Jumat, 26 Februari 2021

Babi Panggang

Usai mengucapkan salam, dan bahwa setiap unggas yang berdiri di mimbar, wajib bersuara, sang burung-biru memulai dengan ungkapan,
Pernahkah engkau melihat para babi-kecil
Merangkak di tempat yang dekil?
Dan bagi seluruh babi-alit
Hidup semakin pahit
Selalu ada sampah
Bermain didalamnya

Pernahkah engkau melihat babi yang lebih gala
Dengan kemeja-putih klimisnya?
Engkau 'kan saksikan babi yang lebih gala
Mengarau tinja
Selalu pakai setelan-necisnya
Berlagak didalamnya

Dalam langgam mereka, beserta seluruh penyokongnya
Mereka tak hirau, yang terjadi di sekelilingnya
Di mata mereka, yang kurang, pastilah ada
Yang mereka perlukan, sebuah cemeti sialan yang tepat-guna

Dimana-mana, ada banyak para babi
Menjalani kehidupan babi
Engkau 'kan melihat mereka pesiar untuk makan-malamnya
Bersama para betinanya
Genggam pisau dan garpu, menyantap babi-panggangnya
Kemudian ia melanjutkan, "Sesungguhnya, segala-pujian itu, hanya untuk Allah. Kita memuja-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, dan kita memohon perlindungan kepada-Nya, dari kejahatan diri kita dan kelalaian atas perbuatan kita. Sesiapa yang diberi petunjuk Allah, takkan dapat disesatkan siapapun, dan sesiapa yang disesatkan Allah, takkan ada yang dapat memberinya petunjuk, dan aku bersaksi, bahwa tiada ilah yang pantas disembah dengan benar, melainkan Allah semata, dan aku bersaksi, bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) itu, hamba dan utusan-Nya."

Sang burung-biru diam sejenak, lalu bercerita, “Ada seekor babi muda, dikurung di halaman, bersama seekor kambing dan seekor domba. Pada suatu waktu, sang gembala menggendongnya, saat itu, ia mendengus, mencicit, dan meronta. Sang domba dan kambing mengeluhkan cicitannya yang menyedihkan, dan mereka berkata, "Sang gembala sering menyentuh kami, dan kami tak meronta seperti itu." Berdalih, sang babi menjawab, "Sentuhan yang kalian terima dan yang kuterima, sangat berbeda. Ia memegangmu hanya mengambil bulu atau susumu, namun, bagiku, ia telah merampas seluruh hidupku!"

Sang domba dan kambing terdiam, dalam benak mereka, terlintas bahwa terkadang, mengeluh itu, bolehlah dibenarkan. Namun sesungguhnya, apa yang telah dilontarkan sang babi itu, perlu diperjelas, karena tabayyun itu, memang perlu. Kemudian sang domba berkata, "Wahai saudaraku, apa maksud perkataanmu itu? Sampaikan pada kami!" Sang babi berkata, "Tak tahukah kalian, bahwa sang gembala akan menyembelihku, memanggangku dan menjadikanku santapan di Hari Lebaran?" Sang domba dan kambing, saling bertatapan, mereka tersenyum, lalu sang kambing berusaha menjelaskan, "Maafkan kami saudaraku, tapi apa yang ada dalam pikiranmu itu, sungguh tidaklah benar." Sang babi menjawab dengan sedih, "Tidakkah kalian bayangkan, betapa sakitnya ketika sang-gembala menyembelihku, mengulitiku, memotong-motongku dengan kasar?" Sang-domba berupaya meyakinkan, "Yang engkau sangkakan itu, keliru, saudaraku!" Sang babi bertanya, "Mengapa?" Sang kambing menjawab, "Karena, sang gembala, majikan kami, seorang Muslim. Ia takkan mau memakan segala yang berasal dari babi. Apa yang pernah kudengar, ada aturan, yang sangat ketat dalam Islam, dalam hal membunuh ataupun menyembelih hewan." Sang babi tertegun, lalu bertanya, "Benarkah? Mohon jelaskan padaku!"

Sang domba menyatakan, "Apa yang akan kusampaikan padamu, apa yang telah kudengar dari majikan kami. Dengarkan ini, pernah, majikan kami berkata kepada gembala lain, "Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan umat Islam, memakan daging hewan yang bersih dan memanfaatkan bagian-bagian dari hewan itu. Namun, Dia telah menghalalkan aturan ini, bergantung pada kepatuhan pada perintah tegas yang termaktub di dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Latarbelakang di balik perintah ini, bahwa pada dasarnya, hewan memiliki kemiripan dengan manusia, sebab mereka juga punya nyawa dan daya-pengenalan, serta dapat mengenyam rasa-nyaman dan rasa-sakit. Berdasarkan perspektif ini, bahwa seyogyanya, tak halal bagi manusia menyembelih hewan, memakan dagingnya, dan mengambil manfaat dari berbagai bagiannya. Namun, Allah telah menjadikan manusia sebagai ciptaan yang paling mulia dan telah menjadikan dunia ini baginya. Segala yang Dia ciptakan itu, diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman, 'Dialah Yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi.'

Jelaslahlah, bahwa Allah telah menghalalkan memakan daging hewan yang bersih, karena Kemahamurahan-Nya. Namun dalam masalah ini, Dia telah membuat aturan yang harus ditatati dalam beberapa hukum "ritual" (taabbudi), yang secara ketat dan tepat ditentukan oleh Allah melalui Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ). Seorang hamba Allah yang menaati hukum ritual ini, dengan demikian, menunjukkan pengakuannya bahwa kehalalan daging hewan ini, wujud dari rahmat Allah, dan bahwa dirinya, sesugguhnya tak pantas memperoleh manfaat atau nikmat memakan daging hewan itu, hingga ia mengakui berkah ini, yang menunjukkan rasa-bersyukur, dan mengikuti tata-cara yang telah ditentukan Allah dalam hal penyembelihan hewan.

Dari semua sistem hukum, hukum Islam, Syariah, punya perlakuan khusus terhadap masalah penyembelihan hewan. Akan digambarkan dengan sangat rinci, tata-cara penyembelihan yang dapat diterima, didasarkan pada prinsip-prinsip yang masuk akal dari Al-Qur'an dan Sunnah. Mengingat perhatian menyeluruh hukum Islam terhadap masalah ini, menyembelih hewan "bukanlah" perbuatan "non-ritual" ('aadii). Artinya, penyembelian hewan ini tak boleh dianggap sebagai "bukan perbuatan ibadah", sehingga bila demikian, dianggap tak perlu mematuhi aturan hukum manapun. Dalam hal penyembelihan hewan, seseorang tak boleh melakukannya sesuka-hati, menurut kebutuhannya, kepentingan pribadi, atau hanya sekedar apa yang menurutnya paling mudah. Sebaliknya, penyembelihan hewan itu, merupakan ibadah, yang wajib mematuhi hukum yang digariskan dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Pendirian Islam tentang apa yang halal dan apa yang haram dimakan, sangatlah jelas. Ada aturan ketat tentang daging apa yang diperbolehkan dan apa yang tak diperbolehkan. Allah berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.." [QS. Al-Ma'idah (5):3]
Ada dua kategori hewan, pertama, makhluk air, dan dapat dibagi menjadi dua jenis, makhluk yang mirip ikan, yang tak hidup di luar air, dan, makhluk yang tak menyerupai ikan. Makhluk mirip ikan, halal berdasarkan kesepakatan para ulama Fiqh, kecuali bahwa Imam Hanafi berbeda dalam hal ikan yang mengapung, yang mereka anggap makruh. Sedangkan makhluk bukan-ikan, pendapat Imam Shāfi'ī, bahwa setiap makhluk air yang mati, halal, kecuali kodok, baik yang hidup maupun mati. Demikian pula pendapat Imam Malik dan Ahmad. Namun, Imam Mālik menganggap ikan lumba-lumba, makrūh. Adapun Imam asy-Syafi'i, dia berkata, “Dilarang memakan lumba-lumba dan berang-berang,” dan an-Imam An-Nawawi berkata, “Yang benar, bahwa hukum ikan berlaku untuk semua ini, dan tak diperlukan melakukan prosedur penyembelihan pada mereka."

Dan dari makhluk air, katak dilarang menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali. Adapun Mazhab Hanafi, mereka melarang segala sesuatu di laut selain ikan. Demikian pula, buaya, tak boleh dimakan, karena dianggap binatang air yang kekuatannya terletak pada taringnya, dan dalam hadits shahih, "Setiap makhluk bertaring, tak boleh dimakan." Dan inilah pendapat terkuat dari Mazhab Syafi'i dan Hambali. Dan tak ada makhluk laut yang perlu disembelih dengan cara apapun, menurut pendapat yang terkuat.

Kategori hewan yang kedua, makhluk darat, dan juga terdiri dari dua jenis, yang darahnya tak mengalir, dan yang darahnya mengalir. Adapun yang darahnya tak mengalir, seluruhnya haram, kecuali belalang. Jadi, lalat, semut, lebah, kumbang, tawon, dan hama, seperti kalajengking, semuanya tak boleh dimakan, karena semuanya makhluk yang busuk dan najis. Juga termasuk kutu, kutu-rambut, dan cacing. Dan dalam hadits shaih, Rasulullah (ﷺ) melarang membunuh empat makhluk ini, semut, lebah, burung hud-hud, dan burung candet. Adapun cacing kecil yang ditemukan di dalam buah-buahan seperti ara, kurma, dan aprikot, serta keju tertentu, tak dilarang dimakan, dan keputusan untuk memakannya kembali kepada kecenderungan alami seseorang. Adapun belalang diperbolehkan. Adapun bagal atau keledai, haram. Adapun binatang buas, setiap binatang bertaring dilarang, sama seperti burung yang bercakar. Dan dilarang makan burung nasar, garuda, rajawali, dan elang, sama seperti dilarang makan anjing dan kucing. Adapun kelinci, halal. Adapun hyena dan rubah, diperbolehkan oleh Mazhab Shāfi'ī. Dan daging beruang, luwak, serigala, dan kera, terlarang. Juga, haram memakan apapun yang memakan bangkai, seperti elang, bangau, gagak, dan kumbang. Haram memakan ular, karena mereka memiliki taring. Adapun biawak, diperbolehkan.

Kesimpulannya, pertama, makhluk laut semuanya halal dan tak perlu menjalani prosedur penyembelihan. Kedua, hewan darat yang haram, tak boleh disembelih, dan daging serta kulitnya tak dapat disucikan dengan penyembelihan. Ketiga, hewan yang ditangkap harus disembelih dengan disayat di bagian tenggorokan. Keempat, hewan darat dan hewan peliharaan yang diperbolehkan, serta hewan liar, harus ditembak dengan anak-panah atau peluru, sehingga darahnya mengalir dari bagian manapun dari tubuhnya.

Penerapan penyembelihan hewan dalam Islam dengan cara menyayat memakai alat yang tajam, di bagian depan leher, sering diserang oleh beberapa aktivis hak-hak hewan sebagai bentuk kekejaman terhadap hewan, dengan klaim bahwa cara ini, metode pembunuhan hewan yang menyakitkan dan tak manusiawi. Di banyak tempat di Barat, diharuskan oleh undang-undang agar menyetrum hewan dengan tembakan ke kepala sebelum penyembelihan, dengan maksud agar membuat hewan tersebut tak sadarkan diri dan mencegahnya agar tak hidup kembali sebelum dibunuh, agar tak memperlambat proses penyembelihan. pergerakan garis pemrosesan. Ini juga digunakan untuk mencegah hewan merasakan sakit sebelum mati.

Kata Arab yang digunakan dalam hukum Islam untuk menunjukkan "penyembelihan yang halal,"disebut dzakaat. Dzakaat, secara leksikal زك و, berarti “mencapai kelengkapan atau kesempurnaan” (itmaam). Dari akar kata ini, juga muncul kata dzakaa', atau "kecerdasan", yang merupakan semacam kelengkapan dalam pengertian seseorang, yang secara bertahap berkembang seiring dengan usia dan pengalamannya. Demikian pula, metode penyembelihan yang ditentukan disebut dzakaat, karena melengkapi - dengan kata lain, memenuhi - persyaratan yang diperbolehkan untuk memakan hewan. Beberapa ulama mengatakan bahwa penyembelihan halal dinamai dzakaat karena arti lain dari kata tersebut, “menghasilkan aroma yang harum”. Istilah teknis yang mereka gunakan adalah raa'iha dzakiyya, yang berarti "aroma harum". Ketika darah hewan keluar selama penyembelihan, dagingnya akan beraroma segar dan harum.

Dalam konteks syari'ah, dzakaah bermakna melakukan cara penyembelihan dengan syarat-syaratnya yang benar, dan membutuhkan lima hal, pertama, penjagal, dan dua syarat yang harus diterapkan padanya, ia harus seorang Muslim atau Ahli Kitab, dan tak diperbolehkan memakan sesuatu yang disembelih oleh orang gila, mabuk, atau belum dewasa, yang tak dapat membedakan yang benar dan yang salah. Kedua, instrumen yang digunakan untuk menyembelih, dan dua syarat berlaku untuk ini, harus tajam, dan tak boleh memakai gigi atau cakar. Ketiga, tempat sayatan, harus di tenggorokan, khususnya di celah antara pangkal leher dan dada. Keempat, apa yang harus diucapkan pada saat penyembelihan, Tasmiyah - 'Atas Nama Allāh' dan 'Allāh Maha Besar'. Kelima, apa yang harus disayat, dan ini termasuk sebagian besar atau seluruh tenggorokan, esofagus, dan, dua vena jugularis di kedua sisi leher.

Metode penyembelihan yang menurut hukum Islam memenuhi syarat penyembelihan yang benar dan sah, berbeda terhadap berbagai jenis hewan. Dalam hal hewan yang tak dapat dikendalikan fisiknya, karena liar, cukup dengan melilitkannya dengan alat tajam yang menyebabkan darahnya mengalir keluar hingga mati. Jenis penyembelihan ini disebut “penyembelihan paksa” (dzaakat idtiraariyya): jika seseorang tak dapat menguasai hewan itu disembelih dengan tangan dan karena itu “dipaksa” agar dapat membunuhnya dari kejauhan. Hewan semacam ini, tak perlu disembelih dengan cara dzabh atau nahr. Pembantaian paksa ditentukan dalam hal perburuan. Aku takkan menjelaskan tentang hukum dari jenis penyembelihan ini, melainkan berfokus pada jenis yang disebut “penyembelihan sukarela” (dzakat ikhtiyaariyya).

Penyembelihan secara sukarela, mengacu pada saat hewan berada di bawah kendali fisik seseorang, baik itu hewan peliharaan maupun hewan liar yang ditangkap. Dalam hal ini, darah harus dikeluarkan dengan cara konvensional, memotong pembuluh darah jugularisnya. Para ahli fiqih telah menetapkan bahwa untuk penyembelihan yang sah, setidaknya beberapa urat leher (awdaaj) harus dipotong. Awdaaj merupakan bentuk jamak dari wadaj, yang untuk tujuan kita berarti "vena jugularis". Dari urat leher, ada dua yang utama, yang eksternal, yang disebut dalam bahasa Arab wadajaan, dua bentuk wadaj. Namun, para ahli fiqih telah memperluas penggunaan kata awdaaj dengan memasukkan trakea dan esofagus. Imam Syafi'i, rahimahullah, berkata bahwa wajib bagi seseorang memotong trakea dan esofagus, dan ini cukup memenuhi penyembelihan lengkap, bahkanpun jika seseorang tak memotong salah satu urat jugularis eksternal.

Terlepas dari berbagai pendapat para ahli hukum mengenai detail sekunder ini, mereka telah sepakat bahwa untuk penyembelihan sukarela, titik pemotongannya, dimana tenggorokan bertemu dengan bagian atas dada, dan perlu memotong lebih dari satu dari empat salurannya. Dari apa yang telah kita lihat sejauh ini, seharusnya jelas bahwa pendapat yang membutuhkan setidaknya satu dari dua vena jugularis eksternal yang dipotong, merupakan pendapat yang dominan. Ini karena membuat aliran darah keluar seluruhnya, yang diperlukan, hanya dapat terjadi dengan memotong salah satu atau kedua vena jugularis eksternal, yang merupakan pembuluh darah utama di leher.

Para ulama fiqih, sepakat bahwa penyembelihan yang lengkap dan tepat, menurut hukum Islam, alat yang digunakan harus diasah sedemikian rupa, sehingga mudah memotong dan menusuk hewan karena ketajamannya, bukan karena beratnya. Alat penyembelih tak harus pisau; menyembelih dengan menggunakan apapun yang ujungnya tajam, baik yang terbuat dari besi baja, batu, kayu, atau sejenisnya.

Jumhur ulama telah menyimpulkan bahwa agar perbuatan penyembelihan hewan dapat diterima oleh hukum Islam, maka penyembelih wajib pula melakukan tasmiya pada saat penyembelihan. Tasmiya adalah istilah teknis menyebut nama Allah, yang hendaknya dilaksanakan secara lisan, tak hanya di dalam hati, sebelum penyembelihan. Kata-kata yang biasa digunakan adalah Bismillaahi Allaahu Akbar yang artinya “Dengan nama Allah; Allah Maha Besar ”Namun, pernyataan lain dapat diterima, misalnya, Laa ilaaha illallaah, asalkan nama Allah, dan bukan yang lain, yang disebutkan.

Adapun penyembelih, ia harus seorang Muslim atau Ahli Kitab, yang berakal-sehat. Kondisi kewarasan ('aql) dimaksudkan agar memastikan bahwa orang itu berniat untuk menyembelih, karena menyembelih itu, merupakan perbuatan ibadah, dan oleh karenanya diperlukan niat.Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafi, Mālikī, dan Hambalī. Jadi, tak boleh makan daging yang disembelih oleh orang yang mabuk, anak kecil, atau orang gila. Berdasarkan hal ini, tak diperbolehkan makan daging yang disembelih oleh orang musyrik, orang kafir yang bukan dari Ahli Kitab, murtad, penyembah berhala, Komunis, Druze, Nusayrī, Qādiyānī, Bahā'ī, Magian, Hindu, atau Budha.

Sekarang, kita menghadapi masalah tentang menanyakan status daging jika ragu. Perlukah menanyakan tentang daging itu, atau asalnya? Jawabannya, wajib bertanya tentang daging itu saat kita tak tahu atau tak yakin, terutama di kala kita berada di saat orang membeli daging yang disembelih oleh non-Muslim, tak perlu ragu-ragu karena tiada daya dan upaya melainkan karena Allah. Dalam kasus seperti ini, kita hendaknya bertanya saat diundang makan ke rumah mereka, jika mereka membeli daging impor atau daging yang disembelih di negeri Muslim. Seorang Muslim hendaknya bertanya kepada toko daging tentang jenis daging yang mereka beli, agar ia dapat menjaga agama dan kehormatannya, dan agar ia tahu apa yang ia masukkan ke dalam mulutnya, halal atau haram. Setelah bertanya, jika ketidakpastian hilang dan dipastikan bahwa daging yang dibelinya halal, ia dapat membeli atau memakannya. Namun, jika masih ada ketidakpastian, apa yang harus ia lakukan? Dalam kasus seperti itu, ia tak boleh membeli atau memakan daging tersebut, karena daging tak diperbolehkan dimakan jika statusnya masih belum pasti."

Gembala lain bertanya, "Mengapa babi tak diperbolehkan dalam Islam?" Majikan kami berkata, "Seorang Muslim menghabiskan hidupnya berusaha menggapai ridha Allah dengan menyembah-Nya dan menaati hukum, atau aturan-Nya. Salah satu aturan itu, bahwa makan daging babi, atau produk daging babi, dilarang. Pada awalnya, orang mungkin bertanya-tanya tentang bahaya apa yang bisa ditimbulkan dari daging babi, produk yang dimakan di banyak bagian dunia ini, dan faktanya, bahwa daging babi, mengandung parasit dan penyakit yang berbahaya bagi manusia, dan perihal inilah, yang mungkin muncul di benak kita sebagai alasan yang dapat dibenarkan berpantang memakannya. Namun, dikala kita merenungkan lebih dalam mengapa umat Islam dilarang makan daging babi, pandangan ini akan menjadi alasan sekunder. Umat Islam tak makan daging babi atau produk babi, karena Allah melarangnya. Allah berfirman,
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَیۡکُمُ الۡمَیۡتَۃَ وَ الدَّمَ وَ لَحۡمَ الۡخِنۡزِیۡرِ وَ مَاۤ اُہِلَّ بِہٖ لِغَیۡرِ اللّٰہِ ۚ فَمَنِ اضۡطُرَّ غَیۡرَ بَاغٍ وَّ لَا عَادٍ فَلَاۤ اِثۡمَ عَلَیۡہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ
"Sesungguhnya, Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tak (pula) melampaui batas, maka tiada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah (2):173].
Terkadang, kita takkan pernah perlu tahu atau memahami mengapa Allah membolehkan beberapa hal dan melarang yang lain. Dalam kasus daging babi, tak ada alasan khusus tentang larangan yang diberikan, kecuali dalam Al-Qur'an Surah Al-An'am (6) ayat ke-145, ketika Allah berfirman, saat menyebut daging babi,
فَاِنَّهٗ رِجْسٌ
"... karena semua itu, kotor ..."
Seorang Muslim, dengan sukarela tunduk pada perintah Allah, tanpa perlu mengetahui alasan di balik aturan Sang Ilahi. Selain itu, Allah dengan tegas telah menyatakan bahwa orang beriman mendengarkan firman-firman Rabb-nya, dan mematuhinya. Wallahu a'lam."

Berhenti sejenak, lalu sang domba berkata, "Nah, itulah yang kuketahui tentang jenis hewan apa yang boleh dan tak boleh dimakan seorang Muslim. Bagaimana tanggapanmu?" Sang babi merasa tenang, matanya berbinar, seraya menghela-nafas ia berkata, "Aah, ternyata, aku takkan disembelih." Namun, tiba-tiba, matanya membelalak, lalu berkata, "Bukankah kalian yang akan disembelih?" Sang kambing dan domba saling memandang, tertawa dan dengan tenang menanggapi, "Tak mengapa, itu berarti, kami telah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah."
Rujukan :
- Mufti Muhammad Taqi Usmani, The Islamic Laws of Animal Slaughter, translated by Amir A. Toft, White Thread Press
- Abdullah Azzam, The Ruling on Meat Slaughtered In The West, Open Sources
- Aisha Stacey, Why Pork Forbidden In Islam?, Islamreligion.com
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons