Rembulan berkata setelah menyapa dengan salam, "Para pemimpin yang arif-bijaksana itu, mawas-diri; terjaga akan prasangkanya, kondisi-sosialnya, dan dengan demikian, mampu menyeimbangkan kecenderungan terlalu optimis dengan naluri intuitifnya. Seorang pemimpin yang bijak-bestari, mengumpulkan sebanyak mungkin ilmu dan pemahaman, agar memberdayakannya, demi membuat keputusan yang tepat, pada waktu yang tepat. Itulah sebabnya, para pemimpin yang arif-bijaksana, dikelilingi oleh orang-orang terbaik." "Dan apa pendapat Hakim Keempat?" Pungguk ingin tahu. Rembulan mengungkapkan, "Hakim Keempat menjelaskan, 'Islam punya 'Dimensi Politik' selain sifat spiritual dan sosialnya. Isu-isu politik disebutkan lebih dari 100 kali dalam Al-Qur'an, setidaknya, 73 di antaranya, berkaitan dengan mencela penguasa yang tidak-adil, atau menyanjung orang-orang yang menyanggah, menikai atau menentang penguasa seperti itu. Seseorang bertanya kepada Rasulullah (ﷺ), “Jihad apa yang terbaik?” Beliau (ﷺ) bersabda,
كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
"Kalimat kebenaran di hadapan penguasa-tiran." [Musnad Ahmad; Sahih menurut An-Nawawi]
Rasulullah (ﷺ) menyatakan bahwa, yang terbaik dari seluruh syuhada itu, orang yang melawan penguasa lalim, menuntut keadilan dan menentang ketidakadilan sang-penguasa, dan ia, sebagai akibatnya, bisa jadi, kehilangan nyawanya.
Hari pertama Kalender Islam itu, hari ketika Rasulullah (ﷺ) sampai di Madinah, dan disambut sebagai pemimpin politik baru negara-kota, bukan atas kelahiran beliau (ﷺ), atau awal wahyu. Dan di antara proyek pertama yang Rasulullah (ﷺ) mulakan di Madinah, ialah penyusunan kontrak sosial-politik, yang dikenal sebagai Sahifatul-Madinah atau Piagam Madinah, yang mengakui setiap suku di Madinah, mengenali agama lain, dan menggambarkan bagaimana semestinya hubungan dilakukan di antara kelompok-kelompok suku dan agama ini. Piagam tersebut termasuk kesepakatan pertahanan bersama, mekanisme dasar resolusi konflik antar kelompok, dan otonomi bagi orang Yahudi sehubungan dengan urusan internal mereka.
Dalam ranah politik, Al-Hikmah, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, mengangkat tema-tema luas tertentu mengenai isu-isu politik. Karena kedua sumber utama Islam ini, tak merinci banyak detail politik, bahkan saat keduanya membahas masalah sosial, politik, ekonomi, hukum, pribadi dan keluarga; penataan Undang-undangnya, tugas Ijtihad, atau yang dikenal sebagai 'Permusyawaratan\Perwakilan.'
Bila dikaitkan dengan konsep Demokrasi, ada dua konsep Islam yang berkaitan dengan politik: Syura dan Bai'at. Dalam pemikiran politik Islam, Syura, mengacu pada musyawarah, yang dilakukan dengan tujuan, mengumpulkan dan mendiskusikan pendapat yang berbeda tentang suatu hal tertentu, demi mencapai suatu keputusan. Mayoritas ahli fiqih klasik dan cendekiawan studi Islam kontemporer, menganggap Syura sebagai fardhu (diwajibkan). Para ulama—terutama yang berasal dari zaman klasik—yang memandang Syura bukanlah fardhu, tetap menganggapnya sebagai mandub (dianjurkan).
Konsep Syura atau Musyawarah, dipahami sebagai sarana tindakan yang disengaja, guna melindungi kepentingan publik dan menyelesaikan masalah publik. Jadi, apa itu musyawarah? Musyawarah bermakna, kegiatan mendiskusikan sesuatu dengan seseorang, sebelum membuat keputusan. Bermusyawarah bukanlah kebiasaan yang terisolasi. Kesediaan melibatkan-diri di dalamnya, dihasilkan langsung dari kualitas seperti kerendahan-hati, ketulusan, kehati-hatian dan semangat belajar. Tanpa kualitas-kualitas ini, tak seorang pun mampu turut-serta dengan tulus dalam Permusyawaratan. Iman kepada Allah, membawa serta semua kebajikan ini, dan membuat seseorang benar-benar tulus dalam segala aspek kehidupan. Ketulusan dan kerendahan-hati inilah, yang memaksa seorang mukmin agar tak memutuskan apapun, tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan orang lain.
Bentuk terbaik dari musyawarah itu, bilamana seseorang meminta nasihat orang lain, seraya berusaha berbagi pengalaman. Bermusyawarah itu, penting, tak hanya bagi individu, melainkan juga bagi masyarakat. Sejauh menyangkut individu, melalui musyawarah, ia mengembangkan kepribadiannya. Bermusyawarah, membuat seseorang menjadi orang yang lebih baik dan masyarakat yang terdiri dari individu-individu semacam ini, menjadi masyarakat yang arif-bijaksana.
Musyawarah yang berbuah, ada dua syarat yang menyertainya. Salah satu prasyarat musyawarah yang efektif, bahwa kedua-belah pihak hendaknya, berpikiran terbuka. Syarat lainnya, kedua-belah pihak, selayaknya siap menerima pendapat sesuai dengan kemampuannya dan tanpa bias. Bisa dilakukan antara si kaya dan si miskin, antara senior dan junior, antara yang berpendidikan dan yang tak berpendidikan, antara yang muda dan yang tua, atau antara lelaki dan perempuan. Sifat musyawarah yang mencakup semua ini, menjadikannya bermanfaat sampai batas tertinggi.
Kebiasaan bermusyawarah, menciptakan tingkat kepercayaan antara anggota masyarakat yang berbeda. Saling-percaya dan semangat kerja-sama, sangat penting demi membangun masyarakat yang baik, dan musyawarah itu, bagian penting dari prosesnya. Musyawarah, di satu sisi, budaya 'memberi dan menerima'. Ketika engkau memusyawarahkan suatu masalah dengan seseorang, itu bukan sekadar pertukaran verbal. Selama bermusyawarah, engkau mengambil sesuatu dari orang lain, dan juga memberikan sesuatu kepada orang lain. Sesungguhnya, masyarakat itu, ibarat keluarga, dimana adanya saling-percaya dan saling-menolong. Di sini, musyawarah tak bermakna menangani masalah-masalah besar belaka. Masalah semacam itu, tak diragukan lagi memerlukan musyawarah, akan tetapi, yang lebih penting, konsultasi pribadi. Setiap orang membutuhkan nasihat orang lain, bahkan dalam hal kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks politik Islam, Bai’at, dimaknai sebagai sumpah-setia yang diberikan kepada calon Kepala Negara, berdasarkan syarat-syarat tertentu. Hal ini dapat digambarkan sebagai kontrak dimana umat Islam mengucapkan bahwa mereka akan menerima orang yang dicalonkan sebagai pemimpin mereka, selama orang tersebut mematuhi syarat-syarat tertentu. Ini mungkin termasuk berbagai kebijakan dan janji yang berbeda tentang keadilan sosial, distribusi kekayaan, pertahanan militer dan sebagainya. Penting ditekankan bahwa, Bai'at dapat dibatalkan. Dengan demikian, Bai'at dapat dipersepsikan sebagai landasan bagi sistem 'checks and balances,' dan prinsip pertanggungjawaban negara kepada rakyat.
Konsep Bai'at, erat kaitannya dengan konsep Imamah atau konsep pengangkatan Kepala Negara, yang hukumnya, fardhu kifayah. Lembaga Kepala Negara, ditentukan untuk menggantikan kenabian sebagai sarana melindungi Dien dan mengelola urusan duniawi. Ada beberapa syarat yang sesuai dengan Imamah, umumnya, antara lain, Adil, yang memenuhi semua kriteria; Berilmu, yang membuatnya dapat melakukan ijtihad guna menghadapi kejadian-kejadian yang timbul, dan membuat kebijakan hukum; Pancaindranya lengkap dan sehat pendengaran, penglihatan, lidah, dan sebagainya, sehingga ia dapat menangkap dengan benar dan tepat, apa yang ditangkap oleh indranya itu; tak ada kekurangan pada anggota tubuhnya, yang menghalanginya bergerak dan cepat bangkit; Visi pemikirannya baik, sehingga ia dapat menciptakan kebijakan bagi kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka; Ia mempunyai keberanian dan sifat menjaga rakyat, yang membuatnya mempertahankan rakyatnya dan memerangi musuh. Ada juga syarat khusus, yaitu dari keluarga Quraisy, karena nash hadits kenabian tentang hal itu, dan berdasarkan ijma’.
Imamah, dalam doktrin Sunni, secara umum dipandang sebagai kekhalifahan historis, semacam kepemimpinan sah Islam setelah Nabi kita tercinta (ﷺ). Kepala Negara, dengan demikian, identik dengan khalifah yang berkuasa. Aturan yang sebenarnya, bahkan jika dikurangi seminimal mungkin, sangat diperlukan guna legitimasi imam. Teori Sunni klasik menganggap Lembaga Kepala Negara sebagai institusi yang diperlukan demi melegitimasi semua tindakan pemerintahan. Kepala Negara boleh ditunjuk oleh pendahulunya, atau dipilih. Dalam hal pemilihan, ada tiga syarat mengenai mereka yang berhak melakukan pemilihan, pertama, kredibilitas pribadinya atau keadilannya, memenuhi semua kriteria. Kedua, berilmu, yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak dan pantas memangku jabatan Kepala Negara dengan syarat-syaratnya. Ketiga, mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah, yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas memangku jabatan Kepala Negara, dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat.
Kepala Negara disebut Khalifah (penerus) karena ia meneruskan Rasulullah (ﷺ) sebagai kepala umatnya. Namun, mayoritas ulama, tak memperkenankan menyebutnya "Khalifah Allah," dan memperlakukan mereka yang mengatakan ini sebagai sesat, dengan argumen bahwa Khalifah meneruskan seseorang yang telah wafat, dan Allah tidaklah absen dan tidaklah mati.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tindakan meminta jabatan pemimpin negara, tidaklah makruh. Orang yang meminta jabatan dan berambisi memangkunya, tak dapat dihalangi atau dicegah, sebagaimana para anggota Dewan juga berkompetisi demi mendapatkan keanggotaanya. Tak diperbolehkan adanya dua Kepala Negara atau pemimpin dalam satu waktu, dan ada sepuluh urusan yang bersifat umum, yang mengikatnya. Pertama, menjaga Dien agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang konstan, dan sesuai pemahaman yang disepakati oleh Generasi Salaf. Jika muncul pembuat bid’ah atau kesesatan, ia berkewajiban menjelaskan hujjah kebenaran baginya dan menjelaskan pemahaman yang benar kepadanya, serta menuntutnya sesuai dengan hak-hak dan aturan hukum yang ada, sehingga Dien terjaga dari kerancuan dan pemahaman yang keliru. Kedua, menjalankan hukum bagi pihak-pihak yang bertikai dan rnemutuskan permusuhan antar pihak yang berselisih, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua orang. Tiada orang zhalim yang berani berbuat aniaya dan tiada orang yang dizhalimi, yang tak mampu membela dirinya. Ketiga, mennjaga keamanan masyarakat, sehingga manusia dapat hidup tenang dan bepergian dengan aman, tanpa takut mengalami penipuan dan ancaman atas diri dan hartanya. Keempat, menjalankan hukum had sehingga larangan-larangan Allah, tak ada yang melanggamya, dan menjaga hak-hak hamba-Nya agar tak hilang binasa. Kelima, menjaga perbatasan negara dengan perangkat yang memadai dan kekuatan yang dapat mempertahankan negara, sehingga musuh-musuh negara tak dapat menyerang dan tak menembus pertahanannya, serta tak bisa mencelakakan umat Islam atau kalangan kafir mu'ahad (yang diikat janjinya). Keenam, berjihad melawan pihak yang menentang Islam setelah disampaikan dakwah kepadanya, hingga ia masuk Islam atau masuk dalam jaminan Islam, atau dzimmah. Dengan demikian, usaha demi menjunjung tinggi agama Allah di atas agama-agama, seluruhnya dapat diwujudkan. Ketujuh, menarik fa'i dan memungut zakat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Syariat Islam, secara jelas dalam nash dan ijtihad. Kedelapan, menentukan gaji dan besarnya ‘atha kepada rakyat dan pihak yang mempunyai bagian dari Baitul-maal, tanpa berlebihan atau kekurangan, dan membagikannya tepat pada waktunya, tak lebih dahulu dari waktunya dan tak pula menundanya hingga lewat waktunya. Kesembilan, mengangkat pejabat-pejabat terpercaya dan mengangkat orang orang berkompeten demi membantunya dalam menunaikan amanah, dan wewenang yang ia pegang, serta mengatur harta yang berada di bawah wewenangnya, sehingga tugas-tugas dapat dikerjakan dengan sempurna dan harta negara terjaga di bawah pengaturan orang-orang terpercaya. Kesepuluh, agar ia melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya proyek, sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga negara. la tak diperkenankan menyerahkan tugas ini kepada orang lain karena sibuk menikmati kelezatan atau beribadah, karena orang yang dipercaya, dapat saja menjadi pengkhianat, dan para penasehat, dapat berubah menjadi para-penipu.
Jika kepala negara telah menjalankan hak-hak umat, ia telah menunaikan hak Allah, baik yang berkenaan dengan hak-hak manusia, maupun kewajiban yang harus ia emban.
Saat itu, sang Kepala Negara punya dua hak atas rakyatnya, yaitu taat pada pemerintahannya, dan membantunya dalam hal menjalankan roda pemerintahan dengan baik, sepanjang karakternya tak berubah. Perubahan sifat Kepala Negara yang membuatnya keluar dari kompetensi sebagai Kepala Negara, ada dua hal: kredibilitas pribadinya rusak, dan terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya. Rusaknya kredibilitas pribadi, dapat terjadi karena ia melakukan perbuatan yang fasik. Hal itu disebabkan dua jenis: ia mengikuti syahwatnya, dan mengikuti perkara yang syubhat. Yang pertama, berkaitan dengan perbuatan lahiriah, yakni dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan syahwat dan menuruti hawa nafsunya. Inilah kefasikan yang menghalanginya meneruskan jabatannya. Jika orang yang sedang menjabat Kepala Negara melakukannya, ia keluar dari kompetensi jabatannya itu. Jika ia kembali meraih kredibilitas pribadinya, ia tak dapat langsung memangku jabatannya kembali. Agar dapat menjabat kembali, ia harus mengikuti pemilihan dari awal.
Yang kedua, berhubungan dengan akidah, yaitu ia melakukan takwil terhadap suatu masalah yang syubhat, sehinga ia menghasilkan takwil yang menyalahi kebenaran.
Terdapat wujud ketidakmampuan Kepala Negara untuk bertindak, ada dua bentuk, yaitu 'terkuasai' dan 'tertawan.'
Pengertian terkuasai, jika pembantu-pembantunya, menguasai dan merebut kendali pemerintahan darinya, namun mereka tak memperlihatkan kemaksiatan dan membuat kesulitan terhadap masyarakat. Hal ini, tak menggugurkan jabatannya dan tak merusak legalitas jabatannya. Akan tetapi, hendaknya dicermati tindakan orang-orang yang menguasai kendali pemerintahannya itu. Jika berjalan sesuai dengan hukum agama dan keadilan, mereka boleh dianggap sebagai pelaksana kebijakan Kepala Negara. Hal ini dilakukan agar tak mengganggu jalannya pelaksanaan urusan-urusan agama, yang dapat membuat kerusakan Umat. Jika tindakan-tindakan yang mereka perbuat telah keluar dari rel tuntunan agama dan keadilan, mereka tak boleh diakui, dan selayaknya dimintakan pertolongan pihak yang dapat menangkap dan menghapuskan hegemoni kekuasaan mereka.
Adapun 'tertawan,' jika seorang calon Kepala Negara jatuh dalam tawanan musuh dan ia tak dapat membebaskan dirinya dari penawanan itu. Hal ini membuatnya tak dapat diangkat menjadi Kepala Negara, karena ia tak mungkin dapat menjalankan tugas jabatannya mengatur urusan kaum muslimin, baik musuh yang menawannya itu, kalangan musyrikin maupun kaum musiimin yang memberontak. Umat dapat memilih calon lain dari individu-individu yang berkompetensi, agar dipilih sebagai kepala negara.
Jika sang Kepala Negara jatuh ke dalam tawanan musuh setelah ia diangkat menjadi Kepala Negara, seluruh umat harus menyelamatkannya, karena dengan kepemimpinan yang ia pegang itu, kaum muslimin berkewajiban menyelamatkannya selama ia tetap memegang jabatannya, dan masih ada harapan membebaskannya, baik dengan perang maupun dengan penebusan. Adapun jika tak ada lagi harapan dapat dibebaskan, perlu dilihat siapa pihak yang menawannya, kaum muslimin yang memberontak, ataukah kaum musyrikin.
Perlu dicatat bahwa semua konsep yang telah dikemukakan, memanifestasikan kecenderungan yang kuat terhadap birokrasi dan mereka yang berada di dalam pemerintahan, agar menjalankan perintah Ilahi untuk 'mengajak pada kebajikan dan menolak berbuat kejahatan,' yang pada masa Rasulullah (ﷺ), dipahami sebagai tanggungjawab masing-masing dan setiap orang, dan kini telah dilembagakan ke dalam konsep Hisbah, sebuah doktrin Islam yang mengacu pada penegakan 'Moral Masyarakat,' berdasarkan perintah Al-Qur'an, 'amar ma'ruf, nahi munkar.' Ada pandangan yang meyakini bahwa para ulama, melaksanakan Hisbah dengan 'lidah,' dan para pejabat negara, sepantasnya menggunakan 'tangan.'