Tiga Lelaki didalam Sampan (3)
Lelaki berjaket, diam sejenak, menarik lengannya keluar dari saku jaketnya, melipat tangan, lalu menoleh ke arah lelaki berhoodie, menatapnya dan berkata, "Sampaikanlah kepada kami!" Lelaki berhoodie mendongak, menatap kedua rekan di hadapannya. Ia berpikir sejenak, lalu berkata, "Pertama, komunisme bertumpu pada basis materialistik murni. Ia tak mengenali apapun kecuali yang dirasakan oleh organ indera. Apa yang tak dapat dilihat oleh organ indera ini, dianggap tak nyata, omong-kosong dan tak ada keberadaan apapun atau jika memang ada, tak begitu penting, sehingga seseorang sama sekali tak perlu mempedulikannya. Engels berkata, 'Materilah satu-satunya hal yang nyata di dunia.' Dan kaum materialis berpendapat, 'Akal manusia hanyalah wujud materi yang mencerminkan lingkungan materi eksternal yang mengelilinginya.'"
Mereka lebih lanjut mengatakan bahwa apa yang disebut jiwa, sama sekali tak ada, namun lebih merupakan produk materi. Dengan demikian, kita melihat bahwa, komunisme itu, ideologi materialistik murni yang mengejek semua bentuk spiritualisme, menjulukinya sebagai sesuatu yang tak ilmiah. Ideologi Islam, di sisi lain, menolak mengakui penyempitan lingkup kegiatan manusia atau menurunkan manusia ke harkat kehidupan yang rendah. Ia memandang manusia sebagai makhluk yang bercita-cita melayang tinggi di alam roh dan pikiran, meskipun ia berjalan di bumi dan memiliki tubuh fisik. Kebutuhan manusia bukanlah makanan, tempat tinggal dan kepuasan seksual semata, seperti yang diklaim Karl Marx.
Sebuah pertanyaan, pada tahap ini, mungkin muncul di benak kita, 'Bagaimana filosofi materialistik ini dapat mempengaruhi kita, bila kita tak ada hubungan dengannya? Haruskah kita menganut saja program ekonomi komunisme dan mempertahankan semua akidah dasar kita, Rabb kita, Nabi kita (ﷺ), dan sistem spiritual kita?' Semua ini, tak dapat dipengaruhi oleh program ekonomi yang mungkin kita anut, karena sangat berbeda dari hal-hal yang telah kita gambarkan dan memiliki entitas independen. Semoga, janganlah ada yang bercita-cita seperti ini, karena, sebagaimana yang dianut kaum komunis, ada pertalian yang kuat antara sistem ekonomi dan keyakinan dasar, ideologi dan pandangan tentang kehidupan suatu bangsa. Semuanya tak dapat dilihat secara terpisah; semuanya saling terkait erat, karena semua didasarkan pada sistem ekonomi yang sama, yang diangkat pada filosofi kehidupan materialis murni seperti yang telah dijelaskan oleh pionir komunis, Engels dan Marx, dalam tulisan mereka.
Kaum komunis, misalnya, juga percaya pada materialisme dialektik. Mereka berpendapat bahwa, adalah suatu konflik yang berlawanan, yang 'punya' dan 'yang tak punya' atau pekerja dan kapitalis, itulah satu-satunya faktor nyata, meskipun berbahaya, di balik semua kemajuan ekonomi dan manusia, yang telah dicapai umat manusia sejauh ini, yang di mulai dari zaman komunis pertama dan beralih ke perbudakan, lalu feodalisme, kapitalisme, dan kemudian zaman komunis terakhir. Dengan materialisme yang sangat dialektis inilah, mereka membenarkan pendirian mereka dan membuktikan kemunculan terakhir komunisme sebagai pemenang dari peperangan ideologis saat ini. Mereka mengklaim bahwa ada hubungan ilmiah yang erat antara komunisme dan teori materialisme dialektis ini, dimana tak ada tempat sama sekali untuk konsep Ketuhanan, utusan-Nya, atau risalah-risalah-Nya. Dalam kesombongan, mereka berpikir bahwa semua ini hanyalah hasil dari interaksi kekuatan ekonomi. Semua itu, tak memiliki arti atau signifikansi selain dari keadaan ekonomi yang menyebabkannya. Jadi, hal-hal tersebut kehilangan segala kepentingannya dalam kehidupan manusia dan sama sekali tak berharga dalam menafsirkan atau mendefinisikan kehidupan atau menentukan tujuan sebenarnya. Satu-satunya faktor penting, ialah alat produksi yang, jika diubah, mempengaruhi seluruh keberadaan manusia dan merevolusionerkannya. Kekeliruan dan kelemahan pandangan komunis tentang sejarah manusia dibuktikan dengan fakta bahwa komunisme tak dapat memberikan penjelasan yang memadai tentang revolusi besar yang dibawa oleh Islam di Arab, karena ia tak dapat menunjukkan perubahan apapun dalam alat-alat produksi ekonomi di Arab Saudi, jazirah Arab atau bahkan di seluruh dunia Islam kontemporer, yang dapat disebut sebagai penyebab munculnya Nabi Muhammad (ﷺ) di belahan dunia itu, dengan membawa sistem kehidupan yang sama sekali baru.
Kedua, manusia, menurut pandangan komunis, hanyalah makhluk pasif yang kemauannya tak memiliki kepentingan apapun di hadapan kekuatan material dan ekonomi. Karl Marx berkata, 'Cara produksi mengkondisikan seluruh proses kehidupan sosial, politik dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan sebaliknya, keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.'
Sebaliknya, dalam Islam, kita menemukan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk aktif dengan kehendak bebasnya sendiri, yang tunduk pada kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, Islam menjelaskan bahwa manusialah yang menikmati kekuasaan dan kedudukan tertinggi di bumi ini, dengan segala kekuatan material dan ekonomi, yang ada di luar sana untuk melaksanakan pemerintahannya. Islam sendiri, sebagai contoh kasus dalam hal ini. Kemajuannya tak terbatas pada, atau, diarahkan oleh proses materialisme dialektik apapun. Umat Islam awal, tak pernah, walau sesaatpun, merasa bahwa eksistensi ekonomi manusia itu memainkan peran yang menentukan dalam membentuk takdirnya atau bahwa itu sesuatu yang berada di luar kendali kesadarannya seperti yang dikatakan Marx. Sebaliknya, mereka secara sadar membentuk perekonomian sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), yang mendasarkan semua hubungan sosial pada ajaran Islam. Mereka membebaskan budak tanpa pertimbangan keuntungan ekonomi atau inisiatif yang mendorong mereka melakukannya; dan sebenarnya, mereka tak pernah menyaksikan pembentukan feodalisme di negeri mereka meskipun itu telah menjadi sistem yang paling lazim selama berabad-abad di Eropa dan di dunia pada umumnya. Penerapan ekonomi komunis niscaya mengarah pada pengadopsian filosofi komunis, filosofi yang menjadikan manusia hanya sebagai alat kekuatan ekonomi, yang tak memperdulikan kehendak bebas manusia, karena dianggap tak dapat mengubah arah mereka, juga tak dapat mempengaruhi pekerjaan mereka, dengan cara apapun, menjadi sesuatu yang mustahil, dan, sebab itulah, tak terbayangkan.
Ketiga, Komunis dan sejenisnya bersikeras, bahwa kepemilikan pribadi bukanlah kecenderungan alami. Mereka mengklaim bahwa tak ada kepemilikan pribadi dalam masyarakat dimana "komunisme pertama" menang. Segalanya, kata mereka, milik publik yang dimiliki oleh semua orang yang dibimbing oleh semangat kasih sayang, kerja sama, dan persaudaraan. Penyesalan yang menyedihkan bahwa “era malaikat” seperti itu, tak berlangsung lama, karena penemuan agrikultur melibatkan perselisihan mengenai lahan pertanian dan alat produksi. Ini pasti menyebabkan perang berkobar. Kaum komunis menyatakan bahwa umat manusia dapat mengakhiri kejahatan yang mengerikan ini hanya dengan kembali sekali lagi kepada "komunisme awal" dimana tak ada yang memiliki properti pribadi dan semua hasil produksi dibagikan secara merata. Mereka meyakini bahwa inilah satu-satunya cara memulihkan perdamaian, cinta-kasih, dan keharmonisan dunia. Di sisi lain, para psikolog dan sosiolog, tak menyetujui perbedaan yang jelas antara emosi, konsep, dan perilaku manusia, baik yang alami maupun yang diperoleh. Begitu pula, mereka berbeda pandang tentang kepemilikan pribadi. Ada psikolog dan sosiolog yang berpendapat bahwa kepemilikan pribadi itu, kecenderungan alami yang lahir bersama manusia, terlepas dari keadaan lingkungannya. Yang lain meyakini bahwa kepemilikan pribadi itu, diperoleh melalui lingkungan manusia. Seorang anak, kata mereka, tak mau berpisah dengan mainannya, karena jumlahnya terlalu sedikit atau karena ia khawatir anak lain akan mengambilnya. Ketika hanya ada satu mainan bagi sepuluh anak, pertengkaran pasti akan terjadi, akan tetapi, kata mereka, bila ada sepuluh mainan untuk sepuluh anak, setiap orang akan memiliki mainannya sendiri dan takkan ada konflik.
Kaum komunis menyatakan bahwa kepemilikan pribadi, telah disandingkan selama berabad-abad dengan ketidakadilan dan, oleh karenanya, jika umat manusia ingin menjaga perdamaian dan melepaskan diri dari konflik pahit ini, harus menghapus kepemilikan pribadi. Namun, komunis tampaknya melupakan dua fakta penting, bahwa upaya individu berkontribusi pada kemajuan umat manusia, dan, bahwa tak ada kemajuan yang dicapai selama apa yang disebut "era malaikat" dari "komunisme pertama". Dapat dikatakan bahwa umat manusia mulai membuat kemajuan hanya setelah adanya konflik kepemilikan. Ini berarti bahwa konflik semacam itu sama sekali bukan kejahatan mutlak. Sebaliknya keberadaannya, dalam batas yang wajar, merupakan kebutuhan psikologis, sosial dan ekonomi. Selain itu, harus diingat bahwa Islam tak menerima begitu saja bahwa kepemilikan pribadi mendasari semua ketidakadilan yang menimpa umat manusia. Ketidakadilan yang akut, yang menyertai kepemilikan pribadi di Eropa dan negara-negara non-Islam lainnya, umumnya disebabkan oleh fakta bahwa kelas-kelas yang memiliki properti di negara-negara tersebut, para pembuat undang-undang dan juga para penguasa. Wajar jika kelas seperti itu, membuat peraturan yang melindungi kepentingannya dengan mengorbankan kelas lain.
Islam tak mengakui keberadaan kelas penguasa. Dalam Islam, hukum tak dibuat oleh golongan yang memiliki hak khusus. Akan tak terbayangkan bila Allah memilih beberapa individu atau golongan dengan mengorbankan yang lain. Apa alasan-Nya pilih kasih seperti itu? Menurut Islam, penguasa dipilih secara bebas oleh semua umat. Ia tak dinominasikan bagi jabatan berdasarkan pertimbangan golongan apapun. Saat mengemban tugasnya, penguasa harus mengikuti hukum yang tak dibuatnya, hukum yang diketahui semua orang dan diturunkan langsung oleh Allah. Dalam hubungan ini, kita dapat mengutip ucapan Abu Bakar, Khalifah pertama, 'Taati aku selama aku taat kepada Allah dalam pemerintahanku atasmu, namun bila aku tak menaati Allah, janganlah menaati aku.' Seorang penguasa dalam Islam, tak memiliki kekuatan hukum yang memberinya wewenang untuk memberikan hak istimewa legislatif apapun kepada dirinya sendiri atau orang lain. Ia tak punya kekuatan hanya memilih satu golongan dari yang lain atau bertindak dalam menanggapi pengaruh politik dari kelas yang berkepemilikan, dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang melindungi kepentingannya seraya menindas golongan lain. Perlu ditekankan bahwa ketika kita berbicara tentang pemerintahan Islam, kita mengacu pada periode dalam sejarah Islam dimana prinsip-prinsip dan perintah Islam, diterapkan sepenuhnya dalam arti yang sebenarnya. Kita tak mengacu pada periode ketika korupsi mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki. Islam tak mengakui pemerintahan seperti itu dan tak dapat dimintai pertanggungjawaban atas aturan itu.
Aturan Islam, dengan segala keadilan dan idealismenya, tetap berlaku hanya untuk era yang singkat, tak boleh berarti bahwa itulah sistem imajiner yang tak sesuai untuk aplikasi praktis. Toh apa yang berhasil diterapkan, sekali bisa diterapkan lagi, dan sudah menjadi kewajiban semua orang agar bekerja lebih keras demi pemulihan era seperti itu. Akan tetapi, saat ini lebih menguntungkan dari sebelumnya untuk penegakan kembali aturan Islam. Di bawah pemerintahan Islam, kelas-kelas yang memiliki properti, takkan diberi kesempatan membuat hukum yang hanya untuk kepentingan mereka. Islam mengatur bahwa semua orang harus diperlakukan menurut hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun mengenai hak asasi atau martabat manusia. Dalam hal terjadi perbedaan interpretasi terhadap beberapa ketentuan hukum - yang terjadi pada setiap hukum di bumi - para ahli hukum akan memegang kendali. Patut dicatat dengan bangga bahwa para ahli hukum Muslim yang hebat, tak pernah menafsirkan hukum apapun dengan cara yang dapat melayani kepentingan kaum berkelas, dengan mengorbankan yang lebih miskin. Sebaliknya, mereka selalu cenderung memenuhi tuntutan dasar kelas pekerja dan memberikan hak mereka sepenuhnya. Faktanya, ada ahli hukum Islam bahkan menganggap pekerja atau petani itu bermitra, sejauh menyangkut keuntungan, dengan majikannya.
Di sisi lain, Islam tak menilai sifat manusia sangat rendah sehingga disia-siakan, bahwa kepemilikan akan selalu mengarah pada ketidakadilan dan penindasan. Dalam bidang pemberdayaan-jiwa dan pendidikan sifat manusia, Islam mencapai kesuksesan yang tak tertandingi. Ada Muslim yang memiliki harta benda, mereka rela berbagi dengan orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun kecuali ampunan dan pahala dari Allah. Harus dipahami bahwa Islam tak pernah ingin kita hidup di dunia impian, juga tak membuat kepentingan publik sepenuhnya bergantung pada "niat baik" yang tak pasti. Meskipun sangat memperhatikan pemberdayaan dan penyucian jiwa, Islam tak pernah melupakan pertimbangan praktis. Legislasi Islam memastikan distribusi kekayaan yang adil. Dengan tak hanya berkonsentrasi pada penyucian-diri semata, melainkan juga memberlakukan aturan yang berimbang, Islam meletakkan dasar yang tepat bagi dunia yang sehat. Islam mengizinkan kepemilikan tanah, tetapi tak pernah membiarkannya mengarah pada feodalisme. Islam mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan dengan memberlakukan undang-undang ekonomi dan sosial yang melarang feodalisme dan memastikan standar hidup yang terhormat, bahkan bagi mereka yang tak memiliki tanah. Jaminan semacam ini, yang melindungi kelas yang lebih miskin dari eksploitasi oleh yang memiliki properti.
Jika kita menerima komunisme sebagai program ekonomi, maka mau tak mau, kita juga harus merangkul filosofi sosialnya, yang menyatakan bahwa masyarakatlah satu-satunya hal yang nyata, individu tak memiliki kepentingan apapun kecuali sebagai anggota suatu komunitas. Inilah posisi yang sangat bertentangan dengan yang diambil oleh Islam, karena posisi Islam sangat mementingkan individu dan lebih bergantung padanya dibanding pada masyarakat untuk merealisasikan tujuannya. Islam membudayakan manusia dari dalam, sehingga ia rela menjalankan semua tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, akan mengangkat manusia ke posisi anggota masyarakat yang sadar dengan kemauannya sendiri, dengan bebas memilih pekerjaannya sendiri, serta tempat dimana ia ingin bekerja. Ia punya pilihan mematuhi perintah penguasa atau menolak mematuhinya jika penguasa itu melanggar batas yang ditetapkan oleh ketaatan kepada Allah dan mempraktikkan Islam. Dengan demikian, Islam menjadikan setiap individu sebagai penjaga akhlak masyarakat disamping menuntut pertanggungjawabannya atas pemberantasan segala bentuk kejahatan. Namun, hal seperti ini, tak dapat jelas terjadi dalam masyarakat, hanya karena alasan psikologis dan praktis, dimana individu direduksi menjadi status cebol yang tak penting atau boneka tak berharga yang nasibnya hanya dibentuk dan dikendalikan oleh pemerintah, karena ia sendiri mengendalikan seluruh alat produksi ekonomi.
Terakhir, kita juga hendaknya mencamkan, bahwa filosofi komunis didasarkan pada asumsi, bahwa faktor ekonomi sendirilah yang paling tinggi sejauh menyangkut penentuan atau pembentukan hubungan sosial yang beragam dalam suatu kelompok sosial. Islam tak mengingkari atau meremehkan pentingnya faktor ekonomi dalam kehidupan manusia, juga tak mengabaikan pentingnya landasan ekonomi yang sehat bagi kehidupan sosial masyarakat, sehingga moral dan keutamaan sosial tumbuh subur. Namun, itu sama sekali tak berkontribusi terhadap gagasan bahwa hidup hanyalah ekonomi. Ia juga tak percaya bahwa jika masalah ekonomi diselesaikan, semua masalah masyarakat lainnya juga akan terselesaikan.
Ekonomi komunis bertumpu pada kediktatoran penuh dari proletariat, yang berarti bahwa hanya negara yang memutuskan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh warga negara yang berbeda tanpa memperhatikan sedikitpun bakat atau kesukaan mereka masing-masing. Hanya negaralah yang mengendalikan segala pikiran, tindakan, persepsi, serta tujuan yang harus mereka wujudkan. Pada titik ini, kita juga harus membedakan antara kediktatoran seorang penguasa dan kediktatoran sebuah negara, yang disebut proletariat. Karena, dalam kasus seorang penguasa, mungkin saja ia punya sifat yang menyenangkan dan sederhana, dengan mensejahterakan negara yang sangat disayanginya, dan bahkan kadang-kadang rela berkonsultasi dengan perwakilan rakyat - baik yang nyata maupun bohong-bohongan — sebelum merumuskan suatu masalah atau membuat undang-undang. Tetapi, semua kemungkinan ini, tak dapat dipertanyakan lagi dalam kasus kediktatoran proletariat atau negara, yang hanya mempriorotaskan segala hal yang berkaitan dengan ekonomi semata, serta merealisasikan tujuan ekonomi, dan akan melaksanakannya dengan tangan-besi. Inilah yang ditandai dengan namanya sendiri — kediktatoran proletariat."