunafikan. Pertama, keserakahan. Ketika Islam tumbuh dan menyebar, dan umat Islam menjadi penentu, ada orang yang jiwanya sakit, muncul dan menyusup ke dalam kalangan umat Islam, ingin mewujudkan rencana jahat mereka; kedua, iri-hati. Ada orang yang menyusup ke barisan umat Islam, membenci Islam dan kaum Muslimin, mereka berusaha merusak Islam melalui tipu-daya. Mereka berpura-pura memeluk Islam untuk menyelamatkan diri mereka, namun menyimpan kekafiran di dalam diri mereka, sangat dengki dan keji. Secara lahiriah, mereka menyatakan cinta kepada kaum Muslimin dan menunjukkan bahwa mereka bersemangat untuk berdakwah; ketiga, cobaan. Ketika orang-orang beriman menghadapi cobaan melalui penganiayaan di tangan para tiran dan gugur karena keimanan mereka, hanya yang ikhlas yang bertahan dalam Dien mereka. Orang-orang munafik, meminta perlindungan kepada orang-orang kafir."
Rasulullah (ﷺ) bersabda tentang empat hal yang dimiliki orang munafik. Keempat hal ini bukanlah tanda-tanda nifaq i'tiqadi dan pelakunya tak keluar dari Islam, melainkan tanda-tanda nifaq 'amali dan pelakunya, berdosa dan tak taat. Namun, orang yang terus-menerus berperilaku seperti ini, akan berakhir sebagai seorang munafik i'tiqadi. Rasulullah (ﷺ) menyebutkan hal ini karena sangat penting, dan umumnya ditemukan pada orang-orang munafik, sebaliknya, ada banyak tanda-tanda lain yang mereka lakukan pada zaman Rasulullah (ﷺ). Al-Qur'an menyebutkannya di tempat yang berbeda. Dalam salah satu riwayat, Rasulullah (ﷺ) hanya menyebutkan tiga tanda, dusta, khianat dan curang. Sebenarnya, berdusta ada tiga macam, dalam ucapan, perbuatan dan niat, yaitu berbohong, mengkhianati amanah dan melanggar janji. Bila kepercayaan itu hilang, imanpun lenyap."

Pingai berkata, "Sampaikan pada kami tentang tanda-tanda dan perilaku orang-orang munafik menurut Al-Qur'an dan Hadits!" Bunglon berkata, "Pertama-pertama, dusta. Berbohong, akar dari segala kejahatan. Kebohongan itu, mengarah ke neraka. Kebohongan membawa aib. Kebohongan memungkiri kesaksian dan merupakan dasar kemunafikan dan ketidakpercayaan. Diriwayatkan Abdullah, Rasulullah (ﷺ) bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan (ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Seyogyanya, kalian menjauhi dusta. Sesungguhnya, dusta itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa, dan sesungguhnya, dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu berusaha berdusta, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang kadzdzaab (suka berdusta).” [HR Al-Bukhari, 6094]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik sejati. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: (1) jika diberi amanat, khianat; (2) jika berbicara, dusta; (3) jika membuat perjanjian, diingkari; (4) jika berselisih, ia akan berbuat zhalim.” (HR. Muslim no. 58)
Ia tampak mengerjakan shalat secara teratur, dan bepuasa tanpa istirahat, serta menyebut dirinya seorang Muslim, namun jika ia melakukan hal-hal tersebut, maka ia, seorang munafik dalam arti sebenarnya. Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ketika Rasulullah (ﷺ) menguraikan tiga karakteristik tersebut, seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, bahkan jika hanya ada satu?" Beliau (ﷺ) bersabda, "Itu takkan berhenti berada di dalam qalbunya selama masih ada sifat itu di dalam dirinya."

Dan Allah menggambarkan perilaku orang-orang munafik,

وَ مِنَ النَّاسِ مَنۡ یَّقُوۡلُ اٰمَنَّا بِاللّٰہِ وَ بِالۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ وَ مَا ہُمۡ بِمُؤۡمِنِیۡنَ ۘ
"Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman." - (QS.2:8)
یُخٰدِعُوۡنَ اللّٰہَ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا ۚ وَ مَا یَخۡدَعُوۡنَ اِلَّاۤ اَنۡفُسَہُمۡ وَ مَا یَشۡعُرُوۡنَ ؕ
"Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari." - (QS.2:9)
فِیۡ قُلُوۡبِہِمۡ مَّرَضٌ ۙ فَزَادَہُمُ اللّٰہُ مَرَضًا ۚ وَ لَہُمۡ عَذَابٌ اَلِیۡمٌۢ ۬ۙ بِمَا کَانُوۡا یَکۡذِبُوۡنَ
"Dalam qalbu mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta." - (QS.2:10)
Orang-orang munafik berbohong dengan lidah mereka, tetapi Allah mengungkapkan apa yang ada didalam qalbu mereka. Berbohong adalah suatu penyakit, sehingga jika tak diperiksa, ia akan terus memburuk. Beberapa kali berbohong hanya untuk menutupi sesuatu, dan sebaliknya, terkadang mempertahankan kebenaran, dapat menyeret seseorang ke pengadilan, hasil akhirnya selalu baik seperti yang terjadi pada Ka'b bin Malik. Pada masa sekarang, ada orang yang berpendapat bahwa berbohong itu, bermanfaat. Keraguan yang tersisa setelah itu, adalah kemunafikan mereka. Berbicara dusta itu, dosa dan munafik, Allah berfirman,
اِذَا جَآءَکَ الۡمُنٰفِقُوۡنَ قَالُوۡا نَشۡہَدُ اِنَّکَ لَرَسُوۡلُ اللّٰہِ ۘ وَ اللّٰہُ یَعۡلَمُ اِنَّکَ لَرَسُوۡلُہٗ ؕ وَ اللّٰہُ یَشۡہَدُ اِنَّ الۡمُنٰفِقِیۡنَ لَکٰذِبُوۡنَ
"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa engkaulah Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta." - (63:1)
Lelucon, lawakan, dan candaan yang dipenuhi dengan dusta, juga ada dalam klasifikasi yang sama. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Celakalah para pendusta, yang berbohong ketika ia berbicara agar orang-orang tertawa. Celakalah ia! Celakalah ia!"
Namun, ada suatu yang tampak seperti berbohong, disebut sebagai Tawriyah, menampakkan pada yang diajak bicara tak sesuai kenyataan, namun dari satu sisi, pernyataan yang diucapkan itu, benar. Yakni, tawriyah untuk mendamaikan seorang Muslim dengan saudara Muslimnya yang lain, berbohong dalam perang, dan tawriyah suami-istri, agar membawa kebaikan dalam rumah-tangga mereka. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Aku tak menganggapnya sebagai kebohongan," dan beliau (ﷺ) menyebut masing-masing dari ketiga hal tersebut.
Seseorang dapat mendamaikan dua dua orang saudara Muslimnya dengan mengatakan kepada yang satu bahwa, yang lain memujinya, dan mengatakan hal yang sama kepada yang lain. Dalam perang, seseorang mungkin mengeluarkan pernyataan yang membujuk seperti 'Telah banyak orang kafir yang terbunuh,' 'bala-bantuan sedang dalam perjalanan'." Dan sepasang suami-istri dapat saling berbohong-ringan untuk meningkatkan rasa saling cinta dan kasih diantara mereka.
Kebohongan apapun selain ketiga hal tersebut, kemunafikan. Bercanda atau serius, namun karena kebutuhan atau untuk membodohi orang lain, menghasut para penguasa terhadap seseorang, mengubah aturan agama, memalsukan hadis, mengaitkan pahala terhadap keshalihan dirinya-sendiri, menyampaikan khabar bohong tentang perang yang terjadi di tempat lain, Hadis yang membicarakan tentang 'berbohong dalam perang' hanya di negeri tempat ia berperang, seperti Afghanistan atau Kashmir. Untuk mendorong para Mujahidin dan meningkatkan moral mereka, atau untuk melemahkan semangat musuh. Akar penyebab kemunafikan adalah dusta. Tanda kemunafikan lainnya juga muncul karena dusta. Karena itu, kita hendaknya berusaha sekuat tenaga agar menghindarinya, sehingga tak ada bagian kemunafikan dalam catatan amal kita.

Orang-orang munafik sangat-mudah bersumpah-palsu untuk melindungi diri mereka. Allah berfirman,

اِتَّخَذُوۡۤا اَیۡمَانَہُمۡ جُنَّۃً فَصَدُّوۡا عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ فَلَہُمۡ عَذَابٌ مُّہِیۡنٌ
"Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah; maka bagi mereka adzab yang menghinakan." - (58:16)
اِتَّخَذُوۡۤا اَیۡمَانَہُمۡ جُنَّۃً فَصَدُّوۡا عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ اِنَّہُمۡ سَآءَ مَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ
"Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Sungguh, betapa buruknya apa yang telah mereka kerjakan." - (QS.63:2)
Zaid bin Arqam meriwayatkan, "Ketika aku ikut bagian dalam sebuah ekspedisi. Aku mendengar `Abdullah bin Ubai (bin Abi Salul) berkata. "Jangan membelanjakan untuk mereka yang bersama Rasulullah (ﷺ), agar mereka dapat membubarkan diri dan pergi darinya. Jika kita kembali (ke Madinah), tentu saja, yang lebih terhormat akan mengusir orang jahat di antara mereka." Aku melaporkan hal itu kepada pamanku atau kepada 'Umar yang, pada gilirannya, menyampaikan kepada Rasulullah (ﷺ) tentang hal itu. Rasulullah (ﷺ) memanggilku dan aku menceritakan kepada beliau seluruh kisahnya. Kemudian Rasulullah (ﷺ) memanggil `Abdullah bin Ubai dan teman-temannya, dan mereka bersumpah bahwa mereka tak mengatakan hal itu. Maka, Rasulullah (ﷺ) tak mempercayai perkataanku dan mempercayai mereka. Aku merasakan tekanan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Akupun tinggal di rumah dan pamanku berkata kepadaku. "Kamu hanya ingin Rasulullah (ﷺ) tak mempercayai perkataanmu dan tak menyukaimu." Lalu, Allah mewahyukan (Surah yang dimulai dengan) 'Ketika orang-orang munafik datang kepadamu.' (63.1) Rasulullah (ﷺ) kemudian memanggilku dan membacakannnya, kemudian berkata, "Wahai Zaid! Allah menegaskan ucapanmu." [HR Al-Bukhari. 4900]
Sumpah palsu itu, tanda kemunafikan dan juga dosa besar. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Dosa besar adalah, menyekutukan Allah, membunuh, dan sumpah palsu."
Jika ada orang yang berbohong agar jualannya laku, maka juga berada di bawah lingkup hadits ini. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ada tiga orang, kepada siapa Allah takkan berbicara pada Hari Kiamat, tidak melihat mereka, seorang yang bersumpah atas harga barangnya agar ia mendapatkan lebih dari apa yang ia dapatkan (untuk barang dagangannya) dan ia berbohong. Dan orang yang bersumpah palsu setelah Ashar agar ia melarikan harta milik seorang Muslim pada saat itu. " Versi dalam hadits Muslim, juga terdapat kata-kata, "dan Allah takkan menyucikan mereka dan bagi mereka adalah adzab yang menyakitkan, dan orang yang menjual barang dagangannya setelah bersumpah palsu dan mengakhiri transaksinya."
Kesaksian palsu itu, dosa besar dan kemunafikan, karenanya, merupakan kebathilan. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Dosa-dosa yang paling berat adalah menyekutukan Allah, tak mematuhi orang tua, membunuh seseorang dan kesaksian palsu. Kesaksian palsu! Kesaksian palsu!

Orang-orang munafik, juga suka berdalih. Rasulullah (ﷺ), saat sedang sibuk persiapan Perang Tabuk. Beliau bersabda (ﷺ) kepada kepala suku Bani Salama, Jadd bin Qais, "Sudahkah mempersiapkan Bani Al-Asfar?" Ia berkata, "Berilah aku izin agar tak ikut dalam jihad. Jangan jerumuskan aku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku tahu bahwa tiada yang lebih menyukai wanita seperti aku, dan aku khawatir takkan dapat menahan diri bila melihat wanita-wanita dari Bani Asfar." Rasulullah (ﷺ) berpaling darinya dan berkata, "Boleh." Setelah itu, ayat ini diwahyukan tentang orang ini, Jadd bin Qais,

وَ مِنۡہُمۡ مَّنۡ یَّقُوۡلُ ائۡذَنۡ لِّیۡ وَ لَا تَفۡتِنِّیۡ ؕ اَلَا فِی الۡفِتۡنَۃِ سَقَطُوۡا ؕ وَ اِنَّ جَہَنَّمَ لَمُحِیۡطَۃٌۢ بِالۡکٰفِرِیۡنَ
"Dan di antara mereka ada orang yang berkata, “Berilah aku izin (tak pergi berperang) dan janganlah engkau (Muhammad) menjadikan aku terjerumus ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sungguh, Jahanam meliputi orang-orang yang kafir." - (QS.9:49)  
Setiap kata atau perbuatan yang ada kebohongan di dalamnya, dosa besar. Itulah sebabnya mengapa Allah berfirman bahwa adzab pedih menunggu orang-orang munafik, mereka yang berjualan dengan kebohongan dan pembohong lainnya. Orang-orang munafik suka mencaci orang lain. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Orang beriman bukanlah orang yang suka mengejek, atau orang yang suka mencaci, bukan juga orang yang tak bermoral, atau orang yang tak tahu malu." Kita telah melihat juga sabda Rasulullah (ﷺ) bahwa jika ada yang memiliki empat sifat yang telah disebutkan, maka ia, seorang yang munafik, dan salah satunya, ia mencaci-maki saat sedang berselisih. Meskipun diperbolehkan membalas cacian itu dan tak masuk sebagai kemunafikan, tak boleh berlebihan atau meniru-niru kebohongan. Rasulullah (ﷺ) berkata, "Saat dua orang saling mencaci, apapun yang mereka ucapkan, bertentangan dengan yang lain, asalkan orang yang di zhalimi tak berlebih-lebihan (dalam membalas." Jika orang yang di zhalimi itu berdusta terhadap pelecehnya, maka keduanya munafik. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Dua orang yang saling mencaci itu, iblis, pelaku kekerasan dan pendusta." Namun, jika ia bersabar, maka itu baik baginya.
Seseorang boleh memarahi orang yang tak beriman dan itu bukanlah tanda kemunafikan bila melakukannya. Selama perdamaian Hudaibiyah, seorang kafir, Urwah berkata (kepada Rasulullah (ﷺ)), "Demi Allah, aku melihat wajah-wajah milik suku yang berbeda. Mereka akan meninggalkanmu dan membiarkanmu sendirian." Pada saat itu, Abu Bakar mendampratnya, "(Pergi!) Jilat klitoris Laat. Akankah kita tinggalkan ia dan biarkan ia sendiri? ..."

Salah satu tanda kemunafikan itu, mengkhianati amanah. Setia pada amanah itu, salah satu ciri dari seorang Muslim. Bahkan sebelum beliau diangkat sebagai Nabi (ﷺ), Rasulullah (ﷺ) dikenal sebagai al-Amin dan as-Shadiq (orang yang sangat dipercaya dan sangat jujur). Allah memerintahkan orang-orang beriman agar setia pada amanah mereka.

اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُکُمۡ اَنۡ تُؤَدُّوا الۡاَمٰنٰتِ اِلٰۤی اَہۡلِہَا ۙ وَ اِذَا حَکَمۡتُمۡ بَیۡنَ النَّاسِ اَنۡ تَحۡکُمُوۡا بِالۡعَدۡلِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ نِعِمَّا یَعِظُکُمۡ بِہٖ ؕ اِنَّ اللّٰہَ کَانَ سَمِیۡعًۢا بَصِیۡرًا
"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat." - (QS.4:58)
Allah telah sering menyebutkan dalam Al Qur'an bahwa orang beriman setia memegang amanahnya. Ketika Dia menyebutkan ahli surga yang sukses, Dia berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
"Dan orang-orang yang memelihara amanah dan janjinya," - (QS.70:32)
Dan mengkhianati amanah itu, tanda utama kemunafikan. Diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
"Tanda kemunafikan itu, bahwa setiap kali ia berkata, ia berbohong, dan setiap kali ia berjanji, ia mengingkarinya, dan jika ia diberi amanah, ia khianati." [Sunan at-Tirmidzi, 2631; Shahih]
Rasulullah (ﷺ) juga mengatakan bahwa orang yang mengkhianati amanahnya, tak punya imana dan orang yang ingkar janji, tak beragama. Arti amanah (kepercayaan) sangat luas, tak hanya menjaga benda-benda yang dipercayakan. "

Bentuk-bentuk berikut ini, bagian dari amanah, pertama, mempercayakan uang atau harta-benda. Allah berfirman,

وَ مِنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ مَنۡ اِنۡ تَاۡمَنۡہُ بِقِنۡطَارٍ یُّؤَدِّہٖۤ اِلَیۡکَ ۚ وَ مِنۡہُمۡ مَّنۡ اِنۡ تَاۡمَنۡہُ بِدِیۡنَارٍ لَّا یُؤَدِّہٖۤ اِلَیۡکَ اِلَّا مَادُمۡتَ عَلَیۡہِ قَآئِمًا ؕ ذٰلِکَ بِاَنَّہُمۡ قَالُوۡا لَیۡسَ عَلَیۡنَا فِی الۡاُمِّیّٖنَ سَبِیۡلٌ ۚ وَ یَقُوۡلُوۡنَ عَلَی اللّٰہِ الۡکَذِبَ وَ ہُمۡ یَعۡلَمُوۡنَ
"Dan di antara Ahli Kitab, ada yang, jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya ia mengembalikannya kepadamu. Akan tetapi, ada (pula) di antara mereka, yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, ia tak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, “Tak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf.” Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui." ― (QS. 3:75)
Kedua, agama. Allah telah menyatakan bahwa Syari'ah itu, amanah kita, kita seyogyanya, menjaganya dan tak mengkhianatinya, jika tidak, kita takkan menjadi Muslim sejati, melainkan jadi musyrik atau munafik. Allah berfirman,
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir, takkan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh," - (QS.33:72)
Di sini, amanah itu mencakup perintah-perintah Syari'ah, yang fardhlu dan wajib, bila dikerjakan akan memperoleh pahala, dan bila mengabaikannya, akan membuat seseorang harus dihukum. Allah telah memutuskan bahwa orang-orang munafik, orang-orang musyrik, dan orang-orang beriman, sangat jelas perbedaannya. Dan Dia akan memberi pahala atau mengadzab mereka. Allah berfirman,
لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"sehingga Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, orang-orang musyrik, laki-laki dan perempuan; dan Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." - (QS.33:73)
Ketiga, rahasia atau percakapan. Jika seseorang mempercayai orang lain maka itulah amanah padanya dan ia tak diperbolehkan mengungkapkannya kepada orang lain. Saat Rasulullah (ﷺ) mengutus Lubabah bin Abdul Mundzir ke Bani Quraizah untuk memerintahkan mereka keluar dari benteng mereka, mereka meminta nasehatnya dan ia menunjuk ke tenggorokannya, mengindikasikan bahwa mereka akan di hukum mati. Maka, Allah mewahyukan,
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَخُوۡنُوا اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ وَ تَخُوۡنُوۡۤا اَمٰنٰتِکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." - (QS.8:27)
Ketika ayat ini diturunkan, Lubabah mengikatkan dirinya pada sebuah tiang di Masjid Nabawi, bersumpah tak makan apapun atau melepaskan dirinya sampai Allah menerima tobatnya. Setelah sembilan hari, ia tak sadarkan diri dan Allah menerima tobatnya. Bahwa leher mereka akan dipenggal, merupakan sesuatu yang diamanahkan untuknya, namun ia tak berhasil menjaganya. Jika seseorang melihat ke sana-sini sebelum ia berbicara dengan yang lain, maka kata-katanya adalah amanah baginya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Jika seseorang berbicara dan menoleh (ke sana-sini), maka itulah amanah."
Dengan cara yang sama, sebuah pertemuan atau majelis, adalah amanah, sepanjang tak diberikan izin terbuka untuk umum, namun jika persekongkolan ditetaskan, katakanlah, untuk membunuh seseorang, maka pertemuan semacam itu bukanlah amanah. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Majelis adalah amanah, kecuali tiga jenis, pertemuan (yang memutuskan) untuk menumpahkan darah, untuk melakukan ketidaksenonohan dan untuk menyalahgunakan harta-benda seseorang."
Bahkan, diwajibkan mengungkapkan proses pertemuan dimana hal-hal yang buruk diputuskan untuk dilakukan sehingga orang tak perlu ada yang menderita. Selain itu, tak diperbolehkan bagi siapapun, memaksa anggota menjelis agar mengungkapkan prosesnya. Kehidupan pribadi pasangan juga merupakan amanah. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "(Pelanggaran) amanah terbesar di mata Allah pada Hari Kebangkitan adalah seorang lelaki mendekati istrinya dan wanita itu mendatanginya. Kemudian ia menyiarkan rahasia isterinya itu."

Keempat, tanggung jawab dan jabatan. Pada peristiwa penaklukan Mekah, Rasulullah (ﷺ) meminta kunci Ka'bah dan membuka pintunya. Ketika beliau (ﷺ) keluar, ayat ini diwahyukan,

اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُکُمۡ اَنۡ تُؤَدُّوا الۡاَمٰنٰتِ اِلٰۤی اَہۡلِہَا
"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, ..." - (QS.4:58)
Sayyidina Abbas, radhiyallahu 'anhu, menyatakan bahwa ia seharusnya termasuk yag diamanahkan atas kunci itu, karena ia secara resmi menyediakan air yang selama ini menjadi tanggungjawabnya. Tetapi, Rasulullah (ﷺ) mengembalikan kunci itu ke Utsman bin Talha, radhiyallahu 'anhu. Amanah dikembalikan padanya. Tanggungjawab itu hendaknya diberikan kepada orang yang memenuhi syarat. Sebelum mempercayakan seseorang dengan tanggung jawab atau jabatan, ia seyogyanya diteliti, layak atau tidakkah ia, jika orang yang menyerahkannya tak menelitinya, maka orang itu sendiri yang mengkhianati amanahnya. Dan seseorang yang diberi tanggung jawab, hendaknya melaksanakan dengan sebaik-baiknya, dengan jujur, jika tidak, ia berbahaya. Contohnya, seorang Amir, guru, bendahara atau jabatan lainnya. Mereka hendaknya jujur ​​dan ikhlas dalam kepemimpinan, pengajaran, penanganan uang negara, dan tanggung jawab lainnya, jika tidak, mereka melanggar amanah. Rasulullah (ﷺ) bersabda kepada Abu Dzarr, “Wahai Abu Dzarr, engkau lemah, sedangkan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat, amanah itu dapat menyebabkan aib dan penyesalan kecuali orang yang memperlakukannya dengan adil dan memberikan haknya."

Tanda lain dari kemunafikan itu, berbuat-curang. Tak ada agama yang menyetujui kecurangan. Islam mempertahankan setiap hal yang baik dan menghapus segala hal yang buruk. Rasulullah (ﷺ) menetapkan prinsip umum ketika beliau (ﷺ) bersabda,

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
"Ia yang curang bukan dari kami." [Jami` at-Tirmidzi; 1315; Shahih]
Dan setiap kali beliau (ﷺ) mengirim pasukan, beliau (ﷺ) memerintahkan Amir (atau komandan) agar tak memperdaya siapapun. Beliau (ﷺ) memperingatkan, khususnya, agar takut kepada Allah dan menjadi seorang penyelamat bagi Muslim yang menyertainya. Beliau (ﷺ) bersabda, "Berjuanglah atas nama Allah, di jalan-Nya. Perangi orang yang mengingkari Allah. Dan jangan khianat, jangan main curang, jangan mencincang dan jangan membunuh anak-anak."
Beliau (ﷺ) memerintahkan agar tak mencurangi setiap pasukan lawan, baik yang kecil atau karavan. Jika ada orang yang main curang setelah membuat perjanjian, baik dengan kaum Muslimin atau orang-orang kafir, dengan Amir atau dengan bawahannya, maka ia punya tanda kemunafikan besar dalam dirinya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Pada Hari Kiamat, setiap penipu akan membawa spanduk di punggungnya dimana ia akan dikenali. Dikatakan bahwa ia telah mencurangi Fulan bin Fulan."

Tanda kemunafikan lainnya, mengabaikan shalat. Setelah mengucapkan Kalimat Syahadat, shalat adalah dasar Islam dan jika ada yang tak mengerjakannya dengan sengaja, maka ia keluar dari Islam dan boleh dibunuh. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Aku telah diperintahkan agar berperang melawan manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada illah selain Allah dan bahwa aku adalah Utusan Allah, dan mereka mendirikan Shalat, serta membayar zakat. Ketika mereka melakukan itu, mereka telah melindungiku dari darah dan harta benda mereka, kecuali bahwa (mereka akan memberikan) hak-hak Islam, dan perhitungan mereka akan berada di tangan Allah."
Beliau (ﷺ) juga bersabda, "Perbedaan seseorang, dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengabaikan Shalat." Orang-orang munafik juga mengerjakan shalat agar mereka tak dianggap sebagai orang-orang kafir, namun mereka malas dan ada kekurangan dalam Shalat mereka dari orang-orang tertentu yang ia tuduh munafik. Orang-orang munafik dibedakan dari kurangnya shalat mereka. Pertama, malas dan suka terlambat datang shalat. Sifat orang beriman itu, bahwa ia memelihara shalatnya, mengerjakannya tepat waktu, datang dengan sukarela dan melakukan bentuk-bentuk ibadah lainnya dengan semangat.
Rasulullah (ﷺ) bangun shalat dengan bersemangat. Seseorang bertanya kepada Ummul Mukminin, Aisyah, radhiyallahu 'anha, "Kapan beliau (ﷺ) bangun Shalat?" Ia berkata, "Saat beliau (ﷺ) mendengar ayam jantan berkokok, beliau (ﷺ) akan bangun dan menegakkan shalat."

Allah berfirman tentang orang-orang munafik,

اِنَّ الۡمُنٰفِقِیۡنَ یُخٰدِعُوۡنَ اللّٰہَ وَ ہُوَ خَادِعُہُمۡ ۚ وَ اِذَا قَامُوۡۤا اِلَی الصَّلٰوۃِ قَامُوۡا کُسَالٰی ۙ یُرَآءُوۡنَ النَّاسَ وَ لَا یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ اِلَّا قَلِیۡلًا
"Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya' (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tak mengingat Allah kecuali sedikit sekali." - (4:142)
Anas bin Maalik meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Beginilah Shalat orang munafik: ia duduk menunggu matahari (terbenam) sampai saat berada di antara dua tanduk setan (dan berubah menjadi kuning), ia berdiri dan mengerjakan empat raka'at, tak menyebut (Allah) melainkan sangat sedikit."
Kedua, mengerjakan shalat secara sekaligus. Orang-orang beriman rendah hati dan penuh perhatian dalam Shalat mereka. Orang seperti itu akan berhasil. Tanpa kerendahan hati dan perhatian, Shalat tak beroleh pahala. Jika ada yang terburu-buru mengerjakan shalat, maka itu bukanlah Shalat. Rifa'ah bin Rafi meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah (ﷺ) suatu hari duduk di masjid dan mereka juga duduk di sekelilingnya (ﷺ), seorang lelaki masuk. Ia tampaknya seperti penduduk desa. Ia menghadap Kiblat dan mengerjakan dua raka'at shalat di dekat Rasulullah (ﷺ) dan menjadikan Shalatnya sangat singkat. Ia tak menyempurnakan ruku dan sujudnya. Saat ia selesai, ia datang dan memberi salam kepada Rasulullah (ﷺ) dan orang-orang di sekitarnya. Beliau (ﷺ) menjawab, "Dan untukmu" dan berkata, "Ulangilah shalatmu, karena engkau belum mengerjakannya." Maka iapun mengulangi apa yang telah ia kerjakan. Rasulullah (ﷺ) mengamati Shalatnya dengan seksama dan lelaki itu tak dapat memahami cacat apa yang ada di dalam shalatnya. Ketika ia mengucapkan salam, ia datang lagi dan memberi salam kepada Rasulullah (ﷺ) dan orang-orang di sekitarnya. Beliau (ﷺ) bersabda, "dan untukmu! Tapi, kerjakan lagi shalatmu, karena, engkau belum mengerjakannya." Maka ia mengulanginya lagi... Tiga kali ...
Beginilah cara orang munafik mengerjakan salam. Ia tak berdiri, ruku' dan sujud dengan tenang, melainkan shalatnya bagai seekor ayam yang mematuk benih yang tersebar di tanah. Pada masa-masa ini, ada orang ruku' dan sujud dalam Sholat hanya sebagai simbolis. Kita hendaknya berhati-hati agar Shalat kita tak ditolak dan menyerupai orang-orang munafik, yang hanya ingin dilihat oleh orang lain sehingga mereka tak dikumpulkan bersama orang-orang kafir.
Mereka tampak beribadah, namun porak-poranda. Shalat mereka hanya sebatas nama, hanya sedikit menyebut nama Allah, tak punya kerendahan-hati, dikerjakan tidak tepat waktu dan tak ada ketenangan mengerjakannya. Atau, mereka jarang mengerjakannya, atau bahkan telah berhenti melaksanakannya.

Ketiga, menganggap shalat itu, sebagai beban. Shalat berjamaah itu berlaku bagi setiap Muslim, lelaki yang bebas, waras, dewasa, sehat. Jika ia tak ikut tanpa alasan yang sah dalam syari'ah, maka Shalatnya tak diterima. Ada banyak ucapan Rasulullah (ﷺ) dan para sahabat yang menegaskan pernyataan ini. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Ia yang mendengar adzan namun tak datang ke sana, tak ada shalat baginya kecuali ia punya alasan." Ali berkata, "Tak ada Shalat bagi tetangga masjid, kecuali didalam masjid." Seseorang bertanya, "Siapa tetangga masjid itu?" Ia berkata, "Orang yang mendengar adzan."
Menjauhi shalat, adalah perilaku orang munafik. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Demi Dia Yang jiwaku adas di Tangan-Nya, aku bertekad memrintahkan agar kayu-bakar dikumpulkan, kemudian untuk shalat dengan panggilan adzan. Lalu 'kan kuperintahkan seseorang agar memimpin Shalat dan aku akan mengejar orang-orang (yang menjauhi shalat) dan membakar rumah mereka. Demi Dia Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, adakah di antara mereka yang tahu bahwa ia akan menemukan tulang gemuk atau sepasang kuku domba yang baik, ia pasti akan datang Shalat Isya!"
Beliau (ﷺ) juga bersabda, "Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah Shalat Isya dan Subuh. Jika mereka tahu apa yang diberikan (sebagai pahala) bagi mereka, maka mereka akan mendatanginya, meskipun mereka harus merangkak. Sungguh, aku putuskan untuk memerintahkan agar Shalat dimulai dan bagi seorang memimpin yang lain shalat. Kemudian aku akan pergi bersama berapa orang membawa kayu-bakar kepada orang-orang yang tak datang Shalat, dan aku akan membakar menyusuri rumah mereka dengan api."
Orang-orang munafik merasakan berat mengerjakan shalat Subuh dan lsya, karena mereka mengantuk pada jam-jam ini. Di sinilah letak perbedaan waktu. Di sinilah letak perbedaan antara orang beriman dan orang munafik. Orang beriman akan menunggu Sholat lsya walau sampai tengah malam. Para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, terkadang shalat lsya hingga larut malam, dan Shalat Subuh saat matahari belumlah terbit dan masih gelap. Jika ada di antara mereka yang sakit, dua orang akan membopongnya ke Masjid. Ibnu Mas'ud meriwayatkan, "Sungguh, aku mengamati bahwa di antara kami, tak ada yang menjauhkan diri dari Shalat kecuali orang yang dikenal munafik atau orang yang sakit. Jika ia sakit, ia berjalan di bopong dua dua orang agar dapat menghadiri Shalat."

Keempat, sengaja tak shalat Jumat, tiga kali berturut-turut tanpa alasan syar'i. Allah telah menjadikan Shalat Jumat wajib bagi umat Islam, untuk melatih dan mensucikan mereka, untuk menyegarkan pikiran mereka tentang perintah agama Islam, dan ilmu tentang Syari'ah, dan untuk menerima nasihat dan teguran. Rasulullah (ﷺ) menyebutkan banyak manfaat shalat Jumat. Dan Allah berfirman,

یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا نُوۡدِیَ لِلصَّلٰوۃِ مِنۡ یَّوۡمِ الۡجُمُعَۃِ فَاسۡعَوۡا اِلٰی ذِکۡرِ اللّٰہِ وَ ذَرُوا الۡبَیۡعَ ؕ ذٰلِکُمۡ خَیۡرٌ لَّکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
"Wahai orang-orang beriman! Apabila telah diseru melaksanakan Shalat pada hari Jum‘at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." - (QS.62:9)
Seorang Muslim hendaknya tekun menjalankan shalat Jumat dan menjauhi kemunafikan. Orang yang melewatkan tiga kali shalat Jumat berturutan, dicatat sebagai orang munafik dan Allah memasang segel di dalam qalbunya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Manusia hendaknya jangan melewatkan shalat Jumat, jika tidak, Allah akan memasang segel di dalam qalbu mereka. Kemudian mereka akan menjadi orang-orang yang lalai." Rasulullah (ﷺ) juga bersabda, "Ia yang melalaikan tiga kali shalat Jumat tanpa alasan, akan dicatat sebagai orang munafik." Sekarang, coba bayangkan bagaimana dengan orang yang tak pernah shalat Jumat sama sekali. Segel seperti apa yang akan menutup qalbunya? Biarkan ia berpikir di antara orang-orang mana ia akan diperhitungkan.

Kelima, sangat sedikit menyebut nama Allah. Allah telah memerintahkan kita agar berdzikir yang banyak,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
"Maka ingatlah kepada-Ku, Aku-pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku." - (QS.2:152)
وَ الذّٰکِرِیۡنَ اللّٰہَ کَثِیۡرًا وَّ الذّٰکِرٰتِ ۙ اَعَدَّ اللّٰہُ لَہُمۡ مَّغۡفِرَۃً وَّ اَجۡرًا عَظِیۡمً
"... laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." - (QS.33:35)
Adapun orang-orang munafik, mereka hanya sedikit menyebut nama Allah. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Barangsiapa yang sering mengingat Allah, sesungguhnya bebas dari kemunafikan." Orang-orang yang mengingat dan banyak menyebut nama Allah, berdoa di akhir Sholat, membaca Al-Qur'an, berdzikir selama haji, memperhatikan dengan seksama waktu-waktu sholat, berwirid dan berdzikir pagi, petang dan waktu-waktu lain seperti saat berkendara, ketika ada badai, saat memasuki masjid, saat akan makan dan minum dan saat dimana setiap kali Rasulullah (ﷺ) mencontohkan berwirid atau berdzikir. Rasulullah (ﷺ) menyebutkan manfaat berdzikir ketika beliau (ﷺ) bersabda, "Maukah kusampaikan padamu tentang sebaik-baik amal, dan yang paling suci di hadapan Rabb-mu, bahwa matahari menaikkan derajatmu setinggi-tingginya, dan lebih baik bagimu daripada membelanjakan emas dan perak, dan lebih baik bagimu dari pada kamu harus menghalau musuh, dan engkau menebas leher mereka dan mereka menebas lehermu?" Sahabat berkata, "Tentu saja, mau" Beliau (ﷺ) bersabda, "Berdzikir kepada Allah Ta'ala."
Banyak hadis yang membicarakan tentang manfaat berdzikir. Lidah orang beriman seyogyanya selalu berdzikir. Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah (ﷺ), "Wahai Rasulullah, sungguh hukum Islam melandaku, maka beri aku nasihat tentang sesuatu yang dapat kupertahankan." Beliau (ﷺ) bersabda, "Luweskan lidahmu dengan menyebut nama Allah."
[Bagian 2]

Senin, 22 Juli 2019

Kebohongan yang Konyol

Terdengar suara sapaan, berkata, "Wahai para unggas, bolehkah aku turut berbagi?" Para unggas mencari siapa yang sedang berbicara, namun tak menemukannya. "Dibawah sini?" Suara itu terdengar lagi. Para unggas mengikuti arah suara itu dan, lihat! Ada bunglon yang sedang duduk di sebuah pokok pohon sambil melambaikan tangannya, warna tubuhnya tampak berubah-ubah, kadang hujau, biru, atau ungu. Murai berkata, "Tentu saja saudaraku, silahkan tampil ke depan!"
Beberapa saat kemudian, setelah mengucapkan salam, Bunglon berkata, "Wahai saudara-saudariku, berbohong adalah kebalikan dari kebenaran. Jadi, segala sesuatu yang tak benar dan sengaja dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain, disebut kebohongan atau dusta. Kebohongan, oleh karenanya, dapat berupa apapun yang diucapkan atau tertulis, yang sepenuhnya atau sebagian, tak berdasar, tak nyata, dibuat-buat, terdistorsi atau dibesar-besarkan, misalnya, jika seseorang dengan sengaja menyatakan bahwa tiang lima kaki adalah tiang sepuluh kaki, maka hal ini termasuk kebohongan. Juga bila kita memuji seseorang namun tak sesuai dengan kenyataannya, juga suatu bentuk kebohongan.
Berbohong adalah sifat buruk yang tercela, merajalela di masyarakat kita. Membohongi orang lain dengan menggunakan kata-kata yang cerdik, dipandang cerdas. Tak hanya tokoh publik berbohong, Pemerintahpun berbohong. Salah satu ciri khas di zaman kita ini, bahwa berbohong tak lagi membawa stigma negatif seperti dulu. Hari ini, berbohong telah dilembagakan. Jalan seperti inilah cara hidup kita sekarang, langsung dari atas, karena kita tahu bahwa jika kita tak pandai membujuk, maka berbohong akan manjur. Banyak negara diserbu dan perang dimulai karena kebohongan. Ada yang berkata "Kami tak pernah berbohong, kami cuma sedikit membengkokkan kebenaran, memutarnya, tak berniat menyesatkan, namun 'yang lain' itulah pembohong." Masyarakat kitalah yang telah menyempurnakan "seni" berbohong. Lewatlah sudah hari-hari ketika kebohongan menghancurkan martabat pembohong dan merampas kepercayaan kita.

Islam memandang kebohongan sebagai kejahatan yang akut. Allah berfirman,

وَٱلْخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ ٱللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ
"Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika ia termasuk orang yang berdusta." - (QS.24:7)
Juga
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
"...Sungguh, Allah tak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar." - (QS.39-3) 
Jenis kebohongan yang paling buruk adalah berbohong tentang Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), kemudian menyebarkan kebohongan di antara orang-orang untuk menimbulkan masalah di antara mereka. Kebiasaan dusta saat berbicara, salah satu ciri orang munafik, seperti yang disabdakan Rasulullah (ﷺ),
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا، أَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ، حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat ciri, jika seseorang memiliki empat ciri ini, maka ia disebut munafik sejati. Jika ia punya salah satu cirinya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: jika diberi amanah, khianat; jika berbicara, dusta; jika membuat perjanjian, tak dipenuhi; jika berselisih, ia akan berbuat zalim.” [Sahih Al-Bukhari, 2459]

Berbohong itu berada di bawah payung kebathilan dan kemungkaran. Ia bagai penyakit yang berwujud menjadi beragam gejala berbahaya, yang menyebabkan kerusakan pada individu yang berdusta dan orang-orang di sekitarnya. Abdullah bin Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya, kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha jujur, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang suka berdusta dan berupaya berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." [HR Jami' at-Tirmidhi, 1971; Sahih]
Ada kisah tentang seseorang yang berbohong. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dalam Sahih mereka, Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
رَأَى عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَجُلاً يَسْرِقُ فَقَالَ لَهُ عِيسَى سَرَقْتَ قَالَ كَلاَّ وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ ‏.‏ فَقَالَ عِيسَى آمَنْتُ بِاللَّهِ وَكَذَّبْتُ نَفْسِي
"Isa putra Maryam, melihat seorang lelaki mencuri. Isa bertanya kepadanya, 'Mencurikah engkau?' Lelaki itu menjawab, 'Tak mungkin, demi Allah yang tiada Tuhan yang hak kecuali Dia.' Isa berkata, 'Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan mataku.'"
Para Nabi, alaihimassalam, memiliki sifat yang eksklusif dan unik, dan kehidupan mereka berbeda di antara manusia. Mereka tak seperti manusia lain dan tak mudah takluk oleh emosi. Mereka juga diberi sifat untuk menghormati manusia dan bersedia mengambil-alih kesalahan untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Nabi Isa, alaihissalam, salah seorang nabi Allah yang mulia dan berperingkat tinggi. Ia melihat seorang lelaki mencuri. Matanya sendiri telah melihatnya mencuri dan, itulah kebesaran para nabi, bahwa ketika mereka melihat seseorang melakukan kesalahan, mereka tak diam tentang hal itu. Karenanya, Nabi Isa memenuhi standar itu dan bertanya kepada sang lelaki, "Mencurikah engkau?" Orang itu menjawab, "Tidak! Aku tidak mencuri demi Allah yang tiada Tuhan yang hak kecuali Dia."
Jadi, ketika lelaki itu bersumpah bahwa ia tak mencuri, Nabi Isa, meskipun ia telah melihatnya mencuri dengan mata-kepalanya sendiri, ia berkata kepada lelaki itu, "Aku beriman kepada Allah dan mendustakan mataku." Dengan kata lain, ia berpikiran positif tentang Muslim lain bahwa ia takkan bersumpah palsu. Ia melindungi lelaki itu dari aib. Kita tahu bahwa para nabi berusaha menyelamatkan sesama manusia dari rasa malu dan nista. Bukan karena Nabi Isa tak bisa membedakan antara pembohong dan orang yang jujur, melainkan ia memegang kebesaran nama Allah sangat tinggi di matanya. Karena itu, akan salah baginya, jika mengingkari sumpah seseorang atas nama Allah, maka ia melalaikan ketaatan matanya.
Kisah ini menyampaikan kepada kita bahwa para nabi bukanlah pengawas atas manusia, dan mereka tak menghukum mereka karena kesalahan manusia. Yang melihat mereka dan mengawasi mereka, serta Yang menghukum mereka, hanyalah Allah Ta'ala. Seseorang dapat bersumpah palsu dan menyelamatkan kulitnya di dunia ini, namun kelak, tak dapat melarikan-diri dari dari hukuman Allah.

Tentu saja, kita hendaknya, sejauh mungkin, menyembunyikan kesalahan saudara Muslim kita dari orang lain. Jika ia meminta maaf atas dosa-dosanya, atau menyangkalnya, maka kita hendaknya menerima perkataannya asalkan itu tak melanggar hak orang lain dan tak ada yang dihukum. Jika hak orang lain dapat dirambah dengan menyembunyikan kesalahan dan dosa manusia, maka juga tak salah jika mengungkapkannya. Pengungkapan itu hendaknya dilakukan hanya untuk orang yang bersangkutan. Kita hendaknya menahan diri dari mengungkapkan rahasianya kepada orang-orang yang tak peduli dengan masalah ini.
Kita tahu bahwa Nama Allah yang agung itu banyak, dan manusia harus menghormati Nama-nama-Nya. Seorang Muslim hendaknya memuliakan Nama-nama itu dari yang lain. Jika ada yang menggunakan Nama Allah atau mengatakan sesuatu atas nama-Nya, maka ia tak boleh ditolak atau dipertanyakan. Kita hendaknya berpikiran bahwa seseorang yang bersumpah atas Nama Allah dan meyakinkan kita dengannya, maka ia seyogyanya tak berbohong, dengan Nama itu. Dan jika ia pembohong dan berbohong dengan nama Allah, maka ia sendiri yang akan membayarnya dan memperoleh hukumannya. Juga, jika ada yang bersumpah palsu di hadapan hakim atas Nama Allah sementara ada saksi yang benar terhadapnya maka hakim punya kewenangan menolak sumpahnya terutama jika ia berupaya merebut hak-hak orang lain dengan sumpah palsu."

Lalu Bunglon menyimpulkan, "Wahai saudara-saudariku, takutlah kepada Allah, dan jadilah di antara mereka yang jujur. Berbohong takkan pernah menghasilkan kebaikan. Takkan bisa. Meskipun berbohong terkadang tampak seperti sebuuah jalan keluar yang mudah dari masalah kita, dan kita cenderung membenarkan kebohongan putih kita, mengira bahwa kita tak menanggung akibatnya dalam kehidupan kita sehari-hari, baik itu di rumah atau di tempat kerja kita atau dimanapun kita berada. Namun, apa yang kita cenderung abaikan adalah, akibat dari berbohong, mungkin tidaklah mengerikan dalam dunia ini, namun akan lebih mengerikan di Akhirat kelak.
Berkata jujur adalah salah satu dasar inti ajaran Islam. Allah Ta'ala melarang berbohong dan memerintahkan kita agar memilih keshalihan dan kejujuran di atas segalanya. Orang yang jujur, paling dicintai oleh Allah Ta'ala. Kejujuran diperintahkan oleh Allah sebagai bagian dari iman dan merupakan kualitas yang sangat diperlukan bagi orang-orang yang beriman. Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Mohammad Zakariya Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Uloom
- Imam Shamsu ed-Deen Dhahabi,Major Sins, Islambasics.com

Jumat, 19 Juli 2019

Peringatan Itu (2)

"Dari catatan sejarah, kita akan tahu bahwa pada tahun 559 SM penerus pemimpin bangsa Mede Kamboucha (Kaykobar) yaitu, Koresh, berkuasa dengan cara yang luar biasa cepat dan dalam waktu singkat ia berhasil menyatukan suku Mede ((Suku Iran purba yang tingal di kawasan Teheran, Hamedan, Azarbaijan, Provinsi Isfahan Utara dan Zanjan. Bangsa yang dianggap keturunan Madai bin Yafet bin Nuh ini juga dikenal sebagai Media atau Medea oleh orang Yunani) dan Persia dan mereka menerimanya sebagai satu-satunya kaisar mereka," kata Murai, lalu ia melanjutkan, "Ia menjadi penguasa yang kuat dan mandiri. Orang Persia menyebutnya Irsh atau Gorush, namun orang-orang Yunani mengenalnya sebagai Cyrus, sedangkan dalam bahasa Arab ia disebut Khurus. Pada saat inilah Babilon diperintah oleh seorang penerus Bukhtanashr— yaitu, Belleshazzar bin Merodakh.
Raja ini, meskipun tak seberani dan segagah Bukhtanashr, ia lebih tiran dan zhalim, serta suka hiburan, sedemikian rupa sehingga rakyatnya sendiri tak puas dengan cara hidup dan kezhalimannya, dan mulai menunjukkan pemberontakan terhadapnya. Karena itu, rakyat Babilon mengirim seorang perwira sebagai utusan mereka untuk berbicara dengan Koresh, mengundangnya datang dan menyelamatkan mereka dari kezhaliman dan penganiayaan raja mereka. Delegasi ini berhasil menemui Koresh pada saat ia sedang mempersiapkan sebuah ekspedisi ke Timur. Ia mendengarkan permintaan mereka dan menerimanya. Setelah itu, ketika ia menyelesaikan ekspedisinya ke Timur, ia menuju Babilon dan menghancurkan ibukota, mengakhiri pemerintahan Babilon. Dengan cara ini, ia membebaskan rakyat dari pemerintahan tiran Bukhtanashr. Mereka dengan suka-rela menerima Koresh sebagai tuan dan majikan baru.

Ketika Koresh memasuki Babilon sebagai penakluk, Daniel menunjukkan kepadanya nubuwah-nubuwah Taurat, yang dibuat oleh Yesia dan Armia, alaihimassalam, tentang seseorang yang akan membebaskan orang-orang Yahudi dari perbudakan. Hal itu membuatnya terkesan sehingga ia mengumumkan bahwa semua orang Yahudi bebas dan diizinkan kembali ke Palestina dan Suriah serta bebas membangun kembali Yerusalem, juga memperbaiki kembali Bait Suci dengan biaya negara. Ia juga mengumumkan bahwa agama Bani Israil ini, agama yang benar dan bahwa Tuhan orang Yahudi adalah Tuhan yang benar.
Dalam Kitab Ezra, dinyatakan bahwa karena Koresh-lah, orang-orang Yahudi dibebaskan dan memperoleh kemakmuran, dan pembangunan kembali Bait Suci dimulai, namun, sebelum hal itu terselesaikan, Koresh wafat. Pengganti dan putranya Kambisius juga wafat segera setelah itu. Kemudian delapan tahun kemudian, Daraju, sepupu Koresh menggantikannya. Pada masa pemerintahannya, Bait Suci selesai. Sekali lagi, orang-orang Yahudi menikmati kedamaian dan keamanan. Mereka membentuk pemerintahan mereka sendiri. Namun karena Kaisar Babilon sebelumnya telah membakar dan menghancurkan semua salinan Taurat, Ezra atau Uzair, atas desakan orang Yahudi, menulis ulang Taurat dari ingatannya.
Orang-orang Yahudi telah menderita pukulan yang luar biasa seperti yang telah dijelaskan. Kejadian-kejadian ini, pelajaran dan peringatan yang baik bagi semua orang, namun bagi kita, tampak hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur'an,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
"Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka laksana hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah." - (QS.7:179)
Perlahan, mereka mulai lagi berbuat zhalim terhadap diri mereka sendiri, ketidakadilan dan kebobrokan serta perilaku buruk yang sama seperti sebelumnya."

Punai berkata, "Siapakah Daniel?" Murai berkata, "Daniel atau Danyal, dipandang secara umum sebagai seorang nabi, namun ada yang mengatakan bahwa ia, orang suci. Ada sebuah riwayat yang menyimpan beberapa catatan dari dua tokoh bernama Daniel dalam Kitab Ibrani, yang pertama, orang bijak zaman terdahulu yang disebut Hizqiel, dan yang kedua, seorang pemikir yang hidup pada masa penawanan di Babilonia, yang hidupnya dicatat dalam Kitab Daniel, dikanonisasi dalam Kitab Ibrani saat ini. Sosok pertama disebut sebagai Daniel Al-Akbar atau "Daniel Tua", sementara tokoh kedua disebut sebagai Daniel bin Hizqiel Al-Asghar.
Ibnu Katsir melaporkan bahwa Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan berdasarkan sebuah rangkaian sanad, "Bukhtanashr membawa dua singa dan melepasnya di sebuah ruangan yang tertutup. Lalu ia mengambil Daniel dan memasukkannya bersama singa tersebut, namun keduanya tak menerkam Daniel. Daniel tinggal di tempat tersebut hingga batas waktu tertentu. Suatu saat, ia ingin menikmati makanan dan minuman selayaknya manusia biasa. Lantas Allah mewahyukan kepada Armia yang tengah berada di Syam, 'Buatkanlah makanan dan minuman untuk Daniel.” Armia berkata, “ Wahai Rabb-ku, aku sekarang berada di tanah suci (Baitul Maqdis) sedangkan Daniel berada di daerah Babilonia, di daerah Iraq.” Allah mewahyukan kepadanya, “Lakukan saja apa yang Aku perintahkan kepadamu, sebab, Kami akan mengirimkan utusan yang akan membawamu beserta makanan dan minuman yang telah engkau siapkan.”
Armia melaksanakan perintah tersebut dan Allah mengirim utusan yang akan membawanya dan barang yang telah ia siapkan, hingga akhimya ia berdiri di atas lubang tempat Daniel berada di dalamnya. Daniel berkata, “ Siapakah engkau?” Armia menjawab, “Aku Armia.” Daniel bertanya, “Apa yang mendorongmu datang kesini?” Armia menjawab, “ Rabbmu telah mengutusku mendatangimu.” Daniel bertanya, “Masih ingatkah Rabb-ku kepadaku?” Armia menjawab, “ Ya.” Daniel berkata: “ Segala puji bagi Allah yang tak pernah melupakan orang yang selalu mengingat-Nya. Segala puji bagi Allah Yang mengabulkan permohonan bagi orang yang meminta pada-Nya. Segala puji bagi Allah Yang telah menyerahkan suatu urusan kepada seseorang bila telah percaya kepada orang lain. Segala puji bagi Allah Yang telah membalas kebaikan dengan kebaikan pula. Segala puji bagi Allah Yang telah membalas kesabaran dengan keberhasilan. Segala puji bagi Allah Yang telah menyingkap keburukan kami setelah kesempitan kami. Segala puji bagi Allah Yang telah menjaga kami ketika prasangka kami rusak gara-gara amalan kami. Segala puji bagi Allah Yang menjadi harapan kami ketika terputus segala daya upaya kami.”

Kemudian Ibnu Abi ad-Dunya berkata, "Abu Hilal telah menceritakan kepada kami, Qasim bin Abdullah telah menceritakan kepada kami, dari Anbasah bin Sa’id, ia adalah seorang alim, ia berkata, 'Abu Musa al Asy’ariy mendapatkan mushaf dan bejana yang berisikan lemak, dirham dan cincin yang ada bersama Daniel. Maka Abu Musa menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Amirul Mukminin, Umar ibnu al-Khattab, radhiyalahu 'anhu, yang berisikan masalah barang-barang tersebut. Umar membalas surat tersebut yang berisikan, “Silahkan mushaf dikirim kepada kami. Adapun lemak (gajih), maka sebagian dikirim kepada kami dan sebagian lagi silahkan diberikan kepada sebagian kaum muslimin untuk obat. Sedangkan dirham silahkan dibagi diantara kalian. Sedangkan cincin maka kami telah memberikannya kepadamu.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abi ad-Dunya bahwasanya ketika Abu Musa mendapatkannya, maka orang-orang mengatakan bahwa ia adalah Daniel. Serta-merta Abu Musa memeluk dan menciumnya. Ia menulis kepada Umar yang berisikan masalah tersebut. Ia juga melaporkan bahwa ia juga menemukan sejumlah harta di dekat jasad berupa 10.000 dirham. Setiap orang yang datang pasti meminjam harta tersebut. Namun bila tak mengembalikan maka si peminjam tersebut akan mengalami sakit. Yang tersisa padanya hanya seperempatnya. Umar memerintahkan kcpada orang-orang agar memandikan jasad tersebut dengan air dan daun bidara, mengafani dan menguburnya. Umar memerintahkan agar menyembunyikan makamnya yang tak diketahui oleh seorangpun. la juga diperintahkan agar mengembalikan harta tersebut kepada Baitul Mal. Maka hal tersebut dibawa menghadap Umar, sedangkan cincinnya diberikan kepada Abu Musa.
Diriwayatkan dari Abu Musa bahwasanya ia memerintahkan kepada empat orang tawanan untuk membendung sungai, lalu mereka menggali kubur di tengah-tengah sungai tersebut, lalu menguburkan jasad Daniel. Kemudian Abu Musa menghampiri keempat tawanan tersebut dan membunuh semuanya. Oleh karenanya tak ada yang mengetahui tempat kubumya selain Abu Musa al Asy’ariy, radhiyallahu 'anhu.

Ibnu Abu Dunya juga melaporkan, dengan rangkaian sanad, bahwa “Aku melihat di tangan Ibnu Abi Burdah bin Abu Musa al Asy’ariy terdapat sebuah cincin yang terdapat ukiran dua ekor singa yang sedang menjilati seseorang. Abu Burdah berkata, “ Cincin inilah milik jenazah yang dinyatakan oleh penduduk daerah ini sebagai Daniel, yang diambil oleh Abu Musa ketika menguburnya.” Abu Burdah berkata, “Abu Musa pemah bertanya kepada para ulama daerah tersebut berkaitan tentang ukiran yang tertera dalam cincin tersebut, mereka menjawab, 'Raja yang tengah berkuasa pada masa Daniel, didatangi oleh ahli astronomi dan ahli ilmu, mereka mengatakan, 'Akan lahir anak Fulan bin Fulan yang akan menggulingkan dan memporak-porandakan kekuasaanmu.” Maka sang raja berkata, “Sungguh, aku akan membunuh semua anak pada malam ini.” Namun mereka hanya mengambil Daniel dan melemparkannya ke dalam tempat singa. Namun singa tersebut tak menganggunya, tapi malah menjilatinya. Lalu ibunya datang dan mendapati kedua singa tersebut tengah menjilati Daniel. Allah Ta’ala telah menyelamatkannya.” Abu Burdah mengatakan, 'Abu Musa berkata, 'Para ulama daerah setempat berkata, “ Kemudian Daniel mengukir gambar dirinya dan dua ekor singa yang tengah menjilatinya di sebuah cincin agar ia tak melupakan nikmat Allah atas dirinya.” Sanad riwayat ini, hasan."


Murai kemudian melanjutkan, "Di zaman Nabi Yahya, alaihissalam, di permukaan bumi Yudea, pengaruh dakwah Nabi Yahya, sedemikian rupa sehingga qalbu manusia menjadi tunduk. Kemanapun ia pergi, rakyat biasa, berbondong-bondong mengelilinginya. Pada saat itu, Raja Yudea adalah Herodias, yang dikenal sebagai orang jahat dan tiran. Melihat popularitas umum Nabi Yahya, ia mulai takut bahwa akan kehilangan takhta kerajaannya, dan bisa jadi, jatuh ke pangkuan orang-orang ini.
Qadarullah, saudara tirinya meninggal, yang istrinya seorang wanita sangat cantik, yang juga selain menjadi saudara iparnya, juga keponakannya. Herodias jatuh cinta padanya dan ia menikahinya. Perkawinan semacam itu bertentangan dengan hukum Yahudi dan karena itu Nabi Yahya menentangnya dan berusaha mengingatkannya agar takut kepada Allah. Ketika wanita itu mendengar keberatan Nabi Yahya, ia sangat marah dan membujuk Herodias membunuh Nabi Yahya. Herodias sendiri bermaksud melakukan langkah seperti itu namun agak ragu-ragu, tetapi atas desakan "istrinya" ia membunuh Nabi Yahya dan memenggal kepalanya, kemudian mengirim kepala yang terpenggal kepadanya di atas nampan. Sungguh aneh dan mengejutkan bahwa terlepas dari kemsyhuran Nabi Yahya, tak ada seorang Israil pun yang berani menghentikan perbuatan terkutuk ini atau menolaknya. bahkan ada dari mereka yang menganggapnya sebagai tindakan yang tepat.
Kemudian tibalah masa Nabi Isa, alaihissalam. Ia secara terbuka mengkritik bid'ah mereka, kebiasaan buruk mereka dan perilaku tak beragama. Pada saat itu, kemampuan apa yang tersisa bagi orang-orang Yahudi untuk menerima kebenaran? Terlepas dari sekelompok kecil orang-orang yang ilkhlas, mayoritas dari mereka menentangnya. Pada waktu itu, Raja Al-Nabati, Al-Harith, yang merupakan kerabat istri pertama Herodias dan ayah mertuanya, menyerangnya, dan setelah pertempuran berdarah, mengalahkan Herodias. Ini benar-benar menghancurkan kekuasaannya. Keadaan Yudea tetap hidup dibawah kekuasaan Kekaisaran Romawi.
Meskipun pada waktu itu, orang-orang Yahudi menyatakan bahwa kekalahan yang diderita oleh Herodias dan Israil adalah akibat dari pembunuhan Nabi Yahya, namun mereka tampaknya tak mengambil pelajaran apapun dari peristiwa itu, dan mereka masih tak menghentikan kejahatan mereka. Mereka terus menentang Nabi Isa dengan segala cara, hingga akhirnya mereka pergi menemui Gubernur Yudea, Pilatus, meminta izin menyingkirkannya. Mereka akhirnya mengepungnya, namun Allah menggagalkan niat jahat mereka dan mengangkat Nabi Isa ke langit, hidup-hidup.
Akhirnya, Kisas pun turun, dan datang dalam bentuk perang saudara di antara orang-orang Yahudi. Pada waktu itu, kaum Yahudi terdiri dari tiga kelompok. Salah satunya, para 'ulama Yahudi yang disebut orang-orang Farisi. Kedua, orang Saduki. Kelompok ketiga, para imam pertapa. Ada banyak perbedaan pendapat yang mendalam antara orang-orang Farisi dan Saduki, hal inilah yang menyebabkan pertikaian hebat dan pertumpahan darah di antara mereka. Ketika penguasa Yudea berpihak pada salah satu dari dua kelompok yang bertikai, maka kelompok itu digunakan untuk membunuh anggota kelompok lainnya. Akhirnya pertempuran terjadi, peperangan seru, sehingga penguasa harus meminta bantuan orang Romawi, dan akhirnya, orang-orang Yahudi itu mati di tangan para penyembah berhala.
Dalam masa sekitar tujuh puluh tahun setelah diangkatnya Nabi Isa dari dunia ini, ketika muncul pertikaian besar antara dua penuntut yang ingin menjadi penguasa Israil, yaitu kaum Yauhanan dan Syam'un, sedangkan Tahta Kekaisaran Romawi, diwakili oleh seorang Jenderal Romawi yang disebut Isnibanos. Yauhanan berhasil dalam gugatannya untuk memerintah dan melakukannya dengan cara yang sangat haus-darah dan beringas, sehingga hampir setiap jalan di Yudea mengalir darah musuh-musuhnya. Orang-orang Yahudi meminta bantuan Isnibanos dan ia mengutus putranya, Titus, dengan pasukannya menaklukkan Bait Suci. Titus berhenti di dekat Yudea dan mengirim utusannya, Nikanos, untuk membuat perjanjian damai, namun orang-orang Yahudi juga membunuhnya. Hal ini membuat Titus marah dan ia memutuskan melanjutkan menuju Yerusalem, membalas dendam kepada semua orang Yahudi tanpa pandang bulu, meratakan bumi mereka.
Sejarawan menceritakan bahwa ia menyerang Yerusalem dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga tembok-tembok kota runtuh dan tembok-tembok Bait Suci runtuh. Pengepungan yang panjang terjadi dan banyak yang mati karena kelaparan. Banyak yang melarikan diri dari kota dan ribuan orang terbunuh. Orang-orang Romawi menodai Bait Suci dan menempatkan berhala di dalamnya untuk disembah. Inilah kekalahan orang-orang Yahudi, yang setelah itu, tak pernah pulih dan sebagai akibat dari perbuatan buruk mereka dan kejahatan terbuka, serta karena membunuh para nabi Allah, mereka mengalami penistaan yang kekal.
Setelah beberapa waktu, orang-orang Romawi menyingkirkan berhala dan memeluk agama Kristen, dan kemudian naik memegang tampuk kekuasaan, serta kemajuan mereka, membuat agama dan bangsa Yahudi takluk dan kalah.

Beberapa waktu sebelumnya, ketika Titus menaklukkan Yerusalem, banyak orang Yahudi melarikan diri dan menetap di tempat-tempat yang jauh. Di antara mereka, ada yang menetap di Jazirah Arab di sekitar Madinah. Ada sejarawan yang mengatakan bahwa mereka telah mengetahui bahwa Yathrib (yang sekarang bernama Madinah), akan menjadi tempat Hijrah bagi nabi terakhir. Mereka sudah lama menunggu kedatangan Nabi Terakhir. Dikatakan bahwa Nabi Yahya pernah menyampaikan kepada mereka dan mereka berkumpul di sekitarnya, dan mengatakan kepadanya bahwa mereka sedang menunggu tiga orang, pertama, Nabi Isa, alaihissalam, kedua, Ilias, dan ketiga, Nabi akhir zaman. Orang ini sangat dikenal sehingga tak perlu menyebutkan namanya. Dengan hanya merujuk kepadanya, setiap orang Yahudi mengenalnya. Dalam Taurat, Injil, dalam naskah nabi-nabi sebelumnya, terbukti tanpa keraguan bahwa orang-orang Yahudi sedang menunggu nabi yang akan menjadi Nabi Akhiruz Zamaan, yang akan dilahirkan di Hijaz. Jadi, saat mereka dipaksa pergi dari tempat mereka, sejumlah besar mereka pergi menetap di Hijaz.
Sangat disayangkan bahwa bangsa yang jauh sebelum kelahiran Nabi Isa, sedang menunggu kemunculan seorang nabi, yang mereka tahu akan melakukan hijrah ke Yathrib, dan kemudian mereka akan mengikutinya dan melaluinya, mereka akan memperoleh kembali kebangsaan mereka dan menyangkal nasib. Dengan cara yang sama, suku Aus dan Khazraj, juga mengharapkan kedatangannya. Dan ketika akhirnya ia datang dan menyatakan misinya, maka pertama-tama, orang-orang Yahudi ini menolaknya dan menentangnya dengan permusuhan dan kebencian. Mereka menjadikan tujuan utama dalam hidupnya untuk menentangnya dan dengan cara inilah menumpuk untuk diri mereka sendiri, kenistaan abadi.

Sejak awal, Allah telah memperingatkan mereka, bahwa mereka akan dua kali memberontak, dan akan diikuti dengan adzab. Setelah itu, sekali lagi akan ada bagi mereka kesempatan ketiga, dan jika kali ini, mereka bersikap tegas terhadap kejahatan dan menunjukkan ketaatan seraya mengakui kebenaran, yang dengannya para utusan datang kepada mereka, maka Dia akan mengembalikan kebesaran dan keberkahan mereka, kemudian dengan kebahagiaan duniawi dan spiritual. Namun jika kali ini mereka membuang kesempatan itu, dan menunjukkan kepada nabi zaman terakhir, kejahatan mereka, maka Dia akan kembali melepaskan hukuman Kisas atas perbuatan buruk mereka. Karena itu, ketika saat ini juga orang-orang Yahudi tak mau melepaskan tabiat mereka, Allah menyatakan vonis terakhir terhadap mereka, "Mereka didera dengan penghinaan dan kemiskinan, serta mereka mendapatkan murka Allah."
Inilah yang sebenarnya terjadi. Mereka tak pernah mencapai kemuliaan setelah itu, dan mereka tak pernah memiliki pemerintahan, karena selama berabad-abad, mereka berkeliaran di Eropa, dipandang sebagai orang yang tercela. Dalam drama Shekespeares "The Merchant of Venice", kita melihat karakter Shylock. Kita juga melihat apa yang terjadi pada mereka untuk ketiga kalinya selama Perang Dunia Kedua, apa yang dilakukan Hitler terhadap mereka, membunuh ribuan dari mereka dan mereka harus pindah ke Amerika dari Eropa dan Jerman. Memang benar bahwa di Timur Tengah, mereka berhasil mendirikan pemerintahan di daerah perbatasan, namun pemerintahannya muncul karena diatur oleh kekuatan besar, namun siapa yang tahu, berapa lama pemerintah ini akan tetap berdiri? Orang-orang yang telah melihat runtuhnya dunia sosialis, akan memahami seberapa cepat pemerintahan ini akan berakhir. Kemudian juga, kata "Yahudi" yang bermakna udara yang hina, sehingga semua orang ningrat di zaman ini, takkan sudi disebut orang Yahudi. Bukankah itu murka Allah? "

Murai diam sejenak, dan berkata, "Wahai saudara-saudariku! Meski dunia ini, dunia perilaku dan bukan dunia pahala, Allah terkadang mempertemukan hukuman atas perbuatan yang dilakukan, sehingga yang berbuat dan orang-orang sezamannya, akan mengakui bahwa hukuman atas sesuatu itu untuk perbuatan seperti yang telah dilakukan. Peristiwa semacam ini, kemudian menjadi sumber peringatan dan teguran bagi orang lain. Ini terutama berlaku dalam hal kesombongan dan keangkuhan yang merupakan induk dari dosa yang terlepas dari apa yang menunggu di Akhirat, yang sombong dan angkuh juga akan merasakan pengaruh buruk dari perbuatan ini, di dunia ini. Satu perbedaan utama, bahwa dalam hal keangkuhan dan kesombongan individu, Kisas juga akan bersifat individu, sedangkan dalam kasus kesombongan dan keangkuhan secara nasional dan berjamaah, kehidupan komunitas mereka akan dipengaruhi oleh hukuman lain, yakni bahwa hukuman individu, umumnya tak berlangsung lama, sedangkan dalam hal arogansi masyarakat, periodenya akan sangat lama sehingga kelompok yang diterpa serasa hampir dibawa ke jurang keputusasaan. Namun, kadang-kadang, demi peringatan dan pelajaran yang terkandung di dalamnya, periode ini juga dipersingkat.

Wahai saudara-saudariku! Ketika orang-orang yang menolak kebenaran dan para penyembah kejahatan dihukum di dunia ini karena perbuatan jahat yang dilakukannya, itu bukan berarti bahwa hukuman akhirat diabaikan dari mereka, atau bahwa mereka, diampuni. Tidak, hukuman itu masih akan tiba pada waktunya sendiri.
Ketika Allah hendak menghukum manusia karena perbuatan jahat dan kezhalimannya, atau keinginan mereka melepaskan pembalasan atas perbuatan yang dilakukan, maka cara yang umum yang Dia lakukan adalah bagaikan seorang pahlawan yang tak segera mendapatkan hukuman, namun Dia memberikan masa penangguhan, memberi petunjuk dan mengutus nabi, sebuah kesempatan yang selanjutnya akan membawa mereka ke jalan yang benar sehingga melengkapi bukti-bukti Allah terhadap mereka. Dan jika setelah itu, ketidaktaatan mereka masih berlanjut, maka tiba-tiba Dia akan menjerat mereka dalam hukuman dan mereka takkan selamat dan bebas. Maka firman Allah berikut ini akan menjadi sebuah kenyataan,
وَسَيَـعۡلَمُ الَّذِيۡنَ ظَلَمُوۡۤا اَىَّ مُنۡقَلَبٍ يَّـنۡقَلِبُوۡنَ
"...Dan orang-orang yang zhalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali." - (QS.26:227)

Wahai saudara saudariku! Jika sesuatu itu, menurut pikiran kita tampak luar biasa atau ajaib, itu bukan berarti bahwa benda itu benar-benar luar biasa dalam kenyataan yang sebenarnya. Dan bahkan, jika tampak luar biasa, mungkin hal itu hanya dapat terjadi di sisi kita, dan bukan di sisi Sang Pencipta, Yang menciptakan seluruh alam semesta ini dari ketiadaan menjadi keberadaan, dan sekarang, memelihara segala sesuatu tetap utuh sesuai dengan sistem-Nya, begitu menakjubkannya bagi mata yang setiap hari mengamatinya, sementara pikiran kita dipaksa mengakui, "Sesungguhnya bagi Allah, hal yang seperti itu, mudah."

Wahai saudara saudariku! Dien itu, jalan lurus Allah. Karenanya, tak dapat dipaksakan masuk ke qalbu siapapun. Bahkan, dengan cahaya yang sebenarnya itu, menerangi qalbu orang-orang yang buta. "Tak ada paksaan dalam agama." Namun sejauh menyangkut kebathilan, selalu terjadi bahwa kebathilan itu berusaha memaksakan diri masuk ke dalam qalbu manusia dengan cara-cara tirani dan kezhaliman, dan tak memunculkan bukti-bukti dan argumen yang mendukungnya. Namun selalu menjadi cara Allah agar Dien menang atas kebathilan. Namun demikian, adalah cara Allah juga memberikan tangguh dalam melakukan ini, sehingga orang-orang yang zhalim itu menganggap bahwa itulah keberhasilan awal, yang dianggap sebagai kemenangan. Mereka melalaikan murka Allah yang mengikuti, dan sekali lagi, kita melihat sejarah berulang.

Akhirnya, wahai saudara-saudariku! Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa dalam setiap pertarungan bagi kebenaran, dan pada kenyataannya, dalam setiap gerakan evolusi, kaum muda-lah yang paling mudah dipengaruhi — dibanding dengan kaum yang sudah tua. Dari sudut psikologi, alasannya adalah karena orang-orang tua menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan cara-cara lama dan sangat terikat dengan cara-cara itu, sehingga setiap gerakan baru, akan segera dipandang dengan kecurigaan dan ketidaksukaan, dan segala hal yang bertentangan cara-cara lama itu, memunculkan pertentangan di dalamnya. Karena alasan ini, setiap ide gerakan revolusioner yang baru, alih-alih mendapatkan dukungan darinya, mereka bahkan menarik diri darinya. Mereka akan siap memberikan lebih banyak pemikiran pada ide-ide baru sebelum mendukungnya dan hanya setelah ada bukti dan argumen yang kuat. Namun, ketika itu benar-benar terjadi dan setelah ada bukti dan argumen yang kuat, mereka cenderung ke arah itu, orang-orang yang sudah tua terkucilkan dari aturan umum ini, dan mereka menjadi tulang punggung pendukung gerakan baru. Di negara manapun, orang-orang ini membentuk kaum minoritas.
Di sisi lain, tak seperti kaum tua, para pemuda, didalam hati dan pikiran mereka, umumnya netral, dan mereka belum terbiasa dengan cara lama. Karena itu, ide-ide baru dengan mudah mempengaruhi mereka dan mereka tak memandang ide-ide revolusioner baru dengan curiga, hanya karena itu baru. Dengan penuh minat mereka akan menatapnya dan memberikan pndangannya terhadap ide-ide itu.
Sekarang, tanggung jawab gerakan revolusioner ini, bahwa jika mereka berjuang dalam pertarungan antara yang haq dan yang bathil, untuk menempatkan manusia di jalan yang lurus, para pengamat hendaknya membantu para pemuda ini dalam segala tingkatan, dan menolong mereka untuk mendapatkan martabat dan derajat yang terbaik, sampai mereka terbukti menjadi rahmat bagi keberadaan yang ada di dunia ini. Namun, jika mereka berjuang untuk hal yang berlawan dengan itu, akan berarti bahwa para pemimpin gerakan revolusioner semacam itu dapat menyebabkan para pemuda ini menuju kehancuran dan mereka akan menjadi malapetaka bagi manusia dan dunia ini. Wallahu a'lam.
Rujukan :
- Moshe Perlmann, The History of At-Tabari, Voume IV : The Ancient Kingdom, SUNY Press.
- Ibn Kathir, Stories of the Prophet, Darussalam.
- Maulana Hifzur Rahman Seoharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex.


[Bagian 1]