Jumat, 30 Juli 2021

Pungguk dan Rembulan

Di belantara luas, belantara-muslihat, yang terliar dari yang terliar, yang terkeji dari yang terkeji, dimana para-benalu tumbuh subur, lolongan serigala tergantikan oleh lolongan anjing-piaraan, bernama Kota, hiduplah, di sebuah lorong sempit, di sebuah rumah reyot sempit, di kamar sewaan sempit, Pungguk yang malang. Kamarnya, terletak di bagian atas rumah, dengan pemandangan lepas di antara atap-atap tetangga. Selama hari-hari pertama kepergiannya menetap di Kota, ia merasa lesu, dan menyendiri. Alih-alih hutan dan perbukitan hijau semasa di dusun, yang ada cuma, panorama belantara pencakar-langit, tinggi menjulang. Dan lantas, ia tak punya satu teman pun; tiada satupun raut-wajah, yang akrab menyambutnya.

Kemudian, suatu malam, ia duduk di samping jendela, dalam suasana hati yang galau; ia membuka tingkapnya, dan melongok keluar. Duhai, betapa hatinya terlibur oleh sukacita! Walhasil, nampaklah wajah yang masyhur, rupa bulat dan ramah, ciri seorang teman baik, yang ia kenal di dusun. Rupanya, Rembulan menyapanya. Ia sama sekali tak meluntur, Rembulan-dalu tersayang, dan romannya, masih serupa dengan yang biasa ia tunjukkan, saat dirinya mengintip dari balik pohon dedalu, di tegalan. Binar Rembulan menggermang masuk ke dalam kamarnya yang sempit; dan Rembulan, dalam perannya, berijab pada Pungguk, bahwa setiap senja, saat ia telah menyembul, ia akan menemui Pungguk walau sebentar. Ikrar ini, telah ia tepati dengan tawaduk.

Sangat disayangkan, Rembulan hanya boleh tinggal selintas ketika ia berlabuh. Setiap kali muncul, ia menyampaikan sesuatu, atau hal-hal yang dilaluinya, pada malam sebelumnya, atau pada malam yang sama. "Buatlah sketsa adegan-adegan yang kupaparkan padamu," inilah yang ia ucapkan pada Pungguk, "Dan, engkau akan punya sebuah kitab arketipe yang amat indah."

Pungguk telah mengikuti arahan Rembulan selama beberapa senja. Bahkan ia mampu menyusun "Seribu Satu Malam" tandingan, dengan caranya sendiri dari visualisasi ini, tapi mungkin, jumlahnya tak terhitung. Sketsa yang ia berikan di sini, tak dipilih secara acak, melainkan sesuai urutan, seperti yang dijelaskan kepadanya. Ada pelukis berbakat yang hebat, atau penyair atau musisi, mungkin akan membuat sesuatu, yang melebihinya, jika mau; apa yang telah ia berikan di sini, cuma potret-potret singkat, dengan tergesa-gesa diletakkan di atas kertas, diselingi dengan sedikit fikrahnya sendiri; sebab Rembulan tak menemuinya setiap malam, sang-gegana terkadang, menangkup wajah Rembulan dari pandangan Pungguk.

Pada malam pertama, Rembulan berapolog,
“Suatu ketika, terjadi pertikaian antara Batin dan beberapa bagian tubuh. Batin, atas nama para kliennya, Otak, Mata, Telinga, dan Mulut, melakukan tindakan hukum terhadap Perut, tergugat I, Amarah, tergugat II, Kaki dan Tangan, tergugat III. Para tergugat, menunjuk Syahwat, sebagai Pembela mereka.
Batin menggugat mereka, dengan tuduhan bahwa para terdakwa, secara bersama-sama, menimbun makanan dan menikmatinya. Perut, karena rayuan Amarah, terus menuntut lebih banyak makanan lezat, dengan rakus. Perut—melalaikan kewajibannya—tak mendistribusikan makanan ke seluruh Tubuh, kecuali Kaki dan Tangan. Satu-satunya hal yang tampak dilakukan Perut, tanpa malu-malu, bersendawa di saat kenyang.

Sidang pertama, ditunda atas permintaan para terdakwa. Selama penundaan, mereka berusaha melobi Batin, namun tak berhasil. Sidang kedua, ditunda juga, pula atas permintaan para terdakwa. Untuk kedua kalinya, mereka berjerih-payah membujuk Penuntut, walakin, gagal maning.
Sidang ketiga, hakim yang bijak, Qalbu, berkata, "Agar persidangan berjalan adil, kami akan menghadirkan saksi dari kedua belah pihak. Pertama-tama, kami meminta Batin, menghadirkan saksi pertama!" Batin menjawab, "Yang Mulia, kami hadirkan Otak!"

Dan Batin bertanya pada Otak, "Wahai Otak, untuk apa engkau dicipta?" Otak mengilustrasikan, "Kami, Otak, sebuah Majelis, yang dikenal sebagai pusat kendali utama. Kami memiliki kendali penuh atas pikiran, tindakan, perasaan, dan ingatan. Kami dirahmati dengan kemampuan berakal, perspektif berpikir kritis, dengan tujuan, menemukan kebenaran dalam segala hal, dan menolak yang batil.
Pikiran berhubungan dengan otak. Kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian. Otak ditanggap sebagai hal fisik, pikiran dipersepsikan sebagai mental. Otak terdiri dari sel-sel saraf dan dapat diraba, sedangkan pikiran, tak dapat disentuh. Otak itu, sumber ilmu kedua setelah Wahyu. Oleh karenanya, dalam kaitan ini, metode berpikir, terkait langsung dengan tujuan Islam dan Syariahnya, serta mengimplikasikan hal-hal yang penting, terhadap pemahaman dan pengembangan Syariah, sebagai bidang ilmu yang dinamis.
Yang Mulia, dalam kasus ini, kami menjadi korban. Amarah, bersekongkol dengan Perut, memaksa kami, menimbang semata urusan duniawi, menjadikan kami menalarkan "lapar" dan memutuskannya untuk mendikte Perut, meminta lebih banyak makanan. Namun, kesadaran kami, tiada henti bertanya, “Sampai sejauh manakah Perut bisa diisi?” Paling tidak, cuma untuk meluruskan punggung ini. Namun, Amarah memaksa kami menanamkan benih tentang tiga hal, tahta, tahta, dan tahta. Semua ini, menimbulkan, pengingkaran keberadaan kami."

Selanjutnya, Mata bersaksi, "Yang Mulia, kami, Mata, titik masuk paling cepat langsung ke qalbu, dan berpengaruh kuat atas pikiran, emosi, dan kesejahteraan-batin. Ketersediaan penglihatan, secara instan, saat kelopak mata terbuka, membuat kita pangling, bahwa lubang ke qalbu telah terbuka. Ternyata, mata, satu-satunya anggota tubuh, yang tak memerlukan periode 'pemanasan' agar berfungsi penuh.
'Cinta pada pandangan pertama' sering dicap sebagai konsep 'cantik', namun bila engkau merenungkannya, akan agak menakutkan. Sekilas pandangan, maka qalbumu berpotensi terpesona, kekayaanmu, darahmu, dan keringatmu, kan terikat pada seseorang, dan masa depanmu, kan sungguh-sungguh terbelenggu. Kami, mata, sangat kompleks dan menempati urutan kedua setelah kompleksitas otak. Fungsi sensitif dan kritis seperti itu, tak dapat diberikan tanpa instruksi yang tepat tentang cara menggunakannya.
Yang Mulia, dalam kasus ini, kami menjadi korban. Kami tak diperkenankan melihat kebenaran. Mereka yang mewujudkannya dalam kata-kata, poster, atau bahkan mural, jika nadanya sama, diberangus, kecuali sebingkai foto penguasa yang dipuja-puja. Semua ini, menyebabkan, penolakan keberadaan kami."

Telinga kemudian bersaksi, "Yang Mulia, telinga itu, organ pendengaran. Indera pendengaran, salah satu sarana memperoleh pengenalan. Kami mendengar sesuatu, lalu dicatat dalam pikiran. Mendengar dapat dianggap lebih penting dibanding melihat, ia dianggap sebagai sensasi-sosial, sebab kunci memahami, mempercayai, dan mengamalkan sesuatu itu, pendengaran.
Yang Mulia, fungsi terpenting pendengaran itu, mendengarkan dan menaati perintah Allah dan Rasul-Nya (ﷺ). Dalam kasus ini, kami menjadi korban. Kami hanya diizinkan mendengar irama-lagu para penjilat dan penyanjung, jika tidak, kami akan disumpal dengan kapas. Semua ini, diterapkan, sebagai peniadaan keberadaan kami."

Terakhir, Mulut bersaksi, “Yang Mulia, mulut berfungsi sebagai pintu gerbang masuknya makanan halal ke perut. Selain itu, sebagai pintu keluar suara-suara kebenaran. Untuk mendapatkan kekuatan jasmani dan rohani yang benar, hanya makanan halal, dan makanan sehat atau tayyib, dikonsumsi. Halal bermakna, makanan yang diperoleh secara legal, berbeda dengan makanan yang dicolong. Dalam hal daging, berarti diperoleh menurut cara penyembelihan hewan yang diperbolehkan. Makanan yang tak legal, berdampak buruk pada sifat orang yang mengkonsumsinya Memakan makanan haram, seperti makanan curian, akan menghambat kesehatan spiritual dan moral seseorang.
Makan tak boleh terburu-buru dan hendaknya terukur. Seseorang, sepantasnya tak mengisi penuh perutnya. Rasulullah (ﷺ) memerintahkan kita agar mengisi hanya sepertiga dari perut kita dengan makanan, dan sepertiga dengan air-minum, membiarkan sepertiga sisanya, hampa. Makanan itu, anugerah Allah. Kita layak mengkonsumsinya dengan kerendahan-hati dan moderasi, dan selalu bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya.
Yang Mulia, dalam kasus ini, kami menjadi korban, alih-alih makan makanan halal dan sehat, kami disuguhi makanan aneh, semisal aspal, beton, minyak, batu-bara, timah, dan emas. Yang paling mengerikan, kami bahkan ditawari melahap dana bantuan sosial bagi kaum dhu'afa. Dan sesuatu yang paling menakutkan, yang kemungkinan besar akan terjadi, kami diharuskan menenggak, Vaksin. Semua ini, menghasilkan, penyangkalan keberadaan kami."

Setelah itu, Syahwat dipersilahkan menghadirkan saksi. Amarah berbisik pada Syahwat, "Bro! Semua kesaksian korban, mengandung bukti yang kuat, kita tak sanggup menandinginya. Apa yang harus kita lakukan?" Syahwat berkata, "Tenang Bro! Aku akan memohon kepada Hakim, menunda persidangan, jadi, kita punya waktu, menyogok Batin dan kliennya." Lalu, ia meminta kepada Hakim, "Yang Mulia, kami masih memerlukan waktu guna persiapan saksi, mohon agar menunda persidangan!"
Sebagai Hakim, Qalbu menjawab, "Tak ada penundaan lagi bagi sidang ini, harus selesai hari ini." Amarah, berang, "Yang Mulia, ini tidak adil, kami semestinya diberi kesempatan membela-diri." Syahwat menambahkan, "Yang Mulia, jika kami tak diberi penundaan, kami akan protes," sembari menyuruh Amarah, Perut, Kaki dan Tangan, duduk di lantai. Dengan tenang, Qalbu, duduk di lantai, bergumam, "Sopooo Hakime, awakmu ta aku seeh?" Agar menghormati hakim, Batin dan para kliennya, pun melantai. Qalbu berpesan, "Tak ada yang boleh keluar ruangan. Jika waktu shalat telah tiba, kita kan tunaikan dengan shalat berjamaah, di pelataran ini!"

Tengah-malam berlalu, Syahwat, Amarah, Perut, Kaki dan Tangan, mulai merasa resah dan lunglai, tak ada asupan makanan. Mereka menoleh ke arah Qalbu, Batin dan para kliennya, semuanya tenang, duduk bersila, di lantai. Syahwat bertanya kepada Hakim, "Yang Mulia, bagaimana bisa engkau bertahan?" Qalbu menjawab, “Aku berdzikir, dan itu cukup bagiku.” Amarah bertanya pada Batin, "Dan engkau Bro!" Dengan mata terpejam, Batin menjawab, "Aku berdzikir, dan itu cukup bagiku dan para korbanmu!"

Lantas, Qalbu beranjak, duduk kembali ke kursinya, berkata, "Baiklah, kita kan mulai persidangan!" Syahwat memprotes, "Tapi Yang Mulia, kami kan minta penundaan?" Qalbu menjawab, "Kami telah mengabulkan permohonan penundaan selama sehari, kemarin, dan hari telah berganti, sekarang, hari baru. Njaluk tundho maneh? 'Rah iso! Selanjutnya, kami akan membacakan putusan."
Pada saat itu, Qalbu memutuskan, "Setelah mendengar keterangan para saksi, kami memutuskan, bahwa para Terdakwa, bersalah melanggar nilai-nilai moral Tubuh. Oleh sebab itu, Pengadilan menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa sebagai berikut,

Tergugat I, Perut, divonis menjalani
  1. Membagikan kembali, makanan kepada seluruh anggotanya;
  2. Anjuran berpuasa, setiap Senin dan Kamis, atau puasa Ayyamul Bidh, pada tanggal 13, 14 dan 15, dalam hitungan bulan Hijriah. Dan wajib berpuasa di bulan Ramadhan, selama sebulan penuh, tanpa pengurangan apapun. Secara moral, Puasa itu, pelatihan-diri, ia mengajarkan kita pengendalian-diri, kepercayaan-diri, kepuasan dan ketekunan;
  3. Memecat koleganya, Amarah, dan tak diperbolehkan melangsungkan kontak, dengan alasan apapun, dan dengan cara apapun.
Tergugat II, Amarah, divonis menjalani hukuman pengekangan.

Tergugat III, Kaki dan Tangan, divonis menjalankan segala tugas dan kewajibannya, sesuai fitrahnya.

Hakim menambahkan, “Adapun Syahwat, telah bertindak “Contempt of Court,” yaitu ketidaktaatan, atau ketidakhormatan, terhadap pengadilan dan pejabatnya, dalam bentuk perilaku yang membantah atau menentang otoritas, keadilan, dan martabat pengadilan, dengan demikian, pengadilan memutuskan, mencabut izin kepengacaraannya, sampai ia sadar sepenuhnya."
Hakim, sejak saat itu, menutup kasus ini."
Rembulan menyimpulkan, “Duhai Pungguk! Negara itu, ibarat sebuah tubuh, jika setiap komponennya menjalankan amanah Allah, tak menutup kemungkinan, tabir Masyarakat yang Adil dan Makmur, Insya Allah, akan tersingkap. Wallahu a'lam.”
Kutipan dan Rujukan:
- Capt. Anas Abdul-Hameed Al-Qoz, Men and The Universe - Reflections of Ibn Al-Qayyem, Darussalam
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
- H.W. Dulcken, Ph. D, What the Moon Saw and Other Tales by Hans C. Andersen, George Routledge and Sons.