Jumat, 15 Oktober 2021

Kategori atau Stereotip?

"Purbasangka, bertunas dari disposisi pikiran manusia, untuk memahami dan memproses informasi dalam kategori," berkata Rembulan tatkala ia mulai menyembul. "'Kategori' itu, kata yang lebih baik, lebih netral dibanding 'stereotip', namun keduanya, hal yang sama," imbuhnya, lalu melanjutkan, "Psikolog kognitif, menganggap stereotip sebagai perangkat hemat energi, yang memungkinkan kita, membuat keputusan yang efisien, tentang latarbelakang pengalaman masa lalu; membantu kita, dengan cepat, memproses informasi baru, dan mengingat; memahami perbedaan nyata antar kelompok; dan memprediksi, seringkali dengan akurasi yang cukup, bagaimana orang lain akan berperilaku, atau bagaimana mereka berpikir. Kita, dengan mahir, mengandalkan stereotip, dan informasinya yang cepat, memberi kita peluang menghindari bahaya, mendekati kemungkinan teman baru, memilih satu sekolah atau pekerjaan dibanding yang lain, atau memutuskan bahwa orang di seberang ruangan yang penuh sesak itu, akan menjadi kekasih dalam hidup kita.
Itulah kelebihannya. Kelemahannya, stereotip meratakan perbedaan dalam kategori yang kita lihat, dan membesar-besarkan perbedaan antar kategori.
Kita semua, mengenali keberagaman di dalam partai, etnis, atau bangsa kita sendiri, namun kita cenderung menggeneralisasi dari beberapa pertemuan dengan orang-orang dari kategori lain, dan menyatukannya sebagai 'Mereka.' Terkadang, kita cenderung membagi dunia, seperti yang dilakukan semua orang, menjadi 'Kita' dan 'Mereka'. 'Kita,' kategori sosial yang paling mendasar dalam sistem pengorganisasian otak, dan telah terprogram. Bahkan kata ganti kolektif, 'Kita' dan 'mereka', merupakan sinyal emosional yang kuat.
Namun, segera setelah para manusia menciptakan kategori yang disebut 'Kita', mereka selalu menganggap orang lain sebagai 'bukan-kita.' Jelas, kategori 'Kita' tertentu, lebih penting bagi identitas kita ketimbang jenis mobil yang kita kendarai, atau jumlah titik yang bisa kita tebak pada slide—jenis-kelamin, agama, politik, etnis, dan kebangsaan, sebagai permulaan . Tanpa merasa terikat pada kelompok yang memberi makna, identitas, dan tujuan hidup kita, kita akan merasakan sensasi yang tak tertahankan bahwa kita menjadi kelereng lepas yang mengambang di alam semesta yang acak. Lantaran itulah, kita akan melakukan apa yang diperlukan, demi melestarikan keterikatan ini.

Psikolog evolusioner berpendapat bahwa etnosentrisme—keyakinan bahwa budaya, bangsa, atau agama kita sendiri, lebih unggul dari yang lain—membantu kelangsungan hidup dengan memperkuat ikatan kita dengan kelompok sosial utama kita, dan dengan demikian, meningkatkan kemauan kita agar bekerja, berjuang, dan terkadang, mati demi mereka. Ketika semuanya berjalan dengan baik, orang merasa cukup toleran terhadap budaya dan agama lain, akan tetapi, bila mereka marah, cemas, atau terancam, posisi defaultnya, mengaktifkan titik buta mereka. Kita memiliki kualitas kecerdasan dan emosi manusia, yang mendalam, namun kita menganggap, bahwa 'Mereka' itu, bodoh, cengeng, tak tahu arti cinta, malu, duka, atau penyesalan.
Tindakan berpikir bahwa 'Mereka' tak sepandai atau masuk-akal seperti 'Kita', membuat kita merasa lebih dekat dengan orang lain yang seperti kita. Tapi, sama pentingnya, itu memungkinkan kita, membenarkan bagaimana kita memperlakukan mereka. Kita menggunakan stereotip demi membenarkan perilaku yang sebaliknya, membuat kita merasa buruk tentang orang seperti apa kita, atau jenis negeri tempat kita tinggal.

Purbasangka membenarkan perlakuan buruk, yang ingin kita lakukan pada orang lain, dan kita ingin memberikan perlakuan buruk pada orang lain, karena kita tak menyukai mereka. Dan mengapa kita tak menyukai mereka? Karena mereka bersaing dengan kita, mendapatkan pekerjaan di lapangan pekerjaan yang langka. Karena kita ingin mempertahankan posisi status, kekuasaan, dan hak istimewa kita. Karena kita perlu merasa, kita lebih baik dari seseorang. Karena negara kita sedang berperang melawan mereka. Karena mereka menolak berasimilasi dengan budaya kita.
Dengan memaklumi purbasangka sebagai pelayan pembenaran diri kita, kita dapat melihat dengan lebih jelas, mengapa, purbasangka sulit diberantas: Mereka memungkinkan orang, membenarkan dan mempertahankan identitas sosial mereka yang paling penting—ras, agama, kecenderungan mereka—seraya mengurangi disonansi antara 'Saya orang baik' dan 'Saya benar-benar tak menyukai orang-orang itu.' Untungnya, kita dapat lebih memahami kondisi dimana, purbasangka berkurang: ketika persaingan ekonomi mereda, ketika gencatan senjata ditandatangani, ketika profesi terintegrasi, ketika mereka menjadi lebih akrab dan tenteram, ketika kita berada dalam posisi menyadari bahwa, mereka, tak jauh berbeda dengan kita."

"Dan demikianlah," Rembulan diam sejenak, kemudian menyambung, "Tadi malam, aku melihat seorang Duda, guna menghibur saat-saat kesendiriannya, dan dalam beberapa hal, mengisi percakapan dengan teman bicaranya yang sudah meninggal, bertekad membeli seekor Burung Nuri.

Ia tahu kemana harus pergi, dan tahu peternak unggas yang jujur. Dan dengan pandangannya, ia mengajukan penawaran. Ia bertanya kepada sang peternak, 'Lur, dhulur, ono nggak sih, manuk nurimu, sing iso njerat atiku?' 'Ade Gan!' kata sang peternak dan menunjukkan kepadanya, banyak koleksi burung Nuri, dari berbagai jenis.
Selagi para Nuri mempertontonkan bakat bicara mereka di hadapannya, ada yang mengulangi teriakan para pendemo, yang lain menirukan ucapan seseorang yang meminta jatah barang jarahan, dan yang lain lagi, menangis meminta pelatih, ia mengamati seekor burung nuri hijau, yang bertengger dengan bijak, di kejauhan, di atas potongan kaki sebuah meja.
'Dhadhi, jenengan, tiyang terhormat' katanya, 'Mung meneng.' Yang dijawab oleh sang Nuri, laksana burung filosofis, 'Ane pengen berbuat sesuatu nih!'

'Lur, aku dah mutusin! Aku arep njupuk sing iki!' tukas Duda kita dengan tegas. 'Nyang itu Gan? Beneran? Tapi... tapi itu...!' sang peternak agak tergagap. 'Ndhak adha tapi-tapiyan, jenengan kan tahu, aku bilang suka, ya aku suka, bahkan duwit satu truk penuhpun, ta' bayarin!' kata Duda kita. 'Bukan begitu Gan, maksud ane ... gimane ye ngomongnye?' sang peternak bertambah ragu. 'Wis ta lah Lur, ojo ragu nawa'ke rego! ... utawa iki ...' seraya meletakkan cukup banyak uang di atas meja, lalu berkata, 'Sekarang tolong siapkan burung nurinya, areb ta' gowo mulih!'
Senang dengan suara burung nuri yang masuk akal, Duda kita segera membayar, dan membawa pulang sang unggas, menyangka ada sesuatu yang sangat dahsyat dari makhluk yang telah menunjukkan spesimen istimewa dari bagian tubuhnya yang mencolok.

Namun, setelah mengajari sang Nuri selama sebulan penuh, ia merasakan kekecewaan berat, bahwa, sang Nuri, tak bisa mengucapkan apa-apa selain mengulangi kalimat yang melelahkan, 'Ane pengen berbuat sesuatu nih!'
'Saiki aku ngerti,' katanya, dengan sangat marah, 'Menawa kowe, wong bodho kang ora terkalahkan; lan, kang sepuluh kali luwih bodho, awakku dhewe, amarga, wis nyana, menawa pancen kowe bener-bener pinter.'
Keesokan harinya, Duda kita, mengembalikan sang Nuri balik ke sang peternak, yang berkata, 'Maap ni ye Gan... maaap ... andai ente dengerin ane kemaren, mestinye, ente dapet Nuri yang bagus, tapi, ude lakuuu. Dan Nuri nyang ini, cuman tau satu kalimat, nyang itupun, anak ane nyang ajarin.'
'Sorry Lur, sorry, aku kleru!' Duda kita memohon maaf. 'Nggak ape-ape! Ente masih baek kok, soalnye, ade orang... orang laen maksudnye ... nyang kagak mau ngakuin, salenye die. Nyok, ikut ane Gan, ane tunjukin, burung nyang lebih cakep!'

Rembulan pamit dan berkata, "Sebagai insan yang bisa salah, kita semua berbagi dorongan membenarkan diri sendiri dan menghindari tanggung jawab atas tindakan apapun yang ternyata berbahaya, tak bermoral, atau konyol. Sebagian besar dari kita, takkan pernah mau berada dalam posisi membuat keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan kematian jutaan orang, namun baik akibat dari kesalahan kita, sepele maupun tragis, dalam skala kecil atau kanvas nasional, kebanyakan dari kita, merasa sulit, jika bukan tak mungkin, mengatakan, 'Aku keliru; aku telah berbuat kesalahan besar.' Semakin tinggi taruhannya—emosional, finansial, moral—semakin sulit menyatakannya.
Lebih jauh, para insan mengatakan bahwa: Kebanyakan orang, ketika secara langsung dihadapkan pada bukti bahwa mereka salah, tak mengubah sudut pandang atau arah tindakan mereka, melainkan membenarkannya, bahkan dengan lebih gigih. Walau ada bukti tak terbantahkanpun, jarang sanggup menembus dinding-pelindung, mental pembenaran-diri.

Lao Tse berkata,
Bangsa yang besar itu, ibarat orang yang hebat.
Ketika ia melakukan kesalahan, ia menyadarinya.
Setelah menyadarinya, ia mengakuinya.
Setelah mengakuinya, ia mengoreksinya.
Ia menganggap, mereka yang menunjukkan kesalahannya,
sebagai gurunya, yang penuh dengan kebajikan."
"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Carol Tavris and Elliot Aronson, Mistakes Were Made (but not by me), Harcourt
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin