Jumat, 08 Oktober 2021

Tak Sekadar Bulu (1)

"Kemarin malam," berkata Rembulan setelah menyapa Pungguk dengan salam, "Aku telah menyampaikan kepadamu bahwa, dalam perspektif Islam, fokus kepemimpinan itu, pada Integritas dan Keadilan—termasuk kompetensi yang dibutuhkan, demi menjalankan tugas yang diamanahkan." Rembulan melanjutkan, "Konsep mendengar dan melihat—yang seyogyanya melahirkan pemikiran tajam, yang masuk ke dalam qalbu dan mendominasi gagasannya—berguna ketika mempertimbangkan, memilih Pemimpin.
Kepemimpinan, memainkan peran penting dalam menakrifkan realitas, dan merancang serta menyelaraskan peristiwa, karena kepemimpinan, mencakup aspek praktis dan idealis. Sesungguhnya, substansi kepemimpinan, tak hanya berasal dari kompetensi organisasi, melainkan pula, dari kemampuan menumbuhkan rasa ingin tahu di dalam masyarakat; keberanian membasmi pelanggaran dan memikul tanggung jawab; dan pandangan ke depan guna mengartikulasikan visi yang punya tujuan, agar membuat perubahan yang diinginkan, dan melihat kemungkinan baru secara positif. Substansi yang melekat pada fungsi dan peran ini, bagaimanapun juga, berbeda dari waktu ke waktu, serta lintas budaya dan peradaban. Namun demikian, para pemimpin, hendaknya secara kreatif, menjaga keseimbangan prioritas, memperjelas peluang, menginspirasi masyarakat, dan tetap fokus pada pencapaian tujuan.

Pandangan Islam tentang Kepemimpinan, dipengaruhi oleh petunjuk Al-Qur'an, keteladanan Nabi kita tercinta (ﷺ), dan praktik para Sahabat. Rakyat mempercayakan seorang pemimpin dengan wewenang menunaikan tugas, atas nama dan untuk kepentingan rakyat.
Suatu ketika, Amirul Muminun, 'Umar bin al-Khattab, radhiyallahu 'anhu, Khalifah Kedua, melihat seorang wanita miskin, yang anaknya menangis karena kelaparan, kemudian ia bertanya padanya, adakah keluhannya. Sang ibu menjawab, 'Satu-satunya keluhanku, terhadap 'Umar!' Kemudian 'Umar bertanya, 'Salahkah yang dilakukannya?' Ia menjawab, 'Karena menjadi Pemimpin, tapi mengabaikan keadaan rakyatnya. ' Maka, Umar memperbaiki keadaan, dengan mencukupi kekurangannya, dan memohon maaf lantaran mengabaikan keadaan rakyatnya.
Di sini, kita pahami bahwa, bila sesuatu yang buruk terjadi pada rakyatnya, seorang Pemimpin, jangan ngambek jika kesalahan ditimpakan padanya. Secara teologis, Rakyat, dalam Islam, sumber legitimasi, dan posisi kepemimpinan itu, bergantung pada persetujuan Rakyat. Pemimpin, oleh karenanya, diasumsikan bertindak sesuai dengan harapan Rakyat, jika tidak, Rakyat akan meninggalkannya.
Dalam ajaran Islam, persetujuan Rakyat, merupakan prasyarat kepemimpinan yang efektif. Setelah kepemimpinan terbentuk, baik Rakyat maupun Pemimpin, punya kewajiban dan hak timbal-balik. Khalifah keempat, Ali, radhiyallahu 'anhu, menyatakan, 'Ketika para pemilih dan pemimpin saling menghormati hak masing-masing, diperkuat, ajaran agama dihormati, keadilan ditegakkan, dan masyarakat akan mendapat manfaat.'
Jadi, asumsi-asumsi ini, merupakan dasar bagi pemilihan pemimpin dan sifat kepemimpinan. Dalam hal memilih pemimpin, kualitas pemimpin sangat diperhatikan dalam ajaran Islam dan tradisi awal. Al-Qur'an berulang kali melarang penindasan dan menyerukan keadilan dan keshalihan. Sedangkan kualitas tambahannya, ada mandat agar menjadi, 'Kompeten dan Terpercaya.'
Nabi kita tercinta (ﷺ), memberikan penekanan yang cukup besar pada tiga kualitas: Rahima (kasih-sayang), Ihsan (kebajikan yang bermutu-tinggi atau paripurna) dan Adl (keadilan). Inilah yang dianggap prasyarat kepemimpinan tanpa pertimbangan usia atau etnis. Misalnya, saat Rasulullah (ﷺ) menunjuk Zaid bin Tsabit memimpin umat Islam, Tsabit diposisikan, di bawah komandonya, para anggota senior komunitas Muslim. Dalam hal etnisitas, Rasulullah (ﷺ) menegaskan, 'Taati dan patuhi siapapun yang diberi kewenangan, walau ia orang Etiopia.'
Mayoritas pemikir Islam, sependapat dengan sifat-sifat tersebut. Namun, ada variasi dalam detail dan kualitas tambahan yang khusus, pada tugas atau peristiwa tertentu. Misalnya, Ikhwanus Safa (masyarakat intelektual abad kesepuluh) menegaskan bahwa, para pemimpin hendaknya sehat secara intelektual, menunjukkan komitmen yang teguh terhadap Keadilan, dan seyogyanya memiliki kualitas berikut, demi mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan: kemampuan menindaklanjuti pada, dan peduli dengan, urusan rakyat; memperlakukan manusia sesuai dengan perbuatannya; menerapkan Keadilan tanpa kecuali; menghindari kekejaman; memberi penghargaan yang sesuai, baik kepada orang yang berilmu maupun yang tak berpendidikan, dalam hal posisi dan kompensasi; memilih dan mengangkat bawahan yang memiliki reputasi terbaik dan independen; mengawasi dan menyelenggarakan urusan rakyat; memilih penasihat dari mereka yang memiliki keyakinan dan pandangan yang sama; memilih kepala staf dalam hal iman dan urusan duniawi; melindungi hak-hak orang yang lemah dan tertindas, dan memastikan bahwa orang-orang yang telah diperlakukan secara tidak adil, diberikan keadilan.

Runtuhnya Baghdad, dan berakhirnya era Abbasiyah setelah invasi Mongol pada tahun 1258, membuat sebagian besar masyarakat Muslim dalam kekacauan total. Peristiwa ini merupakan titik-balik dalam sejarah Islam, karena merupakan akhir dari pemikiran rasionalistik dan awal dominasi sekte Qadariyah, dengan kemuraman dan kepesimisannya. Salah seorang dari sedikit pemikir Muslim, yang muncul setelah runtuhnya era Keemasan Islam, Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Ia menghubungkan penurunan budaya dan negara Islam, dengan tak adanya solidaritas kelompok dan kepemimpinan yang bijak. Ia berpendapat bahwa, konsep Ihsan dan kecenderungan perasaan kolektif atau kelompok, merupakan prasyarat bagi setiap pemimpin. Inilah kualitas-kualitas yang diperlukan, dan dengan ketiadaan kualitas-kualitas ini, ia menegaskan, 'akan seperti keberadaan seseorang dengan anggota tubuh terputus.' Ibnu Khaldun berargumen yang kuat bahwa, kemunduran suatu bangsa, terkait dengan ketiadaan kepemimpinan. Dan ketika suatu bangsa tetap menolak pemimpinnya, kebajikannya mereda, dan akhirnya, tak ada lagi kepemimpinan. Ia mewajibkan beberapa kualitas yang dibutuhkan oleh para pemimpin, agar memastikan dapat dukungan. Yaitu: kedermawanan, memaafkan kekeliruan, toleransi terhadap yang lemah, keramahan terhadap tamu, dukungan bawahan, memelihara orang miskin, sabar dalam keadaan sulit, istiqamah dalam menunaikan kewajibannya, dermawan demi menjaga kehormatannya, menghormati agama. hukum dan bagi para ulama yang mempelajarinya, menjunjung tinggi ilmu agama, kepercayaan dan penghormatan bagi para pemeluk agama dan keinginan menerima doa-doa mereka, menghormati orang tua dan guru, bersikap adil bagi yang menyerunya, keadilan terhadap dan kepedulian terhadap mereka yang sangat lemah mengurus diri sendiri, kerendahan hati terhadap orang miskin, perhatian terhadap keluhan, pemenuhan kewajiban hukum agama dan ibadah Ilahi dalam segala detail, dan menghindari penipuan, kelicikan, muslihat dan melalaikan kewajiban.

Rasulullah (ﷺ) memandang kepemimpinan sebagai proses berbagi pengaruh. Dalam perilaku umum beliau (ﷺ), baik dalam urusan agama maupun lainnya, Rasulullah (ﷺ) memelihara komunikasi dua arah dengan Umat. Beliau  
(ﷺ) memanfaatkan debat publik terbuka dan ceramah, guna memperkenalkan perubahan yang diinginkan dan menegaskan kembali bahwa setiap orang, terlepas dari posisinya, seorang pemimpin.
Tampak, Rasulullah (ﷺ) mengenali, bahwa kepemimpinan itu, proses berbagi pengaruh, dan pengaruh tersebut, hendaknya berorientasi pada tujuan melayani Rakyat. Beliau (ﷺ) bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
'Orang yang paling dicintai Allah itu, orang yang paling bermanfaat bagi manusia.' [al-Muʻjam al-Ausa; Shahih menurut Al-Albani]
Maknanya, Kepemimpinan hanya berlaku jika menghasilkan manfaat bagi masyarakat, terlepas dari penataannya. Ketika menghubungkan Kepemimpinan dengan kontribusi masyarakat, Rasulullah (ﷺ) tampak menggarisbawahi pentingnya memikul tanggung jawab, guna mencapai kekompakan dan kemakmuran Rakyat. Selanjutnya, Rasulullah (ﷺ) menyoroti dua kualitas yang diperlukan untuk kepemimpinan: Bujukan-halus dan Berimbang. Dalam hal Bujukan-halus, Al-Qur'an memerintahkan,
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
'Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan Hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka, dengan cara yang baik ....' [QS. An-Nahl (16):125]
Dalam hal Keberimbangan, mencari jalan tengah, dianggap sebagai kebajikan, sebagaimana Rasulullah (ﷺ) menegaskan, 'Jalan terbaik itu, jalan tengah.' Al-Qur'an menyatakan,
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا
'Dan demikian pula, Kami telah menjadikanmu 'Ummatan Wasatan' ....' [QS. Al-Baqarah (2):143]
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
‏ وَالْوَسَطُ الْعَدْلُ
'... Dan Al-Wasat itu, 'Adil' ....' [Tercatat dalam Fathul Bari 8:21, Tuhfatul Ahwadhi 8:297, An-Nasai dalam Al-Kubra 6:292, dan Ibnu Majah 2 : 1432]
Para penerus langsung Rasulullah (ﷺ), tampak, secara umum, tak menyimpang dari pandangan Islam tentang kepemimpinan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an dan ajaran serta teladan Nabi (ﷺ) kita tercinta. Selama masa mereka, Negara Islam yang baru muncul, berkembang, memperoleh lebih banyak sumber daya, dan dalam prosesnya, menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Bahkan para pemimpin yang sejak lama berada di bawah pengawasan Rasulullah (ﷺ), harus menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait pengelolaan negara dan menghadapi ancaman militer yang ada, sambil tanggap terhadap ancaman yang jauh lebih besar, lebih vokal, dan beragam daerah pemilihan. Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang muncul ini, para penerus ini, mengartikulasikan visi kepemimpinan yang menangkap esensi pemikiran Islam dan mendorong masyarakat agar berpartisipasi secara aktif dalam membangun institusi baru dan komunitas yang dinamis. Visi kepemimpinan mereka, didasarkan pada empat asumsi yang saling terkait.
Pertama, Tanggungjawab Kepemimpinan itu, Kewajiban Kewarganegaraan. Pada tahun-tahun awal Islam, umat Islam memandang peran Khalifah sebagai posisi yang mewakili penerus Rasulullah (ﷺ), namun bukan sebagai pewaris hak atau pengganti beliau (ﷺ). Dalam Islam, pemerintah dianggap sebagai sistem sipil, yang sepenuhnya dibangun atas kehendak Rakyat. Persetujuan Rakyat tentang bagaimana sesuatu mesti dilakukan, dan siapa yang harus mengambil posisi kepemimpinan, diperlukan agar memastikan legitimasi dan kelanjutannya.
Kedua, Kepemimpinan itu, Berbagi Pengaruh. Pemimpin dipengaruhi oleh harapan dan tuntutan masyarakat mereka. Dengan demikian, konsensus dalam proses pengambilan keputusan, merupakan landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan. Selama itu, debat publik dan transparansi dalam pengambilan keputusan, menjadi pilihan kebijakan. Hal ini dicontohkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi pada Khalifah Kedua, 'Umar, radhiyallahu 'anhu, dan seorang anggota masyarakat dalam sebuah pertemuan publik. Orang tersebut mengkritik Khalifah kedua, dan ada pengamat yang menganggap kritik itu, terlalu keras. 'Jawaban Umar, bahwa tugas pemimpin dan pengikut, saling mendengarkan, dan menyuarakan keprihatinan. Ia berkata, 'Ketika masyarakat tak berpartisipasi dan memberikan masukan, mereka tak turut-serta dalam sesuatu yang bermanfaat. Dan kami tak berguna, bila kami tak memperkenankan keturut-sertaan mereka.’
Ketiga, Kepemimpinan itu, Hubungan Timbal-balik. Sejalan dengan dua poin pertama, ajaran Islam menegaskan bahwa kepemimpinan bersifat timbal-balik. Asumsi filosofisnya, bahwa takkan ada pemimpin atau kepemimpinan, tanpa ada dukungan. Para pendukung, memberi makna dan legitimasi pada kepemimpinan. Khalifah Pertama, Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, berpendapat bahwa, 'Ketika seorang pemimpin, baik dalam perilaku, masyarakat akan tulus untuknya.' Khalifah keempat, Ali, radhiyallahu 'anhu, mengartikulasikan sifat timbal balik antara pemimpin dan masyarakatnya, dan berpendapat bahwa itu penting demi legitimasi, 'Allah telah membuat kewajiban bagi makhluk-Nya, agar saling mematuhi kewajiban mereka. Dia membuat mereka adil dan saling bergantung. Kewajiban terbesar itu, hak bersama antara pemerintah dan yang diperintah. Allah telah membuatnya timbal balik, sehingga menjadi dasar bagi keterikatan mereka.'
Keempat, Kepemimpinan itu, Wujud dari Keterkaitan. Masyarakat mengaitkan kualitas tertentu dengan pemimpin. Keterkaitan ini, sebagian besar berbasis perilaku; masyarakat mengamati pemimpin dan membuat hubungan yang sesuai antara perilaku dan karakter yang diamati. Dengan demikian, masyarakat mengaitkan, orang tersebut, layak menjadi Pemimpin atau tidak."