Terdengar suara sapaan, berkata, "Wahai para unggas, bolehkah aku turut berbagi?" Para unggas mencari siapa yang sedang berbicara, namun tak menemukannya. "Dibawah sini?" Suara itu terdengar lagi. Para unggas mengikuti arah suara itu dan, lihat! Ada bunglon yang sedang duduk di sebuah pokok pohon sambil melambaikan tangannya, warna tubuhnya tampak berubah-ubah, kadang hujau, biru, atau ungu. Murai berkata, "Tentu saja saudaraku, silahkan tampil ke depan!"
Beberapa saat kemudian, setelah mengucapkan salam, Bunglon berkata, "Wahai saudara-saudariku, berbohong adalah kebalikan dari kebenaran. Jadi, segala sesuatu yang tak benar dan sengaja dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain, disebut kebohongan atau dusta. Kebohongan, oleh karenanya, dapat berupa apapun yang diucapkan atau tertulis, yang sepenuhnya atau sebagian, tak berdasar, tak nyata, dibuat-buat, terdistorsi atau dibesar-besarkan, misalnya, jika seseorang dengan sengaja menyatakan bahwa tiang lima kaki adalah tiang sepuluh kaki, maka hal ini termasuk kebohongan. Juga bila kita memuji seseorang namun tak sesuai dengan kenyataannya, juga suatu bentuk kebohongan.
Berbohong adalah sifat buruk yang tercela, merajalela di masyarakat kita. Membohongi orang lain dengan menggunakan kata-kata yang cerdik, dipandang cerdas. Tak hanya tokoh publik berbohong, Pemerintahpun berbohong. Salah satu ciri khas di zaman kita ini, bahwa berbohong tak lagi membawa stigma negatif seperti dulu. Hari ini, berbohong telah dilembagakan. Jalan seperti inilah cara hidup kita sekarang, langsung dari atas, karena kita tahu bahwa jika kita tak pandai membujuk, maka berbohong akan manjur. Banyak negara diserbu dan perang dimulai karena kebohongan. Ada yang berkata "Kami tak pernah berbohong, kami cuma sedikit membengkokkan kebenaran, memutarnya, tak berniat menyesatkan, namun 'yang lain' itulah pembohong." Masyarakat kitalah yang telah menyempurnakan "seni" berbohong. Lewatlah sudah hari-hari ketika kebohongan menghancurkan martabat pembohong dan merampas kepercayaan kita.
Islam memandang kebohongan sebagai kejahatan yang akut. Allah berfirman,
Jugaوَٱلْخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ ٱللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ"Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika ia termasuk orang yang berdusta." - (QS.24:7)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ"...Sungguh, Allah tak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar." - (QS.39-3)
Jenis kebohongan yang paling buruk adalah berbohong tentang Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), kemudian menyebarkan kebohongan di antara orang-orang untuk menimbulkan masalah di antara mereka. Kebiasaan dusta saat berbicara, salah satu ciri orang munafik, seperti yang disabdakan Rasulullah (ﷺ),
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا، أَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ، حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ“Ada empat ciri, jika seseorang memiliki empat ciri ini, maka ia disebut munafik sejati. Jika ia punya salah satu cirinya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: jika diberi amanah, khianat; jika berbicara, dusta; jika membuat perjanjian, tak dipenuhi; jika berselisih, ia akan berbuat zalim.” [Sahih Al-Bukhari, 2459]
Berbohong itu berada di bawah payung kebathilan dan kemungkaran. Ia bagai penyakit yang berwujud menjadi beragam gejala berbahaya, yang menyebabkan kerusakan pada individu yang berdusta dan orang-orang di sekitarnya. Abdullah bin Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
Ada kisah tentang seseorang yang berbohong. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dalam Sahih mereka, Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya, kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha jujur, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang suka berdusta dan berupaya berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." [HR Jami' at-Tirmidhi, 1971; Sahih]
Para Nabi, alaihimassalam, memiliki sifat yang eksklusif dan unik, dan kehidupan mereka berbeda di antara manusia. Mereka tak seperti manusia lain dan tak mudah takluk oleh emosi. Mereka juga diberi sifat untuk menghormati manusia dan bersedia mengambil-alih kesalahan untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Nabi Isa, alaihissalam, salah seorang nabi Allah yang mulia dan berperingkat tinggi. Ia melihat seorang lelaki mencuri. Matanya sendiri telah melihatnya mencuri dan, itulah kebesaran para nabi, bahwa ketika mereka melihat seseorang melakukan kesalahan, mereka tak diam tentang hal itu. Karenanya, Nabi Isa memenuhi standar itu dan bertanya kepada sang lelaki, "Mencurikah engkau?" Orang itu menjawab, "Tidak! Aku tidak mencuri demi Allah yang tiada Tuhan yang hak kecuali Dia."رَأَى عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَجُلاً يَسْرِقُ فَقَالَ لَهُ عِيسَى سَرَقْتَ قَالَ كَلاَّ وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ . فَقَالَ عِيسَى آمَنْتُ بِاللَّهِ وَكَذَّبْتُ نَفْسِي"Isa putra Maryam, melihat seorang lelaki mencuri. Isa bertanya kepadanya, 'Mencurikah engkau?' Lelaki itu menjawab, 'Tak mungkin, demi Allah yang tiada Tuhan yang hak kecuali Dia.' Isa berkata, 'Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan mataku.'"
Jadi, ketika lelaki itu bersumpah bahwa ia tak mencuri, Nabi Isa, meskipun ia telah melihatnya mencuri dengan mata-kepalanya sendiri, ia berkata kepada lelaki itu, "Aku beriman kepada Allah dan mendustakan mataku." Dengan kata lain, ia berpikiran positif tentang Muslim lain bahwa ia takkan bersumpah palsu. Ia melindungi lelaki itu dari aib. Kita tahu bahwa para nabi berusaha menyelamatkan sesama manusia dari rasa malu dan nista. Bukan karena Nabi Isa tak bisa membedakan antara pembohong dan orang yang jujur, melainkan ia memegang kebesaran nama Allah sangat tinggi di matanya. Karena itu, akan salah baginya, jika mengingkari sumpah seseorang atas nama Allah, maka ia melalaikan ketaatan matanya.
Kisah ini menyampaikan kepada kita bahwa para nabi bukanlah pengawas atas manusia, dan mereka tak menghukum mereka karena kesalahan manusia. Yang melihat mereka dan mengawasi mereka, serta Yang menghukum mereka, hanyalah Allah Ta'ala. Seseorang dapat bersumpah palsu dan menyelamatkan kulitnya di dunia ini, namun kelak, tak dapat melarikan-diri dari dari hukuman Allah.
Tentu saja, kita hendaknya, sejauh mungkin, menyembunyikan kesalahan saudara Muslim kita dari orang lain. Jika ia meminta maaf atas dosa-dosanya, atau menyangkalnya, maka kita hendaknya menerima perkataannya asalkan itu tak melanggar hak orang lain dan tak ada yang dihukum. Jika hak orang lain dapat dirambah dengan menyembunyikan kesalahan dan dosa manusia, maka juga tak salah jika mengungkapkannya. Pengungkapan itu hendaknya dilakukan hanya untuk orang yang bersangkutan. Kita hendaknya menahan diri dari mengungkapkan rahasianya kepada orang-orang yang tak peduli dengan masalah ini.
Kita tahu bahwa Nama Allah yang agung itu banyak, dan manusia harus menghormati Nama-nama-Nya. Seorang Muslim hendaknya memuliakan Nama-nama itu dari yang lain. Jika ada yang menggunakan Nama Allah atau mengatakan sesuatu atas nama-Nya, maka ia tak boleh ditolak atau dipertanyakan. Kita hendaknya berpikiran bahwa seseorang yang bersumpah atas Nama Allah dan meyakinkan kita dengannya, maka ia seyogyanya tak berbohong, dengan Nama itu. Dan jika ia pembohong dan berbohong dengan nama Allah, maka ia sendiri yang akan membayarnya dan memperoleh hukumannya. Juga, jika ada yang bersumpah palsu di hadapan hakim atas Nama Allah sementara ada saksi yang benar terhadapnya maka hakim punya kewenangan menolak sumpahnya terutama jika ia berupaya merebut hak-hak orang lain dengan sumpah palsu."
Lalu Bunglon menyimpulkan, "Wahai saudara-saudariku, takutlah kepada Allah, dan jadilah di antara mereka yang jujur. Berbohong takkan pernah menghasilkan kebaikan. Takkan bisa. Meskipun berbohong terkadang tampak seperti sebuuah jalan keluar yang mudah dari masalah kita, dan kita cenderung membenarkan kebohongan putih kita, mengira bahwa kita tak menanggung akibatnya dalam kehidupan kita sehari-hari, baik itu di rumah atau di tempat kerja kita atau dimanapun kita berada. Namun, apa yang kita cenderung abaikan adalah, akibat dari berbohong, mungkin tidaklah mengerikan dalam dunia ini, namun akan lebih mengerikan di Akhirat kelak.
Berkata jujur adalah salah satu dasar inti ajaran Islam. Allah Ta'ala melarang berbohong dan memerintahkan kita agar memilih keshalihan dan kejujuran di atas segalanya. Orang yang jujur, paling dicintai oleh Allah Ta'ala. Kejujuran diperintahkan oleh Allah sebagai bagian dari iman dan merupakan kualitas yang sangat diperlukan bagi orang-orang yang beriman. Wallahu a'lam."
- Mohammad Zakariya Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Uloom
- Imam Shamsu ed-Deen Dhahabi,Major Sins, Islambasics.com