Jumat, 16 Juli 2021

Hono Coroko

Telah masuk sesi istirahat. Tersedia banyak waktu untuk shalat, makan-siang, dan melepas penat, sebelum lanjut ke sesi berikutnya. Setelah memenuhi kewajibannya, para-unggas diperkenankan beristirahat sejenak. Seekor unggas bertanya, "Berpengaruhkah mata dan telinga itu, terhadap qalbu?" Yang lain menjawab, "Tentu saja, seseorang hendaknya menjaga dan mendidik mata dan telinganya dengan baik, agar qalbunya tetap sehat."

Yang lain menyahut, "Tapi, mendidik anak-anak dan orang dewasa, berbeda!"

Yang lain berkata, "Lingkungan sekitar anak, bisa berdampak pada perkembangan spiritualnya. Pengaruh ini sering kali tak ketara, namun tetap berpengaruh besar. Akan tampak nyata ketika sang-anak tumbuh dewasa, dan bergerak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Pemahaman umum di bidang perkembangan anak, bahwa seiring dengan tumbuh-kembangnya sang-anak, pengaruh orangtua cenderung berkurang—walaupun tak pernah berhenti—dan peran teman sebaya, serta masyarakat, menjadi lebih berarti. Hal tersebut merupakan proses yang berangsur-angsur, dan tentu berbeda bagi setiap orang. Kabar baiknya, bahwa dalam banyak persoalan, para remaja, akhirnya cenderung mengintegrasikan moral dan nilai-nilai orangtua mereka, bahkan jika mereka menghabiskan waktu untuk 'coba-coba'.
Terlepas dari fakta menyenangkan ini, amatlah penting memantau lingkungan rumah; lingkungan teman sebaya—teman mereka, aktivitas mereka, dan sebagainya—dan lingkungan masyarakat, agar memastikan pengalaman yang paling memperkaya secara spiritual bagi anak."

Yang lain mengingatkan, "Orangtua, hendaknya, jangan mempermalukan atau menghinakan anak-anak, terutama di hadapan orang lain. Ide-ide mereka tak boleh diremehkan, atau ditertawakan, atau bahkan dikucilkan. Hinaan, celaan, dan cemoohan, hanya akan merusak kepribadian dan ketenteraman sang-anak. Pada dasarnya, hal-hal tersebut, berefek terbalik dengan pujian dan kelembutan. Semua itu, menyebabkan turunnya harga-diri dan kepercayaan-diri dan, bahkan lebih gawat lagi, menimbulkan masalah ketergangguan kepribadian dan perilaku. Coba bayangkan, bagaimana perasaan kita, saat seseorang berkomentar negatif terhadap kita, atau mempermalukan kita. Bisa terasa menyakitkan, dan memalukan. Anak-anak merasakan hal yang sama dan, lantaran fakta bahwa kepribadian dan karakter mereka berkembang, mereka jauh lebih rentan dibanding orang dewasa. Alhasil, sang-anak akan sangat mungkin mengalami penderitaan, yang menorehkan luka, yang disebabkan oleh tindakan-tersebut, dan akan terus merasakannya dalam jangka waktu yang lebih lama. Orangtua hendaknya terus-menerus mengawasi sifat sensitif dan keunikan kerentanan sang-anak.

Yang lain menyarankan, "Dalam menjaga kesucian mata dan telinga, pengaruh negatif hendaknya dihilangkan dari lingkungan anak-anak. Misalnya, televisi. Televisi itu, alat standar bagi banyak orang. Sementara ada orang yang berpendapat bahwa televisi, punya manfaat, misalnya, program pendidikan, akan tetapi, mudharatnya jauh lebih besar dibanding manfaat apapun yang mungkin diperoleh. Agar menciptakan lingkungan rumah yang secara efektif lebih penuh dengan Keimanan, sangat dianjurkan menghilangkan sumber gangguan utama ini. Jika tak memungkinkan, maka pemantauan ketat terhadap acara televisi, sepatutnya diterapkan." 
Yang lain menginformasikan, "Penelitian telah menemukan, bahwa setiap hari, anak-anak menghabiskan rata-rata, tiga sampai empat jam, menonton televisi. Bila rentang hidup 65 tahun, itu berarti, mereka menghabiskan sembilan tahun di depan sebuah kotak. Dengan statistik ini, kita akan menyadari, bahwa anak-anak menghabiskan banyak waktu, di dunia fiksi, disibukkan oleh dunia maya ini, lebih sering dilakukan dibanding dalam dunia nyata. Akan sangat mengkhawatirkan saat kita mulai menyadari fakta ini, dan memahami implikasinya. Menonton televisi, berbahaya bagi perkembangan intelektual, psikologis, dan sosial sang-anak. Bahkan yang lebih menakutkan, bahwa anak-anak, bisa mencederai bathin mereka pada usia yang sangat muda; bahkan seringkali, takkan pernah bisa lagi, memulihkan kesucian dan kebajikan mereka."

Yang lain menimpali, “Televisi, sebenarnya telah dianggap berbahaya bagi proses dan perkembangan sel-sel otak anak, menghalangi otak menyelesaikan perkembangannya secara penuh. Ini karena, nonton televisi itu, aktivitas pasif, bukan aktivitas aktif.
Nonton televisi juga berarti, bahwa seorang anak, tak melakukan hal lain. Membaca, berinteraksi, dan merasakan pengalaman, penting bagi pembelajaran anak. Ketika seorang anak menonton televisi, ia jelas tak terlibat dalam kegiatan ini. Ia tak aktif menggunakan kemampuannya, tak berkreasi, tak bersosialisasi, tak bermain, dan tentulah, tak membaca dan menghafal Al-Qur’an. Banyak sekali waktu yang terbuang bagi kegiatan yang tak berguna ini. Bahkan bisa jadi, ia tak mencapai potensi penuhnya di area kritis ini. Selain itu, dapat berdampak negatif pada tugas dan fungsi di sekolah. Anak-anak yang sukses secara akademis, menghabiskan sebagian besar waktu mereka, ikut dalam kegiatan yang terpenuhi dan konstruktif. Televisi, tak tergolong ke dalamnya. Kita perlu mengajari anak-anak kita, bahwa penggunaan waktu secara positif dan konstruktif, sangat penting, dan sejatinya, merupakan bagian integral menjadi Muslim."

Yang lain bergabung, "Bahaya televisi terhadap bathin, banyak. Yang paling nyata, menjauh dari beribadah dan mengingat Allah. Bila masuk ke dalam pikiran dan qalbu sang-anak, televisi mampu menyebabkan kerusakan serius pada bathin. Seseorang yang banyak nonton televisi, cenderung tak tepat waktu menunaikan shalat, bahkan mungkin, tidak sama sekali, atau tak mau ikut berjamaah. Selain itu, televisi, bisa jadi, merupakan salah satu alat 'modelling' paling berpengaruh yang ada. Anak-anak meniru apa yang mereka lihat dari orang lain, di sekitar mereka dan dari media. Ini berarti, bahwa mereka tak hanya mengintegrasikan materi ke dalam pola berpikir mereka, namun juga, mereka memerankannya, dalam perilakunya."

Yang lain menambahkan, "Musik yang melanggar hukum Islam, hendaknya dijauhkan dari lingkungan anak-anak. Termasuk lagu dengan alat musik dan lirik yang memancing syahwat, dan menampilkan perilaku tercela, termasuk lirik-lirik menyesatkan dan lagu atau musik yang dangkal. Secara umum, mencakup segala yang mengalihkan perhatian atau mengalihkan seseorang dari Al-Qur'an dan Dzikrullah.
Namun, diperbolehkan, mendengarkan lagu-lagu Islami yang mengandung hikmah, nasehat, dorongan berbuat baik, serta pembinaan adab dan akhlak mulia. Hal ini, dapat dibenarkan, jika lagu-lagu tersebut menghidupkan kembali pikiran dan rasa-Islami, dan memotivasi pendengarnya menaati Allah dengan hidup dalam kerangka hukum Islam, agar menjauhkan-diri dari melanggar batas-batas yang ditetapkan Allah. Waktu yang paling tepat menikmati lagu-lagu Islami, antara lain, saat lebaran, pernikahan, atau saat merasa bosan dan membutuhkan sesuatu, guna membangkitkan semangat. Akan tetapi, hal ini janganlah dianggap sebagai sesuatu yang mesti dituruti, atau menjadi kebiasaan yang, tiada henti dilakukan."

Yang lain mengulas, "Ketika mempelajari Al-Qur'an, ada etiket dan pedoman tertentu. Pendidik bertanggungjawab mengajar muridnya, etiket yang diwajibkan dan direkomendasikan, yang sesuai dengan pembawa Al-Qur'an, dan menjadikannya salah satu peringkat terhormat mereka. Ia juga bertugas, memelihara pertumbuhan spiritual dan etika para pelajar atau hafiz, sehingga qalbu dan anggota tubuhnya, siap mengubah ilmu ini menjadi amal-shalih dan kekuatan spiritual.
Oleh karenanya, pendidik akan mengambil langkah yang cermat, terutama dalam hal hafalan Al-Qur'an. Segala hal yang diduga dapat mengganggu hafalan Al-Qur'an, sepatutnya dihindari, sebab, bagi seseorang yang telah menghafal Al-Qur'an, dituntut agar selalu menjaga hafalannya. Rasulullah (ﷺ) mengibaratkan orang yang hafal Al-Qur'an, dengan pemilik unta. Jika sang-unta dirawat dengan baik, ia akan jinak dan patuh. Namun jika dibiarkan dan diabaikan, maka akan hilang. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ الْإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ
"Sesungguhnya, perumpamaan sahabat Al-Qur’an itu, laksana unta yang diikat. Jika ia menjaganya, ia akan terpelihara. Jika ia melepaskannya, ia akan kehilangannya.” [Muttafaqun Alaihi, menurut Al-Bukhari dan Muslim]
"Bagaimana dengan bahasa Arab?" tanya yang lain. Yang lain menjawab, “Tak ada yang salah dengan bahasa Arab. Imam Asy-Syafi'i, rahimahullah, menekankan bahwa, 'Diwajibkan atas setiap Muslim, mempelajari bahasa Arab dengan sekuat tenaga, agar dapat mengakui dengannya, bahwa 'tiada ilah yang patut disembah dengan sebenar-benarnya selain Allah, dan Muhammad (ﷺ), hamba dan Rasul-Nya,' serta dapat membaca Kitabullah, serta mengucapkan dalam menyebutkan apa yang diwajibkan atas dirinya, takbir, dan apa yang diperintahkan, tasbih, tasyahud, dan lain-lain.'
Ilmu Imam Syafi'i tentang sastra Arab-kuno, mendukung gaya sastranya. Pada masa itu, tiada seorang pun yang boleh menjadi ulama besar, kecuali ia menguasai bahasa Arab. Beliau, rahimahullah, menjelaskan, 'Al-Qur'an menunjukkan, bahwa tiada bagian dalam Kitabullah, yang tak berbahasa Arab.
Barangsiapa yang mengemukakan pendapat tentang adanya kata-kata asing dalam Al-Qur'an, mungkin melihat ada orang yang menerimanya, dengan kepasrahan (taqlid) semata-mata kepadanya, memasrahkan masalah pembuktian kepadanya, dan kepada mereka yang tak sepakat dengannya. Namun, dengan memasrahkan seperti ini, mereka telah mengabaikan tugas mereka: semoga Allah mengampuni mereka dan kita. Tetapi, barangkali, orang yang berpendapat, bahwa ada kata-kata dalam Al-Qur'an yang bukan bahasa Arab—dan pendapatnya diterima oleh orang lain—bermaksud, bahwa ada kata-kata tertentu, yang tak dipahami oleh sebagian orang Arab.
Dari semua bahasa, bahasa Arab-lah, yang paling kaya dan paling luas kosakatanya. Tahukah kita akan seseorang kecuali seorang nabi yang memahami semuanya? Namun, tak ada bagian yang lepas dari semua orang, sehingga selalu ada seseorang yang mengetahuinya. Ilmu bahasa ini bagi orang Arab, ilmu sunnah bagi para fuqaha’. Kita tak mengetahui siapapun, yang punya ilmu tentang seluruh sunnah tanpa melewatkan sebagian darinya. Jadi, jika ilmu seluruh ulama dikumpulkan, seluruh sunnah akan diketahui. Akan tetapi, jika ilmu masing-masing ulama diambil secara terpisah, maka masing-masing dapat ditemukan kekurangan pada sebagiannya, namun kekurangan masing-masing dapat ditemukan di antara yang lain.”

Tiba-tiba, seekor unggas menghampiri, berkata, "Mau dengar apolog tentang mata dan telinga?" Yang lain setuju, "Ya tentu saja!" Sang-unggas menyampaikan, "Dengarkan ini,
Dahulu kala, di era Piodasses, ada sebuah jenggala, bernama Bumi Tenawa. Menurut penduduk setempat, jenggala tersebut, diperintah oleh seekor Kong—tak segede gorila Kongo rekaan Merian C. Cooper, maupun Hanuman Putih, ataupun Sun Go Kong, melainkan hanya monyet-besar biasa—bernama, Raja Jaka Bingung, bergelar Prabu Kong Kalikong.

Sebagaimana yang terlukiskan dalam zaman para-monarkhi, demi pencitraan atas nama Pangeran yang bermartabat dan berkharisma, para anjing, kucing, dan kodok bayaran, menerbitkan warita, bahwa sang-baron, teramat-suka memangsa kulit-manusia. Namun, ketahuan, dan menjadi dusta terakbar, lantaran kenyataannya, sang-baron cuma menggemari, kulit-pisang.

Siaran berikutnya, mengalir, bahwa sang-baron, sangat cerdik, ia pernah mengungguli seorang dokter, dalam sebuah debat. Setelah ditelusuri, riwayat sebenarnya, seperti berikut.

Suatu hari, sang-baron sedang gering. Pejabat istana menyarankan, ia harus menemui dokter. Namun, sang-baron, yang takut menemui dokter, tak berkenan. Ia bersedia, asalkan, tak terjadi apa-apa pada pasien yang diperiksa oleh sang-dokter, dan ia saksikan sendiri.
Demikianlah, salah satu pengawal kerajaan, seekor simpanse, secara acak, ditarik keluar, dan—ternyata, ia juga enggan menemui dokter—dengan gemetar, Cemata, sang-simpanse, di selia oleh sang-dokter.
Sang-dokter bertanya, “Cemata, apa yang akan terjadi, jika aku mencongkel, sebuah matamu?” Cemata menjawab, “Aku akan setengah buta.” "Benar," kata sang-dokter. "Bagaimana jika, aku mencongkel, kedua matamu?" imbuh sang-dokter. "Aku akan benar-benar buta." Sang-dokter berdiri, menjabat-tangan Cemata, dan menyatakan bahwa ia sehat.

Saat Cemata melangkah keluar, selagi sang-dokter mengisi dokumen, sang-baron mengingat-ingat pembicaraan, antara sang-dokter dan Cemata. Lalu, iapun bersedia, diobati oleh sang-dokter. Maka, tak pelak lagi, bukan cuma anak-sekolah yang butuh contekan, nyatanya, sang-baron, juga!
Sang-dokter melewati formalitas dan bertanya, "Yang Mulia, apa yang akan terjadi, jika aku memotong sebuah telinga paduka?" Sang-baron, yang masih mengenakan mahkota dan jubah megahnya, menganggap ucapan Cemata, jawaban yang benar, menanggapi, “Aku akan setengah buta.” Sang-dokter tampak sedikit bingung, namun tetap melanjutkan. “Bagaimana jika, aku memotong, kedua telinga Baginda?”
"Aku akan benar-benar buta," jawab sang-baron. “Bolehkah Baginda menjelaskan, bagaimana bisa paduka jadi 'buta'?” sang-dokter ingin tahu. Sang-baron dengan tenang berkata, "Jika dokter memotong kedua kupingku, mahkotaku, akan melorot, menutupi mataku."

Akan tetapi, pada suatu hari yang tak menguntungkan, sebuah kecelakaan mengerikan, menimpa sang-baron. Ia terluka parah oleh tanduk ... Kambing? ... Bentar, bentar, coba kulihat dulu .... ya' benar, seekor Kambing ... bukan Banteng; keduanya sama-sama berakhir dengan bunyi "-ng," tapi idenya, beda.
Banyak yang penasaran, mengapa hal ini terjadi pada sang-baron? Dari sumber informasi yang dapat dipercaya, sang-kambing, menanduk sang-baron, sebab, sang-baron, menyambar kulit-pisang di moncong sang-kambing.
Insiden ini, membuat sang-baron teramat-sangat, murka. Ia berseru, "Ini Sparta, ini Ra-di-kal!" Ia bersumpah, setiap satwa-bertanduk, harus diusir dari kerajaannya. Kambing, Banteng, Domba, Rusa, dan setiap makhluk-hidup yang bertanduk, patut segera disingkirkan.

Cemata, bersama simpanse lain, Tora, dipercaya membebaskan sebuah kawasan, dari para satwa-bertanduk. Sampailah mereka di sebuah padang-rumput yang luas. Cemata memperhatikan kawanan terwelu—sejenis kelinci—kecil. Ia mengamati, dan berkata kepada Tora, "Lihat, bukankah itu satwa-bertanduk?" "Yang mana?" tanya Tora. "Di sana, sekelompok makhluk, aku belum pernah mengenali yang seperti ini." Tora memperhatikan lebih dekat, lalu sampai pada kesimpulan, "Jika itu tanduk, mestilah kehitaman, tapi, yang itu, berwarna putih dengan pola abu-abu atau kemerahan. Omong-omong, kagak ada yang namanya tanduk!"
Cemata, bersikukuh pada sudut pandangnya, "Itu tanduk!" "Pasti bukan!" Tora tak sepakat. "Tanduk!" "Tak mungkin!" "Taanduuk!" "Buukaan!"

Akhirnya, laksana dua caraka dalam aksara Honocoroko, keduanya menghunus pedang, siap berlaga. Para-terwelu mungil, yang menyaksikan, ketakutan. Untungnya, seekor terwelu dewasa, datang melerai. Cemata ingat, itu Bu Vanathi, sang-guru, ia sangat disegani di lokal setempat. "Apa yang kalian lakukan? Tolong, jangan pertontonkan kekerasan di hadapan anak-anak!" seru Bu Vanathi. Cemata berkata, "Maaf Bu, kami bertengkar, di atas kepala anak-anak itu, tandukkah?" Bu Vanathi menjawab, "Itu namanya, telinga, atau kuping, engkau dapat menemukannya juga, di kepalaku." Tora segera meminta maaf, "Ini kesalahan kami, maafkan kami Bu!" Sang-guru yang bijak, berkata, "Sudahlah, Ibu sarankan, sebaiknya, kalian lebih banyak belajar, bagaimana membedakan tanduk dan telinga. Adapun anak-anak ini, serahkan padaku, Ibu kan guru mereka, lebih tahu apa yang harus dilakukan dengan mereka, sesuai pedoman yang ada.” "Siap Bu!" jawab Cemata.

Bu Vanathi memanggil para-terwelu kecil, "Ayo anak-anak! Sudah waktunya masuk kelas! Tolong, pegang kedua telinga kalian! Kita akan berjalan sambil membaca Honocoroko." Dengan riang, para-terwelu mungil, bernalam,
Hono Coroko
[Ada caraka]
Doto sowolo
[Saling berlaga]
Podho joyonyo
[Sama saktinya]
Mogo bothongo
[Lihat matinya]
Kemudian sinyal berbunyi, sesi berikutnya akan segera dimulai, para unggas diminta bergegas kembali. Wallahu a'lam.
Kutipan & Rujukan:
- Imam Al-Nawawi, Etiquette With The Quran, Islamosaic
- Dr Aisha Hamdan, Nurturing Eeman in Children, IIPH
- Al-Imam Muhammad ibn Idris al-Shafi'i, al-Risala - Treatise on the Foundations of Islamic Jurisprudence, translated by Majid Khadduri, The Islamic Texts Society
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin