Jumat, 20 Agustus 2021

Kecantikan, Tak Sebatas Kulit (1)

“Semalam, aku telah menyampaikan ucapan Hakim Pertama, tentang Hikmah dan Aqidah. Malam ini, akan kusampaikan perkataan Hakim kedua,” sapa sang Rembulan setelah ucapkan salam.

Hakim kedua, menyatakan, "Tata-krama, dalam banyak budaya, ditentukan oleh keadaan lokal, dan oleh sebab itu, tunduk pada perubahan keadaan itu. Masyarakat manusia, bahkan komunitas suku primitif, sejak awal sejarah, semuanya telah mengembangkan aturan guna menata perilaku hubungan pribadi dan sosial. Aturan-aturan Ptah Hotep, buku tertua tentang Tata-krama, yang dikaitkan dengan orang Mesir kuno, mencatat ajaran-ajaran seorang ayah kepada putranya, tentang perilaku yang baik. Setiap orang, telah mematuhi aturan dan normanya sendiri; tata-krama telah sangat berubah selama berabad-abad, bahkan setiap orangpun, sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dalam periode dan waktu tertentu.

Dalam perspektif Islam, Tata-krama Islam itu, ajek, karena berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Prinsip-prinsip luas, yang diperlukan guna menyelaraskan masalah-masalah, yang muncul dalam masyarakat manusia di berbagai zaman, terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagai cara hidup yang lengkap, Islam mengatur kegiatan ekonomi, politik dan ibadah serta tata-krama, yang berkaitan dengan transkasi dan rutinitas manusia sehari-hari. Islam tak sebatas pada kebaktian dan kelegalan tata-krama semata; tapi mencakup kriteria dan nilai-nilai, sikap, kebiasaan dan sopan-santun dalam setiap jangkauan perhatian dan hubungan manusia. Sebagai bagian dari keseluruhan ini, tata-krama Islami, berasal dari makna-makna Islam yang lapang, dan mencerminkan gagasan-gagasan dan nilai-nilai global.

Tata-krama yang baik, yang dianut Islam, yang diturunkan dari ajaran dan petunjuknya, disebut Adab al-Islam. Adab itu, istilah Arab, yang bermakna adat-istiadat; menunjukkan kebiasaan, etiket, kode perilaku yang berasal dari orang-orang yang dianggap sebagai panutan. Selama dua abad pertama setelah munculnya Islam, istilah 'adab' membawa implikasi etis dan sosial. Akar kata 'دب ' bermakna hal yang luar biasa, atau persiapan, pesta. Adab dalam pengertian ini, serupa dengan 'urbanitas' dalam bahasa Latin—kesopan-santunan, budi-bahasa, keberadaban kota yang berbeda dengan kekasaran Badui. Jadi, adab terhadap sesuatu, bermakna cara yang baik dari sesuatu itu.
Islam menentukan setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Fakta esensial ini, sangat sulit dipahami oleh non-Muslim. Bagi seorang mukmin, Islam memberikan kriteria menilai seluruh perilaku dan tindak-tanduknya; ia menentukan hubungannya dengan individu lain, dengan masyarakat secara keseluruhan, dengan dunia fisik, dan juga, menentukan hubungan dengan dirinya sendiri.
Berbagai aspek Islam—ideologi, spiritual, hukum, sosial, ekonomi, politik, dll—saling konsisten dan saling melengkapi. Ekstensifnya adab al-Islam, sangat kontras dengan batasan 'etiket'. Asal-usul 'etiket,' dapat ditelusuri ke kata Prancis 'une etiket (tiket), daftar aturan rumit yang menetapkan perilaku, yang dapat diterima untuk setiap situasi, yang mungkin ditemui di pengadilan'. Adab al-Islam, bukan hanya aturan sopan-santun dalam berbagai kesempatan, tapi mencakup, segenap rentang hubungan manusia, dari tindakan yang paling sederhana, hingga urusan-urusan sosial yang paling rumit.
Makna adab al-Islam yang sebenarnya, terletak pada karakter dan fitrah keagamaannya. Ia berasal dari, dan menopang, kebutuhan manusia agar mengingat Allah, dalam rutinitas sehari-harinya; ia dirancang agar terus mengingat Allah, dan membantunya bertindak wajar dan benar. Ini terlihat nyata dalam doa-doa kepada Allah, yang menyertai sebagian besar peristiwa perilaku keseharian dalam Islam. 
Salah satu fondasi utama adab al-Islam itu, moral, landasan kepercayaan-diri dan kekuatan sebuah bangsa, dan lantaran itulah, korupsi dan maksiat, tentu saja merupakan salah satu penyebab utama kemunduran dan disintegrasi suatu bangsa. Mengingat pentingnya moralitas bagi kesehatan suatu bangsa, Islam normatif, pastinya, berhak menghadang dengan segala cara, yang mengarah pada kerusakan. Kenikmatan materil, seyogyanya tak mengorbankan kebajikan manusia, individu dan masyarakat. Politik, juga hendaknya sesuai dengan makna Islam, yaitu pengembangan karakter manusia, memanusiakan manusia.

Cita-cita kemanusiaan manusia, didasarkan pada konsep 'Amal Shalih' atau perbuatan-baik. Istilah ini, menerobos apa yang umumnya dipahami sebagai domain 'keagamaan' dan mencakup berbagai aktivitas manusia—dalam hubungannya dengan orang lain, hingga pada lingkungan benda bergerak dan tak-bergerak—yang dibenarkan dalam agama dan hukum Islam. Kehidupan Rasulullah (ﷺ), memberikan banyak keteladanan nyata: berlaku adil di antara dua orang, membantu seseorang menunggang kudanya, menolong memuat barang-barangnya, mengucapkan kata-kata yang baik, menghilangkan gangguan dari jalan-raya atau jalan-setapak, memberi makanan dan air-minum bagi anjing dan kucing liar, lebih dahulu menyapa orang lain, mengunjungi kerabat, dll; bahkan aktivitas bercinta dalam pernikahan, dinilai sebagai perbuatan-baik.
Karakteristik yang paling inklusif dari kepribadian Muslim yang ideal itu, kejatmikaan, kebersahajaan, dan tanpa keberpura-puraan. Keangkuhan dan kejemawaan dalam segala aspek perilaku, tak diterima, sebab tiada individu yang lebih tinggi dari yang lain, kecuali dalam tingkat iman dan kontribusi perbuatan baik. Jadi, pakaian yang menunjukkan keangkuhan, yang memamerkan status-sosial, tak diperkenankan. Tata-krama dalam makan, selayaknya menunjukkan kerendahan-hati, sebelum dan selama makan: tak dianjurkan bersandar di bantal. Duduk di lantai saat makan, tanda kerendahan-hati, dan karenanya, dianjurkan. Perabotan, sepantasnya menunjukkan kesopanan dan pengendalian-diri; misalnya, tempat-tidur, janganlah terlalu tinggi di atas tanah. Cara berjalan, cara menyapa dan berbicara, secara umum, hendaknya, menghindari noda-kekibiran.

Islam meminta dan menuntut, kebersahajaan dan kewajaran dalam segala aspek kehidupan, duniawi dan keagamaan. Berlebihan, eksentrisitas dan kepura-puraan, plin-plan dan ruwet, ditolak. Desakan pada informalitas tertentu dalam adab al-Islam, dimaksudkan agar memudahkan penggunaannya oleh sebagian besar anggota masyarakat Muslim. Kealamian tata-krama, dinilai sebagai sarana meredakan ketegangan-sosial, mengaktifkan dan memperkuat hubungan sosial.

Adab al-Islam, tak dirancang memecah-belah masyarakat menurut kelas sosial. Aturan-aturan yang diturunkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, tak dirumuskan oleh golongan tertentu, yaitu golongan kaya dan berkuasa, agar menundukkan atau menjauhkan golongan lain. Islam sangat mementingkan kepatuhan seluruh masyarakat Muslim pada adabnya. Ia tak menganggap tata-krama ini, sebagai hak istimewa atau pemeliharaan kelompok tertentu, melainkan sebagai hak istimewa yang terbuka bagi setiap anggota masyarakat. Beragam tingkatan etiket, tak ada dalam Islam.

Fungsi Adab al-Islam dalam mempersatukan umat Islam, sekaligus sebagai ekspresi persatuan, sangat jelas. Namun Adab al-Islam, bukan sekadar tentang koherensi atau konsistensi perilaku; melainkan tentang koherensi atau konsistensi perilaku yang tepat. Dalam Islam, gagasan tentang perilaku yang 'tepat,' tak dapat dipisahkan dari pengertian perbuatan 'baik', atau dari 'iman' dan 'takwa'. Iman dan perbuatan-baik, keduanya diperlukan di dunia ini, demi masyarakat yang makmur dan ideal, dimana ada saling-berbagi dan tanggungjawab bersama. Dan kelak di Akhirat, iman dan perbuatan-baik itu, syarat yang diperlukan guna ampunan dan keselamatan, agar dapat masuk Jannah. Berlimpah ayat dalam Al-Qur'an, menghubungkan Iman dan Perbuatan-baik, sebagai ciri khas seorang Muslim sejati.

Dalam Islam, apa yang 'sentral' dan 'esensial,' ditentukan oleh hubungannya yang luas dengan tujuan-tujuan Islam, di antaranya, peradaban atau kemajuan masyarakat manusia, menggalakkan kebahagiaan dan kemakmuran, materi dan moral. Jika ditelaah, ketentuan dan larangan, yang merupakan bagian dari ajaran Islam, akan terlihat bukan keputusan yang sewenang-wenang, melainkan sistem perintah yang teratur, yang tujuannya—selain menguji ketaatan dan kesetiaan manusia kepada Allah—kemajuan manusia, sesuai jalur yang aman. tepat dan sempurna, pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Rincian Adab al-Islam bukanlah formalitas yang tak berarti, tak disukai individu, karena tak terkait dengan kebutuhan aktual kehidupan pribadi atau sosialnya. Sebaliknya, ia secara langsung, membahas berbagai fungsi dasar, yang menyangkut seluruh anggota masyarakat, di hampir setiap waktu dalam kehidupannya. Ia ditujukan, mengkonsentrasikan perhatian pada pusat dan esensial, agar menyelamatkan manusia dari sesuatu yang kurang penting, dan yang mengalihkan perhatian. Ia membedakan cara dari tujuan, dan membantu individu dan komunitas, mengelola sumber daya pribadi dan kolektif, secara efektif. Mungkin bermanfaat bila mengilustrasikan poin umum ini, dengan membuat daftar kebutuhan dan fungsi dasar manusia seperti yang terlihat dalam perspektif adab al-Islam berikut:
  • Pakaian, terutama dimaksudkan melindungi pemakainya dari cuaca, dan menutupi bagian-bagian tubuh;
  • Perumahan, bertujuan menyediakan perlindungan dari iklim, dan mengamankan privasi dan keamanan yang diperlukan;
  • Kebersihan, selain melindungi manusia dari penyakit, juga mengekspresikan rasa-kemanusiaannya;
  • Perhiasan, make-up, dll., sarana seorang wanita agar terlihat menarik dan menyenangkan, di hadapan suaminya;
  • Cara berbahasa, penting sebagai sarana komunikasi, melayani dalam fungsi penting pertukaran dan hubungan dengan orang lain, seperti membeli, menjual, dll;
  • Humor, mengurangi ketegangan, dan menenangkan khalayak dalam sebuah pertemuan;
  • Hadiah, dimaksudkan agar mengungkapkan niat-baik, dan membina hubungan-baik dengan orang lain;
  • Mengundang orang lain makan, berbagi makanan dengan orang lain, agar menciptakan dan memperkuat ikatan sosial;
  • Hubungan sosial itu sendiri, dihargai karena mencegah atau membatasi isolasi-individu. Adat-istiadat sosial, dihargai, lantaran menciptakan stabilitas dan harmoni dalam hubungan sosial.
  • Makam, terutama untuk menghormati orang mati, tapi juga, melindungi yang hidup dari mayat yang membusuk;
  • Hewan, dalam hubungan langsung dengan manusia, dimaksudkan agar digunakan semata demi tujuan tertentu, seperti penyediaan makanan, tenaga-kerja, transportasi. Mereka tak bertujuan digunakan oleh manusia sebagai hiburannya, semisal, saat binatang saling diadu.
Aturan perilaku kehidupan Muslim, mengandung hikmah, baik dilihat dari segi agama, budaya, sosial, ekonomi, psikologis, maupun medis. Oleh sebab itu, demi kehidupan yang sehat dan seimbang, individu dan masyarakat, hendaknya menerapkan aturan-aturan ini, secara komprehensif dan seksama. Dimanapun diterapkan, dua hal yang sekiranya selalu diingat, yaitu kebajikan dan pertimbangan. Di antara akar makna 'Islam' itu—selain berserah-diri atau tunduk—perdamaian; seorang 'Muslim' itu, orang yang sudah tunduk pada ketetapan Allah, yang telah berusaha berdamai dengan Allah dan makhluk-Nya. Selain itu, Rasulullah (ﷺ) memastikan, seorang 'Muslim,' sebagai orang yang tak menyakiti orang lain, baik dengan tangan, ataupun lidah.

Kisah berikut, sketsa tentang nasihat seorang ayah, kepada putra dan putrinya.
[Bagian 2]