Jumat, 12 Juli 2019

Kisah Sya'yan dan Hizqiyyan

Para unggas berkumpul kembali, menyatu dalam lingkaran ilmu. Seperti biasa, Murai, sang guru, berkata, "Wahai saudara-saudariku, adakah di antara kalian yang ingin berbagi?" Tanpa ragu, Merak tampil ke depan, mengucapkan salam, lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, kita telah belajar tentang kisah Nabi Isa, Yahya dan Zakariya, alaihimassalam. Aku ingin berbagi tentang kisah para Nabi sebelum kedatangan Nabi Zakariya dan setelah wafatnya Nabi Sulaiman, alaihimassalam. " Murai berkata, "Menarik! Teruskanlah saudaraku!" Kemudian Merak melanjutkan, "Menurut Ibnu Ishaq, dalam kitab suci ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Musa, dalam kisah Bani Israil dan tentang apa yang akan mereka lakukan setelahnya, dikatakan, "Dan telah Kami putuskan bagi anak-anak Israil dalam Kitab, 'Kamu akan melakukan kerusakan di muka bumi, dua kali, dan kamu akan naik sangat tinggi...' dan Kami telah menjadikan Gehenna (Jahannam) sebuah penjara bagi orang-orang yang tak beriman." Dan Al Qur'an juga menyebutkan,
وَقَضَيْنَا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا
"Dan Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu, 'Kamu pasti akan berbuat kerusakan di bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.'" - (QS.17:4)
Maka, begitulah orang-orang Israil dengan sejarah dan dosa-dosa mereka, dan Allah membiarkan mereka tak teradzab, karena kasihan pada mereka, menolong mereka. Kemudian Allah menjatuhkan hukuman atas dosa mereka, seperti yang telah Dia peringatkan kepada mereka dalam naskah Taurat Musa. Peristiwa yang pertama, menyangkut salah seorang raja mereka yang disebut Hizqiyyan. Ketika ia naik tahta, Allah telah mengutus seorang nabi untuk mengajarkan dan mengarahkannya, sehingga menjadikan nabi itu perantara antara raja dan Rabb. Dengan demikian Allah berbicara kepada Hizqiyyan tentang orang Israil, bukan dengan kitab-kitab yang diwahyukan, melainkan dengan memerintahkan mereka agar mengikuti Taurat dan ketentuan-ketentuannya, dan dengan mencegah mereka dari ketidaktaatan, serta dengan menyerukan kepada mereka agar kembali kepada ketaqwaan.

Ketika raja ini mulai memerintah, Allah mengutus kepadanya Sya'yan bin Amshiya (ada yang menyebutnya sebagai Isaiah atau Yesaya bin Amoz). Kejadian ini sebelum zaman Nabi Isa, Zakharia, dan Yahya, alaihimassalam. Sya'yan-lah yang menubuatkan kedatangan Nabi Isa, alaihissalam dan Nabi Muhammad (ﷺ). Sang raja memerintah Bani Israil dan Yerusalem selama beberapa waktu. Namun ketika pemerintahannya hampir berakhir, berbagai peristiwa yang genting terjadi ketika Sya'yan bersama sang raja. Allah mengirimkan Senharib, raja Babilonia, dengan enam ratus ribu tentara, berarak maju hingga mencapai perbatasan Yerusalem.
Raja Israil tersebut, menderita ruam di kakinya. Sya'yan datang kepadanya dan berkata, "Wahai Raja Bani Israil, Senharib, raja Babilon, telah tiba dengan enam ratus ribu pasukannya. Rakyat ketakutan dan lari bersembunyi dari mereka." Kejadian ini membuat sang raja tertekan, seraya berkata, "Wahai Nabi Allah, adakah wahyu ilahi bagi kita tentang apa yang terjadi. Bagaimana Allah akan memperlakukan kita dan Senharib serta pasukannya?" Sya'yan kemudian menjawab, "Allah Ta’ala belum memberikan wahyu apapun tentang mereka" Setelah itu, Allah mewahyukan kepada nabi Sya'yan, "Pergilah kepada raja Bani Israil, dan perintahkan ia agar mempersiapkan surat wasiat untuk menunjuk siapapun yang diinginkannya dari antara anggota-anggota keluarganya sebagai penggantinya." Nabi Sya'yan kemudian datang kepada raja Bani Israil, Hizqiyyan, dan berkata kepadanya, "Rabb kita telah mewahyukan kepadaku bahwa aku harus memerintahkanmu mempersiapkan surat wasiat untuk menunjuk siapapun yang engkau inginkan dari keluargamu sebagai penerusmu, karena ajalmu telah dekat."

Ketika Sya'yan menyampaikan berita ini kepada Hizqiyyan, sang raja berpaling menuju tempat yang suci dan berdoa. Ia memuja Allah dan menyeru-Nya, menangis dan memohon di tengah-tengah linangan air-matanya, hatinya tulus dan penuh harap kepada-Nya, dengan ketekunan dan hati nurani yang bersih, "Wahai Rabbku, Yang Mahatinggi, Yang Mahabesar, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Pengampun dan Yang Maha Pemurah, Yang tak pernah mengantuk dan tak pernah tidur, agungkanlah diriku dengan ilmu dan perbuatanku serta dengan baiknya hukumku atas Bani Israil yang kesemuanya itu semata-mata dari-Mu jua dan Engkau lebih mengetahui tentang diriku baik yang tersembunyi maupun yang nampak." Allah Ta’ala mengabulkan do’anya dan mengasihinya serta memberikan wahyu kepada Sya’yan agar memberikan berita gembira ini yaitu Allah Ta’ala mengasihinya karena tangisnya. Allah Ta’ala juga menunda kematiannya sampai lima belas tahun lagi dan akan menyelamatkan dirinya dan rakyatnya dari raja Senharib.
Mendengar kabar gembira ini, segera hilanglah penyakit, kegundahan dan kesedihan sang raja. Kemudian raja Hizqiyyan bersujud dan berdo’a, “Ya Allah Engkau-lah Yang memberikan kekuasan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, Engkau mengetahui yang ghaib dan yang nampak, Engkaulah Yang awal dan Yang akhir, Yang dzahir dan Yang bathin. Engkau menyayangi serta mengabulkan do’a orang yang terjepit.”
Setelah itu, raja Hizqiyyan mengangkat kepalanya kembali. Allah telah memberikan wahyu kepada Sya’yan agar raja Hizqiyyan mengambil air dari buah tin untuk diteteskan  di atas ruam atau kudisnya sebagai obat. Setelah itu sembuhlah penyakitnya dan Allah Ta'ala mengirimkan kematian atas bala tentara raja Sanharib sehingga semuanya mati kecuali Sanharib dan lima tentaranya.
Ketika mereka bangun di pagi hari, seorang pemberita datang kepada raja, dan mengumumkan di pintu gerbang kota, "Wahai raja Bani Israil, Allah telah menyingkirkan musuhmu. Ayo keluarlah, karena Senharib dan pasukannya telah binasa." Ketika sang raja pergi mencari Senharib, ia tak ditemukan di antara yang mati. Raja kemudian mengutus tentaranya untuk mencari, dan ia ditemukan di sebuah gua dengan lima juru-tulisnya, salah seorang diantaranya, Bukhtanashar. Mereka diarak di tempat-tempat umum, dan kemudian dibawa ke hadapan raja Israil, yang, setelah melihat mereka, bersujud dari matahari terbit hingga petang. Kemudian ia berkata kepada Senharib, "Bagaimana pendapatmu tentang keputusan Rabb kami mengenai dirimu? Bukankah Dia telah menghancurkan bala-tentaramu dengan kekuasaan-Nya sedangkan kita tak menyadarinya?" Senharib menjawab, "Aku telah mendengar, bahkan sebelum aku pergi dari negeriku, Rabb-mu dan pertolongan-Nya kepadamu dan juga rahmat-Nya atasmu. Namun aku tak mau mendengar nasihat yang baik. Hanya kebodohankulah yang menjerumuskanku ke dalam kesengsaraan ini. Seandainya aku mendengarkan atau berpikir lebih matang, aku takkan pernah menyerangmu. Namun nasib-sial menimpaku dan pasukanku." Raja Bani Israil berseru, "Segala puji bagi Allah, Yang Mahakuasa, Yang dengan rahmat-Nya telah menyelamatkan kami darimu. Rabb kami membiarkanmu dan pasukanmu tetap hidup, bukan untuk memuliakanmu, tetapi untuk memperhadapkanmu dengan kesengsaraan di dunia ini, dan hukuman di dunia yang akan datang, juga agar engkau memberitahu rakyatmu yang engkau tinggalkan di rumah, tentang apa yang telah engkau lihat tentang keputusan Rabb kami, dan untuk memperingatkan mereka yang akan datang setelahmu, bahwa Dia takkan menyelamatkanmu. Darahmu dan darah orang-orang bersamamu itu nilainya lebih rendah di hadapan Rabb kami daripada darah kutu, seandainya aku membunuh satu."

Kemudian raja Bani Israil memerintahkan kepala pengawalnya mengarak mereka di hadapan orang banyak, dan selama tujuh puluh hari ia mengarak mereka di Yerusalem, dan hanya memberi makan mereka dua kerat roti gandum per orang setiap hari. Senharib berkata kepada raja, "Kematian lebih baik daripada apa yang engkau lakukan pada kami. Namun lakukan apa yang engkau perintahkan." Raja memerintahkan memasukkan mereka ke dalam ruang eksekusi, namun Allah mewahyukan kepada Sya'yan, "Sampaikan kepada raja agar memulangkan Sanharib dan pasukannya, untuk memperingatkan rakyat mereka; biarkan raja menghormati mereka dan mengantarkan mereka sampai mereka mencapai negara mereka." Nabi Sya'yan menyampaikan hal ini kepada sang raka. Maka Sanharib dan pasukannya pelang kembali ke Babilon. Ketika mereka tiba, ia mengumpulkan rakyatnya dan menyampaikan tentang apa yang telah Allah lakukan dengan pasukannya. Para ahli nujum dan tukang sihir berkata padanya, "Wahai Raja Babilon, kami telah menyampaikan kepadamu tentang Rabb dan nabi mereka, dan wahyu ilahi kepada nabi mereka, namun engkau tak mau mendengarkan kami. Merekalah orang yang tak terkalahkan, karena Rabb mereka."
Kisah Senharib membuat mereka takut. Namun Allah menolong mereka, dan itu berubah menjadi peringatan dan teguran yang baik. Senharib hidup tujuh tahun sesudahnya.

Menurut para ahli kitab, Senharib dari Asyur menyerbu Yudea pada tahun 701 SM. Allah mengutus malaikat untuk membunuh 185.000 prajurit Senharib dalam satu malam. Ada cendekiawan dari Ahli Kitab menegaskan bahwa raja Israil yang diserang oleh Sanharib ini, lumpuh akibat sciatica (sakit punggung), dan bahwa Sanharib mengincar wilayahnya karena Hizqiyyan sakit parah dan lemah, dan bahwa pernah ada Raja Babilon lain yang menyerbunya, yang bernama Lifar.
Bukhtanashar, putra pamannya, adalah juru tulisnya. Allah mengirimkan kepadanya angin yang menghancurkan pasukannya, sedangkan ia dan juru tulisnya melarikan diri, dan Lifar dibunuh oleh putranya sendiri, dan Bukhtanasar yang marah akibat kematian majikannya, membalas dendam dengan membunuh putra pamannya itu. Belakangan, Sanharib berangkat melawan Hizqiyyan. Sanharib tinggal di Niniwe dengan raja Adzarbaijan saat itu - ia disebut Salman yang kidal. Senharib dan Salman bentrok dan bertempur sampai pasukan mereka saling memusnahkan, sehingga apapun yang mereka miliki, menjadi barang rampasan Bani Israil.

Menurut Ibnu Ishaq, "Ketika Hizqiyyan, raja orang Yahudi yang disebutkan di atas, wafat, urusan orang Yahudi menjadi kacau. Ada persaingan untuk menjadi raja. Mereka saling membunuh untuk memperolehnya, dan meskipun nabi mereka, Sya'yan, ada di antara mereka, mereka tak menghiraukannya dan tak mau mendengarkannya. Karena mereka berperilaku seperti ini, Allah berfirman kepada Sya'yan, “Berdirilah diantara kaummu, Aku akan menurunkan wahyu untuk mereka.” Ketika ia berdiri diantara kaumnya, Allah menurunkan wahyu kepadanya. Nabi Sya'yan memperingatkan mereka dan mengancam mereka tentang siksaan Allah. Ketika Sya'yan menyelesaikan dakwahnya, mereka mengejar hendak membunuhnya, namun nabi Sya'yan melarikan diri dari mereka. Sebuah pohon yang dilewatinya terbuka lebar dan ia memasukinya. Namun Setan menangkapnya dan menarik ujung pakaiannya, sehingga terlihat oleh para pengejarnya. Mereka memasang gergaji di tengah-tengah pohon itu, dan menggergajinya, dan nabi Sya'yan terbelah dua. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."

Lalu Merak berkata, "Wahai saudara-saudariku, telah menjadi Sunnatullah yang tak berubah bahwa ketika perilaku buruk, keonaran dan kejahatan merajalela, maka darahpun tertumpahkan, penindasan dan ketidakadilan menjadi tuntutan zaman, dan kebenaran ditentang dengan kebencian dan kedengkian, dan hal-hal ini meluas ke seluruh negeri, maka kemampuan menerima kebenaran di cabut dari mereka. Dalam masalah seperti ini, manusia menjadi sangat berani sehingga mereka tak hanya menolak utusan yang membawa pesan kebenaran kepada mereka, namun bahkan cenderung membunuh mereka. Mereka kemudian menjadikan Syirik dan kekufuran sebagai acuan perilaku mereka, dan bukannya menjadi teman Allah, bahkan menjadi 'teman-teman Setan.' Naudzubillah min dzalik. Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Moshe Perlmann, The History of At-Tabari, Voume IV : The Ancient Kingdom, SUNY Press.
- Ibn Kathir, Stories of the Prophet, Darussalam.