Selasa, 12 Oktober 2021

Tak Sekadar Bulu (2)

Rembulan menyambung, "Menilai diri kita sendiri, berlandaskan gemerlap dan riasan pakaian, merupakan salah satu kesombongan yang paling hina; dan orang berbudi, akan malu memberikan perhatian padanya, walau sedikitpun. Mereka yang mencermati sesuatu dengan skala berpikir-kritis, akan menimbang-nimbang dan melihat pada maknanya, sebelum mereka terbujuk menetapkan nilai-nilai di atasnya. Pikiran—yang tersimpan bersama perasaan bajik dan rasional—dan perilaku—yang menunjukkan rasa kecukupan diri dan kerendahan hati—menakar pemiliknya, dimana para pengamat yang bijak, siap mengagumi dan mengakuinya.

Perhatikan sketsa berikut,
Seekor Merak, yang membusungkan-dada dengan kepongahan, suatu hari, bertemu sang Bangau, dan agar membuat sang Bangau terpukau, sang Merak membentangkan ekornya yang indah, di bawah sinaran sang Surya. 'Tataplah,' katanya. 'Apa yang dapat engkau sandingkan dengan ini? Aku mengenakan segala kemuliaan Bianglala, sedangkan bulu-bulumu, kelabu bagai debu!'
Sang Bangau merentangkan sayapnya lebar-lebar, dan tinggal landas melambung ke arah sang Surya. 'Kejar aku, jika engkau mampu,' katanya. Walakin Merak, cuma termangu di antara unggas-unggas di dalam pagar lumbung, sementara sang Bangau, melayang bebas jauh ke Tawang Biru. Ia berkata, 'Yang Maslahat jauh lebih penting dan bernilai, ketimbang Riasan.'
Sang Merak menilai dirinya, pada gemerlap dan dandanan pakaian, yang merupakan salah satu pertimbangan yang paling dangkal di alam semesta ini; dan betapa orang yang berakal, akan malu mengakuinya, sekalipun sebagai bagian terkecil dari kemaslahatan. Sungguh, kanak-kanak, dan orang-orang yang banyak berpikir seirama dengan mereka, cenderung terpukau oleh kertas perada yang di pernis, namun bagi mereka yang mencermatinya dengan skala akal-sehat, akan menimbang-nimbang kekuatan dan substansinya, sebelum mereka tergoda menetapkan nilainya.
Andai ada Kemaslahatan dalam mantel bersulam, rompi brokat, sepatu, stoking, atau simpul tasel pada pangkal sebilah pedang, maka hanya ada sedikit dari para pemakainya, yang menyatakan hal itu; namun bisa jadi, ada pernyataan tersebut, berasal dari tempat dimana barang-barang itu, bermuasal, yakni dari para pengrajin yang mengerjakan dan merapikan bahan-bahan yang mereka buat.
Pelajaran moral ini, tak dimaksudkan menghinakan kemegahan pakaian yang bagus dan perlengkapan mewah, yang, sesuai dengan kebutuhan waktu dan keadaan, dapat digunakan dengan kesantunan dan kepatutan yang wajar: akan tetapi, seseorang tak dapat menahan kerisauan, jangan-jangan, ada nilai yang dilekatkan pada barang-barang tersebut, melebihi nilai intrinsiknya.

Selanjutnya, amati sketsa ini,
Seekor Gagak Jackdaw, kadarullah, terbang melintas di atas taman istana Raja. Di sana, ia melihat dengan sangat heran dan iri, sekawanan Merak kerajaan, dengan segala keindahan bulunya yang indah.
Sang Jackdaw hitam, bukanlah unggas yang sangat tampan, tak pula, terlalu baik perilakunya. Namun, ia membayangkan, bahwa segala yang ia butuhkan, agar dirinya layak masuk ke dalam masyarakat Burung Merak, merupakan gaun seperti milik mereka. Lantas, ia mengambil beberapa bulu burung Merak dan menempelkannya di antara bulu-bulu hitamnya.
Dengan mengenakan perhiasan pinjamannya, ia berjalan dengan anggun di antara unggas sejenisnya. Lalu ia terbang ke taman, di antara Burung Merak. Akan tetapi, para Merak segera tahu, siapa dirinya. Marah karena dikadalin, para Merak terbang ke arahnya, mencabut bulu-bulu pinjaman tersebut, dan bulu-bulu milik sang Jackdaw, juga ikut terenggut.
Sang Jackdaw yang malang, dengan remuk-redam, pulang ke teman-temannya yang dulu. Ada kejutan lain, yang tak menyenangkan, menantinya. Kawanannya, belum melupakan sikap congkaknya, dan, sebagai hukuman, mereka mengusirnya, menghujaninya dengan mematuk dan menertawakannya.
Dengan tujuan meraih angka dengan cara meminjam kecerdasan, atau duit pinjaman, pada akhirnya, membuat kita menjadi bahan ledekan sepuluh kali lipat. Lantaran itulah, orang bijak, akan menduduki posisinya dengan kalem, pada maqamnya sendiri, tanpa berpura-pura mengisi posisi orang lain, dan tak pernah mau mempengaruhi dengan terlihat lebih agung dari yang sebenarnya, melalui cahaya semu atau pinjaman.
Apa yang dapat kita pelajari dari fabel ini, pada dasarnya, agar hidup, puas dalam keadaan kita sendiri, apapun itu, tanpa terpengaruh agar terlihat lebih besar dari kita, dengan kilapan bohong-bohongan atau silihan.
Bila tak puas tampil di atas kejatidirian seseorang, cukuplah itu dapat dipandang suatu keburukan; dan mungkin membuatnya terhina di mata orang yang sederajat: Namun bila, ia dibolehkan melakukannya agar tampil lebih baik, tetapi secara sembunyi-sembunyi menutupi sarangnya dengan barang-barang tetangganya, saat ketahuan, ia tak punya apa-apa untuk diharapkan, melainkan dilucuti dari jarahannya, atau dipandang sebagai bajingan penipu, yang sedang melakukan tawar-menawar.

Dan akhirnya, inga-inga sketsa berikut,
Suatu waktu, para unggas berkumpul bersama, memilih seorang Raja, dan diantara kandidatnya, sang Merak. Dengan membentangkan ekornya yang mencolok, dan lirik-sana, lirik-sini, tebar pesona, hingga menarik perhatian banyak unggas dengan penampakannya yang marak, terpilih secara aklamasi.
Tepat saat mereka akan melantiknya, sang Murai, melangkah maju ke tengah-tengah Majelis, dan dengan demikian, berbicara kepada Raja yang baru, 'Semoga, Yang Mulia, yang terpilih, merelakan seorang pengagum yang rendah-hati, demi menghaturkan pertanyaan. Sebagai raja kami, kami telah menyerahkan harta dan hidup kami dalam genggaman Paduka. Karenanya, jika para Elang, Nasar, dan Rajawali, saudara-saudara kita yang suka usil, di masa depan, seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya, menyerbu kita, apa yang akan Tuanku lakukan demi membela kami?'
Pertanyaan bernas ini, membuka mata para unggas, terhadap lemahnya pilihan mereka. Para unggas membatalkan pemilihan, dan sejak saat itu, menganggap sang Merak sebagai raja ngibul, dan memandang sang Murai, sebagai pembicara terbaik di antara mereka."
Sebagai penutup, Rembulan lalu merangkum, “Bentuk dan tampak luar, dalam memilih seorang Pemimpin, janganlah terlalu dianggap sebagai kualitas dan anugerah batin. Dalam memilih seorang Pemimpin, mulai dari Raja sebuah negeri, turun sampai para Pemimpin sebuah perusahaan, pada setiap pemilihan baru, sepantasnya dipertanyakan, siapa di antara kandidat, yang paling mampu memajukan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat; dan kepadanyalah, pilihan dijatuhkan. Namun, mata orang banyak, tersilau oleh kemegahan dan pertunjukan, pesta-pora dan seremoni, sehingga mereka tak dapat melihat hal-hal yang sesungguhnya. Dan dari sini, terjadilah, bahwa begitu banyak kegilaan, yang dilakukan dan dipertahankan di dunia. Masyarakat selayaknya, buka mata dan telinga, menimbang dan mencermati, timbangan dan keutamaan yang sebenarnya, milik seseorang, dan tak dipaksakan oleh warna dan corak buatan. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Handbook of Research on Islamic Business Ethics, Edited by Abbas J. Ali, Edward Elgar
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume I, Darussalam
- Abd Ar Rahman bin Muhammed ibn Khaldun, The Muqaddimah, Translated by Franz Rosenthal, Pantheon Books
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
[Bagian 1]