"Kedua," Rembulan melantas, "Semua tergantung sudut pandang, dan siapa yang berkisah. Kesulitan akan terjadi, dalam penulisan sejarah bangsa-bangsa, baik purbakala maupun modern. Mereka yang bersemi pada periode tertentu, dan diasumsikan telah mencapai keparipurnaan dalam peradaban, dengan budi-bahasa yang lembut, bisa jadi, kelak di kemudian hari, di stempel dengan kekejaman, ketidakadilan, dan penindasan, karena telah mencampuradukkan kebersahajaan perilaku, dan mengusik perdamaian seluruh bangsa, dengan membawa teror perang, pembunuhan, dan kehancuran, ke kawasan yang sebelumnya dianugerahi dengan ketenangan tanpa sela.Sebaliknya, mereka yang sungguh telah berbuat kejahatan, berteriak, "Kamilah korban, kami diserang, kami tak tahu apa-apa!" Ibarat seorang bocah yang membanting piring, lantaran hasratnya tak terkabul, menjadikan Kangmas, Mbakyu, Eyang Kakung dan Eyang Putri, kakinya berdarah, memijak beling. Rencang, sang asisten, terpaksalah membersihkan sisa-sisa pecahan piring. Sang bocah lari bersembunyi ke bawah ketiak ibunya, yang sedang menggendong adik bayi laki-lakinya, seraya beralibi, "Sanes kula, nanging kucing, pelakunipun!"Kelak, bila sang bayi beranjak remaja, ketika ditanya tentang kejadian hari itu, akan bingung, sebab sang bocah, yang tumbuh dewasa, berdalih ini dan itu, bahkan mungkin menyangkal kesaksian Kangmas dan Mbakyu.Begitulah keberpihakan umat manusia terhadap diri dan kelakuan mereka sendiri, sehingga sangat sulit, bahkan hampir tak mungkin, menggapai segala kepastian, dengan hanya membaca kisah-kisah yang di catat, pada satu sisi belaka. Kebenaran bersahaja, masih diselewengkan, karena purbasangka, keangkuhan, atau kepentingan, membengkokkan akal, dan tak menemukan apapun di dalam segala kecendekiaannya, sampai halimun yang mengaburkannya, tersapu oleh pelacakan yang amat kejat.Sikap berimbang, memang diperlukan, namun berhati-hati terhadap sisi-kelam dan niat-buruk manusia, bukan pula sesuatu yang tercela. Buah apel, takkan tercampak ke awang-awang, melainkan di atas kepala Isaac Newton, yang sedang bersandar di pohon apel. Dan sang apel, takkan menggelinding jauh dari pohonnya, buktinya, Newton tetap bisa menggapainya.Perkenankan aku, menyampaikan sebuah ilustrasi tentang seekor Singa dan seorang Lelaki.Di dalam suatu ruang dan di dalam suatu waktu, dimana satwa diperbolehkan bercakap-cakap dengan manusia, seorang Lelaki dan seekor Singa, sedang mendiskusikan kedigdayaan relatif bangsa Manusia dan spesies Singa. Sang Lelaki berpendapat, ia dan konco-konconya, lebih perkasa dibanding Singa, oleh kecerdasan mereka yang lebih dahsyat. “Ikutlah denganku, dan kukan buktikan, bahwa akulah yang benar,” ajak sang Lelaki.Ia membawa sang Singa ke sebuah ruangan, tempat patung buste seseorang, diletakkan di atas marmer besar yang panjang. "Menakjubkan, bukan?" Sang Singa mengangguk sambil bertanya, "Kuburankah tempat ini?" "Bukaaan, ini semacam monumen!" jawabnya. Sang Singa berkomentar, "Sejauh pengetahuanku, kata 'bust,' yakni "patung tubuh bagian atas dan kepala," dari bahasa Latin, 'bustum' bermakna "monumen pemakaman, makam," awalnya "tumpukan kayu pemakaman, tempat di mana mayat dibakar." Atau dari busto Italia "tubuh bagian atas," perkembangan arti dalam bahasa Italia mungkin berasal dari kebiasaan Etruria yang menyimpan abu orang mati dalam guci yang berbentuk seperti orang ketika masih hidup. Namun ada sesuatu yang menarik tentang kata "bust" dalam makna kekinian," Sang Lelaki penasaran, "Apa?" Dengan tenang, sang Singa menjelaskan, "Ungkapan tersebut, bahasa gaul, tetapi mengacu pada sesuatu yang berakhir dengan kegagalan, tanpa peluang untuk pulih." Sang Lelaki terdiam.Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah taman, dimana terlihat sebuah patung megah, seseorang duduk di kursi. Sang Singa mencermati, "Patung Lincolnkah itu?" "Bukaaan," kata sang Lelaki. Sang Singa bereaksi, "Aku tahu sebuah lelucon Pak Lincoln, 'Entah berapa kali kucing bertikai, akan selalu ada, banyak anak kucing." Sang Lelaki kesal, karena sang Singa, belum juga mau mengalah. 'Ayo pergi ke tempat lain, akan kutunjukkan padamu, patung yang mengagumkan!"Mereka tiba di sebuah monumen, menyaksikan patung seseorang menunggang kuda yang ketiga kukunya, menyentuh tanah. Sang Singa menganalisis, "Patung lelaki dan perempuan, yang menunggangi kuda, sering dikaitkan dengan pertempuran, keberanian, dan penaklukan. Makna patung-patung ini, berupaya meraba dinamisme kuda yang kuat. Para pematung, memposisikannya dengan dua-kaki, melangkah maju dengan satu kaki terangkat, atau melengkung ke atas dengan satu kaki tertambat ke tanah.Cerita berulang tentang kuda, bahwa jumlah kaki yang terangkat, menunjukkan nasib penunggangnya. Khalayak yang mempercayai cerita ini, mengatakan bahwa, jika ada patung-kuda yang, kaki kudanya, yang satu, tinggi terangkat, maka penunggangnya, meninggal oleh luka yang dialami saat pertempuran. Penunggangnya tewas dalam pertempuran, bila kudanya, berdiri di atas kaki belakangnya. Dan andai hampir seluruh kaki-kaki kudanya, menyentuh tanah, penunggangnya meninggal karena, biasa-biasa saja. Jadi, masihkah engkau menyatakannya, mengagumkan?""Ayyolaaah! Mengapa engkau tak mengalah saja? Baik, mari kita lihat patung yang lain!" jawab sang Lelaki.Kemudian, mereka berada di sebuah taman dimana patung seseorang, berdiri tegak dan menjulang cukup tinggi. "Bagaimana?" tanya sang Lelaki. Sang Singa mencermati dan berkomentar, "Aku lebih suka, patung Marinir di Pantai Timur, tak dikultuskan, tapi mengingatkan!"Akhirnya, mereka mencapai tempat terbuka di hutan dan di sana berdiri sebuah patung. Patung tersebut merepresentasikan, Heracles sedang merobek rahang Singa Nemea. "Lihat," kata sang Lelaki, "Betapa perkasanya kami! Sang raja rimba, bagai lilin terpilin di tangan kami!” seru sang Lelaki. “Hah!” Sang Singa tertawa, "Itu tak membuktikan apa-apa," tukas sang Singa, "Jika Singa pemahatnya, ia akan membuat, Singalah yang menginjak-nginjak tubuh Lelaki itu.""Sudahlah Konco!" rayu sang Singa, "Daripada berdebat dan menyia-nyiakan liburanku tentang semua ini, bawa aku ke tempat yang lebih menyenangkan, pliiizz!" Sang Lelaki tersenyum, "Oke! Ikuti aku!"Maka, dengan kereta kuda, mereka melaju menuju Pantai Timur, melantunkan,I look at the world[Kuamati Mayapada]And I notice, it's turning[Dan kumaklumi, ia berputar]While my guitar, gently weeps[Sedang gitarku, menangis-merintih]With every mistake[Dengan setiap kesalahan]We must surely, be learning[Kita pastinya, mesti belajar]Still, my guitar, gently weeps *)[Masih saja, gitarku, tersengut-sengut]Rembulan meningkap, "Sebuah kisah itu, apik, sampai kisah yang lain, epik. Seekor satwa, tak bisa memahat batu walau ia bertenggang, sebaliknya, orang mati, tak bisa berdongeng. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Fran S. Dobbins, False Gods; or the Idol Worship of the World, Hubbard Bros
- Colonel J. Garnier, The Worship of the Dead, Chapman and Hall
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) "While My Guitar Gently Weeps" karya John Lennon, George Harrison, dan Paul James Mccartney
[Bagian 1]