Selasa, 05 Oktober 2021

Rakyat Itu, Rakyat!

Sang bayu berhembus kencang dan dingin, seketika gegana beterbangan, hanya sesaat, sesekali Rembulan tertampak. Ia berkata, "Hal-hal yang tak biasa, yang terjadi di dunia ini, itu berlangsung oleh Yang Mahakuasa, Yang menyampaikan kepada kita bahwa segala sesuatu itu, representasi kekuatan penciptaan-Nya. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menganugerahkan kekuatan pendengaran kepada sesiapa yang Dia kehendaki, dan kekuatan berbicara kepada sesiapa yang Dia inginkan. Dia dapat, jika Dia mau, menarik kemampuan berbicara dari orang yang sehat, dan memberikan kemampuan itu, kepada satwa tuna-wicara.

Peristiwa yang akan engkau dengarkan ini, replika dari kekuasaan-Nya, sebagaimana yang baru saja kita bincangkan. Sang Pencipta dan Pemberi ucapan, membolehkan seekor Sapi dan Serigala, berbicara dengan manusia. Imam Al-Bukhari, rahimahullah, meriwayatkan hadits Shahih berikut ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ ‏”‏ بَيْنَا رَجُلٌ يَسُوقُ بَقَرَةً إِذْ رَكِبَهَا فَضَرَبَهَا فَقَالَتْ إِنَّا لَمْ نُخْلَقْ لِهَذَا، إِنَّمَا خُلِقْنَا لِلْحَرْثِ ‏”‏‏.‏ فَقَالَ النَّاسُ سُبْحَانَ اللَّهِ بَقَرَةٌ تَكَلَّمُ‏.‏ فَقَالَ ‏”‏ فَإِنِّي أُومِنُ بِهَذَا أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ـ وَمَا هُمَا ثَمَّ ـ وَبَيْنَمَا رَجُلٌ فِي غَنَمِهِ إِذْ عَدَا الذِّئْبُ فَذَهَبَ مِنْهَا بِشَاةٍ، فَطَلَبَ حَتَّى كَأَنَّهُ اسْتَنْقَذَهَا مِنْهُ، فَقَالَ لَهُ الذِّئْبُ هَذَا اسْتَنْقَذْتَهَا مِنِّي فَمَنْ لَهَا يَوْمَ السَّبُعِ، يَوْمَ لاَ رَاعِيَ لَهَا غَيْرِي ‏”‏‏.‏ فَقَالَ النَّاسُ سُبْحَانَ اللَّهِ ذِئْبٌ يَتَكَلَّمُ‏.‏ قَالَ ‏”‏ فَإِنِّي أُومِنُ بِهَذَا أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ‏”‏‏.‏ وَمَا هُمَا ثَمَّ‏.‏ وَحَدَّثَنَا عَلِيٌّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِمِثْلِهِ‏.‏
Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan, 'Rasulullah (ﷺ) shalat Subuh, kemudian beliau menghadap kepada para manusia. Beliau (ﷺ) bersabda, 'Seorang lelaki, menuntun seekor Sapi, tiba-tiba menunggangi dan memukulinya—agar berjalan lebih cepat. Sang sapi berkata, 'Kami tak dicipta untuk ini, melainkan kami dicipta guna mengolah tanah.' Maka para manusia berkata, 'Subhanallah, seekor sapi berbicara.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Sesungguhnya, aku beriman kepadanya, begitu pula Abu Bakar dan Umar.' Padahal keduanya, tak ada di tempat itu.'
Rasulullah (ﷺ) lalu bersabda, 'Sewaktu seseorang menggembala domba-dombanya, mendadak, seekor Serigala menyerang dan membawa lari seekor domba. Sang penggembala mengejarnya, sehingga seolah-olah ia menyelamatkannya darinya. Sang serigala berkata kepada sang penggembala, 'Engkau menyelamatkannya dariku. Lalu siapa yang menyelamatkannya, di hari datangnya binatang buas, pada hari itu, tiada penggembala, kecuali diriku?' Orang-orang berkata, "Subhanallah, serigala berbicara." Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Aku beriman kepada hal ini, begitu pula Abu Bakar dan Umar." Padahal keduanya, tak ada di tempat itu.' [Shahih Al-Bukhari no. 3471, 2663, 2324, 3690; hadits serupa, ditemukan pula dalam Shahih Muslim no. 2388]
Dalam hadits ini, Rasulullah menyampaikan kepada kita, tentang sebagian keajaiban dan keunikan yang terjadi pada sebagian orang, pada masa umat sebelumnya. Beliau menyampaikan tentang seorang lelaki, yang menunggangi punggung seekor Sapi, sebagaimana orang-orang menunggangi kuda, keledai dan bagal. Sang sapi, males-malesan, maka sang penunggang, memukulnya agar berjalan lebih cepat. Tiba-tiba, sang Sapi menoleh padanya, lalu berkata dengan ucapan manusia, membantah perbuatannya, sebab menyalahi Sunnatullah pada makluknya, "Kami tak diciptakan untuk ini, melainkan kami diciptakan guna mengolah tanah." Seolah-olah sang sapi hendak berkata kepada sang pengendara, "Engkau telah berbuat dzalim padaku, dengan mengendaraiku, karenanya, engkau telah menggunakanku demi sesuatu dimana Allah menciptakanku, bukan untuk hal itu.' Sang sapi seolah-olah mengatakan bahwa, penunggangnya telah melakukan Ketidakadilan, tak hanya dengan menungganginya, tetapi juga menyiksanya. Sang sapi menyampaikan kepada penunggangnya, bahwa mereka tak diciptakan untuk mengangkut orang dari satu tempat ke tempat lain, atau bekerja sebagai binatang beban. Mereka diciptakan untuk mengolah tanah, dan sang penunggang, tak melaksanakan sesuai. Ketidakadilan itu, meletakkan sesuatu, tak pada tempatnya.

Allah telah menciptakan satwa yang berbeda, untuk tujuan berbeda, dan berkarakteristik berbeda. Setiap satwa, punya cirinya sendiri, dan seakan bahwa, ia dicipta guna pekerjaan tertentu. Jadi, sapi, lembu atau kerbau dan sejenisnya, umumnya, tak digunakan sebagai binatang beban dan tunggangan. Mereka juga tak nyaman ditunggangi. Kuda, bagal, dll., binatang beban, dan penunggangnya, akan merasa nyaman karena menunggangi satwa tunggangan. Sapi, lembu dan sejenisnya, digunakan mengolah ladang, sedangkan kuda dan bagal, tak pada tempatnya bila dipergunakan seperti itu. Allah telah menganugerahkan kepada marga-satwa, kemampuan dan karakteristik yang berbeda, dan mereka seyogyanya digunakan sesuai. Sapi yang telah kita bicarakan, mengatakan hal yang sama kepada pemiliknya.

Para Sahabat pun terheran-heran, sungguh, berita tersebut, mengundang keheranan. Dan mereka berkata, 'Subhanallah! Seekor sapi berbicara!' Inilah fakta yang sulit dipercaya, dan mereka meluapkan keterkejutan. Ucapan mereka bukanlah sikap mengingkari Rasulullah (ﷺ). Tak mungkin mereka bisa menyangkalnya (ﷺ). Namun, para Sahabat, telah mendengar sesuatu yang tak biasa.

Lantas, Rasulullah (ﷺ) menegaskan kembali berita ini dan membenarkannya, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar juga mengimaninya.' Meskipun, pada saat itu, mereka tak berada di sana.' Beliau (ﷺ) mengatakannya dengan sangat yakin, sebab beliau (ﷺ) percaya bahwa mereka percaya penuh kepadanya (ﷺ) dan mereka tahu bahwa apa pun yang beliau (ﷺ) katakan, takkan salah, walau bila itu sangat tak biasa dan tampak mustahil. Sesungguhnya, inilah tingkat keimanan pada yang ghaib, yang dituntut dari umat Islam yang mukmin. Mereka diharapkan beriman kepada yang ghaib, meskipun mungkin sulit bagi akal memahaminya, akan tetapi, ditegaskan oleh Al-Qur'an dan Hadits. Orang-orang ini dijelaskan dalam Al-Qur'an,
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
'(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib ....' [QS. Al-Baqarah (2):3]
Yang dimaksud dengan perkara ghaib itu, perkara ghaib yang disampaikan oleh dalil shahih dari Allah dan Rasul-Nya (ﷺ)

Rasulullah (ﷺ) juga menceritakan kisah lain, dimana pembicaranya, Serigala. Sang serigala, menyerang domba milik seorang Penggembala. Ia merebut seekor domba. Sang penggembala, orang yang kuat dan berani. Ia pun mengejar sang Serigala dan menyelamatkan dombanya. Maka sang Serigala menatap sang Penggembala dan membantah perbuatannya, yang mengambil domba darinya. Sang serigala berkata, 'Engkau menyelamatkan domba itu dariku. Lalu, siapa yang akan menyelamatkannya pada hari datangnya binatang buas, dimana pada hari itu, tiada penggembala selainku?' Sang serigala mengisyaratkan, hari datangnya binatang buas, di masa yang akan datang. Pada hari itu, ternak-ternak dibiarkan bebas, maka binatang-binatang buas menyerang dan merusaknya, karena tak ada yang menjaga dan melindunginya. Sepertinya, hal ini terjadi menjelang datangnya Hari Kiamat, pada saat puncak Fitnah.
Sebagaimana para Sahabat terheran-heran terhadap seekor Sapi yang berbicara, mereka takjub pula terhadap seekor Serigala yang berbicara. Mereka mengucapkan apa yang mereka ucapkan, dan Rasulullah (ﷺ)  menjawab dengan jawaban yang sama. Sesuatu yang aneh bagi para Sahabat, yakni berbincangnya satwa kepada manusia, dengan bahasa manusia. Adapun manusia berbicara dengan hewan dengan bahasanya, itu masalah lain. Nabiyullah Sulaiman, alaihissalam, paham bahasa unggas dan marga-satwa. Sebagian binatang, ada yang bercakap-cakap dengan Rasulullah (ﷺ), dan beliau (ﷺ) mengerti apa yang mereka katakan. Seekor unta, pernah mengadu kepada beliau (ﷺ), tentang perlakuan buruk majikannya, yang selalu memukulinya.

Adapun satwa yang berbicara dengan manusia, dalam bahasa manusia, telah berlangsung. Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa kejadian ini, terjalin pada Sahabi, Uhban bin Aus. Ia seorang gembala dan terbiasa menggiring kawanan dombanya, makan dan merumput. Suatu hari, ia sedang duduk di atas batu sembari mengawasi dan menjaga satwa-satwanya di dekat negeri Madinah, yang indah dan diberkahi. Kawanan dombanya, menyebar, makan dan merumput.
Tiba-tiba, seekor Serigala besar, menyerang seekor dombanya. Suara dombanya, menarik perhatian Uhban. Dengan cepat, ia mengejar sang Serigala dengan melambai-lambaikan tongkatnya. Sang serigala melarikan diri, melepaskan dombanya, yang kembali ke kawanannya. Atas seizin Allah, sang Serigala berbicara, 'Duhai hamba Allah, engkau berusaha menyela antara diriku dan rezekiku, yang telah Allah arahkan untukku.'
Sang gembala tak mempercayai telinganya. Ia berteriak dengan sekeras-kerasnya, 'Keajaiban dari segala keajaiban, Serigala berbicara!?"
Kemudian, sang Serigala berbicara lagi, 'Yang menarik tentang dirimu, bahwa, engkau duduk di sana, menggembalakan ternakmu, dan mengabaikan seorang Nabi, di kota, di antara pohon palem ini.' Dan sang Serigala menunjuk ke Madinah, berkata, 'Rasulullah (ﷺ) memberi tahu orang-orang tentang beberapa hal yang telah dan akan terjadi di masa depan. Beliau (ﷺ) menyeru para manusia agar hanya menyembah Allah, namun ada di antara mereka, tak mau mengikutinya.'
Uhban penasaran, dan mulai bertanya-tanya tentang apa yang dibicarakan sang Serigala mengenai Rasulullah (ﷺ).  Ia bergegas mengumpulkan kawanan dombanya, dan pergi ke Madinah setelah mamasukkannya ke kandang. Lalu, ia berencana menemui Rasulullah (ﷺ) dan berharap, mendengar tanggapan Rasulullah (ﷺ) mengenai apa yang telah dialaminya.
Saat Uhban bin Aus sampai di Madinah, ia bertanya tentang seorang Nabi Yang Mulia, dan ia dituntun kepada beliau (ﷺ). Ia memasuki rumah Rasulullah (ﷺ) dan mengisahkan apa yang dialaminya dan sang Serigala. Rasulullah (ﷺ) sangat senang mendengar peristiwa tersebut. Beliau (ﷺ) mengajarkan Uhban tentang Islam. Uhban, sang Gembala, memeluk Islam. Ia sangat gembira. Kemudian, Rasulullah (ﷺ) meminta Uhban memberitakan apa yang terjadi dengannya. Maka, Uhban pun mulai menyampaikan kepada khalayak, apa yang telah terjadi. 

