Selasa, 24 Agustus 2021

Kecantikan, Tak Sebatas Kulit (2)

Hakim Kedua bercerita, "Tersebutlah seseorang, punya putra dan putri. Sang putra, sangat tampan, dan sang putri, yang sedang-sedang saja. Suatu hari, mereka duduk di dekat cermin, yang berada di atas meja toilet ibu mereka. Sang putra, riang dengan barang barunya, memandang dirinya selama beberapa saat, dan dengan canda, namun agak lancang, menggoda sang putri, dengan mengatakan, betapa tampan dirinya. Sang putri tersinggung, dan tak tahan dengan ucapan nakal sang putra, ia memahaminya sebagai—sebab tak mungkin ia berbuat sebaliknya—dimaksudkan sebagai sindiran langsung padanya. Karenanya, ia segera berlari menemui sang Ayah, dan dengan sangat kesal, mengadu tentang sang kakak, terutama lantaran berlaku bak banci, bersolek di depan cermin, dan mencampuri hal-hal yang cuma menjadi milik kaum-wanita.
Sang ayah, memeluk keduanya, dengan penuh kelembutan dan kasih-sayang, dan menyampaikan bahwa ia ingin, mereka, memandang ke dalam cermin, setiap hari. Ia menambahkan, seraya berbicara kepada sang putra, "Dengan maksud agar, jika engkau beranggapan, wajahmu tampan, janganlah mencemarkan dan merusaknya, dengan perangai-buruk dan perilaku tercela. Ketampanan itu, sebagaimana yang tampan lakukan."
"Dan bahwa engkau," sambil berkata kepada sang putri, "Perbaikilah kekurangan pribadimu, bila ada, oleh manisnya tata-kramamu, dan keramahan ucapanmu. Kecantikan, tak sebatas kulit. Kecantikan batiniah, lebih baik dibanding kecantikan lahiriah. Kecantikan terbaik itu, dibesarkan dalam qalbu dan akal."
Dan iapun menyemangati mereka, "Duhai anak-anakku, kita hendaknya, setiap hari memandang diri kita sendiri, dengan menimbang-nimbang, agar mengubahnya menjadi tujuan yang lebih baik, daripada sekadar mengamati dan mengagumi kepribadian kita. Soyogyanya, mereka yang telah dimurahkan dengan karunia-Nya, dalam hal anugerah wajah yang baik, dengan sebaik-baik manusia, kesehatan, dan kekuatan, selalu ingat bahwa inilah takdir, yang sepantasnya, selalu disyukuri, namun jangan pernah disia-siakan. Kualitas seperti ini, hendaknya sebagai pemacu, agar mendorong kita mengembangkan daya-pikir, dengan belajar, dengan membaca, dan merenung, sehingga sesuai keindahannya, dengan penampilan luar kita.
Sekali lagi, sepantasnya, yang tak memiliki apa-apa dalam penampilan pribadi mereka, agar menarik perhatian dunia, berusaha juga meningkatkan kemampuan pikiran, dan menjuarai keindahan perangai yang baik, dan ucapan-ucapan yang menyenangkan, pesona yang—terlepas dari eksterior yang kasar—tak menghalangi pemiliknya, disayangi oleh semua orang yang berakal, yang akan dengan mudah menemukan nilai intrinsik, baik itu dari imajinasi yang hidup, persepsi yang jelas, maupun ketulusan-hati.

Perhatikan ucapan berturut-turut ini!

Perlakukan semua manusia dengan hormat. Martabat manusia itu, hak yang melekat, tak dapat dicabut, dan tak dapat diganggu-gugat dari setiap manusia. Allah telah memuliakan semua Anak Adam. Seluruh manusia itu, Anak Adam. Jadi, semua manusia, sepantasnya diperlakukan dengan hormat, dihargai dan diperhatikan, tanpa pembedaan apapun, seperti warna-kulit, ras, keturunan, latarbelakang sosial, asal kebangsaan, jenis-kelamin, usia, bahasa, agama, politik atau afiliasi dan mazhab, pendidikan, pekerjaan, penugasan, harta, kekayaan atau status lainnya.
Berikan penghormatan tertinggi pada orang yang berintegritas tertinggi. Walau tingkatan rasa-hormat dan penghargaan tertentu itu, milik semua manusia, mereka yang menunjukkan tingkat integritas tertinggi, berhak mendapatkan tingkat kehormatan tertinggi. Kriteria kehormatan yang lebih besar, bukanlah harta, kekayaan, ras, latarbelakang etnis, warna kulit, jenis kelamin, kebangsaan, latar belakang sosial, bahasa, pekerjaan atau apapun selain integritas. Bukan gelar akademis atau tingkat pendidikan, atau mazhab manapun, yang tak diterjemahkan ke dalam integritas karakter.
Konsep persamaan di depan hukum, berbeda dengan konsep persamaan dalam hal persyaratan, integrasi kesatuan harmonis, tatanan aturan atau perilaku. Al-Qur'an telah menunjukkan perbedaan berikut mengenai ketidaksetaraan persyaratan, integrasi kesatuan harmonis, tatanan aturan atau perilaku: Orang buta—secara metaforis—tak sama dengan orang yang melihat; Orang tuli—secara metaforis—tak sama dengan orang yang mendengarkan; Kegelapan dalam bentuk apapun, tak sama dengan terang-benderang; Air tawar dan manis, tak sama dengan air asin dan pahit; Yang hidup, tak sama dengan yang mati; Orang yang berilmu, tak sama dengan orang yang bodoh; Kebaikan, tak sama dengan kejahatan; Yang kejam, tak sama dengan yang baik, walau yang kejam itu, punya keberlimpahan yang mengesankan; Mereka yang beriman dan beramal-shalih, tak sama dengan mereka yang melakukan kebatilan; Mereka yang menjalani kehidupan neraka, tak sama dengan mereka yang menjalani kehidupan surgawi.

Ucapanmu, selaraskan dengan yang ada dalam hatimu. Mulutmu, akan melontarkan kemunafikan, bila mengucapkan sesuatu, yang berbeda dari apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Kebenaran itu, ketika engkau mengatakan dengan mulutmu, seperti dalam hati dan pikiranmu. Jika ada sesuatu yang berbeda dalam hati dan pikiranmu, dari apa yang engkau cakapkan, maka meski jika engkau nyatakan fakta, engkau tak dapat dianggap benar. Selama kata-katamu tak sesuai dengan pikiranmu, engkau tetap munafik dan tak dapat dianggap sebagai orang yang benar dan jujur.
Selalu utarakan kebenaran. Janganlah membuat pernyataan yang keliru atau menyesatkan, yang tak sesuai dengan fakta, kenyataan atau yang sebenarnya. Dan janganlah engkau mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Janganlah mengungkapkan kebenaran sebagian melainkan seluruh kebenaran, dan tak mencampur kebenaran dengan kepalsuan. Jangan pula menyajikan kebohongan dengan kedok kebenaran. Jangan cuma seolah-seolah mengatakan kebenaran, tetapi katakanlah yang sebenarnya. Mengatakan setengah benar atau mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan itu, penipuan, dan tak boleh menipu orang lain dalam hal apapun. Misinformasi itu, semua tentang informasi—yang tak disengaja—tak akurat atau tak benar, yang muncul dari ketidaktahuan. Disinformasi, bertujuan menipu dan dirancang agar menyesatkan orang lain. Janganlah menyebarkan misinformasi maupun disinformasi.
Bicaralah yang lurus, tanpa ambiguitas atau penipuan. Ucapkan kata yang baik, dengan cara yang baik. Bicaralah dengan suara yang lemah-lembut. Kata-kata, tertulis atau lisan, punya kekuatan besar mengubah dunia di sekitar kita. Kata-kata yang baik, dapat mengilhami perasaan yang baik—misalnya, kebahagiaan, kepuasan, cinta atau kasih-sayang—dan tindakan yang diinginkan, termasuk kepahlawanan. Kata-kata kasar, dapat menimbulkan sentimen buruk, atau tindakan, atau reaksi yang tak diinginkan—misalnya, ketakutan, kebencian, kemarahan atau permusuhan. Tak hanya pilihan kata, yang mempengaruhi sikap dan perilaku orang yang kita ajak bicara, tetapi cara kita mengucapkan kata-kata yang dipilih, juga memainkan peran penting dalam hal ini. Oleh sebab itu, usahakanlah selalu memilih kata-kata terbaik untuk diucapkan, dan mengucapkannya dengan cara yang sebaik mungkin. Tergantung pada tempat dan waktu, jika memungkinkan, hindari menggunakan kata-kata slang. Kata-kata slang itu, kata-kata yang tak dianggap baku dalam bahasa atau dialek penutur, terutama dalam acara-acara resmi. Kadang-kadang, bisa termasuk bahasa yang tabu atau vulgar secara sosial, yang selayaknya dihindari dalam keadaan apapun. Berbicaralah dengan cara yang beradab, dalam bahasa yang diakui oleh masyarakat sebagai hal yang pantas secara sosial dan moral. Hindari pembicaraan jalanan yang murah dan gaul; berbicaralah dalam bahasa yang bermartabat dan sopan.

Bawa dirimu berkeliling, dengan cara yang bersahaja, santun, dan bermartabat, yang ditandai dengan kerendahan-hati, kalem, dan tenang. Dalam berjalan, seyogyanya engkau menahan pandanganmu dari segala tatapan bandot dan tatapan cabul. Engkau sepantasnya 'berbuat sesuai perkataan' dan belajar 'membawa keteladanan'. Selalu ingat bahwa, 'perbuatan itu, berbicara lebih lantang dibanding kata-kata'. Jadikan dirimu sebagai panutan perilaku, yang ingin engkau lihat pada orang lain, daripada berceramah tentang perilaku yang baik. Seluruh pemimpin besar dunia, telah menjadi panutan, yang menetapkan standar yang digunakan orang lain, agar mengkalibrasi perilaku mereka sendiri. Oleh karenanya, jadilah panutan, bukan ngomong-doang. Hidupkan nilai-nilai dirimu, daripada cuma meyakininya.
Jangan pernah melanggar batas hukum, moral, etika, sopan-santun, atau batas lain yang sesuai dalam kehidupan sehari-harimu. Hindari keagresian, pelanggaran dan pemborosan, yang mungkin kuantitatif—israf—atau kualitatif—tabzir. Jangan pernah agresif dalam kesumat, permusuhan atau kebencian. Demikian pula, jangan pernah melanggar batas hukum atau moral yang ditetapkan oleh Yang Mahakuasa dalam hal apapun. Selain itu, jangan boros dalam hal memuaskan rasa lapar, haus, atau syahwatmu. Jangan boros dalam pengeluaranmu, atau pelit, melainkan berimbanglah di antara kedua ekstrem ini. Daripada membelanjakan uang secara boros demi lagak dan pamer, lebih baik belanjakan demi kesejahteraan keluarga, kaum-kerabat, fakir miskin, dan tunawisma.

Konsep kepribadian tentang kebersihan dan bersuci, tak hanya berkaitan dengan lahiriah, tetapi juga, pikiran, qalbu dan batin. Bukan hanya kebersihan tubuh yang penting, tetapi, selain secara teratur membersihkan tubuhmu, berusahalah berakal-sehat, hati-nurani yang bersih, dan serangkaian emosi yang ideal. Tiada kebaikan semata dengan berpenampilan bersih, tapi membawa pikiran kotor, hati-nurani memberontak, dan nafsu terhina.
Berpakaianlah dengan apik, sebab tujuan berpakaian bukan cuma menutupi rasa-malumu, melainkan pula, membuatmu terlihat elok dan anggun. Namun, ingatlah selalu, bahwa pakaian yang elegan, hanya menghiasi tubuh dan kepribadian lahiriahmu, dan bukan karakter batinmu. Karaktermu yang sebenarnya, terletak di bawah kulit pertama dan keduamu, yaitu terletak pada daya-pikir, qalbu dan batinmu, serta ditunjukkan dalam perlakuanmu terhadap orang lain. Karenanya, selain dandanan yang elegan, engkau juga layak menghiasi karaktermu dengan jubah-integritas dan selendang-kebenaran.

Tunjukkan sifat Ihsan secara umum. Al-Qur'an memadukan konsep 'Adil'—sebagai 'memberikan apa yang semestinya'—dengan konsep 'Kepedulian atau Kesempurnaan' yang disebut, al-Ihsan.
Al-Ihsan termasuk,
  • Melakukan yang terbaik atau terindah, secara intrinsik atau ekstrinsik;
  • Melakukan yang menyenangkan secara visual, atau menyenangkan secara persepsi;
  • Bertindak atau berperilaku ramah dan baik;
  • Memperlihatkan kesempurnaan dalam pekerjaan dan perilaku umum; dan,
  • Menciptakan keseimbangan, simetri, dan proporsi yang adil.
Bila 'Adil' bermakna, 'memberikan apa yang menjadi haknya', maka 'ihsan' bermakna, 'memberikan lebih dari yang semestinya' atau 'mengambil lebih sedikit dari yang harus engkau bayar'. Misalnya, engkau berbuat adil, jika engkau membayar upah yang disepakati, yaitu karena seorang pekerja yang jasanya, engkau sewa. Namun bila engkau merasa bahwa jumlah upah tersebut, takkan cukup bagi sang pekerja demi memenuhi seluruh kebutuhannya, maka engkau memberinya lebih dari apa yang seharusnya atau yang disepakati, inilah makna 'al-Ihsan'.
Ketika persediaan dan perbekalan bagi seseorang sesuai dengan kebutuhannya, hidupnya tetap seimbang nan bahari. Dengan kata lain, ada 'keindahan' dalam hidupnya. Jika kebutuhan melebihi persediaan dan perbekalan, maka keseimbangan hidupnya, atau keindahan hidupnya, terganggu.
Demikian pula, jika ada orang dalam suatu masyarakat, punya terlalu banyak, dan yang lain, hanya memiliki sedikit, keseimbangan ekonomi masyarakat akan terganggu. Mengembalikan keseimbangan tersebut, disebut pula 'ihsan'. ‘Infaq’ atau belanja di jalan Allah, cara utama menciptakan keseimbangan ekonomi—atau ihsan—dalam masyarakat.

Berbuatlah ‘Ihsan’ bagi:
  • Orangtuamu;
  • Zavil Qurba, yaitu keluarga dan kaum-kerabat;
  • Al-Yatama, yaitu anak-yatim, janda dan orang-orang yang tak punya siapa-siapa, dalam masyarakat;
  • Al-Masakin, yaitu penyandang-cacat; mereka yang kehilangan pekerjaan; yang usahanya terhenti; yang penghasilannya tak dapat memenuhi kebutuhannya; tetangga dekat dan tetangga jauh; kolega atau rekan terdekat;
  • Ibnu Sabil, yaitu musafir yang membutuhkan; anak jalanan; tuna wisma;
  • Ma malakt aimanukum—"tangan-kananmu”—yaitu pembantu, bawahan, pekerja atau istri.
Jadilah termasuk 'muhsinin'. Beberapa sifat yang dikaitkan dengan muhsinin antara lain: Infaq, yaitu membelanjakan uang di jalan Allah; menahan emosi negatif, semisal, amarah; dan perasaan welas-asih, yang mendukung kesediaan memaafkan orang lain.
Ingatlah! Seburuk-buruk makhluk hidup di sisi Sang Pencipta itu, orang tuli dan buta, yang tak menggunakan persepsi indera, dan kemampuan berpikir, serta nalarnya. Oleh sebab itu, janganlah mengikuti secara membabi-buta, apapun yang tak engkau ketahui secara langsung. Dengan menggunakan kemampuan persepsi dan penalaranmu, hendaknya, engkau verifikasi terlebih dahulu. Bahkan jika sesuatu disajikan kepadamu sebagai petunjuk Ilahi, janganlah tuli dan buta olehnya.
Jangan pernah bekerja sama dalam berbuat amoral dan ilegal. Pertimbangkan pilihanmu bila ada kasus seperti itu, pada batu ujian moralitas dan legalitas. Engkau hendaknya membantu dan mendukung orang lain, dalam perbuatan yang lurus secara moral, mulia, terhormat, etis, sah dan halal. Jangan bekerja sama dalam kasus kejahatan, korupsi, pengecohan, penipuan, agresi, amoralitas, ilegalitas atau apapun yang keji atau jahat. Prinsip yang sama berlaku terhadap kerjasama antar individu, komunitas, politik atau pihak lain, serta antar bangsa. Sesungguhnya, pertolongan Allah-lah yang hendaknya kita pinta.”

"Itulah kata-kata yang diucapkan Hakim kedua. Malam berikutnya, akan kuutarakan, apa yang diucapkan Hakim Ketiga, Insya Allah," ucap Rembulan.
Sebelum berlayar ke belahan dunia lain, Rembulan menambahkan, "Duhai Pungguk! Kesempurnaan manusia itu, didasarkan pada dua kemampuan ini: Ilmu dan Cinta. Ilmu terbaik itu, ilmu tentang Allah, dan Cinta tertinggi itu, cinta kepada-Nya. Orang yang bijak-bestari itu, orang yang menempatkan hal yang benar pada tempat atau situasi, yang paling sesuai. Semakin arif-bijaksana seseorang, ia akan semakin bertaqwatakut kepada Allah. Ada hubungan antara taqwa, dan perilaku yang baik, karena takut kepada Allah, mempererat hubungan hamba dengan Allah; perilaku yang baik, mempererat hubungan antara seseorang dengan sesamanya, lantaran itu, takut kepada Allah, memungkinkan Allah mencintainya, dan perilaku yang baik, menjadikan orang-lain mencintai orang tersebut.
Jika engkau takut kepada Allah, Dia akan mencukupkanmu terhadap manusia, dan bila engkau takut kepada manusia, mereka takkan berguna bagimu, apapun terhadap Allah. Ia yang takut akan Allah, takkan pernah merasa kesepian. Sesiapa yang bertaqwa, maka manusia akan mencintainya, walau mereka tak menyukainya. Sesungguhnya, Allah-lah Yang menganugerahkan, kesuksesan. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Marwan Ibrahim Al-Kaysi, Morals and Manners in Islam, The Islamic Foundation
- Tanveer Hussain, PhD, The Islamic Ethics and Behavior, The Islamic Teaching Series
- Ibn Al-Qayyim, Al-Fawaid, Umm Al-Qura
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
[Bagaian 1]