Selasa, 20 Juli 2021

Semacam Upik-Abu?

Sesi dimulai. Setelah mengucapkan salam dan menyampaikan kalimat pembuka, Dr Swan mengungkapkan, "Duhai saudara-saudariku! Titik awal menuju penataan dalam membangun keluarga yang shalih, yang akan berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat ideal, ialah tanggung jawab pihak pendidik, terhadap mereka yang menjadi tanggung jawabnya dalam hal pengasuhan, pengajaran dan pengkajian. Hal ini, tentu merupakan tanggungjawab yang berat dan krusial, dan bila seorang pendidik menyelesaikan tugasnya secara total, tak pelak lagi, akan tumbuhlah para orang shalih. Allah berfirman,
فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
"Maka demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu." [QS. Al-Hijr (15):92-93]
Malik bin Huwairits, radhiyallahu 'ahnu, meriwayatkan, "Kami menemui Rasulullah (ﷺ) dan kami semua, masih belia, dan menginap selama dua puluh malam. Rasulullah (ﷺ) itu, sosok yang welas-asih. Beliau (ﷺ) bersabda,
لَوْ رَجَعْتُمْ إِلَى بِلاَدِكُمْ فَعَلَّمْتُمُوهُمْ، مُرُوهُمْ فَلْيُصَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا، وَصَلاَةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
'Kalaulah nanti kalian kembali ke negeri kalian, sampaikanlah ajaran agama kepada keluargamu, dan ajarilah mereka, dengan sempurna menunaikan shalat ini di waktu ini, serta shalat itu di waktu itu, apabila telah datang waktu shalat, maka hendaklah, salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan yang paling tua menjadi imam kalian.' [Sahih al-Bukhari]
Para pendidik, terutama orang tua, yang peduli pendidikan, mendidik dan membimbing anak-anaknya, berpedoman pada tuntunan dan petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ada beberapa tanggung jawab pada pihak pendidik.

Pertama, tanggungjawab Pendidikan Iman. Yang dimaksud dengan pendidikan iman disini, menghubungkan anak, sejak ia mulai mengetahui prinsip-prinsip iman, dan mengajarinya rukun Islam, dan dasar-dasar syari'at. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip iman, keyakinan kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para nabi dan rasul-Nya, Hari Akhir dan takdir Ilahi. Rukun Islam yang dimaksud, bersaksi tentang Keesaan Allah tanpa menyekutukan-Nya, dan bahwa Muhammad (ﷺ) itu, Nabi dan Rasul-Nya, puasa, zakat, dan berhaji bagi siapa saja yang mampu. Dan dengan landasan syari'at, yang dimaksud, segala yang berhubungan dengan Islam, seperti akidah, ibadah, adab dan hukum.
Jadi, sang-pendidik hendaknya menanamkan konsep-konsep Keimanan dan ajaran Islam yang dianjurkan dengan menanamkan prinsip-prinsip jiwa anak, dan Rasulullah (ﷺ) merekomendasikan menanamkan prinsip-prinsip iman dan rukun Islam ke dalam pikiran anak di masa-masa awal hidupnya.

Kedua, tanggungjawab Pendidikan Etika, seperangkat prinsip-prinsip etika dan nilai-nilai moral yang sepatutnya ditanamkan pada anak, agar menjadi tatakrama atau adabnya sejak usia-dini, sampai ia mampu secara hukum, mencapai kedewasaan sepenuhnya. Terbukti bahwa, prinsip-prinsip etika dan nilai-nilai moral, produk dari keyakinan yang mendalam dan pendidikan agama yang benar.
Jadi, jelas bahwa, ketika anak dibesarkan, dari masa mudanya, dengan bertakwa kepada Allah, ia akan mengembangkan kemampuan bawaan, menerima dan mengejar standar dan nilai moral, serta akhlak al-karim. Demikian pula, jika anak dibesarkan dalam suasana yang asing dengan ajaran Islam, abai dari pengenalan ajaran Islam, maka anak seperti itu, rentan terhadap kerusakan dan kemaksiatan, atau bahkan bisa silap dan sesat. Oleh karenanya, tak mengherankan jika, Syariat Islam memberikan prioritas istimewa pada pendidikan akhlak anak.

Ketiga, tanggungjawab Pendidikan Jasmani, yaitu tanggung jawab para orangtua dan pendidik, membesarkan anak menjadi segar dan bugar.

Empat, tanggungjawab Pendidikan Intelektual. Maknanya, pembinaan mental kaum muda, menurut konsep-konsep Islam, bersama-sama dengan unsur-unsur ilmu pengetahuan modern. Di sini, pendidik bertanggung jawab atas pendidikan, pencerahan intelektual, dan kesehatan mental.

Lima, tanggungjawab Pendidikan Psikologis, bermakna, melatih anak sejak dini, agar berani, jujur, mau dan mampu berbuat baik kepada orang lain, disiplin-diri saat marah, serta bermoral yang benar.
Tujuan pendidikan ini, hendaknya menjaga kepribadian anak, tetap stabil dan seimbang. Merupakan tugas sang-pendidik, melatih anak guna menghindari segala faktor yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabatnya, atau membahayakan kepribadian manusiawinya, dengan cara yang dapat membawanya pada pesimisme dan kebencian. Di antara faktor-faktor terpenting yang hendaknya, diusahakan oleh para pendidik, membebaskan anak-anak dan murid-murid mereka, dari fenomena-fenomena seperti ini: perasaan-segan, takut, rendah-diri, iri-hati, dan marah.

Enam, tanggungjawab Pendidikan Sosial. Konsep pendidikan sosial bermakna, menumbuhkan anak dalam akhlak sosial yang benar dan prinsip-prinsip psikologis yang mulia berdasarkan Islam. Jadi, seorang anak akan memperoleh keturunan yang baik, sopan-santun, dan perilaku yang baik. Tak ada keraguan bahwa, pendidikan sosial itu, tanggung jawab yang paling penting dalam membesarkan anak-anak.

Tujuh, tanggungjawab Pendidikan Seksual. Makna pendidikan seks itu, mendidik seorang anak, mencerahkannya, dan terbuka kepadanya, sejak ia baligh, sehingga kelak bila ia dewasa, yang bertanggungjawab dan memahami kehidupan, ia akan mengetahui, apa yang halal dan apa yang haram. dan takkan terdorong oleh syahwat atau terjerat dalam kebejatan. Pendidikan seksual terdiri dari tahapan sebagai berikut;
  • Antara usia 7 dan 10 tahun: usia pengenalan: seorang anak diajarkan tatakrama memasuki dan memandang dunia kaum-wanita,
  • Antara usia 10 dan 14 tahun: usia remaja: seorang anak selayaknya dijauhkan dari segala bentuk gairah-syahwat.
  • Antara usia 14 dan 16 tahun: usia pubertas; seorang anak diajarkan tatakrama berjimak jika ia telah siap menikah.
  • Pasca-pubertas disebut juga usia muda; ia sepantasnya dituntun agar tetap menjaga kesuciannya, apabila belum menikah.
Kurasa, dakwah untuk materi ini, kita cukupkan dulu. Mari mendekat pada sebuah apolog, yang disajikan untuk semua, baik bagi sesama spesies maupun antar spesies, tanpa memandang suku, ras atau agama.
Ngomong-ngomong, sebagaimana yang engkau sekalian tahu, sebuah apolog itu, cerita moral pendek, yang bertujuan menyampaikan kepada pembaca atau pendengar, nasehat tentang sesuatu. Terkadang, engkau akan menemukan pelbagai jenis satwa—seperti dalam "Animal Farm" karya George Orwell—atau benda-mati, yang bercakap-cakap, dalam sebuah apolog.
Sebuah apolog, tak sama dengan fabel atau dongeng, dalam hal, selalu ada penilaian-moral yang disajikan dalam apolog, yang tak perlu ada pada dongeng. Apolog umumnya, dramatis, dan telah didefinisikan sebagai "a satire in action." Tak sebagaimana dongeng, apolog lebih menitik-beratkan sisi-moral, ketimbang detail-naratif.
Apolog, sangat berbeda dengan parabel, analogi atau perumpamaan, dalam beberapa pemahaman. Sebuah Parabel, merupakan kisah-cerdik, yang dimaksudkan memperbaiki tata-krama, namun dapat juga benar dalam artian bahwa "ketika peristiwa nyata semacam ini terjadi di antara manusia, inilah maknanya, dan beginilah selayaknya kita memikirkannya," sedangkan sebuah Apolog, dengan pengenalan flora dan fauna, yang meminjamkan ide, bahasa, dan emosi, hanya berisi kebenaran metaforis, "ketika situasi semacam ini ada, di belahan dunia manapun, inilah kebenaran yang menarik dibaliknya."
Parabel selalu blak-blakan dan tanpa kehalusan atau ketajaman-berpikir, dan tak memerlukan penafsiran; sedang Apolog, pada dasarnya, memerlukan, setidaknya, tingkat daya-renung dan akal-budi, guna mencapai wawasan-berpikir, dan dalam pengertian ini, menuntut lebih banyak dari pendengar atau pembacanya, dibanding Parabel. 
Asal usul apologue, teramat lawas, dan berasal dari Timur Tengah dan sekitarnya—Persia, Asia Kecil, Mesir, dll.—yang merupakan tanah-air Klasik segala sesuatu yang bergala dengan alegori, metafora, dan imajinasi. Panjang-pendek, bukanlah hal yang esensial dalam definisi sebuah Apolog, perkataan La Fontaine, seringkali, ringkas banget.

Jadi, mari kita merengsek,
Jargon manusia meriwayatkan, di sebuah negeri yang damai tapi gersang, disebut sebagai Bumi Suska-Santi, hiduplah seekor kera, Bu Vinta, bersama dua anaknya yang masih kecil. Yang tertua, Pheddo, dan yang bontot, Chiddo. Mereka menetap di sebuah lembah, dimana tiada lagi pepohonan yang rindang. Para-gorila, telah memaksa para-gajah merobohkan pepohonan, dan menjadikannya sebagai sarang. Yang tersisa di lembah tersebut, hanyalah rerumputan dan semak belukar. Tiada sepohon kayupun yang tumbuh, bahkan jika ada, kan dilahap para-gorila.

Entah bagaimana, sang ibu, sangat menyayangi Chiddo, namun mengabaikan dan meremehkan Pheddo. Kita tahu, semua ibu tak seperti ini, kecuali yang satu ini. Bu Vinta, cenderung membagikan lebih banyak makanan pada Chiddo daripada Pheddo. Sebelum sarapan, makan-siang, atau makan-malam, Pheddo harus bekerja lebih-dulu, membersihkan rumah, kamar-mandi, menyiram halaman, dan segala sesuatu yang diperintahkan ibunya.
Pheddo memperhatikan, ibunya sangat membanggakan Chiddo, lebih dari dirinya. Chiddo selalu dipandang istimewa dibanding Pheddo, dan sering ketahuan, ibunya memuji-muji Chiddo.

Bu Vinta, memberikan hak istimewa yang berbeda kepada Chiddo. Pernah, Chiddo bergaduh, dan Pheddo memarahinya. Chiddo mengadu pada ibunya, maka, siang dan malam, Pheddo bersemayam dalam sebuah kerangkeng. Sebaliknya, saat Pheddo melakukan sesuatu, walau belum tentu salah, namun bila Chiddo merasa terganggu, maka, tak ada tawar-menawar dan argumen, sebuah kerangkeng akan menunggu Pheddo.
Pernah, Chiddo melemparkan sebuah batu-besar ke kepala Pheddo, bukannya memarahi Chiddo, Pheddo malah disalahkan. Bu Vinta berkilah, Pheddo ceroboh, maka kerangkengpun jadi pasangan Pheddo sepanjang hari. Suatu kali, di hadapan Bu Vinta yang aneh ini, Chiddo mengejek dan mempermalukan Pheddo, namun, sang-nyonya, mendiamkan.

Bagai dalam hikayat "Upik-Abu," Pheddo, di masa bocahnya, menadah dan memufakati, bahwa dirinya, "kambing-hitam" keluarganya; bahwa adiknya, lebih dicintai dan disayangi tinimbang dirinya. Anak yang tak disukai, dapat mengalami berbagai akibat, berdasarkan aneka-rasa yang mereka persepsikan. Termasuk, merasa sedih, merasa marah atau terluka; rendah-diri, atau memandang buruk tentang diri mereka sendiri; merasa terabaikan; bertikai dengan saudara kandung; bertindak atau mengundang masalah; kurang motivasi dan bolos dalam belajar; berpenampilan buruk; merasa down atau tertekan.
Namun, tak seperti kanak-kanak seusianya, atas rahmat Sang Pencipta, dalam batin Pheddo, terbentuk sangka-baik. Ia akan selalu diingatkan, bahwa deritanya itu, ujian dari Sang Pencipta, yang membawa berita ampunan dan kasih-sayang baginya. Karenanya, ia selayaknya, menerimanya dengan sabar dan syukur, memohon pada Sang Pencipta, mengurangi kesengsaraannya, seperti sediakala. Ia sepatutnya, tak mengeluhkan petaka yang dialaminya, sebab, itu merupakan alamat, mempertanyakan takdir Sang Pencipta, perilaku-buruk, atau mempermalukan diri-sendiri. Terlepas dari seberapa akut penderitaannya, ia tak mau berharap mati, tak menyalahkan penderitaannya, atau mengutuk penyebab deritanya.

Suatu hari, Bu Vinta mendengar gonggongan anjing, mengisyaratkan para pemburu sedang mendekat. Ia terkejut, dan masih punya cukup waktu untuk kabur. Meski demikian, ia tak melupakan anak kesayangannya, Chiddo, yang digendongnya, agar lebih aman. Sementara Pheddo, yang diabaikan, secara naluriah, melompat ke punggungnya.
Maka, merekapun berlari-jauh bersama-sama. Sayang, tiada lagi pohon yang dapat dijadikan tempat persembunyian, tiada lagi pepohonan tempat mereka pernah memanjat dan bergelantung, serta berlompatan. Yang mampu mereka lakukan hanyalah, berlari dan berlari, di tengah desingan peluru-bius. Bu Vinta terus berlari dan menoleh ke belakang, sampai suara gonggongan anjing tak terdengar lagi. Mereka mampu melepaskan-diri dari para pemburu. Naas, dibutakan oleh ketergesa-gesaannya, ia tergelincir, membenturkan kepala sang-bontot ke atas sebongkah batu, matilah seketika. Anak yang dibingit, menempel di punggungnya yang kasar, luput dari bahaya pengejaran."
Dr Swan menitik-beratkan, "Duhai saudara-saudariku! Dengan memanjakan anak-anak kesayangan mereka, para orangtua, merusak dan meremukkannya; sementara anak-anak yang diabaikan, sanggup melakukan segalanya dengan sangat baik. Anak-anak manja yang paham, bahwa perlakuan orangtua mereka, dapat dijadikan senjata mendapatkan perhatian, hampir takkan mampu memahami apa sebenarnya ketaatan itu. Kesediaan para orangtua yang kurang bijak, memanjakan anak-anaknya, buta laksana cinta itu sendiri; mereka terjauhkan, dari melihat cacat atau ketidaksempurnaan di dalamnya, mengira kecacatan itulah keindahannya, dan akal-bulus para anak-manja, itulah keberkahannya.
Pemanjaan yang diperlihatkan orangtua kepada anak-anak mereka, kerap berasal dari kelemahan sifat-ramah manusia; tetapi pengaruhnya tak kurang riskan, dan oleh sebab itu, sangat penting menjaganya, dan tak terjangkit oleh favorit-buta yang menyebabkan kita, melampaui batas kasih-sayang yang bijak, yang sering membuktikan hancurnya sang-anak. Semua ini terjadi, akibat kebebalan sistem pilih-kasih dalam keluarga, karena pengalaman menunjukkan bahwa, anak-anak yang tak dialem dan dimanja, biasanya, menjadi manusia, terbaik dan terpandai. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- 'Abdullah Nasih 'Ulwan, Child Education in Islam, Dar Al Salam
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Al-Imam Al-Izz bin Abissalam, Trials and Tribulations : Wisdom and Benefits, translated by Abu Rumaysah, Daar Us-Sunnah Publishers