Selasa, 03 Agustus 2021

Sekilas Tentang Hadits

Dengarkan apa yang disampaikan Rembulan kepada Pungguk, "Pelestarian Al-Qur'an, tak terbatas pada perlindungan kata-katanya dari perubahan. Jika demikian, maknanya dapat diselewengkan sesuai keinginan manusia, walau masih mempertahankan kata-katanya. Namun, Allah juga melindungi makna esensialnya dari perubahan, dengan mempercayakan penjelasan makna Al-Qur'an kepada Rasulullah (ﷺ). Oleh karenanya, jika seseorang hendak memahami makna Al-Qur'an, ia seyogyanya, meninjau perkataan dan tindakan atau sikap Rasulullah (ﷺ), yang berkenaan dengannya.
Hadits, merupakan sumber personawi dari Petunjuk Ilahi yang dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nya (ﷺ), yang berkarakter serupa dengan Al-Qur'an itu sendiri. Perkataan dan tindakan Rasulullah (ﷺ), terutama didasarkan pada wahyu Allah dan, dengan demikian, patut dianggap sebagai sumber pedoman mendasar yang kedua setelah Al-Qur'an.
Hadits, sangat penting bagi kelancaran Hukum Peradilan di negara-negara Islam. Salah satu tugas utama Rasulullah (ﷺ), menjadi Hakim di antara Umat, dalam perselisihan mereka. Karena pertimbangan beliau (ﷺ), segalanya didasarkan pada Wahyu, Hadits, sepantasnya dianggap sebagai sumber utama prinsip-prinsip yang dengannya, dilakukan pertimbangan.
Kehidupan sehari-hari Rasulullah (ﷺ), sebagaimana dicatat dalam Hadits, merupakan kode perilaku-baik, yang ideal. Oleh sebab Rasulullah (ﷺ) dituntun oleh Wahyu dalam kehidupan pribadinya, karakter dan interaksi sosialnya, menjadi teladan utama perilaku moral bagi umat Islam, hingga Akhir Zaman.
Apapun yang Rasulullah (ﷺ) ucapkan atau lakukan, dipandang sebagai bagian dari Sunnahnya—yaitu. cara—yang merepresentasikan penerapan praktis Islam, sesuai Petunjuk Ilahi.

Rasulullah (ﷺ) biasa mendorong para Sahabat—siapapun yang melihat Rasulullah (ﷺ) dan meninggal dalam keadaan Islam, disebut Sahabi (jamak, Sahaabah, Sahabiyat untuk wanita), yang bermakna pendamping, walau bila ia masih kecil—belajar dan menghafal Sunnahnya, dengan berbagai cara. Kadang-kadang beliau (ﷺ) mendudukkan dan meminta mereka mengulangi doa-doa tertentu yang beliau (ﷺ) inginkan agar mereka hafalkan, dengan cara yang sama saat beliau (ﷺ) meminta mereka belajar Al-Qur'an. Pada kesempatan lain, beliau (ﷺ) akan mengulanginya sendiri, tiga kali, sehingga para Sahabat dapat menghafal pernyataan-pernyataan yang lebih penting. Adakalanya, beliau (ﷺ) mencontohkan ritual yang harus dilakukan, lalu beliau (ﷺ) meminta mereka, melakukannya seperti yang telah beliau (ﷺ) lakukan. Di lain waktu, beliau (ﷺ) meminta beberapa Sahabat mencatat beberapa hal yang lebih rumit.
Setelah Nabiyullah (ﷺ) wafat, Sahabat yang lebih tua, mulai mengajarkan Sahabat yang lebih muda, ucapan dan tindakan Rasulullah (ﷺ), yang tak pernah mereka dengar atau amati. Baik Sahabat yang lebih muda, maupun yang lebih tua, mengajar mereka yang telah memeluk Islam selama hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah (ﷺ), dan dengan demikian, tak pernah punya kesempatan belajar apapun secara langsung dari Rasulullah (ﷺ).
Ketika Islam menyebar ke seluruh Arab, dan ke Suriah, Irak, Persia, serta Mesir, pada masa pemerintahan Khalafaur Rasyidin, para Sahabat mulai mengajarkan kepada mereka yang baru masuk Islam, prinsip-prinsip agama. Mereka berkata kepada orang-orang yang berkumpul di sekitar mereka, “Aku melihat Rasulullah (ﷺ) melakukan ini,” atau “Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) mengatakan itu.” Inilah bagaimana rantai-perawi dari Sunnah dimulai. Orang-orang Muslim yang belajar di bawah didikan para Sahabat, kemudian disebut sebagai Tabi'in.
Sebagian besar Tabi'in, menghafal dan mencatat pernyataan Nabi (ﷺ), yang dikutip oleh para Sahabat. Mereka kerap melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia Muslim pada waktu itu, guna mempelajari sebanyak mungkin Sunnah Nabi (ﷺ) dari sebanyak mungkin Sahabat.
Tatkala para Sahabat mulai ada yang wafat dan berkurang, serta Islam menyebar ke India, Afganistan, Rusia, Cina, Afrika Utara dan Spanyol, para Tabi'in mengambil peran yang ditinggalkan para Sahabat, dan memulai tugas besar mengajar para mualaf baru ke Islam, prinsip-prinsip agama. Mereka berkata kepada orang-orang yang berkumpul di sekitar mereka, “Aku mendengar Sahabi Fulan, mengatakan bahwa ia melihat Nabi (ﷺ) melakukan ini,” atau, “Aku mendengar Sahabi Fulan, mengatakan bahwa ia mendengar Nabi (ﷺ) mengatakan itu." Dengan cara ini, mata rantai kedua dalam rantai-perawi hadits, bertambah.
Mereka yang belajar di bawah Tabi'in kemudian disebut Atba' at-Tabi'in (pengikut dari pengikut). Banyak dari murid-murid baru ini, acapkali melakukan perjalanan selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan untuk bertemu dan belajar di bawah berbagai Tabi'in, dan sangat berhati-hati dalam menghafal dan menuliskan penyampaian dari guru mereka.

Jika engkau membaca buku yang hanya berisi hadits, engkau akan melihat bahwa sebuah hadits memiliki dua bagian utama.
  • Yang pertama, Isnad (rantai-perawi). Ini memberikan rincian daftar orang-orang yang terlibat dalam menyampaikan hadits, biasanya dimulai dengan para Sahabat, yang pertama meriwayatkannya sampai ke orang yang menyampaikannya kepada pengumpul.
  • Yang kedua, Matan (teks). Inilah kata-kata hadits yang sebenarnya. Perlu diingat, bahwa matan, tak ada gunanya jika rantai-perawinya tak dapat diandalkan, yaitu bila ada perawinya diduga berdusta, sehingga tak dapat dipastikan bahwa hadits itu benar.
Setiap jenis sastra, mengembangkan ciri-ciri tertentu yang khas pada sifat dan muatannya, dan karakter orang-orang yang mengolahnya, dan kondisi sosial, politik atau sejarah yang khas dimana ia berasal dan berkembang. Literatur hadis tak terkecuali dalam aturan ini. Sistem isnad digunakan untuk menyampaikan puisi pra-Islam. Namun, dalam literatur hadits, ia mencapai puncaknya dimana, ia dianggap sebagai bagian integral dari agama itu sendiri.
Terlepas dari asal Isnad, tak ada keraguan bahwa setelah memakai sistem tersebut, umat Islam mulai mempertimbangkan Isnad, bagian tak terpisahkan dari hadits, dan mengembangkannya. Mereka memberikan landasan yang kokoh dengan memperkenalkan metode kronologis, menyusun biografi para perawi, dan membangun ilmu untuk menentukan nilai-muatannya dan keaslian saluran penyebarannya.
Praktik menentukan isnad, tak hanya hadits, melainkan juga, buku-buku, dimana mereka dikumpulkan, yang sangat berharga dalam menjaga integritas buku-buku di sebuah zaman, dimana penerbitnya tak dikenal, dan penciptaan karya-karya palsu dan terdistorsi. merupakan pekerjaan yang relatif mudah. Praktik sertifikasi ilmiah, tampaknya unik dalam sejarah sastra dunia, seperti halnya literatur hadits yang unik dalam menggunakan metode identifikasi sumber yang menyeluruh dan sistematis. Naskah-naskah Yunani, Latin, Ibrani, dan Siria, jarang, jika pernah, memberi kita begitu banyak informasi tentang asal-usul dan penggunaan sebuah buku.
Sistem Isnad, meskipun berasal dari literatur hadits, diperluas oleh para penulis Arab ke banyak genre lain, termasuk geografi, sejarah, dan prosa-fiksi.

Para ulama hadits awal, dari dua abad pertama, umumnya mengklasifikasikan hadits ke dalam dua kategori besar: Shahih (asli) dan Da'if (lemah). Imam at-Tirmizi, orang pertama yang membedakan kategori Hasan (terpercaya) dari kategori Da'if.

Kekacauan menyebar ke seluruh negeri Muslim, dan orang-orang jahat mulai mengarang hadits. Para pengumpul hadits (muhadits), memutuskan bahwa untuk memerangi para pendusta dan ahli bid'ah, mereka hanya akan mengambil hadits dan mencatatnya, jika semua orang dalam rantai hadits, diketahui dapat dipercaya. Pada gilirannya, ini berarti bahwa kriteria, layak diterapkan, tentang bagaimana menilai keandalan dan meneliti cerita orang-orang, sehingga hadits palsu tak dianggap sebagai hadits yang asli.
Sejarah Muslim menyaksikan banyak kekacauan dan kekisruhan, setelah pembunuhan 'Utsman, radhiyallahu 'anhu, Khalifah ketiga. Pertikaian antara pendukung 'Ali dan 'Aisyah, radhiyallahu 'anhum, dan kemudian pendukung Mu'aawiyah, menyebabkan timbulnya sekte Syi'ah dan Khawarij. Banyak hadits yang dibuat untuk mendukung 'Ali dan Ahlul Bait oleh Syi'ah sendiri, seperti yang diakui oleh sumber Syi'ah yang cukup dikenal. Irak menjadi pusat pemalsuan hadits.
Selama hari-hari terakhir Kekhalifahan Umayyah, dan sepanjang periode ‘Abbasiyah, sejumlah masalah yang berkaitan dengan Keimanan dan sifat-sifat Allah diangkat. Diskusi tersebut mengarah pada terbentuknya berbagai faksi yang dikenal sebagai Qadariyyah, Jabariyyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Mujassimah, dan Mu'attilah. Pendukung masing-masing pendapat, mengarang hadits-hadits yang kontradiktif, baik mendukung suatu pendapat, atau menolaknya.
Ada banyak orang kafir yang menerima Islam sebagai kedok bagi kegiatan bawah tanah mereka. Karena kekuatan Islam, mereka tak dapat secara terbuka menentangnya dan berkomplot melawannya, sehingga mereka berusaha merusaknya dengan menciptakan kumpulan hadits fitnah untuk merusak citra murni Islam. Di antara mereka, 'Abdul-Karim ibnu Abil-Aujaa, saat ia akan dihukum mati atas perintah Muhammad ibnu Sulaiman ibnu 'Ali, Amir Basrah, mengakui, “Demi Allah, aku telah membuat empat ribu hadits yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”
Cerita-cerita menakjubkan, penuh peristiwa luar biasa, dan disajikan secara menarik, selalu menjadi sumber inspirasi bagi orang awam. Akibatnya, para pendongeng, biasanya berusaha keras memperindah cerita yang mereka sampaikan, kepada khalayak yang mudah tertipu, di masjid-masjid. Beberapa pendongeng, mencari nafkah dari menghibur orang. Agar cerita mereka lebih diyakini, sebelum cerita, mereka menambah Isnad yang lengkap. Ia akan terkesan sebagai sebuah hadits, dan ini termasuk hadits palsu atau maudhu'. Seringkali, kata-kata bijak, dipalsukan sebagai hadits.

Dari semua ini, maka yang berkembang, ilmu hadits. Ia berkenaan dengan pengumpulan dan analisis hadits, tentang keabsahannya. Ia tak dilakukan pada satu masa tertentu, melainkan selama periode bertahap, oleh banyak tokoh kunci. Tiada istilah baku yang digunakan, tetapi secara umum, prinsip yang digunakan, secara keseluruhan, sama.
Salah seorang muhadditsin yang lebih menonjol muncul, Imam al-Bukhari, rahimahullah. Ia terbukti sebagai seorang penghimpun dan analis hadits terbaik, sehingga namanya, akan disebutkan setiap kali ada pembahasan hadits. Ia tak hanya menghasilkan sebuah karya yang akan menyebarkan dan menjelaskan Islam, melainkan juga menghasilkan sebuah karya yang segera menjadi kitab, yang dengannya, kompilasi hadits lainnya, diukur. Belakangan, kitabnya yang dikenal sebagai Sahih al-Bukhari, diakui oleh seluruh umat Islam sebagai kitab yang paling Shahih setelah Al-Qur'an.
Nama lengkapnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah. Ia dilahirkan setelah shalat Jum'at pada tanggal 13 Syawal tahun 194 H, di kota Bukhara, sekarang berada di Uzbekistan.
Suatu ketika, selagi Imam al-Bukhari menemui seseorang dengan tujuan memperoleh sebuah hadits, sesampai di rumah orang tersebut, Imam al-Bukhari melihat bahwa ia berusaha menangkap kudanya yang lepas, dengan memegang ujung jubahnya sedemikian rupa, seolah-olah ada makanan di dalamnya. Kuda yang melihatnya, kembali, dan ia dapat menjeratnya. Imam al-Bukhari, saat menyaksikannya, bertanya, “Sungguhkah ada makanan di saku jubahmu?” Orang itu menjawab, “Tidak, itu tipuan agar bisa menjerat kuda.” Imam Bukhari menjawab, “Aku takkan mengambil dari orang yang berbohong dan menipu kuda.” Dan iapun pulang tanpa menanyakan haditsnya.

Metode yang digunakan oleh para ulama hadits, dapat diterapkan mendeteksi keabsahan sebuah informasi, fakta atau cuma kabar-angin. Pertama, dengan menelusuri sumbernya, Isnadnya. Selanjutnya, muatannya, Matannya, perlu pula dicermati, tak hanya mengandalkan satu sumber. Dengan demikian, klarifikasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan muatan informasi, memang penting. Kelayakan esensi informasi, perlu dipertimbangkan, sebelum membagikannya kepada orang lain.
Jadi, mempelajari hadits, selain bermanfaat dalam mengenal Sunnah, lebih jauh mengajak kita, agar bijak menyikapi, tak sekadar dalam hal mendengar sebuah informasi, melainkan lebih dari itu, dalam aspek berbagai peristiwa. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan :
- Dr Abu Ameenah Bilal Philips, Usool al-Hadeeth : The Methodology of Hadith Evaluation, IIPH
- Maulana Ahmad Ali, Imam Bukhari : His Life & Works, Al Ma'hadul Islami.