Walau tampak mustahil bahwa marga-satwa berbicara dengan manusia, namun tak bertentangan dengan akal-sehat atau keniscayaan. Allah bisa memberikan kefasihan-ucapan kepada satwa. Pada hari Kiamat saat manusia dihimpun, Allah akan mengunci lidah manusia, dan memberikan kepada anggota tubuhnya yang lain, bersaksi terhadapnya. Dan jika Allah dapat menjadikan anggota tubuh manusia, berbicara, maka Dia, Subhanahu wa Ta'ala,  dapat pula menganugerahkan marga-satwa, kefasihan.

Pelajaran lain, yang bisa diambil dari kejadian garib ini, tentang penghargaan yang ditunjukkan pada hak-hak makhluk hidup. Konsep Islam tentang Kepedulian atau Kesempurnaan, atau al-Ihsan, berkenaan dengan rahmat dan kasih-sayang terhadap makhluk lain, walau makhluk sekecil apapun, yang tak melayani manusia dengan cara apapun. Satwa itu, makhluk hidup dengan perasaan dan keterhubungan ke dunia spiritual dan fisik yang lebih besar. Kita seyogyanya menganggap hidup mereka berharga dan dihargai. Namun perlu diperhatikan, dalam beberapa hal, seperti masalah memelihara anjing, singa, serigala, dan beberapa hewan liar lainnya, sebagai hewan peliharaan, lebih baik berkonsultasi dengan Ulama yang kompeten, tentang cara merawatnya, karena perlu mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya. Ada aturan dalam tuntunan Syariah yang harus dipatuhi dalam merawat atau bagaimana memperlakukan satwa. Dapat dipahami bahwa setiap dari kita, ingin mengambil semua yang baik, namun, pada titik tertentu, tak selalu seseorang harus mengambil semuanya, acapkali, ia hendaknya memilih yang terbaik di antara dua pilihan yang baik. Pada suatu saat, ia juga bisa dihadapkan pada dua pilihan yang buruk, sehingga ia sepantasnya mengambil yang lebih sedikit keburukannya.
Tapi, secara umum, Nabi kita tercinta (ﷺ), menasihati umat Islam agar menunjukkan kebaikan dan kasih sayang terhadap marga-satwa dan unggas, dan berulang kali melarang penganiayaan terhadap seluruh ragam satwa. Umat ​​Islam diperintahkan agar menghindari, antara lain, hewan yang terlalu banyak bekerja atau termuat beban berlebih, mencampakkannya, memburunya untuk hiburan atau olahraga (berburu makanan diperbolehkan jika hewan dibunuh secara manusiawi yaitu mengikuti tuntunan Syariah), memotong surai atau ekor kuda, adu-hewan sebagai tontonan olahraga, industri, dll. 
Suatu ketika, para Sahabat bertanya kepada Rasulullah (ﷺ), 'Duhai Rasulullah! Adakah pahala bagi kami dalam hal merawat satwa?" Beliau (ﷺ) menjawab, 'Ya, ada pahala bagi melayani segala makhluk (makhluk hidup).' [Sahih al-Bukhari]
Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan,
'Kami sedang dalam perjalanan dengan Rasulullah (ﷺ) dan beliau (ﷺ) pergi buang air kecil. Kami melihat seekor burung pipit merah, yang membawa dua anaknya, dan kami mengambil anak-anaknya, maka burung pipit tersebut, mengepakkan sayapnya. Rasulullah (ﷺ) datang dan beliau (ﷺ) bersabda, 'Siapa yang menjadikannya kesal dengan mengambil anak-anaknya? Pulangkan anak-anaknya kembali padanya.' Rasulullah (ﷺ) juga melihat koloni semut yang telah kami bakar dan beliau (ﷺ) bersabda, 'Siapa yang membakar ini?' Kami menyampaikan bahwa kami yang melakukannya. Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Tak ada yang boleh menghukum dengan api, kecuali Rabb api.' [Sunan Abi Dawud; Shahih menurut An-Nawawi] 
Bersikap adil, tak hanya kepada satwa, Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), memerintahkan umat Islam memperlakukan setiap manusia secara adil, karena manusia itu, manusia. Inilah hak yang sangat penting dan berharga, yang diberikan Islam kepada manusia sebagai manusia. Al-Qur'an telah menetapkan, 
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
'Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu, lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.' [QS Al-Ma'idah (5):8]
Jadi, umat Islam hendaknya tak hanya adil dengan manusia biasa, namun bahkan dengan musuh-musuh mereka. Dengan kata lain, keadilan yang diajak Islam kepada para pengikutnya, tak hanya sebatas pada warga negara mereka sendiri, atau orang-orang dari suku, bangsa atau ras mereka sendiri, atau masyarakat Muslim secara keseluruhan, melainkan ditujukan bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, umat Islam tak boleh berlaku tidak-adil kepada siapapun. Kebiasaan dan sifat permanennya, seyogyanya, sedemikian rupa, menjadikan orang lain merasa tak khawatir diperlakukan tidak-adil, dan mereka sepantasnya memperlakukan setiap manusia manapun, dengan keadilan dan kejujuran.
Demikian pula, bagi seorang Pemimpin, seyogyanya bersikap adil terhadap rakyatnya, karena Rakyat itu, Rakyat! Mereka punya karakteristiknya sendiri. Para pemimpin hendaknya menyadari, bahwa kekuasaan bukan segalanya. Kekuasaan dapat menghinakan. Bilamana para pemimpin dan konco-konconya, sudah keterlaluan, satwa saja, Allah perkenankan melakukan protes, apalagi, Rakyat.
Kepemimpinan dalam Islam itu, amanah. Seringkali, dapat berbentuk kontrak atau janji eksplisit antara seorang pemimpin dan pengikutnya, bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin, membimbing, melindungi dan memperlakukan mereka, dengan Adil, dan dengan Keadilan. Oleh karenanya, dalam Islam, fokus kepemimpinan itu, pada integritas dan keadilan—termasuk kompetensi yang dibutuhkan, guna melaksanakan tugas yang diamanahkan. 

Orang yang Adil, pandai dalam Konsep Melihat dan Mendengar. Substansi lidah di mulut manusia, dan di mulut Sapi, serta makhluk hidup lainnya, sama: sepotong daging. Dan merupakan fakta yang diketahui bahwa, satwa punya telinga—terbuat dari bahan yang sama dengan telinga manusia—yang dapat mendengar seperti manusia, dan beberapa di antaranya, bahkan dapat mendengar lebih baik ketimbang manusia.
Bayangkan bila manusia kehilangan indera pendengarannya. Seseorang yang kehilangan pendengaran, akan kehilangan keterampilan berkomunikasi dan berbicara, dan akibatnya, kehilangan suara merdu pertukaran gagasan dan pengalaman, yang menyenangkan. Orang-orang akan enggan berkomunikasi dengannya, dan akan menampakkan kekesalan atas kehadirannya. Ia akan terputus dari berita dan percakapan orang; ia hadir, namun tak sungguh-sungguh hadir; ia hidup, tetapi seperti mati dalam kehidupan; ia dekat, melainkan sangat jauh. 

Demikian pula, coba pikirkan jika manusia kehilangan indra penglihatannya. Ia tak melihat kemana hendak melangkah, tak melihat apa yang ada di depannya, tak dapat membedakan warna dan pemandangan yang menyenangkan atau tak menyenangkan; ia tak beroleh manfaat dari kepakaran buku-bukunya; ia tak mampu membayangkan dan merenungkan keajaiban ciptaan Allah. Ia tak dapat mencatat banyak hal yang menguntungkan atau merugikan baginya; ia mungkin tak dapat terhindar dari jatuh ke dalam lubang di jalan, atau melindungi dirinya dari binatang buas, atau musuh yang berniat menyerang dan membunuhnya. Ia tak bisa menghindar jika diserang, tetapi harus memohon belas kasihan musuhnya. Jika bukan karena pemeliharaan istimewa dari Allah, dalam beberapa hal yang serupa dengan, yang diberikan kepada bayi baru lahir, ia akan lebih mungkin binasa ketimbang bertahan hidup. Ia bagai segumpal daging dan tulang, dan itulah sebabnya Allah menjanjikannya, jika ia pasrah dan sabar, bahwa ia akan diberi imbalan surga. Inilah ilustrasi dari besarnya kebaikan Rabb bahwa Dia mengkompensasi penglihatan orang buta, dengan penglihatan mental, dan karenanya, ia memiliki intuisi dan visi yang sangat tajam.
Rahmat lainnya, ia menikmati kejelasan tujuan, sehingga ia tak teralihkan, atau otaknya kacau-balau. Dengan cara ini, ia dapat menikmati hidupnya, dan mengurus apa yang baik bagi dirinya, dan tak tertekan, marah atau frustrasi. Ini juga berlaku terhadap mereka yang terlahir buta. Adapun orang yang kehilangan penglihatannya setelah ia dapat melihat, ia seperti orang yang mengalami bencana, yang telah beralih, dari keadaan sejahtera, kepada keadaan sengsara. Ia menjalaninya dengan sangat berat, karena ia terhalang dari apa yang selalu ia nikmati, dari penglihatan, pemandangan, dan cara menggunakan penglihatannya; ia menjalani hal yang berbeda." 

Coba perhatikan sketsa berikut,
Tikus mondok tak buta, tetapi mereka buta-warna, dan penglihatannya sangat buruk. Mereka hanya bisa melihat cahaya dan gerakan. Mereka menggunakan sedikit gerakan dan sensor aroma di ujung hidung, untuk menemukan mangsa dan tikus mondok lain.
Lalu, seekor anak Tikus Mondok, suatu hari, bertanya kepada ibunya, 'Kenapa Bu, Ibu bilang aku buta? Tapi aku yakin, aku bisa melihat kok!' Ibu Mondok merenung, bagaimana supaya ia dapat menyingkirkan  kepongahan seperti itu, dari kepala sang anak. Maka, sang Ibu menaburkan sedikit bulir kemenyan di hadapan sang anak, dan memintanya mengatakan benda apa yang dilihatnya. Sang mondok kecil menatapnya tajam-tajam, 'Itu kan, keriiikil!'
'Nah, anakku,' ucap sang Ibu, 'Itu membuktikan, bahwa engkau, kehilangan indera penciuman, dan juga, buta.'"
Rembulan menutup dengan berkata, "Maha Suci Allah, yang menganugerahkan kepada manusia, segala aspek kehormatan: pikiran, ilmu, ekspresi, ucapan, penampilan, ketampanan, pesona, perawakan yang seimbang, perolehan ilmu melalui dugaan, perenungan, dan menjunjung tinggi keshalihan, etika yang baik, semisal kesetiaan, kepatuhan, dan kepekaan. Wallahu a'lam." 
Kutipan & Rujukan:
- Mohammad Zakariya Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Uloom
- Capt. Anas Abdul-Hameed Al-Qoz, Men and The Universe - Reflections of Ibn Al-Qayyem, Darussalam
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons