Selasa, 29 Juni 2021

Penyintas? (2)

Dr Swan melanjutkan, "Duhai saudara-saudariku! Perhatikan cerita ini,
Seorang bocah, berangkat sekolah, lalu mengutil sebuah buku-abjad milik kawan sekolahnya, dan membawanya pulang menemui ibunya; yang bukannya mengingatkan dan menasihatinya karena mencuri, melainkan memuji dan memberikan sebuah apel sebagai ganjaran.
Seiring waktu, ketika sang-bocah tumbuh dewasa, ia terlibat dan terbiasa dengan perampokan kelas-kakap; dan akhirnya, ia tertangkap dan masuk bui. Ia diadili dan dijatuhi hukuman-gantung, sebab terbukti melakukan tindak pidana-akut.
Pada hari dimana sang-terpidana-mati akan menjalani hukuman-gantungnya, saat para-petugas menggiringnya ke tiang-gantungan, yang telah dikelilingi khalayak-ramai, dan diantaranya, sang-ibu, yang datang seraya merintih dan tersedu-sedan, serta sangat berduka atas ketidakbahagiaan putranya; dan ternyata, disaksikan oleh sang-terpidana-mati. Ia memanggil sang-dubalang, dan memohon bantuannya, bahwa sang-dubalang membolehkannya berbicara, sepatah-dua-patah kata kepada ibunya, yang malang dan menderita.
Sang-dubalang—siapapun takkan menolak permintaan masuk-akal dari seseorang yang menghadapi maut—membolehkan; dan sang-terpidana-mati, diluar dugaan para-khalayak—yang mengira ia akan membisikkan sesuatu kepada ibunya—menggigit kuping sang-ibu—mohon, jangan lakukan ini di rumah atau dimana pun, karena kekerasan, apapun sebabnya, teramat-sangat dilarang—yang mengejutkan dan melukai-perasaan para-khalayak. "Apa!?" seru mereka, "Bukankah terpidana ini, telah bersuka-ria dengan sejumlah kejahatan yang telah dilakukannya, namun ingin menambahnya lagi, dengan melakukan kekerasan terhadap ibunya?"
"Duh orang-orang baik!" tukas sang-terpidana, "Kutak ingin engkau sekalian melakukan kesalahan yang sama; perempuan keji ini, pantas menerimanya, dan bahkan lebih buruk di tanganku; andai ia mengingatkan dan menjewer-kupingku, bukannya menghadiahi dan membelaiku, bahkan ia tertawa dan berkata, 'Tak bakal ketahuan!,' semasa bocah, aku mencuri buku-abjad milik kawan sekolahku, kutakkan mengalami akhir hidup, yang menghinakan seperti ini."
"Selentingan kecil mencuat dalam urusan kekinian kita akhir-akhir ini," tandas Dr Swan. "Ada isu—dan semoga, isu ini tak benar dan tak terbukti; dan jika benar dan terbukti, maka mengkorupsi bahasa itu, bagian terpenting dari politik yang dzalim atau eksploitatif, dan akan menjadi bagian dari hambatan dalam mendidik anak-anak kita—bahwa ketimbang menyebut mantan narapidana korupsi-politik atau Malpolitik, sebagai "koruptor," lebih tepat menandai mereka sebagai "penyintas."
"Penyintas" bermakna, orang yang bertahan hidup, terutama yang masih hidup setelah suatu peristiwa, dimana orang lain meninggal. Kata lain untuk "penyintas," antara lain, pejuang, pahlawan, penakluk, pemenang, jawara, penawan, dll. Bila membahas kejahatan tertentu; atau bila merujuk pada aspek sistem peradilan pidana, seseorang mungkin cenderung menggunakan istilah “korban.” Seorang korban, ditentukan oleh kerugian yang menimpanya; seorang penyintas, ditentukan oleh kehidupan mereka sesudahnya. Seorang korban, ditenggelamkan dan diperlakukan dengan buruk; seorang penyintas, terus hidup dan berhasil, walau juga, telah menjadi korban.

Korupsi itu, penyakit kanker yang menggerogoti struktur budaya, politik dan ekonomi masyarakat, dan melumat-habis fungsi organ-organ vital. Dalam kata-kata Transparency International, "Korupsi itu, salah satu tantangan terdahsyat dunia kontemporer. Ia merusak pemerintahan yang baik, secara fundamental mendistorsi kebijakan publik, menyebabkan salah alokasi sumber-daya, merugikan sektor-swasta dan pembangunan sektor-swasta, dan khususnya, merugikan rakyat-jelata."
Korupsi dapat menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat, misalnya, ketika mengarah pada pembalakan liar di hutan hujan tropis, dan tak mematuhi peraturan bangunan yang dirancang untuk menjamin keselamatan publik. Korupsi juga dapat menyebabkan warga negara tak aman, politisi spekulatif, dan para aparatur-sipil-negara, terombang-ambing antara peluang-besar, risiko-besar, dan tekanan-ganda.
Di negara-negara dengan korupsi yang meluas, korupsi lebih-lanjut menjadikan biaya-operasional pemerintah membengkak, pendapatan-negara akan bocor, dan sumber-daya yang tersedia bagi layanan publik, akan berkurang. Pengambilan keputusan pemerintah akan terdistorsi, dan pemerintah takkan sanggup memberikan layanan publik yang sangat dibutuhkan. Dilema lain, bahwa dalam sistem non-demokrasi atau semi-demokratis (neo-patrimonial), dimana kekuatan politik terutama digunakan untuk mengejar kepentingan elit penguasa, peningkatan efisiensi negara, sangat mungkin dengan sendirinya merugikan pembangunan nasional. Korupsi menghancurkan segalanya dan mempengaruhi cara negara, diatur.
Sekarang, pertanyaannya, siapakah yang menjadi korban atau penyintasnya? Sang-koruptor atau rakyatkah? Kuserahkan padamu, menjawabnya!

Para-koruptor, dalam perspektif Islam, telah berbuat Fasad, merusak lubang kehidupan masyarakat, pemerintah, dan bangsa. Fasad, kata Arab, yang bermakna kebusukan, kerusakan, atau kebejatan. Secara bahasa, kata Fasad, bermakna, sesuatu yang tak seimbang. Cakupannya luas, menyangkut rohani dan jasmani, segala sesuatu yang menyimpang dari keseimbangan yang semestinya. Fasad merupakan antonim dari kata Shalah, yang secara umum keduanya berhubungan dengan sesuatu yang bermanfaat dan sesuatu yang tak berfaedah. Segala sesuatu yang tak membawa manfaat, baik secara individu maupun sosial, dikategorikan Fasad, dan sebaliknya, segala sesuatu yang memberikan manfaat, masuk dalam ketegori Shalah.
Al-Qur'an membedakan Fasad dalam beberapa konteks. Pertama, perilaku menyimpang, menunjukkan perbuatan asusila. Kedua, ketidakteraturan. Ketiga, perilaku destruktif, yaitu merusak segala sesuatu yang ada, baik benda maupun orang, entah dengan membakar, merobohkan, atau membuatnya tak berdaya dan kehilangan martabat. Keempat, mengabaikan atau tak mempedulikan nasib orang-lain, baik menelantarkannya maupun memanfaatkannya demi kepentingan diri-sendiri. Kelima, merusak lingkungan. Perilaku menyimpang, destruktif, dan tak berguna, sesugguhnya merupakan cerminan, rusaknya moral seseorang.
Fikih Islam, dengan keadilan lengkap dan prinsip-prinsip komprehensifnya, fokus pada penjaminan kebutuhan yang manusia, tak dapat lakukan tanpanya. Para Ulama fikih menyimpulkan bahwa, semuanya, ada lima. Mereka menyebutnya "lima kebutuhan" atau "lima yang umum". Yaitu: mememelihara agama, diri, kesucian, pikiran dan harta. Mereka menyatakan, segala yang termasuk dalam sistem aturan, prinsip, dan aturan Islam, bertujuan mengamankan generalisasi-generalisasi ini, dan mempertahankannya. Demi menjaganya, fikih Islam telah menetapkan hukuman berat bagi mereka yang melanggar dan menerobosnya. Hukuman ini dikenal sebagai "hudud" atau "hukuman yang ditentukan" dan "ta'zir" atau "hukuman keputusan hakim." Batasan yang ditetapkan, hukuman yang ditentukan oleh fikih sebagai hak Allah.
Oleh karena itu, hukuman bagi yang menyebarkan kerusakan di muka bumi: dihukum-mati atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, atau diasingkan. Mayoritas ulama, termasuk Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad, berpendapat bahwa, jika seorang perampok membunuh dan mengambil uang, mereka harus di hukum-mati dan disalib, namun bila mereka hanya mengambil uang tanpa membunuh, tangan dan kaki mereka, dipotong bersilang, dan jika mereka jadi ancaman bagi setiap orang, namun tak mengambil uang, mereka harus diasingkan. Al-Qur'an menyatakan,
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di Dunia, dan di Akhirat mereka mendapat adzab yang besar." [QS. Al-Maidah (5):33]"
Dr Swan menyimpulkan dengan, "Duhai saudara-saudariku! Orang-orang dewasa, seyogyanya menunjukkan budi kepada kawula-muda, agar mereka dikagumi, dan berusaha keras menjadi panutan, mentor, dan pembimbing yang sukses. Nilai-nilai, sikap, dan perilaku, yang dipelajari kaum-muda dari orang-orang penting ini, akan diintegrasikan ke dalam kepribadian dan identitas mereka. Tentu saja, panutan terhebat bagi umat Islam, Kekasih kita, Rasulullah (ﷺ). Kita punya panutan, tersedia bagi kita secara tertulis, dan dapat dihidupkan dalam perilaku kita sendiri. Kita tak dapat mengharapkan anak-anak kita, hidup dan berperilaku dengan cara tertentu, jika kita tak melaksanakannya sendiri. Kesempatan mengajak anak-anak kita, telah menanti, kita cuma perlu memanfaatkannya.
Para kawula-muda, umumnya tertarik pada nilai dan sikap orang yang istimewa—orangtua, guru yang dihormati, saudara yang lebih tua, atau orang terkenal—yang ide dan perilakunya, mereka kagumi. Dan yang paling berbahaya, saat ternoda oleh mereka yang mencari pembenaran dalam menggapai Kekaisaran-sampah dan sebuah mahkota-berduri, atau yang bersyahwat mengenggam dinar dan dirham. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan :
- Dr Aisha Hamdan, Nurturing Eeman in Children, IIPH
- 'Abdullah Nasih 'Ulwan, Child Education in Islam, Dar Al Salam
- Inge Amundsen, Political Corruption: An Introduction to the Issues, Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
[Bagian 1]

Jumat, 25 Juni 2021

Penyintas? (1)

Profesor Nightingale sedang cuti, sehingga, sesi kali ini, panitia menghadirkan Dr Swan sebagai pembicara. Dan setelah mengucapkan salam dan kalimat pembuka, ia mengungkapkan, "Duhai saudara-saudariku! Ada sebuah sajak Islandia yang populer dan arkais, dengan kreasi sebait. Sajak tersebut, berwarita,
Þat mælti mín móðir,
[Berkata Ibuku padaku]
at mér skyldi kaupa
[Kelak kukan beli]
fley ok fagrar árar,
[Galai dan dayung bagus]
fara á brott með víkingum,
[Berlayar ke pantai yang jauh]
standa upp í stafni,
[Tegak di haluan]
stýra dýrum knerri,
[Barque rafi kukemudikan]
halda svá til hafnar
[Menapak kukuh demi langit]
höggva mann ok annan
[Menebas jamak musuh]
Konon, sajak ini, berasal dari sebuah sajak dalam hikayat Islandia, bertajuk Egil's Saga, tentang orang Viking yang kondang, Egil Skallagrimsson. Sebuah interpretasi dari hikayat ini, mengutarakan bahwa kepribadian tokoh Agil, ruwet dan kusut. Kepribadiannya yang beraneka, merefleksikan kualitas eksesif keluarganya, keluarga para lelaki, ada yang teramat buruk, namun ada juga yang sangat tampan; sebuah keluarga yang mudah 'berubah wujud', dari mendadak tak-waras, kejam dan bengis, hingga menjadi tenang dan bijak; sebuah keluarga yang tak tunduk pada kehendak raja, tapi juga tak berpihak pada pemberontakan terbuka.

Namun, aku tak hendak membahas tentang hikayat ini, aku ingin menyampaikan bahwa, keteladanan yang buruk itu, merusak, bahkan terhadap watak-alami terbaik sekalipun. Sia-sia mengajarkan anak-anak kita, talenta, yang sekadar imitasi, mengikuti satu aturan, jika kita sendiri mengikuti tatanan berbeda. Ajaran-ajaran bagus, yang mungkin kita sampaikan kepada mereka, akan jadi mudarat, bila mereka menyaksikan, perilaku kita sendiri, menempuh arah berlawanan dengan apa yang telah kita ajarkan kepada mereka.

Simak apolog berikut,
Dua ekor ketam, seorang ibu dan putranya, yang tersapu air-pasang dan telah surut, merayap kembali ke arah pantai. Saat sang-ibu memperhatikan langkah putranya yang janggal, merasa gemas, dan berharap agar sang-anak melangkah lurus ke arah depan, tegap dan sigap, serta tak berjalan-miring, karena akan ditertawai oleh satwa sejagat.
"Mengapa engkau berjalan menyamping seperti itu?" tanya sang-induk kepada anaknya. "Engkau seharusnya berjalan lurus dengan ujung-kaki menghadap ke depan."
"Tunjukkanlah caranya, ibuku sayang," jawab sang-ketam mungil dengan patuh, "Aku ingin belajar."
Maka, sang-ketam dewasa, berusaha dan mencoba berjalan lurus ke depan. Tapi sayangnya, ia cuma mampu berjalan-miring, sama seperti putranya. Dan ketika ia hendak membalikkan ujung-kakinya, iapun tersandung dan terjerembab.
Oleh karenanya, para orangtua yang berkeinginan melakukan pembentukan watak yang efektif pada anak-anaknya, seyogyanya, memulai dengan melakukan perubahan nyata pada diri-sendiri. Inilah kewajiban mereka kepada masyarakat, juga kepada anak-cucu-cicit mereka. Sangatlah penting bagi keduanya, bahwa kesucian-qalbu atau kejujuran, dan kemuliaan atau kehormatan, ditanamkan sejak dini ke dalam benak-belia mereka, karena bersemi dengan pertumbuhannya, dan pada saat yang sama, dengan mengajak kepada kemuliaan atau kehormatan, mereka meletakkan dasar kebahagiaan individunya, sepanjang hidup.

Dalam perspektif Islam, orangtua, sepantasnya, selaras dalam perbuatan dan ucapan, yang meneladankan sifat sejati seorang Muslim. Anak-anak memperoleh banyak gagasan tentang peran dan nilai, dari individu yang signifikan, dengan siapa mereka berinteraksi, dan punya hubungan-dekat. Tentu saja, orangtualah yang akan menjadi tokoh utama dalam proses ini.
Berkaitan dengan parenting atau pola-asuh, orangtua hendaknya berupaya memperkuat pernikahan mereka demi anak-anak. Jika pernikahan itu, pusat keluarga, masuk akal jika upaya dilakukan agar membentengi dan memperkaya hubungan ini. Pasangan suami-isteri, sepatutnya, memahami tanggungjawab dan hak perkawinan mereka, dari perspektif Islam, dan berusaha menunaikannya, sekuat tenaga. Mereka hendaknya menimba ilmu parenting dari perspektif Islam, serta informasi yang berkaitan dengan hal-hal praktis, misalnya, disiplin, pembinaan, dan kebugaran.

Ilmu dan menuntut-ilmu, menuntun kita pada kesejatian hidup, guna menuju ke jalan yang lurus. Tanpa ilmu yang diperlukan, perjalanan hidup kita takkan berdaya-guna. Menuntut ilmu itu, wajib bagi setiap Muslim. Kemampuan belajar dan grahita inilah, yang membedakan kita dari ciptaan Allah yang lain, dan secara langsung, berkaitan dengan konsep kehendak-bebas. Membuat-pilihan, tentu akan menjadi urusan yang serampangan bila tak terisi dengan kapasitas ilmu.
Para Ulama, telah membagi ilmu itu, menjadi dua jenis.. Yang pertama, yang wajib bagi setiap individu, mencakup pengetahuan dasar agama, termasuk keyakinan (akidah) dan praktik (sholat, puasa, sedekah, muamalah, dan sebagainya). Jenis ilmu yang kedua, ilmu yang wajib bagi sebagian masyarakat muslim, namun tak seluruhnya. Kewajiban komunal ini, akan dicabut, setelah ada anggota masyarakat yang telah memenuhinya. Misalnya, jika ada anggota masyarakat, yang telah menjadi dokter guna merawat orang-sakit, maka anggota masyarakat lainnya, dibebaskan dari tanggung jawab; jika tak ada yang jadi dokter, maka seluruh masyarakat akan dimintai pertanggungjawabannya. Kategori ini, mencakup pengetahuan rinci tentang Islam dan Syariah, kedokteran, pendidikan, teknik, dan sebagainya.

Poin-poin yang terkait dengan ilmu, perlu ditekankan bagi orangtua. Salah satu tugas utama orangtua, merawat anak-anak mereka, secara fisik, emosional, spiritual, dan intelektual. Pendidikan itu, faktor kunci dalam semua ini, dengan tujuan membesarkan umat yang sehat, berilmu, dan kuat. Mungkin bahkan lebih penting bagi kaum-wanita, karena kedudukan mereka dalam keluarga. Pengajaran bisa secara langsung, seperti lingkaran belajar di rumah atau di masjid, tetapi banyak juga, yang tak langsung, melalui model dan observasi. Seorang ibu, melalui kontak terus-menerus dengan anggota keluarga lainnya, punya potensi menjadi guru yang sangat baik. Sebagian besar, dapat dilakukan hanya dengan belajar tentang Islam dan menerapkan hikmahnya. Anak-anak belajar banyak dengan memperhatikan orang-orang di sekitar mereka, terutama orangtua mereka.

Penting dipahami bahwa, suami dan istri, menyajikan model kehidupan pernikahan kepada anak-anak mereka, serta model pola-asuh. Pemodelan ini, berpengaruh besar pada keyakinan, sikap, dan perilaku anak, yang sedang berkembang. Anak-anak, pada kenyataannya, belajar lebih banyak dengan mengamati orang-lain dibandingkan apa yang disampaikan. Oleh alasan ini, orangtua hendaknya, sangat berhati-hati tentang bagaimana mereka berinteraksi saat berada di hadapan anak-anak. Penelitian menunjukkan, misalnya, bahwa konflik antara suami dan istri, punya banyak efek negatif pada anak-anak. Konflik perkawinan, hendaknya dihindari di depan anak-anak, dan sebagai gantinya, layaknya diberikan model dialog, kompromi, dan kesabaran. Konsultasi, keberimbangan, kewajaran, dan ketenangan-batin, unsur-unsur penting bagi unit keluarga yang harmonis.

Dari perspektif Islam, kaum-lelaki dan kaum-perempuan, berfitrah spiritual yang sebanding, dan sama-sama diberi tanggung jawab sebagai wali di muka bumi. Dengan demikian, mereka punya tugas dan tanggungjawab keagamaan yang sama. Keduanya, akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat, atas keyakinan dan perbuatan mereka di dunia ini. Tiada superioritas satu jenis-gender atas yang lain. Superioritas sebagai ciptaan, sesungguhnya ditakar dari segi keshalihan dan ketakwaan.

Allah telah menetapkan peran khusus bagi kaum-lelaki dan kaum-perempuan, dalam fungsi keseharian. Keduanya berperan terhormat dan beroperasi dengan cara yang saling-melengkapi. Setiap gender telah diberikan kualitas dan sifat khusus demi memenuhi perannya masing-masing.
Kaum-lelaki sebagai pemelihara dan penyedia rumah-tangga, dan pemimpin keluarga. Kaum-perempuan, bertanggung jawab membesarkan anak-anak dan menanamkan moral dan perilaku yang benar, serta mengurus rumah tangga. Mereka juga pantas taat kepada suami, selama tak diperintahkan bertindak melawan perintah Allah. Diferensiasi peran ini, diperlukan guna berfungsinya unit keluarga secara efektif, karena Allah telah menciptakan sistem dengan keseimbangan dan keteraturan. Keluarga itu, sebuah sistem, dan berfungsi, paling efisien, saat hukum-alam dan hukum Allah diterapkan. Bila keseimbangan terganggu, manusia menanggung akibatnya.

Sebagaimana disebutkan, suami bertanggung jawab, menyediakan nafkah dan kebutuhan istri dan anak-anaknya, termasuk penyediaan pangan, pakaian, papan, dan kebutuhan dasar lainnya, sesuai pendapatan finansial dan norma sosialnya. Secara umum, ia bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kesegaran fisik mereka, yang juga memerlukan ukuran keselamatan dan keamanan. Pentingnya hal ini, tak dapat diabaikan. Ayah sebagai pemegang otoritas dalam keluarga, dan pemimpin unit keluarga. Tak ada sebuah organisasi yang dapat berfungsi efektif, tanpa seorang manajer, dan dalam keluarga, sang-ayah, pemegang peran penting ini. Intinya, bahwa ayah layak dipatuhi oleh seluruh anggota keluarga, dan ia penentu dalam segala keputusan. Namun, hal ini tak menutup kemungkinan perbincangan dan kompromi tentang hal-hal penting, tetapi sepantasnya, sang-ayah, dihormati dan dipatuhi.

Ibu, sangat dimuliakan dalam Islam, dan merupakan sarana dimana seorang wanita dapat memperoleh imbalan spiritual yang sangat besar. Allah telah menciptakan peran ini, khusus bagi kaum-wanita, sebagai bagian dari rahmat-Nya. Terhadap tujuan ini, Allah telah menganugerahkan kepada kaum-wanita, kualitas dan karakteristik unik yang diperlukan, demi pemenuhan peran ini secara efektif. Wanita cenderung lebih mengasuh, berbelas-kasih, sensitif, dan sabar: segala kualitas yang diperlukan untuk menciptakan suasana yang hangat, penuh-kasih, dan damai, di dalam rumah.

Ibu itu, karier penuh-waktu, mencakup kehamilan, melahirkan, menyusui, dan bertahun-tahun mengasuh anak. Inilah tanggung jawab yang cukup berat bagi seorang individu tanpa menambah beban tambahan karena harus menafkahi keluarga. Inilah bagian dari rahmat Allah, bahwa kaum-wanita tak diharuskan bekerja di luar rumah, demi mengais rezeki bagi anak-anak mereka. Bebannya, dalam banyak kasus, akan lebih dari yang bisa ia tanggung. Situasi yang ideal memungkinkannya, memenuhi tanggungjawab utamanya, oleh potensi terbaiknya.
Akan tetapi, ada beberapa keadaan, dimana mungkin diperlukan bagi seorang ibu, bekerja, semisal membantu keuangan keluarga atau memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya, dokter, bidan, dan guru. Yang terakhir, dianggap sebagai kewajiban komunal, yang memang harus dipenuhi oleh anggota masyarakat, agar kewajiban tersebut dapat dihapus. Dalam kasus ini, manfaatnya, selayaknya ditimbang dengan bijak, terhadap mudarat yang mungkin terjadi. Perlu diingat, bahwa tanggungjawab pribadi, lebih diutamakan daripada tanggungjawab komunal.
Dalam perspektif Islam, kaum-perempuan tak sepenuhnya dilarang bekerja, namun hal tersebut hendaknya, menjadi pembahasan dan pertimbangan yang matang, sebelum mengambil keputusan.

Pendidik yang tercerahkan dan moderat, selalu mencari sarana pendidikan yang efektif, dan dasar mempersiapkan anak-anak secara religius, moral, pendidikan, psikologis, dan sosial, yang bertujuan membantu anak-anak, mencapai tingkat keparipurnaan, kedewasaan setinggi mungkin, rasionalitas, dan keseimbangan.
Tetapi apa sarana dan dasar pendidikan yang efektif untuk mendidik anak-anak ini? Ada lima,
  • Pertama, pendidikan dengan panutan yang baik. Keteladanan yang baik, sangat efektif dalam membantu membentuk kembali, anak yang bandel. Jika pendidiknya, hangat, jujur, mulia, dan tulus, anak-anak akan dibesarkan dalam kebenaran, kejujuran, moralitas, keluhuran, dan kesucian. Namun, jika pendidiknya, tak jujur, khianat, amoral, kikir, pengecut, atau jahat, anak-anak akan dibesarkan dalam kebohongan, pengkhianatan, imoralitas, kepengecutan dan kekejaman.
  • Kedua, pendidikan dengan membentuk kebiasaan yang bermanfaat. Peran kebiasaan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik dalam membesarkan anak, dengan tauhid yang murni, sopan-santun, kebajikan, dan aturan syariat Islam, sangatlah penting. Tak ada keraguan, jika seorang anak punya dua faktor yang tersedia baginya, yaitu pendidikan Islam yang bagus, dan lingkungan yang shalih, ia akan dibesarkan dengan keyakinan yang benar, dan ia akan menikmati perilaku Islami, dan akan mencapai puncak kebajikan dan sifat-sifat kepribadian yang mulia.
  • Ketiga, pendidikan dengan nasehat yang bijak. Salah satu cara yang paling penting dan efektif membesarkan seorang anak pada keyakinan dan mempersiapkannya secara moral, psikologis, dan sosial, dengan cara mengingatkan dan menasihatinya. Pengaruh nasehat dan bimbingan, sangat besar, dan menarik perhatian anak pada realitas segala sesuatu, mengarahkannya kepada hal-hal yang luhur, mengembangkan akhlak yang mulia, dan mencerahkannya tentang prinsip-prinsip Islam. Maka tak heran, bahwa Al-Qur'an Mulia menerapkan metode ini, dan membahas jiwa manusia dalam istilahnya, dan mengulanginya dalam banyak ayatnya, pada beberapa ayat yang serupa dengan bimbingan dan nasehat.
  • Keempat, pendidikan dengan observasi atau pengamatan. Makna pendidikan dengan pengamatan, memelihara kepercayaan dan pembentukan moral anak, mengamatinya dalam keadaan psikologis dan sosialnya, dan secara terus-menerus mengamati tentang pendidikan jasmani dan kemajuan belajarnya. Tiada keraguan bahwa pendidikan seperti ini, salah satu dasar yang paling kokoh dalam membentuk manusia yang seimbang dan terintegrasi, yang menunaikan segala haknya, yang sepenuhnya memikul tanggung jawabnya, dan yang menjadi seorang Muslim sejati. Muslim seperti ini, batu-penjuru dalam membangun dasar Islam yang kokoh, yang dengannya, kejayaan Islam didirikan, dan dimana dasar-dasar Islam membuahkan hasil. Sesungguhnya Islam itu, sarana peradaban.
  • Kelima, pendidikan dengan hukuman yang sesuai. Pendidik perlu menggunakan hikmah dalam memberikan hukuman, dan memilih metode yang paling tepat. Hukuman yang diberikan oleh orangtua atau pendidik, dalam hal kuantitas, kualitas, dan metode, berbeda dengan yang diberikan kepada masyarakat umum. Berikut cara Islam, jika memang perlu menghukum anak,
  • - Memperlakukan anak, pada dasarnya, dengan penuh-kelembutan dan kasih-sayang;
    - Memperhatikan sifat anak yang akan dihukum;
    - Gradasi dari hukuman yang lebih ringan, ke hukuman yang lebih berat.
[Bagian 2]

Selasa, 22 Juni 2021

Konserto

Pada hari itu, tak ada sesi bagi para unggas, mereka bebas beristirahat. Maka, setelah melaksanakan kewajibannya, mereka duduk bersama sembari bercengkerama, melepas penat, setelah beberapa hari mengikuti sesi. Seekor unggas bertanya kepada yang lain, "Haramkah menikmati candaan yang baik, dan tertawa?" Yang lain menjawab, "Menikmati lelucon yang baik, dan tertawa, itu sifat alami setiap insan. Islam tak melarangnya; ia tak menganjurkan kita terlalu streng dan khusyuk sepanjang waktu. Ia membolehkan kita, bergurau dan tertawa. Dalam banyak riwayat, Kekasih kita (ﷺ), saking tertawanya, menampakkan gigi-taring beliau (ﷺ), seperti yang diriwayatkan Ummul Mukminin, Aisyah, radhiyallahu 'anha, sebagai berikut,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ ‏"‏ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ ‏"‏ ‏.‏ قَالَتْ بَنَاتِي ‏.‏ وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ ‏"‏ مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسْطَهُنَّ ‏"‏ ‏.‏ قَالَتْ فَرَسٌ ‏.‏ قَالَ ‏"‏ وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ ‏"‏ ‏.‏ قَالَتْ جَنَاحَانِ ‏.‏ قَالَ ‏"‏ فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ ‏"‏ ‏.‏ قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ
'Saat pulang dari perang Tabuk atau Khaibar (perawinya agak ragu), Nabi (ﷺ) masuk ke dalam rumah. Seketika angin bertiup, menyingkap tabir penutup rak.
Maka terlihatlah oleh Nabi (ﷺ), mainan boneka milik Aisyah. Nabi (ﷺ) bertanya, 'Apa ini, duhai Aisyah'? Aisyah berkata, 'Mainanku.' Diantara boneka tersebut, Nabi (ﷺ) melihat kuda-mainan, yang bersayap, terbuat dari kain perca, seraya bertanya, 'Yang ini apa?'
Ia, radhiyallahu 'anha, menjawab, 'Kuda.' Nabi (ﷺ) berkata, 'Ini apa?' seraya menunjuk sayapnya. la menjawab, 'Sayap.' Nabi berkata heran, 'Kuda memiliki sayap?' Aisyah menjawab, 'Tak pernahkah engkau mendengar, bahwa Nabi Sulaiman (alaihissalam), punya kuda bersayap?' Mendengar jawaban Aisyah, Nabi (ﷺ) tertawa hingga tampak gigi taring beliau (ﷺ). [Sunan Abu Daud; Shahih oleh Al-Albani]
Yang lain mengingatkan, "Namun, ada batasannya. Kekasih kita (ﷺ) melarang, terlalu banyak bercanda, karena, mematikan qalbu. Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan, bahwa Rasulullah (ﷺ), bersabda,
لاَ تُكْثِرُوا الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
"Jangan terlalu banyak tertawa, karena berlebihan tawa, mematikan qalbu." [Al-Adab Al-Mufrad; Sahih by Al-Albani]
Maka, diperlukan sikap-kebersahajaan, meski bercanda. Penting juga dipahami bahwa, ada saat-saat bercanda dan berseloroh, dan ada momen-momen keseriusan dan ketenangan. Latarbelakang larangan ini, bahwa canda yang berlebihan, menjadikan orang menganggap hidup ini, kurang penting, dan bisa jadi, memandang segala hal, sebagai selorohan. Juga, disebabkan terbiasa dengan kelakar, jadi kerutinan, dan tak bisa diajak masuk ke dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh. Biasanya, bagi orang-orang seperti ini, kata-kata nasihat, membosankan, dan tak mampu mengambil manfaatnya, cuma karena dianggap kurang lucu. Inilah yang dimaksud dengan, tertawa berlebihan, membunuh qalbu."

Yang lain menekankan, "Imbasnya, kebiasaan 'berlebihan' menonton acara komedi dan sitkom, sama sekali tak dapat diaksep. Sulit menemukan orang yang, sepanjang-hari, terbiasa berkelakar, masih memperhatikan ajaran-ajaran agama Islam. Seorang Muslim, hendaknya menyadari bahwa, hidup ini, berharga, dan bahwa, ada beberapa hal yang tak boleh dicandai; ada waktunya berseloroh, dan ada detik-detik masa kebersungguhan."

Yang lain bergabung, "Penting juga dicatat bahwa, lelucon yang menghinakan atau melecehkan kelompok atau individu demografis manapun, sama sekali tak-boleh, seperti halnya, berdusta agar orang lain tertawa, terkecuali jika memang, pemirsanya maklum, bahwa itu fiksi belaka. Tentulah, yang terbaik, gurauan yang didasarkan pada, anekdot kehidupan sehari-hari. Tiada salahnya, mengisahkan kejadian tersebut kepada orang lain, sekadar berbagi-tawa."

Yang lain menyarankan, "Jenis gurauan yang terburuk itu, tentang Allah, Subhanahu wa Ta'ala, dan Rasul-Nya (ﷺ), atau apapun yang berhubungan dengan Islam. Lelucon seperti ini, dapat mengakibatkan seseorang, keluar dari Islam dan dianggap kufur."

Yang lain menunjukkan, “Ada praktik tertentu yang marak di antara umat Islam—seperti mengolok-olok jilbab, janggut, atau poligami; diantaranya—merupakan dosa yang sangat tak dapat diterima dan serupa dengan kekufuran. Yang seperti ini, tanda kemunafikan; seseorang mengaku secara lisan, sebagai seorang Muslim, akan tetapi, dalam bathin, tak menyukai ajaran Islam atau aspek-aspek lainnnya.”

"Dan bagaimana dengan musik?" pinta lainnya. Yang lain mengungkapkan pandangan, "Masalah khusus ini, perlu penjelasan panjang-lebar, sebab, telah menjadi topik yang sering diperdebatkan dalam masyarakat Muslim saat ini. Namun, pentinglah kiranya, tanpa purbasangka, menilik beragam pandangan tentang masalah ini, dan menerima bahwa ada perbedaan pendapat tentang larangan pada penggunaan 'alat-musik.'
Jika ingin aman, maka seyogyanya, mengikuti pendapat terkuat mayoritas Ulama, dan menjauhi musik yang melibatkan alat-musik petik dan tiup. Pada saat yang sama, hendaknya dicamkan, bahwa 'masih terdapat' perbedaan pandangan tentang masalah ini, maka, sungguh sikap yang tak-adil, jika menyebut sesat atau kufur, kepada mereka yang meyakini kebolehan penggunaan alat-musik. Ingatlah, bukankah mereka, saudara-saudari Muslim kita jua?"

Yang lain menyebutkan, "Imam Syaukani juga menyatakan, '... sehingga jelas bahwa, hal ini bukanlah masalah dimana seseorang boleh menyatakan bahwa, pengikut pendapat tertentu, sesat. Sebaliknya, bagaimana mungkin mereka yang mengklaim itu, tak ada keterbedaan pendapat, tentang masalah musik, dirujuki jalan keadilan?!'
Allah Mahatahu pendapat mana yang benar.”

Yang lain mengajukan pertanyaan, agak berbeda, "Apa artinya Konserto?" Yang lain menjawab, "Concerto, jamak concerti atau concerto, sejak sekitar tahun 1750-an, komposisi instrumen-musik, dimana instrumen-solo, dipasangkan dengan Ansambel-Orkestra. Pemain-solo dan ansambel, saling-terkait melalui perselangan, konkurensi, dan kombinasi. "
Yang lain melanjutkan, "Darimana kata Konserto berasal?" Yang lain mengklaim, "Kata Italia concerto, yang bermakna, kesepakatan atau pertemuan, berasal dari kata kerja Latin concertare, yang menunjukkan kompetisi atau pertarungan."
Yang lain ingin tahu, "Apa perbedaan antara Sonata dan Konserto?" Yang lain menginformasikan, "Konserto itu, komposisi musik dalam tiga-babak, sedangkan Sonata, komposisi musik untuk satu atau lebih instrumen-solo. Lebih-jauh, konserto punya tiga-irama, sedangkan Sonata, biasanya, lebih dari tiga-irama."
Lebih lanjut, yang lain menyoal, "Apa konser pertama?" Yang lain menggemakan, "Konser solo yang paling awal dikenali, dari Guiseppe Torelli, nomor 6 dan 12, Op. 6 tahun 1698."

Yang lain memperpanjang, "Siapa yang bermain dalam sebuah Konserto?" Yang lain menunjukkan, "Dalam istilah musik terkini, sebuah Konserto itu, penggalan musik dimana seorang pemain—"solois"—duduk atau tegak di depan panggung, memainkan melodi, sementara Orkestra, mengiringinya. Solois Konserto itu, wirawan atau wirawatinya, pemeran-utamanya, sang-primadona."

Yang lain, tersadar, menukas, "Mengapa engkau mengajukan pertanyaan semacam itu?" Yang pertama bertanya, mengenang, "Ingat ketika, Yang-mulia Nuri, mengundang petinggi para-unggas Kampung Bayan, ke Istananya?" Yang lain mengingat-ingat, "Ya... Ya... walau Yang-mulia menjaga kewibawaannya, terkadang, ia bersantai, bercakap-akrab dengan koleganya, yang rendah-hati."
Yang pertama bertanya, menuturkan, "Nah, pada saat itu, Yang-mulia memilih mengadakan sebuah konserto, diiringi para-unggas kesukaannya. Saat beberapa dari mereka, telah kehabisan suara, dengan riang dan bercanda, Yang-mulia mengajukan ide bagus, bahwa ia hendak mencoba melantunkan sendiri sebuah lagu; dan iapun mulai bernyanyi. Pendek-kata, agar nampak santun, menanggapi alunan—yang teramat-jauh dibawah falsetto atau head-voice—itu, dari para-unggas yang hadir, terngiang kepak-sayap, tanda bertepuk-tangan.

Setelah kepak-sayap berhenti, petinggi pertama, memuji, "Ini benar-benar sangat benar!" Yang kedua, menyanjung, "Kami salut dan memberi-hormat!" Yang ketiga, "Beginilah yang disebut seorang pemimpin!" Yang keempat, tak banyak bicara, "Kami mendukung penuh!" Yang kelima, berkomentar, "Kami sangat menghargai, itulah gunanya gotong-royong!" Keenam, "Yang-mulia pasti pernah belajar dari para-pakar di setiap perguruan-tinggi yang top!"
Yang terakhir, seekor unggas-penjilat, yang dikenal sebagai ahli-sanjungan, dan pemimik-satiris, tampil ke depan, dan dengan blak-blakan berkata, "Sejujurnya, kami telah mendengar penyanyi yang lebih-buruk dibanding Yang-mulia!" Mendengarnya, Yang-mulia Nuri, bermuram-durja, dan para kompi-bersayap yang hadir, membeliak.
'Tapi, yaa...' lanjut sang-penyanjung cerdik, 'Kami telah menikmati, suara Bulbul!' Pidato yang telah dikonsep oleh sang-penyanjung-cerdik, sangat ampuh menggombali Paduka Nuri, dan mengecoh majelis yang membosankan itu, oleh kecakapan artistiknya. Ada derajat sanjungan tingkat-tinggi, yakni dengan seni tertentu, menyampaikan pujian, secara tak-langsung."

'Namun!' Yang pertama bertanya, bergemam, mengomentari, 'Aku tak dapat menemukan didalamnya, sebuah Konserto!' Serempak, yang lain bertanya, "Lalu, apa dong?" Dengan suara datar, ia menjawab, "Itu bukan Konserto, tapi, Ludruk!" seraya geleng-geleng kepala.
Mereka yang mendengar, ada yang terkekekeh, ada yang tergelak, ada juga yang tersungkur di bawah meja. Unggas diseberang meja, menegur, "Hei, jangan berlebihan!"

Wallahu a'lam.
Kutipan & Rujukan :
- Abu Muawiyah Ismail Kamdar, Having Fun with the Halal Way, Entertainment in Islam, IIPH
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson

Jumat, 18 Juni 2021

Pak Pit Bull dan Sang-Bayangan

Sesi berlanjut, Profesor Nightingale masih bertugas sebagai pembicara, ia memulai dengan, "Duhai saudara-saudariku! Si omnia concupiscis, omnia perdas. Stultum est esse avarus." Kakatua yang mendengarkan, bertanya kepada Gagak, "Punggawa kita ini, asalnya dari mana? Amerika, Eropa, Asia Barat Daya atau Yunani?," sang-gagak, yang berotak kosong, hanya tersenyum.
Saat itu, sang profesor mengungkapkan, "Telah bertambah perkembangan di bidang psikologi sekuler kontemporer, yang disebut 'Psikologi Positif'. Pengaruh positif dalam kehidupan seseorang, ditekankan dalam perkembangan ini, termasuk kekuatan kepribadian, perasaan berharap yang baik, dan kebiasaan-kebiasaan yang berfaedah. Baik faktor emosional dan mental, didasarkan pada teori ini.
Para ahli teori, pada awalnya telah mengembangkan kekuatan manusia, sebagai tujuan pengembangan manusia dan intervensi klinis, misalnya, kekuatan kognisi, antara lain rasa ingin tahu; suka belajar; rasionalitas; kecerdikan; kecerdasan pribadi-emosional-sosial.
Kekuatan emosi, di antaranya, apresiasi keindahan dan hal-hal yang baik; harapan atau pemikiran masa depan; cinta kehidupan.
Kekuatan kemauan, di antaranya, keberanian; ketekunan.
Kekuatan relasional dan civic, antara lain, kebaikan; tanggung jawab; humor; kemampuan mencintai dan dicintai.
Kekuatan koherensi, antara lain kejujuran; keseimbangan; kontrol diri; kebijaksanaan.
Karena banyak di antaranya, merupakan kepribadian atau karakter positif yang serupa dengan yang didorong dari perspektif Islam, dapat disimpulkan, bahwa, Islamlah, yang pertamakali mengajukan teori 'psikologi positif'.'

Orang-orang beriman sejati, berkepribadian berbeda dengan orang lain, dalam hal cara berpikir dan cara berinteraksi dengan dunia. Mereka mengikuti petunjuk Allah, di segala bidang kehidupan, mereka berkepribadian unik, dan berusaha mengembangkan sifat-sifat yang mulia dan berbudi luhur. Kekasih kita (ﷺ), pernah bersabda,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا
'Yang terbaik di antara kalian, yang terbaik akhlaknya.' [Sahih al-Bukhari]
Sangat peduli dengan beramal-shalih dan memperoleh kebajikan, merupakan sifat para-Muslim. Mempelajari dan mengajarkan ilmu agama, merupakan salah satu sifat yang terbaik, karena memungkinkan manusia membedakan antara yang baik dan yang buruk. Kebajikan, kasih-sayang, kejujuran, kerendahan-hati, kesabaran, dan keadilan, beberapa sifat yang berusaha dikembangkan oleh orang-orang beriman. Mereka berupaya berperilaku-baik, karena, seiring waktu, itu akan menjadi kebiasaan dan masuk ke dalam repertoar perilakunya; menjadi bagian dari kepribadiannya.

Di sisi lain, berkebalikan dengan sifat-sifat positif itu, ada sifat-sifat kepribadian negatif. Penindasan, iri-hati, keserakahan, kesombongan, dan keangkuhan, termasuk dalam sifat-sifat ini.

Salah satu sifat negatif itu, keserakahan, berasal dari nafsu, dorongan-diri mengikuti hasrat dan mengejarnya. Hasrat bermakna condong ke hal-hal duniawi dan syahwat, serta abai dari mengingat Allah.
Keserakahan, dapat menjerumuskan manusia dalam kehancuran, dan salah satu pemicunya, berlebihan mencintai harta. Harta, baik dalam bentuk uang atau barang, beraspek memikat yang menyerap hati dan pikiran. Harta itu, andalan hidup dan amanah yang sangat besar. Kita diperintahkan menafkahkannya segera setelah diperintahkan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ).
Islam telah menetapkan seperangkat hukum yang ketat, mengatur peredaran harta dalam masyarakat Muslim, dan agar menjaga hasrat akan harta, tetap terkendali. Jika dibiarkan, masyarakat akan dihancurkan oleh ganasnya kerakusan manusia, yang tak terkendali.
Bersikap moderat dalam mencari dan memperoleh harta, berhati-hati terhadap kecintaan dan hasrat akan harta, serta perlunya memperoleh harta, semata dari sumber yang halal, larangan riba, larangan menimbun, larangan menipu, larangan mengutak-atik takaran dan timbangan, larangan pencurian dan penyelewengan, pengaturan hutang, dan kewajiban zakat dan sedekah, sebagai dasar peredaran kelebihan harta dalam masyarakat Muslim, merupakan beberapa hukum yang telah ditetapkan oleh Sang Pemberi Hukum, Yang Maha Bijaksana.
Harta itu, menghijau dan manis, karena merupakan andalan kehidupan dan dasar peradaban, masyarakat dan kenyamanan rakyat. Harta itu, pendamping dan penolong yang sangat baik bagi seorang Muslim, selama ia memberikan haknya, kepada orang-orang yang berhak atasnya, dan melindungi hak-hak orang lain yang ditentukan Allah. Hal ini berlaku dengan syarat bahwa, harta tak diperoleh melalui perampokan atau perampasan, melainkan hanya dengan cara yang halal, seperti yang ditentukan oleh aturan agama berdasarkan keluhuran, kesucian dan kepercayaan. Harta yang masuk ke kantong kita sebagai uang, dan yang kita belanjakan, akan menjadi saksi terhadap kita di Hari Kebangkitan, dan konsekuensinya, akan berperan dalam menentukan tujuan akhir kita di Akhirat kelak, di samping peran yang dimainkannya dalam kehidupan kita di dunia ini.

Keserakahan, pada akhirnya, sebagian besar, menyimpang dari tujuannya, dan ia yang merampas lebih dari yang dimilikinya, layak kehilangan apa yang ia punyai. Perhatikan apolog yang satu ini,
“Pak Pit Bull, anjing penjaga yang baik. Ia peduli dengan aktivitas di sekitar rumah majikannya. Ia sering gugup, saat terdengar suara yang mengancam rumah majikannya, ia segera menyalak. Semua yang ia lakukan, demi kandang yang megah, nyaman dan mewah, dan tentu saja, tulang.
Suatu hari, Pak Pit Bull, sedang menyertai majikannya ke sebuah taman. Di gerbang Taman, terpampang papan pengumuman, “Untuk sementara, demi menjaga kebersihan, agar merpati tak bergerombol, dilarang memberi makan merpati itu.” Sang majikan berkata, "Tunggu di sini! Biar aku saja yang masuk ke Taman." Sang-anjing menggonggong, sekali. "Anjing baik!" berkata majikannya seraya mengelus kepala sang-anjing, yang langsung mengibaskan ekornya, yang belum dipotong. Beberapa saat kemudian, sang majikan, bergegas ke Taman, dan melemparkan beberapa genggam kacang. Tak lama kemudian, datang banyak burung merpati, berkerumun.
Seekor merpati, datang menemui Pak Pit Bull, menyoal, "Hei Pak Pit Bull! Mengapa engkau tak mengingatkan majikanmu, bukankah ia sendiri, yang memasang pengumuman, atas perintah hukum? Lihatlah! Para-merpati berkumpul dan mengotori Taman! Ada seekor merpati hamil, terjatuh. Seekor anak merpati, rela masuk parit, sekadar memperoleh sebutir kacang."
Tanpa menoleh, Pak Pit Bull dengan tenang menjawab, "Para-merpati, yang bergerombol sampai masuk parit, itu karena, kharisma majikanku!" Sambil terbang, sang-merpati berseru, "Oi dongok! Para-merpati itu, belum dapat makan selama berhari-hari!"
Tak lama kemudian, sang majikan keluar dari Taman, dan mendekati Pak Pit Bull, yang segera mengibaskan ekornya. Sang majikan berkata sembari melemparkan tulang, "Pulanglah duluan!" Sang anjing, menggonggong dan menangkap dengan moncongnya, dan bersicepat lari pulang.
Gapah-gopoh pulang dengan hadiahnya, ia berlari selajak yang ia bisa. Saat melintasi jembatan penyeberangan yang sempit, ia kebetulan memandang ke bawah dan, melihat bayangan dirinya terpantul dari air yang tenang, yang tampak bagai cermin. Namun, Pak Pit Bull yang loba, mengira, ia melihat anjing betulan, membawa tulang yang jauh lebih besar dibanding miliknya.
Andai, ia berhenti sebentar buat berpikir, ia akan lebih tahu. Akan tetapi, alih-alih berpikir, ia mencampakkan tulangnya, dan menerjang ke arah anjing yang berada di dalam sungai. Walhasil, ia mendapati dirinya berenang, demi menyelamatkan nyawanya sendiri, berusaha menggapai tepian sungai. Akhirnya, ia berhasil, dan selagi berdiri dengan sedih memikirkan tulangnya, yang telah hilang, ia baru sadar, betapa selama ini, ia anjing yang dongok."
Profesor Nightingale menjelaskan, "Jika engkau mengingini semuanya, engkau kan sangat mungkin, kehilangan segalanya. Sangatlah beloh, berlaku tamak. Ia yang mencaplok lebih dari apa yang menjadi miliknya, sungguh layak kehilangan apa yang ia punya. Namun tiada yang lebih lazim, pada saat yang sama, lebih merusak, dibanding pendirian yang mementingkan diri sendiri ini. Ia berjaya, mulai dari para raja hingga ke para-petani; dan di segala kalangan dan derajat manusia, kurang lebih, terjangkit olehnya. Para-monarkhi hebat, telah tenggelam, oleh keserakahan, demi menggenggam kekuasaan negeri jiran mereka; bukan karena mereka ingin sesuatu yang lebih, demi memuaskan kementerengan, melainkan demi memuaskan nafsu, yang tak terpuaskan, nafsu mendambakan kemuliaan yang sia-sia. Jika Kaisar Persia, cukup puas dengan teritoriumnya, ia takkan kehilangan seluruh Asia, demi negara kecil Yunani. Dan Perancis, dengan segala kejayaannya, telah tereduksi menjadi negara kecil, oleh karena, menginvasi dengan jalan yang zhalim."

Lalu, sang profesor menutup dengan, "Duhai saudara-saudariku! Ia yang berangan, ada kemegahan di balik satu pak kartu, atau dalam sebuah kotak dan dadu, lalu mengadu-nasib agar bisa menggapainya, tak boleh mengeluh, jika pada akhirnya, ia menemukan dirinya, jadi gelandangan. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan :
- Dr. Aisha Utz, Psychology from the Islamic Perspective, IIPH
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Sheikh 'Abd aI-Hamid Kishk, Dealing With Lust and Greed, Daral Taqwa, Ltd.

Selasa, 15 Juni 2021

Itu Cuma Gaokan Gagak!

Saatnya istirahat. Ada bincang-kecil di antara para-unggas. Mereka paham bahwa, selama ini, Kakatua dan Gagak, teramat iri pada Raven, paksi besar nan hebat, kesukaan para-unggas, Amir Pelabuhan Kalapa, ibukota Kampung Bayan. Khabarnya, kebencian tersebut, diamini oleh Nuri, sebab ia keki terhadap Raven, yang mengalahkan koleganya, Kecoa, si jungur basin, yang sekarang bersembunyi, di sebuah ladang pertambangan, entah dimana. Lantaran itulah, Nuri berencana memindahkan ibukota, ke Bona Fortuna.

Seekor unggas bertanya kepada yang lain, "Adakah perbedaan antara para-Raven dan para-gagak?" Unggas lain menjawab, "Tahukah engkau bahwa Raven lebih gede, seukuran Elang Ekor-Merah. Para Raven, sering bepergian berpasangan, sementara gagak, terlihat bergerombol. Bulu ekor gagak, pada dasarnya, punya panjang yang sama, jadi ketika sang-unggas merentangkan ekornya, ia membukanya seperti kipas. Namun, Raven berbulu-tengah yang lebih panjang di ekornya, sehingga ekornya tampak berbentuk baji-tajam saat terbuka." Unggas lain menambahkan, "Sementara gagak bergaok dan mendengkur, Raven berkokok dan berteriak sangat keras." Yang lain berkomentar, "Raven berparuh lebih besar dan lebih melengkung dibanding gagak. Meski kedua spesies berbulu di pangkal paruh, Raven terlihat lebih panjang. Bulu tenggorokannya, juga cukup kesat."

"Tapi mengapa Gagak sangat iri pada Raven?" Yang lain menginformasikan, "Raven itu, cerdik dan cerdas. Raven dapat berbicara dan bernyanyi. Ia berkemampuan luas, 100 vokalisasi atau bisa lebih. Dengan bunyinya yang dalam, Raven dapat meniru ucapan dan nyanyian manusia, dan juga bisa meniru suara unggas lain." Yang lain berkomentar, "Raven itu, makhluk yang menyenangkan. Raven mampu berakrobat di angkasa. Ia bersalto ke atas, terbang terbalik dan bahkan berjungkir-balik, lantaran memang, ia sanggup melakukannya." Seekor unggas menyampaikan, "Raven banyak dikisahkan secara simbolis dalam literatur dan legenda, sepanjang sejarah dalam budaya di seluruh muka-bumi. Raven telah lama digunakan dalam simbolisme dan punya banyak makna spiritual. Tradisi penduduk asli Amerika, menggambarkan Raven sebagai makhluk metamorfosis, serta melambangkan perubahan dan alih-bentuk."
Yang lain berkata, "Hal yang paling tak disukai Gagak tentang Raven, karena Raven dipandang sebagai paksi pertanda-bagus, dan selalu menarik perhatian manusia, yang memperhatikan arah terbangnya, sebagai gelagat buruk, atau baik."

Yang lain menyampaikan, "Bila iri dan dengki merebak di suatu kaum, pada akhirnya, dapat menyebabkan kehancurannya, sebab akan mengairi dan memupuk rasa-sakit-hati." Yang lain menyarankan, "Hindari rasa-iri, dan, Insya Allah, engkau kan lebih baik, karena begitu iri-hati menjadi bagian dari sifat seseorang, ia tidak bertindak sendiri. Ia bertindak sesuka-hati dan berperilaku-buruk, semisal kesombongan, keangkuhan dan kecongkakan, keki dan dengki, memfitnah dan beberapa kejahatan lain; mungkin tak terhitung jumlahnya. Betapa buruknya sikap seperti ini, dan semoga Allah menyelamatkan kita dari orang-orang yang menyia-nyiakan perbuatan baik. Masing-masing dari dosa-dosa ini, cukup membuat seseorang dimurkai Allah, belum lagi saat seluruhnya diperhitungkan!"

Yang lain menegaskan, "Di surga, dosa pertama yang dilakukan, akibat penyakit dahsyat ini, iri-hati; rasa-iri setan terhadap Bapak manusia, Nabi Adam, alaihissalam. Hal ini kemudian akan membawanya menambah kesombongan dan keangkuhan kejahatannya.
Setan iri kepada Nabi Adam, karena nikmat yang Allah berikan kepadanya. Pertama, dari berkah tersebut, menjadikan Nabi Adam dan keturunannya, penerus di muka bumi. Nikmat kedua yang membuat iri setan terhadap Nabi Adam, karunia ilmu yang tak diketahui oleh setan dan para malaikat sebelumnya. Nikmat ketiga, kemuliaan dari-Nya bagi Nabi Adam, dengan perintah sujud oleh para malaikat dan semua yang bersama mereka pada waktu itu.
Atas segala kehormatan dan berkah yang diberikan kepada Nabi Adam, kemarahan dan kecemburuan setan yang telah lama ia sembunyikan, terungkap. Maka, saat ditanya, mengapa ia menolak bersujud, jawabannya dipenuhi dengan dendam, iri-hati, kebencian, kesombongan, dan keangkuhan. Maka, setan bertindak atas rasa-irinya, ia tersesat dan keluar dari rahmat dan ampunan Allah. Dan kita berlindung kepada Allah, dari mengambil sifat-sifat yang disamakan dengan makhluk yang terkutuk dan yang terbuang tersebut.”

Yang lain menyatakan, "Iri-hati selalu disertai dengan kebencian. Jadi, seseorang mulai dengan rasa iri pada orang atau pihak lain, dan secara bertahap, berubah menjadi kebencian, terutama ketika nikmatnya, berlimpah dan meningkat."

Yang lain menyebutkan, "Kejahatan iri-hati juga dapat meletus dalam ikatan-darah, yang dianggap sebagai salah satu ikatan terkuat di antara umat manusia. Ketika ini terjadi, tingkat kecemburuan dan kebencian, akan muncuat di antara mereka, dan keinginan membunuh orang yang di dengki, sangat mungkin terjadi."

Yang lain menunjukkan, "Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
'Tiadalah Hasad melainkan diantara dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta dan kekuasaan, lalu ia infakkan pada jalan kebaikan; dan orang yang Allah beri karunia ilmu, ia menunaikan dan mengajarkannya.'" [Sahih Muslim]
Yang lain memperhatikan, "Bila engkau tak puas dengan nikmat yang telah Allah berikan kepadamu, dan selalu mengintip dan menajamkan tenggorokan dan matamu, ke dalam nikmat duniawi yang dianugerahkan kepada orang lain, ada kecenderungan besar bagimu, iri dan lupa, bahwa Rabb-mu, memberikan kepada siapa pun yang Dia kehendaki di antara makhluk-Nya. Karenanya, engkau kan lupa bahwa semua kilauan itu, Fitnahkesengsaraan dan cobaan bagi mereka yang mengidapnyadan bahwa, rezeki yang terbaik dan paling abadi, ada di sisi Allah."

Seekor unggas beriktirad, "Dan inilah kisah pamungkasnya. Sang-gagak sangat ingin mendapatkan pamor yang sama; dan, suatu hari, ia melihat para-pengelana mendekat, ia terbang ke dahan-pohon di pinggir jalan, dan menggaok sekeras-kerasnya. Para pengelana merasa cemas mendengar suara itu, karena mereka takut akan pertanda buruk; hingga salah seorang dari mereka, yang telah mengintai sang-gagak, berkata kepada para sahabatnya, “Tiada mengapa kawan, yuk kita lanjutkan perjalanan tanpa rasa-takut, karena itu cuma gaokan gagak, yang tak bermakna apa-apa!”
Seluruh unggas yang hadir, terkekeh! Satu dari mereka berkata, "Mereka yang menyaru kepribadian yang bukan miliknya, hanya membuat dirinya, edan."

Mendadak, Murai datang dan menegur, "Hei kalian! Jangan berghibah!" Satu dari mereka menutup dengan, "Yow! Dengarkan! Ketimbang berghibah, mending bernyanyi!" Dan mereka pun mendendangkan sebuah tembang,
Oh jealousy, you tripped me up
Jealousy, you brought me down
You bring me sorrow, you cause me pain
Jealousy, when will you let go?
Gotta hold of my possessive mind
Turned me into a jealous guy

How! How! How all my jealousy
I wasn't man enough, to let you hurt my pride
Now I'm only left with my own jealousy
But now it matters not
If I should live or die
'Cause I'm only left with my own jealousy *)

Para unggas, sungguh badung! Wallahu a'lam.

Kutipan and Rujukan :
- Golden Advise Series, Do Not Be Enviuos!, Darussalam
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Jealousy" karya Freddie Mercury

Jumat, 11 Juni 2021

Kepalangnya Netralitas

Goldfinch melangkah maju, beserta goyangan-itik dan kicau yang mengesankan, ia bersenandung,
 
Pandanglah paras ini, kukenali menampak bayanya
Pandanglah hayat ini, kutak celik kemana haluannya
Kutak sungguh tahu, namun kutahu engkaulah yang kucintai
Barangkali, cuma itu yang perlu kupahami

Pandanglah kedua-mata ini, seolah tak pernah peduli
Pandanglah khayal ini, sungguh kacau dan curai
Kutak sungguh tahu, namun kutahu engkaulah yang kucintai
Barangkali, cuma itu yang perlu kupahami
Kemudian, Profesor Nightingale berbicara, "Duhai saudara-saudariku! Berekspresi itu, nikmat dari Allah. Berekspresi berarti suatu tindakan, proses, atau sarana, mengungkapkan sesuatu ke dalam kata-kata, atau raut-wajah, yang dianggap sebagai gelagat suasana-hati atau perasaan. Bisa juga, serangkaian huruf yang dapat dilafalkan, yang bermakna tertentu, terutama dalam bidang tertentu, atau rangkaian kata, yang memiliki arti tertentu. Ekspresi diungkapkan dengan artikulasi, rumusan, frasa, pernyataan, ujaran, verbalisme, suara, susunan-kata, dan masih banyak lagi.
Kemampuan mengekspresikan-diri sepenuhnya, meningkatkan kesejahteraan mental dan membantu kita, terhubung dengan kesejatian-diri kita, serta menjadikannya lebih seimbang, dan bahagia dalam bathin. Saat kita sungguh mengekspresikan diri, kita dapat menjelajahi perasaan dan emosi, apa yang ada di dalam bathin, dibanding lahiriah kita, yang kita tampakkan pada dunia. Mengekspresikan-diri, dapat bermakna mengekspresikan identitas, menjadikan diri diperhatikan, ketegasan, kreativitas, atau bahkan, individualisme.

Allah mendorong manusia, agar bersuara bagi dirinya sendiri, dan berekspresi. Berbagi dan menunjukkan perasaaan, sungguh merupakan anugerah, namun Allah memerintahkan manusia, agar bersuara atau membela-diri. Allah berfirman,
اَلرَّحۡمٰنُۙ عَلَّمَ الۡقُرۡاٰنَؕ خَلَقَ الۡاِنۡسَانَۙ عَلَّمَهُ الۡبَيَانَ
"Ar-Rahman, Yang telah mengajarkan Al-Qur'an, mencipta insan, mengajarinya Al-Bayaan." [QS. Ar-Rahman (55):1-4]
Jika engkau mendasarkan berekspresi itu, pada sudut pandang manusia, maka pentingnya ekspresi-diri, akan bervariasi, tergantung pada daerahmu, dan budaya tempatmu menetap. Lantaran itulah, sebagai Muslim, sebelum mengekspresikan diri, ilmu tentang apa dan bagaimana berekspresi, didasarkan pada perintah Allah, serta teladan dan sikap Rasul-Nya (ﷺ). Percayalah, tiada manusia, yang dapat menghakimi berekspresi dengan benar, kecuali dengan Hikmah Allah.
Penciptaan manusia itu, anugerah termegah Allah, dan dalam tatanan alamiah segala sesuatu, ia yang pertama dan terutama, sedemikian rupa, sehingga bahkan memberikan ilmu tentang Al-Qur'an, yang disebutkan pertama, hanya dapat terjadi setelah penciptaannya. Namun, karunia ilmu Al-Qur'an disebutkan pertama, dan penciptaan manusia kemudian, karena tujuan mendasar dari penciptaan manusia, memberikan kepadanya ilmu Al-Qur'an, dan baginya, mengikuti petunjuknya. Sesungguhnya, beribadah dan beramal shalih tanpa tuntunan Ilahi, mustahil, karena sumber hidayah Ilahi itu, Al-Qur'an. Jadi ilmu Al-Qur'an disebutkan sebelum penciptaan manusia.
Setelah manusia tercipta, karunia yang tak terhitung jumlahnya, dianugerahkan kepadanya, di antaranya, diletakkan ilmu tentang berekspresi, disebutkan secara khusus, karena karunia yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia, dan keberadaan dan kelangsungan hidupnya, laksana makanan dan airnya, perlindungannya terhadap dingin dan panas, pengaturan tempat tinggalnya dan sebagainya, karunia dimana segala makhluk itu, mitra yang setara. Di antara karunia yang khas bagi manusia, ilmu Al-Qur'an disebutkan pertama, dan diikuti oleh ilmu berekspresi, karena mengambil manfaat dari Al-Qur'an, dan membagikannya kepada orang lain, tergantung pada ilmu tentang berekspresi. Kata "Bayaan"—cara mengekspresikan diri—memahami semua alat komunikasi ciptaan Allah, seperti ucapan, tulisan, dll. Bahasa dan dialek berbagai bangsa di berbagai wilayah di dunia ini, beragam. Semua ini, bagian penyusun dari ilmu linguistik dan segala jenisnya, memungkinkan umat manusia mengetahui bagaimana menyapa orang-lain di antara mereka, yang sebaya dan sederajat. Adapun orang-orang yang beriman dan berilmu, ucapan mereka itu, ilmu mereka tentang cara menyapa Rabb-nya, dan ini berbeda-beda derajatnya. Ada yang berbicara kepada-Nya dengan lidah, ada yang dengan napas, dan beberapa yang berbicara kepada-Nya dengan air-mata, sedang yang lain, menyeru-Nya dengan rintihan dan desahan.

Allah menunjukkan tanda-tanda bagaimana berekspresi. Allah berfirman,
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
"Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya). Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan mizan, agar kamu jangan merusak mizan itu, dan tegakkanlah mizan itu dengan adil, serta janganlah kamu mengurangi mizan itu." [QS. Ar-Rahman (55):5-9]
Dua benda langit, matahari dan bulan, termasuk karunia Allah. Seluruh sistem di dunia ini, bergantung pada pergerakan benda-benda ini dalam orbitnya, dengan urutan yang sempurna, menurut perhitungan yang tepat, yang tak pernah tertunda atau terganggu. Kedua benda ini, yang menjadi sandaran seluruh hidup manusia, berjalan di jalur yang tetap. Mereka tunduk pada aturan tertentu, dan mereka melakukan tugas-tugas mereka secara teratur, tepat waktu dan tak pernah keliru—pergantian siang dan malam, pergantian musim dan penentuan tahun dan bulan.
Semuanya bersujud kepada Allah. Sujud itu, simbol tertinggi kerendahan-hati, penghormatan, penyerahan-diri dan cinta tanpa syarat, serta ketaatan kepada Allah. Segala sesuatu, dari benda angkasa terbesar hingga tumbuhan terkecil, tunduk pada hukum-hukum-Nya, yang terwujud dalam jagat-raya. Sedikit saja gangguan atau penyimpangan dari arah yang telah ditentukan, akan merontokkan seluruh alam-semesta, yang telah diciptakan bagi pelayanan manusia. Oleh sebab itu, takkan mungkinlah, bahwa manusia, yang hanya untuk melayaninya saja, alam semesta yang luas dan rumit ini, diatur dengan sempurna, dicipta tanpa ada tujuan.

Allah juga telah menegakkan langit. Hal ini dapat bermakna yang jelas atau lahiriah, yang mengacu pada ketinggian fisik langit, dan bisa juga, bermakna metaforis, mengacu pada status tinggi langit. Dalam kaitannya dengan bumi, langit menempati posisi yang lebih tinggi. Biasanya, bumi dipahami sebagai kebalikan dari langit. Dari sudut pandang ini, langit dan bumi diperlakukan sebagai kebalikan dan disebutkan di seluruh Al-Qur'an. Setelah menggambarkan ketinggian langit, Al-Qur'an selanjutnya menggambarkan bahwa Allah mengatur keseimbangan, tetapi 'menempatkan skala' berhadapan dengan 'menaikkan langit,' seolah tak membentuk pasangan yang sesuai menurut norma linguistik.
Di antara keduanya, faktor ketiga—yakni menempatkan mizan atau keseimbangan—disisipkan sebagai pertimbangan yang bijak. Kebijaksanaan dalam hal ini, tampak terletak pada kenyataan bahwa ayat-ayat yang mengikutinya, menekankan pada penegakan keadilan dan kejujuran. Pelanggaran-hak dan praktik ketidakadilan, tak diperbolehkan. Ini menyiratkan, bahwa tujuan akhir penciptaan langit dan bumi itu, menegakkan keadilan, perdamaian dan keselarasan. Kedamaian, keselamatan, keamanan, dan kerukunan, tak dapat terwujud di muka bumi ini, tanpa menegakkan keadilan. Tanpa keadilan, kekisruhan, kekacauan, keonaran dan kerusakan, akan berkuasa di seluruh negeri.

Allah juga mencipta mizan di antara manusia, agar mereka dapat saling-berekspresi dengan benar. Maka, bersikaplah sepadan dalam segala urusan, memperhatikan hak-hak manusia dan hak-hak Allah. Hal ini membutuhkan keadilan, dan meninggalkan ketidakadilan dan pelanggaran, dalam segala hal. Dengan perbuatan, ia membutuhkan keikhlasan. Dengan keadaan, ia membutuhkan kebenaran. Dengan kehidupan, ia membutuhkan pengamatan realitas, konsistensi dalam karakter publik dan pribadi seseorang, dan menjauhkan-diri dari sanjungan, pengkhianatan, penipuan, kemusyrikan, kemunafikan dan sikap-ambigu. Timbanglah barang milik orang lain, dengan cara yang engkau ingin mereka timbang untukmu, dalam ukuran penuh tanpa pengurangan.

Perhatikan apolog berikut,
Konon, di sebuah kawasan, ada masyarakat satwa-liar, sebut saja, Negeri Haywanah, ingin dikenal namun tak terkenal, sebagai negeri demokrasi termuda dan terpadat di dunia. Lantaran berjibun dan beragamnya penduduk di negeri tersebut, dapat dimaklumi, pelaksanaan demokrasi, terhambat kemajuannya, sebagai akibat dari berbagai bentuk Malpolitik, antara lain suap, melobi, pemerasan, kronisme, nepotisme, parokialisme, patronase, perdagangan barang ilegal dan pencucian uang-haram, sogok, dan penggelapan. Namun, negeri menghadapi masalah yang lebih rumit, menjaga kepercayaan publik, menjadikannya semakin menakutkan. Sangat jelas, bahwa semuanya bersumber dari dalam, menyebar, meluas dan merajalelanya Korupsi. Setiap warga, telah merasakan pengalaman ini, yang telah bertumbuh-kembang jadi budaya, dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pejabat penegak hukum terendah, hingga hierarki tertinggi dalam sistem pemerintahan.
Uang dan kekuasaan, berbicara dalam budaya yang mengerikan ini—diberi label "Para Bajingan Peradilan," kejahatan yang terorganisir dan menjijikkan—karena suap berjaya, terdakwa dapat menyuap Jaksa agar menolak dakwaan terhadap mereka, atau sebaliknya, mereka yang melaporkan kejahatan, menyogok aparat-hukum, agar mengusutnya lebih intensif, atau merayu hakim atau pejabat-pengadilan, demi memutarbalikkan suatu sengketa tertentu. Bahkan tanpa dorongan uang pun, mereka yang berkuasa, mampu menyetir jaksa, bahkan saksi, bertindak sekehendaknya. Mereka yang tak berpunya, sangat dirugikan, meski persidangan belum dimulai.

Orang yang pernah merusak pamornya dengan ketidakjujuran, di masa-depan, takkan dipercaya lagi, meski kelak, ia hendak berkata jujur. Seyogyanya, manusia menjadikan pernyataan ini, sebagai penghalang kebohongan dan keculasan. Siapapun yang tercium berlaku tidak-jujur, walau dengan alasan tak-sadar atau tergoda, namun diketahui publik, akan selamanya dibenci oleh koleganya, yang jujur ​​dan bijak. Dan walaupun, ia mungkin lolos dari segala jerat-hukum, dari hukum negeri tempatnya tinggal, namun semua yang mengenalnya, akan mengutuknya dalam hati, tanpa memaki atau mencercanya, dan selamanya, menganggapnya sebagai penjahat, dan orang yang patut dikucilkan. Kecurangan dan kelicikan, mungkin terkadang, diteruskan dan dikerahkan dalam bagian terkonyol umat manusia; namun para pembuat makar seperti ini, apapun keuntungannya, yakinlah, akan memperoleh sedikit atau tak ada sama sekali kehormatan oleh apa yang telah mereka lakukan; dan dapat terdeteksi dan terekspos, bahkan oleh para pekerja-alit dimana ia mempraktikkannya.
Orang jujur dan adil, yang berimbang dan lurus dalam urusannya, takkan diabaikan kehebatannya oleh semua orang, dan takkan mau mengubah setiap negosiasi menjadi keuntungan pribadi, di atas kehormatan dan kemuliaannya. Seorang bajingan bisa punya kesempatan, dan mungkin tak hirau, berhasil sekali-dua-kali, dan itulah bagian durjana dari umat manusia; sedang orang yang jujur, yakin akan selalu dipercaya dan dihormati, dan semua itu, oleh orang bijak dan baik.

Tuan Serigala, sang jaksa penuntut umum, atas nama kliennya, menuntut Tuan Rubah, melakukan kejahatan-berat. Namun entah mengapa, tuntutan yang sepatutnya 12 tahun, oleh Tuan Serigala, hanya dituntut setengahnya, 6 tahun. Di pengadilan tingkat pertama, hukuman dijatuhkan, Tuan Rubah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara.
Tuan Rubah memohon perubahan formal atas keputusan resmi tersebut, Pengadilan Banding. Yang mulia, Tuan Kera, ditunjuk sebagai hakim khusus bagi kasus ini. Tuan Rubah memberikan jawabannya atas tuduhan Tuan Serigala, dan menyangkal faktanya. Akhirnya, setelah sidang yang cukup alot di kedua-belah-pihak, Yang mulia, Tuan Kera, memberikan penilaiannya.
Yang mulia Tuan Kera, berkata, "Aku berpendapat bahwa engkau," katanya kepada Tuan Serigala, "Tak pernah kehilangan barang yang engkau tuntut." "Dan untuk engkau," ia berpaling ke Tuan Rubah, "menurut pendapatku," katanya, "Telah mengambil apa yang menjadi bebanmu, setidaknya." Yang mulia, dengan cengkoknya, melanjutkan, "Tapi jangan khawatir, aku tahu apa yang kalian cari, seperti yang disampaikan kepadaku. Maka, keputusanku, Tuan Rubah, tak terbukti bersalah dan dibebaskan dari segala dakwaan." Dan dengan demikian, sidang dibubarkan.
Wow! Sungguh keputusan yang mencengangkan, namun tak berpihak pada rakyat, melainkan pada "Para Bajingan Peradilan." Nah, semoga, seorang Hakim yang jujur dan adil, melihat dengan jelas, orang-orang macam apa, yang telah menyita perhatiannya, dan seyogyanya, menunjukkan rasa-muak yang pantas pada muslihat-jahat dari para penggugat dan tergugat, untuk memutuskan dan menegakkan keadilan terhadap orang-orang yang berseteru, yang bersekongkol melakukan kehinaan dan kejahatan, dan sama-sama khianat, menipu, menyalahgunakan, dan mungkin juga, saksinya punya sifat yang setara dengan mereka."
Sang profesor melukiskan, "Mencintai itu, mengalir. Jatuh-cinta itu, memahami cinta yang mencintaimu. Duhai kebenaran, kami tak mencintaimu, melainkan mencarimu. Duhai kebenaran, mengejarmu, penjelajahan yang menyenangkan. Melacakmu, pecahkan ihwal sebelum ia termakbul. Bahagia itu, jalan-lepas, sanubari kita merindunya. Akan tetapi, oleh keegoisan segelintir manusia, tak ingin yang lain, ceria. Ihtimal mengubah kita. Dengan segala taazur ini, lalu kita mengalami, kepalangnya netralitas. Wallahu a'lam."
Dan lantunan Goldfinch pun, mengalun,
Berlimpah tanya, berdiam tak terbalas
Berjebah, tak pernah mampu kuterabas
Saat kuterasa engkau dekatku, terkadang, kuterawang nyata
Semengga hakikat yang kumafhum, engkau dan aku jua

Pandanglah lelaki ini, sungguh terahmati oleh gerak-hati
Pandanglah bathin ini, bersisa merayau damai
Kutak sungguh tahu, namun kutahu engkaulah yang kucintai
Barangkali, cuma itu yang perlu kupahami
Bisa jadi, itu jualah yang usah kuketahui
Kutipan & Rujukan :
- Maulana Mufti Muhammad Shafi', Ma'ariful-Qur'an, Volume 8, Darul Uloom
- De J. La Fountaine, Fables, A Paris
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco

Selasa, 08 Juni 2021

Aku Tak Betah!

Dan kali ini, Profesor Nightingale, beraksi bagai seorang aktor, bermonolog, "Duhai saudara-saudariku! Didalam sebuah mural—paling tidak—terdapat sebuah puisi. Puisi itu, berbagai sastra yang bahasanya terikat oleh ritme, matra, rima dan susunan larik dan bait. Atau lebih mudahnya, puisi itu, ragam karya sastra yang dalam bahasanya, disusun dengan cermat. Sajak, puisi bebas, yang tak terikat rima dan matra, serta tak terikat sejumlah larik dan bait. Syair, merupakan puisi lama, yang setiap baitnya, terdiri dari empat baris, diakhiri dengan bunyi yang sama.
Bagi sebagian orang, puisi itu, sebuah ungkapan keterbebasan dan keterlepasan. Ia, salah satu dari banyak tataan artistik, guna melepaskan amarah atau suka-cita, dari pikiran manusia. Ketajaman setiap ritme, kata, dan gaya setiap puisi, memungkinkan pembaca mengungkap makna yang lebih dalam, pada kerangkanya.

Dengarkan puisi sederhana Kodok-haiku dari Matsuo Basho ini,
古 池 や 蛙 飛 こ む 水 の お と
[Furuike ya kawazu tobikomu mizu no oto]
Dan terjemahan Allen Ginsberg menjadi,
The old pond—a frog jumped in—Kerplunk!
[Perigi-tua—seekor katak mencemplung—Plung!]
Aku tak berencana membicarakan lebih jauh tentang puisi, melainkan aku hendak menyampaikan apolog, perihal kodok. Tak tahu beda antara katak dan kodok? Engkau tak sendiri. Kendati katak dan kodok sama-sama amfibi, mereka itu, keluarga satwa yang terpisah. Dan meski mereka serupa dalam banyak hal, keduanya ada perbedaan, walau tak selalu jelas.
Semua kodok itu, katak, namun tak semua katak itu, kodok. Pada dasarnya, kodok itu, klasifikasi katak. Dan inilah fakta menyenangkan lainnya: Tiada perbedaan ilmiah antara kodok dan katak. Bingung? Tak boleh ada yang menyalahkanmu! Dari segi klasifikasi ilmiah, baik katak maupun kodok, termasuk dalam ordo Anura, yang berarti "togel." Dalam ordo Anura, terdapat beberapa famili satwa, termasuk Ranidae, yang disebut sebagai katak sejati, dan Bufonidae, yang disebut sebagai kodok sejati. Ada keluarga katak dan kodok lainnya — misalnya, katak pohon, keluarga katak yang berbeda dari katak sejati—akan tetapi, yang ini, kelompok spesies yang lebih kecil, dan spesifik dalam wilayah tertentu di dunia.
Kendati banyak katak dan kodok terlihat serupa, ada beberapa perbedaan. Misalnya, katak, umumnya, punya kaki-belakang yang panjang dan kuat, yang membantunya melompat, sedangkan kodok, kaki-belakangnya lebih pendek, lebih pantas berjalan, dibanding melompat. Perbedaan kaki mereka, juga menyebabkan perbedaan perilaku, saat didekati manusia. Katak, biasanya, akan menggunakan kakinya yang panjang dan kuat, melompat ke dalam air saat didekati, sementara kodok, cenderung duduk diam dan menunggu. Jika kodok benar-benar melompat, lompatannya lebih ringkas dibanding katak.
Katak, lazimnya punya mata yang besar dan menonjol, sedangkan mata kodok, lebih lembut, jika diperhatikan. Katak berkulit halus atau lembab berlendir, kodok berkulit lebih tebal, bergelombang, kebanyakan kering. Perbedaan kulit mereka, lantaran lingkungan khas mereka. Katak menghabiskan lebih banyak waktu di dalam air atau biasanya sangat dekat dengan air, bila berada di darat, sehingga kulitnya tetap lembab. Kodok, sebaliknya, menghabiskan lebih banyak waktu di darat dan berjalan lebih jauh dari air. Kecuali jika engkau tinggal sangat dekat dengan air, kemungkinan besar, engkau akan bertemu kodok di halaman rumahmu, karena mereka bergerak menjauh dari air.
Semua kodok beracun, sedang katak, tidak. Kodok punya kelenjar parotoid di belakang matanya, yang mengeluarkan racun. Racun ini, menembus kulitnya, sehingga dapat tersentuh olehmu, bila membekuk kodok. Sebagian besar racun tersebut, tak berbahaya bagi manusia, namun hendaknya, engkau mencuci tangan dengan sabun, setelah memegang kodok.
Baik katak maupun kodok, bertelur di dalam air, namun engkau dapat membedakannya, dari susunan telurnya. Telur katak biasanya bergugus atau berkelompok, sedangkan telur kodok, biasanya tersusun berantai. Dan baik katak maupun kodok, indikator ekosistem yang sehat. Mereka tak dapat hidup di habitat yang tercemar dan sensitif terhadap perubahan di lingkungannya, sehingga keberadaan katak atau kodok, merupakan tanda bahwa habitat tersebut sehat, sedangkan perubahan kehadiran mereka secara mendadak, dapat menunjukkan bahwa kawasan tersebut, telah tercemar, atau sebaliknya, tidak seimbang. Lalu, bagaimana jika, ada kejadian, seekor biawak memangsa para-kodok?

Sebelum kita menyelam ke dalam apolognya, seperti biasa, kuingin memberikan nasihat kepada ego-ku, bahwa nasihat yang baik, seyogyanya, selalu diiringi dengan tanpa purbasangka kita, pada orang yang memberinya, akan tetapi jarang sekali manusia, akan diperhatikan, bila meresepkan obat bagi sebuah penyakit, yang ia sendiri terinfeksi olehnya. Betapa terkejutnya kalangan, mendengar seorang yang sangat bersemangat mengecam kejahatan, yang tiada lain, yang pantas dicurigai, selain dirinya sendiri.
Amal-shalih itu, konsisten, walau sekecil apapun. Sang-kekasih (ﷺ) bersabda,
اكْلَفُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ خَيْرَ الْعَمَلِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Ambillah amal baik semampumu, karena sebaik-baik amalan itu, yang ditunaikan secara teratur, walau sedikit.” [Sahih Muslim]
Dari hadis ini, kita dapat belajar, bahwa membangun konsistensi itu, sangat penting.

Mari kita mencebur langsung ke dalam apolognya,
Disebutkan, di sebuah benua, ada tiga suku, bertetangga, Komunitas Kodok, Persemakmuran Semut, dan Kerajaan Ketungging. Namun, mengapa para-kodok disitir hanya sebagai komunitas? Di zaman kuno, para-kodok, menjalani kehidupan bebas nan tenang di danau dan rawa-rawa; namun lama kelamaan, merasa tak puas dengan ketenangan yang tak ada tantangannya.
Para-kodok, sangat bangga dengan kebangsaan mereka, meninggikannya di atas agama, etika dan moral. Seekor diantara mereka menyatakan, "Agama hanyalah sarana atau kendaraan." Bahkan, ketua Badan Ideologi Komunitas Kodok, yang pernah membolehkan perzinahan di antara para-kodok remaja, pernah mengumumkan, "Agama itu, penghalang ideologi!"

Faktanya, mereka lebih cenderung percaya pada mitos dibanding kenyataan. Ada mitos yang berkembang, "Dahulu kala, ketika Matahari mengumumkan niatnya mempersunting Venus, sebagai istrinya, para-kodok mengangkat suara ke langit. Ishtar, dewi perang dan cinta-syahwat, mitra Barat Dewi Semit, Astarte, terganggu oleh suara ngorek mereka, menanyakan penyebab mengapa mereka mengeluh. Salah seekor berkata, “Matahari, saat ia masih lajang pun, mengeringkan rawa-rawa, dan memaksa kami, mati dengan menyedihkan di rumah yang gersang. Bagaimana jadinya masa-depan kami, jika ia punya anak, yang juga matahari?"
Mereka lebih mengimani Ishtar, daripada Allah Subhananu wa Ta'ala. Maka, mereka mengajukan tuntutan kepada Ishtar agar memperoleh seorang raja. Sesosok dedemit, yang berganti-wujud sebagai Ishtar, tersenyum pada kebodohan mereka, dan melemparkan sepokok-kayu, dan dengan suara menggelegar berseru, "Ini raja untukmu." Percikan air akibat hempasan pokok-kayu, yang tiba-tiba, awalnya, menjadikan para kodok merasa panik, dan beberapa saat tak berani mengangkat kepala; namun perlahan-lahan, mereka memberanikan diri, mengintip, dan bahkan melompat ke atas pokok-kayu tersebut. Karena tak puas dengan raja yang lemah dan menjemukan, mereka kembali mengajukan petisi kepada Ishtar, agar diberi yang lain, yang dapat memperluas kekuasaan mereka. Ishtar, yang merasa muak dengan kebodohan mereka, mengirimkan seekor Bangau sebagai raja mereka, yang, tanpa upacara-pelantikan, memakannya satu demi satu, setiap kali ia merasa lapar.
Sejak saat itu, mereka tak pernah mendapatkan raja dan kerajaan. Raja-kodok yang sekarang, raja yang suka-suka mereka pilih, sebagai simbol. Dua kodok bertetangga. Seekor mendiami kolam yang dalam, jauh dari pandangan publik; yang seekor lagi, menetap di genangan yang berisi sedikit air, dan dilalui oleh jalan pedesaan. Kodok yang tinggal di kolam, memperingatkan kawannya agar berpindah tempat-tinggal, memintanya menetap bersamanya, mengatakan bahwa ia akan lebih aman dari bahaya, dan mendapat makanan yang lebih berlimpah. Kodok yang satunya, menolak, beralasan bahwa ia merasa sangat sulit meninggalkan tempat yang telah menjadi kerutinannya. Beberapa hari kemudian, sebuah gerobak yang berat melewati genangan, dan menggilasnya sampai mati. Seekor ketungging, menyaksikan dan mengingat sang-kodok penyintas. Yang disebut pertama menjadi Raja-ketungging, dan yang terakhir, diangkat sebagai Raja-kodok.
Kemudian, Persemakmuran Semut, ditakdirkan, diperintah oleh Komunitas Kodok. Namun, para-kodok tak mampu menaklukkan Kerajaan Ketungging, melainkan mereka hanya bisa mengajak saling-kerjasama.
Mengapa ini bisa terjadi? Raja-kodok, melompat keluar dari danau, dan tegak diatas seonggok tanah, mengumumkan kepada seluruh satwa-hutan, bahwa ia, seorang tabib-hebat, dan sanggup menyembuhkan segala penyakit. Pidato ini, dengan sedikit plintiran kata-kata dari para-kodok, yang tak dipahami siapapun, membuat para-satwa terkagum-kagum, dan menyanjung apapun yang diucapkan. Akhirnya, Raja-ketungging, yang pernah mengenal Raja-kodok, saat itu hadir, dengan dongkol mengutarakan, bahwa betapa songongnya sang-kodok, dengan rahang lampu-teplok yang tipis, tubuh pucat dan bangsai, serta kulit berbintil-bintil, kini menyaru mampu menyembuhkan penyakit satwa lain?
Seketika, seluruh satwa yang hadir, bubar. Namun sayang, utusan semut datang terlambat. Para-ulama berkata, "Jangan pernah telat. Tepatilah waktu!" Para-semut bertanya apa yang terjadi, dan para-kodok menyampaikan, bahwa Raja-kodok baru saja menerima pengakuan dari para-satwa. Para-semut, diminta menunaikannya, dan mereka melakukannya. Para-semut, telah kasip, bahwa semuanya, sekadar angan-angan para-kodok.
Dan pada suatu waktu, saat dunia ditetapkan terlanda wabah, Raja-kodok membuat aturan, tak boleh ada kerumunan. Setiap satwa, harus menjaga jarak, setidaknya 1,5 meter dari yang lain. Aturan berlaku bagi semuanya, termasuk para-semut. Namun, aturannya, bagai semata goresan-pena diatas plano, lantaran dapat diterjemahkan sebagai, "suka atau tidak-suka." Orang yang konsisten, berperilaku dengan cara yang sepadan, bersikap layak terhadap orang atau benda, atau mencapai tingkat keberhasilan, yang sebanding dalam sesuatu.
Konsistensi, biasanya menyiratkan rasa-ketergantungan yang positif. Jika engkau menunjukkan konsistensi di tempat kerja, bossmu, dapat mengandalkanmu. Definisi konsistensi itu, keseragaman yang harmonis atau kesepakatan di antara berbagai-hal atau setiap bagian. Namun, bagaimanapun juga, Konsistensi bukanlah keterampilan atau bakat, engkau punya kendali langsung terhadapnya.

Kenyataannya, panggangan semakin dijauhkan dari pemanggangnya. Suatu kali, seekor kodok mengadakan pesta yang megah, mengundang kerumunan kodok, tapi tiada sanksi baginya. Berbagai alasan konyol mencuat dari para-kodok. Sebaliknya, saat ada beberapa semut, yang berkerumun, mereka langsung digelandang dan dikerangkeng. Mereka berusaha memohon penjelasan, water-canon—bukan gas air-mata, sebab tak mempan terhadap para-semut—sebagai jawabannya. Raja-ketungging menyoal kepada Raja-kodok, "Mengapa engkau melakukannya? Tak tanggapkah engkau, sifat para-semut, suka berkerumun?" Raja-kodok menjawab, "Aku tak betah! Itu sifatku!"
Suatu hari, ketika Raja-kodok sedang membagikan bahan-makanan dan baju-kaos—dan aku tak dapat membayangkan, seperti apa, jika para-kodok mengenakan baju-kaos—mengundang kelimunan. Raja-ketungging yang lewat, menegurnya, "Mengapa engkau melakukannya, tak ingatkah engkau, aturan yang engkau buat sendiri?" Raja-kodok menukas, "Aku tak betah! Itu sifatku!"
Pada akhirnya, suatu hari, Raja-ketungging dan Raja-kodok, bertemu di tepi sungai yang bergemuruh. Terlalu berbahaya diseberangi, maka sang-ketungging dengan baik-baik meminta sang-kodok membawanya menyeberang di atas punggungnya. Ini membuat sang-kodok, agak curiga. Ia bertanya, "Bisakah aku mempercayaimu, engkau takkan menyengatku?" Sang-ketungging meyakinkan, "Bila kulakukan, aku jua yang kan mati." Alasan  masuk-akal, mengendurkan saraf sang-kodok. Maka, ia membolehkan sang-ketungging naik ke atas punggungnya, dan mereka menyeberangi aliran sungai. Tepat sampai di seperdua sungai, sang-ketungging menyengat sang-kodok, persis di bagian-tengah punggungnya. Sang-kodok merasakan racun-ketungging mulai menjalar, dan mulailah mereka terbenam. Saat melepas nafas terakhirnya, ia insaf, "Mengapa?!" Dan sang-ketungging menjawab, "Aku tak betah! Itu sifatku!" Dan nasib merekapun, laksana Firaun dan pasukannya, terpendam di Laut Merah.

Mengiringi karamnya ketungging dan kodok, para anak-manusia, berdendang,
Kodok ngorek, kodok ngorek
ngorek pinggir kali
teot-teblung, teot-teblung
teot teot teblung
Sang profesor menyimpulkan dengan sebuah ajuan, "Ada banyak rujukan tentang ketungging dan kodok dalam budaya-pop, ia menyelinap ke banyak film dan acara TV. Cobalah mencari-tahu, di sekelilingmu, siapakah sebenarnya, para-ketungging, dan siapakah sebenarnya, para-kodok! Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons