Seorang bocah, berangkat sekolah, lalu mengutil sebuah buku-abjad milik kawan sekolahnya, dan membawanya pulang menemui ibunya; yang bukannya mengingatkan dan menasihatinya karena mencuri, melainkan memuji dan memberikan sebuah apel sebagai ganjaran.Seiring waktu, ketika sang-bocah tumbuh dewasa, ia terlibat dan terbiasa dengan perampokan kelas-kakap; dan akhirnya, ia tertangkap dan masuk bui. Ia diadili dan dijatuhi hukuman-gantung, sebab terbukti melakukan tindak pidana-akut.Pada hari dimana sang-terpidana-mati akan menjalani hukuman-gantungnya, saat para-petugas menggiringnya ke tiang-gantungan, yang telah dikelilingi khalayak-ramai, dan diantaranya, sang-ibu, yang datang seraya merintih dan tersedu-sedan, serta sangat berduka atas ketidakbahagiaan putranya; dan ternyata, disaksikan oleh sang-terpidana-mati. Ia memanggil sang-dubalang, dan memohon bantuannya, bahwa sang-dubalang membolehkannya berbicara, sepatah-dua-patah kata kepada ibunya, yang malang dan menderita.Sang-dubalang—siapapun takkan menolak permintaan masuk-akal dari seseorang yang menghadapi maut—membolehkan; dan sang-terpidana-mati, diluar dugaan para-khalayak—yang mengira ia akan membisikkan sesuatu kepada ibunya—menggigit kuping sang-ibu—mohon, jangan lakukan ini di rumah atau dimana pun, karena kekerasan, apapun sebabnya, teramat-sangat dilarang—yang mengejutkan dan melukai-perasaan para-khalayak. "Apa!?" seru mereka, "Bukankah terpidana ini, telah bersuka-ria dengan sejumlah kejahatan yang telah dilakukannya, namun ingin menambahnya lagi, dengan melakukan kekerasan terhadap ibunya?""Duh orang-orang baik!" tukas sang-terpidana, "Kutak ingin engkau sekalian melakukan kesalahan yang sama; perempuan keji ini, pantas menerimanya, dan bahkan lebih buruk di tanganku; andai ia mengingatkan dan menjewer-kupingku, bukannya menghadiahi dan membelaiku, bahkan ia tertawa dan berkata, 'Tak bakal ketahuan!,' semasa bocah, aku mencuri buku-abjad milik kawan sekolahku, kutakkan mengalami akhir hidup, yang menghinakan seperti ini.""Selentingan kecil mencuat dalam urusan kekinian kita akhir-akhir ini," tandas Dr Swan. "Ada isu—dan semoga, isu ini tak benar dan tak terbukti; dan jika benar dan terbukti, maka mengkorupsi bahasa itu, bagian terpenting dari politik yang dzalim atau eksploitatif, dan akan menjadi bagian dari hambatan dalam mendidik anak-anak kita—bahwa ketimbang menyebut mantan narapidana korupsi-politik atau Malpolitik, sebagai "koruptor," lebih tepat menandai mereka sebagai "penyintas.""Penyintas" bermakna, orang yang bertahan hidup, terutama yang masih hidup setelah suatu peristiwa, dimana orang lain meninggal. Kata lain untuk "penyintas," antara lain, pejuang, pahlawan, penakluk, pemenang, jawara, penawan, dll. Bila membahas kejahatan tertentu; atau bila merujuk pada aspek sistem peradilan pidana, seseorang mungkin cenderung menggunakan istilah “korban.” Seorang korban, ditentukan oleh kerugian yang menimpanya; seorang penyintas, ditentukan oleh kehidupan mereka sesudahnya. Seorang korban, ditenggelamkan dan diperlakukan dengan buruk; seorang penyintas, terus hidup dan berhasil, walau juga, telah menjadi korban.Korupsi itu, penyakit kanker yang menggerogoti struktur budaya, politik dan ekonomi masyarakat, dan melumat-habis fungsi organ-organ vital. Dalam kata-kata Transparency International, "Korupsi itu, salah satu tantangan terdahsyat dunia kontemporer. Ia merusak pemerintahan yang baik, secara fundamental mendistorsi kebijakan publik, menyebabkan salah alokasi sumber-daya, merugikan sektor-swasta dan pembangunan sektor-swasta, dan khususnya, merugikan rakyat-jelata."Korupsi dapat menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat, misalnya, ketika mengarah pada pembalakan liar di hutan hujan tropis, dan tak mematuhi peraturan bangunan yang dirancang untuk menjamin keselamatan publik. Korupsi juga dapat menyebabkan warga negara tak aman, politisi spekulatif, dan para aparatur-sipil-negara, terombang-ambing antara peluang-besar, risiko-besar, dan tekanan-ganda.Di negara-negara dengan korupsi yang meluas, korupsi lebih-lanjut menjadikan biaya-operasional pemerintah membengkak, pendapatan-negara akan bocor, dan sumber-daya yang tersedia bagi layanan publik, akan berkurang. Pengambilan keputusan pemerintah akan terdistorsi, dan pemerintah takkan sanggup memberikan layanan publik yang sangat dibutuhkan. Dilema lain, bahwa dalam sistem non-demokrasi atau semi-demokratis (neo-patrimonial), dimana kekuatan politik terutama digunakan untuk mengejar kepentingan elit penguasa, peningkatan efisiensi negara, sangat mungkin dengan sendirinya merugikan pembangunan nasional. Korupsi menghancurkan segalanya dan mempengaruhi cara negara, diatur.Sekarang, pertanyaannya, siapakah yang menjadi korban atau penyintasnya? Sang-koruptor atau rakyatkah? Kuserahkan padamu, menjawabnya!Para-koruptor, dalam perspektif Islam, telah berbuat Fasad, merusak lubang kehidupan masyarakat, pemerintah, dan bangsa. Fasad, kata Arab, yang bermakna kebusukan, kerusakan, atau kebejatan. Secara bahasa, kata Fasad, bermakna, sesuatu yang tak seimbang. Cakupannya luas, menyangkut rohani dan jasmani, segala sesuatu yang menyimpang dari keseimbangan yang semestinya. Fasad merupakan antonim dari kata Shalah, yang secara umum keduanya berhubungan dengan sesuatu yang bermanfaat dan sesuatu yang tak berfaedah. Segala sesuatu yang tak membawa manfaat, baik secara individu maupun sosial, dikategorikan Fasad, dan sebaliknya, segala sesuatu yang memberikan manfaat, masuk dalam ketegori Shalah.Al-Qur'an membedakan Fasad dalam beberapa konteks. Pertama, perilaku menyimpang, menunjukkan perbuatan asusila. Kedua, ketidakteraturan. Ketiga, perilaku destruktif, yaitu merusak segala sesuatu yang ada, baik benda maupun orang, entah dengan membakar, merobohkan, atau membuatnya tak berdaya dan kehilangan martabat. Keempat, mengabaikan atau tak mempedulikan nasib orang-lain, baik menelantarkannya maupun memanfaatkannya demi kepentingan diri-sendiri. Kelima, merusak lingkungan. Perilaku menyimpang, destruktif, dan tak berguna, sesugguhnya merupakan cerminan, rusaknya moral seseorang.Fikih Islam, dengan keadilan lengkap dan prinsip-prinsip komprehensifnya, fokus pada penjaminan kebutuhan yang manusia, tak dapat lakukan tanpanya. Para Ulama fikih menyimpulkan bahwa, semuanya, ada lima. Mereka menyebutnya "lima kebutuhan" atau "lima yang umum". Yaitu: mememelihara agama, diri, kesucian, pikiran dan harta. Mereka menyatakan, segala yang termasuk dalam sistem aturan, prinsip, dan aturan Islam, bertujuan mengamankan generalisasi-generalisasi ini, dan mempertahankannya. Demi menjaganya, fikih Islam telah menetapkan hukuman berat bagi mereka yang melanggar dan menerobosnya. Hukuman ini dikenal sebagai "hudud" atau "hukuman yang ditentukan" dan "ta'zir" atau "hukuman keputusan hakim." Batasan yang ditetapkan, hukuman yang ditentukan oleh fikih sebagai hak Allah.Oleh karena itu, hukuman bagi yang menyebarkan kerusakan di muka bumi: dihukum-mati atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, atau diasingkan. Mayoritas ulama, termasuk Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad, berpendapat bahwa, jika seorang perampok membunuh dan mengambil uang, mereka harus di hukum-mati dan disalib, namun bila mereka hanya mengambil uang tanpa membunuh, tangan dan kaki mereka, dipotong bersilang, dan jika mereka jadi ancaman bagi setiap orang, namun tak mengambil uang, mereka harus diasingkan. Al-Qur'an menyatakan,إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ"Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di Dunia, dan di Akhirat mereka mendapat adzab yang besar." [QS. Al-Maidah (5):33]"Dr Swan menyimpulkan dengan, "Duhai saudara-saudariku! Orang-orang dewasa, seyogyanya menunjukkan budi kepada kawula-muda, agar mereka dikagumi, dan berusaha keras menjadi panutan, mentor, dan pembimbing yang sukses. Nilai-nilai, sikap, dan perilaku, yang dipelajari kaum-muda dari orang-orang penting ini, akan diintegrasikan ke dalam kepribadian dan identitas mereka. Tentu saja, panutan terhebat bagi umat Islam, Kekasih kita, Rasulullah (ﷺ). Kita punya panutan, tersedia bagi kita secara tertulis, dan dapat dihidupkan dalam perilaku kita sendiri. Kita tak dapat mengharapkan anak-anak kita, hidup dan berperilaku dengan cara tertentu, jika kita tak melaksanakannya sendiri. Kesempatan mengajak anak-anak kita, telah menanti, kita cuma perlu memanfaatkannya.Para kawula-muda, umumnya tertarik pada nilai dan sikap orang yang istimewa—orangtua, guru yang dihormati, saudara yang lebih tua, atau orang terkenal—yang ide dan perilakunya, mereka kagumi. Dan yang paling berbahaya, saat ternoda oleh mereka yang mencari pembenaran dalam menggapai Kekaisaran-sampah dan sebuah mahkota-berduri, atau yang bersyahwat mengenggam dinar dan dirham. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan :
- Dr Aisha Hamdan, Nurturing Eeman in Children, IIPH
- 'Abdullah Nasih 'Ulwan, Child Education in Islam, Dar Al Salam
- Inge Amundsen, Political Corruption: An Introduction to the Issues, Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
[Bagian 1]