Jumat, 27 Agustus 2021

Omnes Pro Uno

"Dan apa yang diucapkan Hakim Ketiga?" bertanya Pungguk segera setelah Rembulan menyapanya dengan salam. Rembulan menjawab, "Kan kusampaikan apa yang kutangkap!
Hakim ketiga menyebutkan, "Persatuan memberi kekuatan. Perpecahan dan permusuhan, akan menjungkirbalikkan negara, sedangkan persatuan, melahirkan perkembangan dan kehebatan. Sebuah kerajaan yang terpecah-belah, tak dapat bertahan. Dan karena begitu pentingnya Kesetiakawanan dan Aliansi, bagi keberadaan dan kebahagiaan kita, tak perlulah kita sering diperingatkan agar tak membiarkannya dicerai-beraikan oleh para pendongeng dan pembisik, atau rencana-rencana busuk para rival kita.

Perhatikan sketsa berikut,
Tersebutlah seorang Raja, memiliki banyak Putra, dan masing-masing, memelihara panji-panjinya sendiri. Namun, mereka sinambung saling-bertikai tentang pataka siapa yang terbaik. Hari demi hari, mereka terus-terusan bertengkar, sampai-sampai tercerai jadi dua kelompok. Kelompok pertama, terdiri dari pangeran yang disokong oleh para bangsawan, dan karenanya, punya keunggulan. Mereka mampu menguasai para penggawa, wazir, aparat keamanan, hakim dan hampir seluruh orang-besar Istana. Mereka menyebut dirinya, "Para Pemegang Pataka."
Mereka berhasil menghalau kelompok kedua, para pangeran yang berpihak pada rakyat-jelata, keluar dari lingkaran istana. Mereka menempatkan kelompok kedua, di seberang sungai, dan mereka menyebutnya "Para Antagonis."
Para Pemegang Pataka, berbuat sesuka hatinya, bahkan adat-istiadat Istana pun, jika menghalangi maksud dan tujuan mereka, segera diubah. Walhasil, seluruh aturan telah dialihkan menjadi, apa yang disebut, "Unus pro Omnibus," yaitu keuntungan bagi mereka, dan hukuman bagi semua, yang menolak cara mereka. Haruskah sebuah buku dinilai dari sampulnya?
Sang Raja, tak mampu berkata apa-apa, ia gagal memulihkan perselisihan dengan nasihatnya, meskipun telah menggunakan segala cara dalam kekuasaannya, agar membujuk mereka, menghentikan perselisihan. Ketika pertengkaran itu, jauh lebih ganas dari biasanya, sang Raja ambruk, gering-gawat, tertekan memikirkan para putranya.
Suatu hari, di ambang kematian, sang Raja, disertai oleh Tabib kepercayaannya, ditemani putranya yang masih muda, memanggil para Pangeran. Para Antagonis, apes, sebab, satu-satunya jembatan, darimana mereka berada, telah diruntuhkan, dan para pengawal, dikerahkan menghalangi mereka, menyeberangi sungai. Lantas, cuma Para Pemegang Pataka yang menghadiri pertemuan dengan sang Raja.

Maka, mereka berkumpul mengitarinya, menunggu nasihat perpisahan. Ia menceritakan sebuah fabel,
Empat ekor Banteng, telah menjalin kesetiakawanan yang sangat erat, selalu saling berdekatan, dan makan bersama. Sang singa selalu memperhatikan mereka, dan sering berniat, memangsa mereka satu per satu. Akan tetapi, meski ia sendiri, mampu dengan mudah menaklukkan seekor dari mereka, ia tak berani menyerang seluruh Aliansi, sebab ia sadar, hal itu akan menyulitkan dirinya. Berhubung demikian, ia berpuas-diri dengan menjaga-jarak. Belakangan, merasa tak ada upaya yang bisa diperbuat terhadap mereka, selama ada persatuan di antara para banteng, ia mengambil peluang, dengan kisikan dan duaja, yang menimbulkan kecemburuan-sosial dan menimbulkan perpecahan di antara mereka.
Taktik ini berhasil dengan sangat baik, sehingga para Banteng saling-dongkol dan menutup-diri, yang segera matang jadi kebencian dan keengganan, dan, puncaknya, berujung pada perpecahan-absolut. Sang singa telah menunaikan misinya; dan—ketika para Banteng bersatu, mustahil baginya menyakiti mereka—kini, ia tak mengalami kesulitan sama sekali. Mereka telah bercerai-berai, sekaranglah waktunya, menerkam dan melahap para Banteng, satu demi satu.
Sungguh menyedihkan, tak satupun putranya, memahami perumpamaan dimaksud, mereka hanya saling-menatap, ketika ditanya, apa pesan moral cerita tersebut. Maka, ia memerintahkan salah seorang pangeran membawakan seikat tombak, lalu menyerahkannya kepada masing-masing pangeran lain, secara bergiliran. Ia meminta mereka, agar berusaha mematahkannya. Namun, meski masing-masing telah mengerahkan upaya terbaiknya, tiada yang sanggup. Sang Raja lalu menyuruh ikatan tombaknya, dilepaskan, dan setiap pangeran agar mengambil sebuah tombak, setelah itu, menginstruksikan masing-masing, mematahkannya, Dengan cara ini, mereka enteng melakukannya.
Dengan wajah ceria, sang Raja bertitah, "Nah, kalian semua, pahamkah?" Semuanya, diam, cuma saling pandang-pandangan, menggeleng dan bergumam satu sama lain, "Kaagak!" "'Gak kebayang!" "Mumet!" "Rah iso mikir!" "K'palaku pening!" "Kupingku berdenging!" "Cape deh!" "Apah?!" "Bisa diulang?"
Mendengar ini, sang Raja menepuk jidat, "Duh Gustiii!" dan mendadak, megap-megap, dan menghembuskan napas terakhirnya, dengan mulut menganga dan mata membeliak.

Dalam perjalanan pulang, sang pemuda bertanya kepada sang Tabib, "Duhai ayah, makna apa yang sang Raja hendak ungkapkan?" Sang Tabib menalarkan, "Pesan moral kisah empat Banteng, sangat populer, dan bila berupaya mencerahkannya, ibarat memegang lilin di bawah sinar-mentari. Pangkal Kesetiakawanan dan Aliansi itu, teramat penting bagi keberadaan dan kebahagiaan kita, tak perlulah kita terlalu sering diperingatkan, agar tak menderita bila dihancurkan oleh muslihat dan makar musuh kita. Dengan muslihat-keji seperti itu, atau memang oleh kecerobohan kita sendiri, kita kehilangan Kesetiakawanan, mengguncang kepentingan yang paling mendasar kita, dan singkirkan pilar yang berkontribusi mendukungnya. Perkara semacam ini, sah bagi semua individu, sahih juga bagi kerajaan dan negara; dan kata-kata bijak yang tak terbantahkan seperti yang ada sebelumnya, dipecut karena perhatian umat manusia, oleh insan terbaik yang pernah hidup, bahwa, manusia tak terkalahkan, jika bersatu.
"Mengenai Tombak," lanjut sang Tabib, "Sebuah kerajaan yang terberai oleh dirinya-sendiri, akan mengalami kehancuran; dan hal yang sama berlaku, di semua lini masyarakat dan korporasi manusia, dari konstitusi negara, hingga setiap perkumpulan kecil. Setiap keluarga, hendaknya menganggap dirinya sebagai bagian terkecil dari sebuah negara, dimana setiap anggotanya, pantas dipersatukan oleh satu kepentingan bersama. Perselisihan, berakibat fatal bagi kebahagiaan mereka, sebagaimana pengelompokan-pengelompokan, akan berbahaya bagi damainya persemakmuran. Namun sesungguhnya, perlunya Aliansi dan Kesetiakawanan, memperluas dirinya, ke segala jenis hubungan dalam kehidupan, dan akan sangat membantu, demi keuntungan mereka yang menghargai dan mengolahnya. Tak ada musuh yang berani menyerang anggota-tubuh manusia yang saling terkait-erat, dan akan takut menyinggung salah seorang anggotanya, agar tak menimbulkan kemarahan yang lain. Tapi jika mereka tersarak menjadi beberapa kelompok, dan terpercah-belah oleh pertikaian, bahkan lawan yang remeh pun, akan berani menyerangnya, dan seluruh persaudaraan akan bertanggung jawab atas kesalahan dan kekerasan itu."
Hakim Ketiga mengimbuhkan, "Tiada yang lebih penting demi melengkapi dan melanjutkan kesejahteraan umat manusia, selain masuknya mereka ke dalam, dan memelihara, Aliansi dan Kesetiakawanan. Keamanan suatu pemerintahan, terutama bergantung pada hal ini; dan karenanya, ia dilemahkan dan disibakkan oleh musuh-musuhnya, dalam bentuk perpecahan kelompok-kelompok. Sebuah kerajaan yang terpecah-belah, akan runtuh. Dan hal yang sama berlaku di antara semua kalangan masyarakat dan badan-usaha manusia, dari dasar-negara sampai ke setiap paguyuban kecil. Namun perlunya Kesetiakawanan, meluas ke segala macam hubungan dalam kehidupan; sebab itu sangat bermanfaat bagi sebuah keluarga atau bangsa. Mereka yang sebangsa, berkecenderungan alami untuk bersatu, yang mereka, dengan segala cara, tumbuh dan berkembang. Akan sangat melegakan bagi orang lain, saat melihat mereka ambruk di bawah bencana apapun, bila mengetahui bahwa ada banyak orang yang bersimpati; beban berat kesedihan, yang mereka tanggung, menjadi ringan, bila dibopong bersama-sama. Dan kemudian kebahagiaan, dari semua keinginan kita, butuh dikomunikasikan, dan umumnya bertambah, sebanding dengan jumlah mereka yang mengambil bagian dalam kebersamaan. Kita melawan ancaman dan dendam musuh, saat kita yakin, bahwa mereka tidaklah menyerang kita sendirian, melainkan menghadapi sekelompok Aliansi pada saat yang sama. Namun mereka yang berperilaku sedemikian rupa sehingga tak mau bersatu, hidup dalam ketakutan dan kedengkian abadi terhadap umat manusia, karena mereka sadar akan kelemahannya, dan tahu bahwa diri mereka mudah ditaklukkan, atau dipecahkan berkeping-keping oleh serangan perdana."

Rembulan memadukan, “Semua untuk Satu? Persatuan sungguh perlu, tapi bersatu demi membela kejahatan, penguasa lalim, pemimpin buruk, atau sesuatu yang mengarah pada kehancuran, perlu dipertanyakan. Dalam perspektif Islam, konsep Kesetiakawanan dan Aliansi, terkandung dalam doktrin al-Wala' wal Bara.' Kesetiakawanan dan Aliansi bagi seorang Muslim itu, teruntuk Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), dan orang-orang beriman, melalui keyakinan yang mengakar—'aqidah—dan atas pondasi yang kokoh. Ia tak membentuk Aliansi berdasarkan pengelompokan, kepentingan atau tujuan, maupun jalan, yang bertentangan dengan Kitabullah. Virtus omnia in se habet; omnia assunt bona, quem penes est vertus—Kemakrufan punya segala sesuatu dalam dirinya; sesiapa yang makruf, memiliki segala kebajikan, yang menyertainya. Umat ini, cukuplah bersama Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tak pantas di antara mereka, saling bermusuhan, karena beranggapan bahwa yang benar itu, apa yang dianut kelompoknya, dan yang bukan, disangkal. Wallahu a'lam.”
Kutipan dan Rujukan:
- Muhammad Saeed Al-Qahtani, Al-Walaa' Wa'l-Baraa', Al-Firdous Ltd
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons