Selasa, 19 Oktober 2021

Gajah yang Arif

"Beberapa malam yang lalu," berkata Rembulan setelah mengucapkan salam. "Aku berkeliling dan menjumpai sebuah Negeri bernama Bumi Ganapati." Sang pungguk bertanya, "Duhai Rembulan, menyembah Ganeshakah, para penduduknya?" Rembulan menjawab, “Tidak, mereka tak melakukannya. Negeri itu, disebut Ganapati, karena namanya, merupakan salah satu konsep dari Para Pendiri negeri tersebut. Gagasannya, juga sebuah cita-cita, bahwa demi mencapai Kemakmuran, ada empat elemen yang perlu dipadukan: Kecerdasan, Identitas (termasuk Keimanan), Kesuksesan, dan Kemajuan (atau Pertumbuhan). Jadi, agar memahami apa yang kusampaikan padamu, mohon tak memaknainya secara harfiah.

Penuturanku ini, tentang seekor Gajah yang arif, yang usahanya selalu ditujukan demi kepentingan masyarakatnya.
Berawal ketika, seekor Singa, berbicara pada dirinya sendiri, mengeluh, 'Aku sangat kuat, wujudku tampan, dan sangat tangguh dalam menyerang. Aku memiliki rahang yang dilengkapi dengan taring, dan kaki yang dilengkapi dengan cakar, dan aku menguasai semua binatang dalam belantara, dan betapa memalukannya, dan yang paling menyedihkan, bahwa binatang dengan cakar, taring, serta kekuatan seperti yang kupunyai, harus terhina oleh teror kokok ayam jantan. Adakah ketenangan hidup yang pantas kumiliki? Saat makhluk yang kumuh, sanggup merampas pesonaku?' gumamnya.
Saat itu, sang Gajah yang arif, melintas, dan berkata, 'Mengapa engkau menyalahkan diri-sendiri tanpa alasan? Engkau telah dianugerahi segala atribut, dan keberaniannu, tak pernah mengecewakanmu, kecuali dalam hal yang satu ini.'
Mendengarnya, sang Singa mengaum dan meratap serta menghinakan dirinya, oleh kepengecutannya, berharap, ia mati saja. Saat pikiran-pikiran ini melintas dalam benaknya, sang Gajah mendekatinya.
Beberapa saat kemudian, sang Singa mencermati, bahwa sang Gajah, sangat sering mengibaskan telinganya, dan ia menanyakan apa yang terjadi, dan mengapa telinganya, sesekali bergoyang dengan gerakan seperti itu. Tepat pada saat itu, seekor Agas hinggap di kepala sang Gajah, dan ia menjawab, 'Tak lihatkah engkau, serangga kecil yang berdengung itu? Jika ia masuk ke dalam telingaku, tamatlah riwayatku. Aku pasti mati sekarang.' Sang singa berkata, 'Kalau begitu, karena binatang yang besar sepertimu saja, takut pada Agas kecil, aku takkan lagi mengeluh, atau berharap diriku mati. Sekarang kusadari, sesungguhnya diriku, mendingan dibanding sang Gajah.'

Hari berikutnya, sang Serigala dan sang Macan Tutul, bergabung dalam kelompok berburu, dan sepakat bahwa, pada akhir perburuan tamak mereka, akan berbagi jarahan, secara merata di antara mereka. Seekor anak Domba, yang dijadikan barang jarahan, mereka sepakati, diserahkan pada pengampuan sang Kuda, yang pada saat itu, sedang disembunyikan. Saat yang bersamaan, sang Rubah bergabung, yang mengira bahwa ada sesuatu yang bisa ia dapatkan, berteman dengan akrab, seolah-olah ia salah satu dari kelompok pemburu; dan secara resmi membantu mengantarkan Anak Domba ke sang Kuda, yang diperintahkan agar menyimpannya, sampai mereka kembali dari berburu, dan nanti, memintanya kembali.
Segera setelah itu, sang Rubah yang culas, dengan kelicikannya, meninggalkan kelompok berburunya, mudik sendirian menemui sang Kuda, menyampaikan bahwa kawan-kawannya kelelahan, sebab perburuan mereka kandas, sehingga mereka mengutusnya mengambil sang Anak Domba, yang hendak disantap, agar dapat menyegarkan diri, sehingga nanti dapat mengejar lagi mangsanya. Sang Kuda yang lugu, tak ragu-ragu menyerahkan kepada sang Rubah, sang Anak Domba yang telah dibebankan menjadi tanggung jawabnya: seketika, Rubah yang makar, dengan sigap membawanya pergi, digunakan sendiri, dan tentu saja, sebagaimana bandit sejati, tak kembali lagi pada mantan-mantan sobatnya.
Di akhir olahraga seharian mereka, datanglah sang Macan Tutul dan sang Serigala, yang hanya beroleh sedikit keberuntungan dalam perburuan mereka, dan meminta dari sang Kuda yang tak tahu apa-apa, kepemilikan yang telah mereka serahkan padanya. Sia-sia, sebab sang Kuda menceritakan kepada mereka, dan bahwa ia telah, dengan jujur dan terhormat, menyerahkan barang jarahan dimaksud kepada kolega mereka, yang bersama-sama menyerahkannya—alasan ini, tak mau mereka pedulikan, melainkan mengatakan bahwa, sang Rubah, pencuri dan pengkhianat, dan tak berhak atas barang-barang mereka—bahwa sang Kuda, saking bodohnya, tertipu oleh dalih sang Rubah, itu bukan urusan mereka, melainkan urusan sang Kuda—bahwa mereka akan mencari keadilan, dan berupaya memperoleh kembali hak milik mereka, yang mereka titipkan pada sang Kuda. Sang Kuda, yang ketakutan, yang tak tahu harus berkata apa-apa bagi dirinya sendiri, dalam kasus yang begitu rumit, setuju pergi bersama mereka, agar masalahnya diadili di depan Hukum, dan dihakimi oleh, sang Gajah yang cerdik.
Sewaktu mereka datang ke pengadilan, di hadapan sang hakim, masing-masing pihak menyampaikan kisahnya—sedangkan sang Kuda yang malang, gemetar ketakutan; karena bahkan dirinya sendiri, hampir tak dapat melihat alasan mengapa Keadilan hukum, tak berpihak padanya.
Gajah yang arif, dengan sungguh-sungguh mendengar dalih-cerita mereka, dan kemudian menjawab, 'Aku berkesimpulan bahwa, kalian masing-masing, telah mengatakan yang sebenarnya, sebab pernyataan kalian sangat sesuai dengan fakta, dan dengan demikian, aku memutuskan hak-hak kalian, yang berbeda, dan menyatakan pertimbangan oleh penyebabnya. Kalian bertiga, Macan Tutul, Serigala, dan Rubah, secara bersama-sama, menitipkan pada Kuda,barang berupa seekor Anak Domba, sebagai mangsa—dan yang dengan jujur, telah diakui Kuda sebagai pernyataan yang benar dari perkara ini—oleh karenanya, kalian tak boleh keberatan dengan keputusanku, dengan demikian, 'Bahwa ketika kalian bertiga bersama-sama menyerahkannya kepada sang Kuda, untuk menjaga harta bersama kalian, tentunya, bila kalian bertiga secara sendiri-sendiri kembali lagi, dan memintanya, maka ia yang membawanya, bertanggungjawab atas risikonya sendiri.'
Pertimbangan yang bijaksana ini, membebaskan Kuda sepenuhnya, karena ada resiko bahwa sangat kecil kemungkinan, sang Rubah nakal dapat ditemukan lagi dalam kelompok berburu tersebut. Dalam penentuan perkara yang meragukan dan rumit, diperlukan perlakuan yang berbeda dan soliditas pertimbangan yang terbaik. Contoh ini, menunjukkan betapa rapuhnya ikatan yang menghubungkan kaum penyamun dan penjarah, dan betapa berbahayanya ketergantungan yang mereka tempatkan, satu sama lain. Ini juga memberikan pelajaran, waspada dan menghindari hubungan sekecil apapun, dengan orang-orang yang berkarakter buruk atau mencurigakan, yang dengannya, orang-orang yang berniat baik, terkadang dapat terlibat dalam kesulitan dan bahaya besar.

Hari-hari pun berlalu, sang Gajah yang arif, melihat dengan penuh keprihatinan, banyak pelanggaran di antara para satwa, yang kemudian menyerukan perbaikan. Oleh sebab itu, ia mengumpulkan mereka, dan, dengan segala hormat dan kerendahan-hati, memulai pidato yang panjang, 'Bahwa bagi ia yang dengan tulus menasihati, satu-satunya perhatiannya, menghilangkan kekeliruan yang ditemukan pada saudara-saudaranya, dan membantunya, menghindarinya. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala, gambarkan pada Rasul-Nya (ﷺ), dengan berfirman,
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ
'Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), 'Cukuplah Allah bagiku; tiada illah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dialah Rabb Yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.'' [QS. At-Taubah (9):128-129]
Nasihat hendaknya diberikan dengan kelembutan dan kesantunan, serta secara rahasia. Akan tetapi, jika yang dinasihati itu, yang dosa atau kejahatannnya tampil di depan umum, maka nasihat itu, seyogyanya diberikan di depan umum, dan masyarakat layak diperingatkan, agar mereka tak mengikutinya.'

Pidatonya, panjang, selama lebih dari seperempat jam, mengomentari semua kejahatan mereka, juga seribu kebiasaan konyol, terutama kemalasan mereka yang tak pantas, keegoisan, kejahilan dan saling hasad, segala rupa yang sangat mencolok, muncul di antara mereka.
Bagi banyak pendengarnya, pidato ini, sangat menyenangkan dan bijaksana, dan mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, terutama, semisal, sang Merpati yang lugu, sang Anjing penjaga yang setia, sang Unta yang patuh, sang Domba yang tak berbahaya, dan bahkan para Semut kecil yang rajin; Lebah yang sibuk pun, sangat sepakat dengan pidato ini.
Hadirin yang lain, merasa sangat tersinggung, dan hampir tak betah dengan orasi yang begitu lama; sang Macan, misalnya, dan sang Serigala yang rakus, menggerutu, 'Cape deh!' dan sang Ular mendesis sekuat tenaga, sementara irama tak setuju, meledak dari para buzzer, Hornet, Kucing dan Anjing liar pemalas, serta Lalat. Belalang hengkang seraya mencemooh pertemuan itu, Kungkang ngambek, dan Kera, berupaya memparodikan sang orator, namun sayang, terkesan menjijikkan. Adapun para Tawon, berang. Tak seperti Lebah, yang mampu menghasilkan madu dan cuma menyengat sekali—proses akhirnya, berakibat fatal—Tawon tak sanggup menghasilkan madu, tapi menyengat berkali-kali dan berdengung-ria. Mereka membantah apa yang dikatakan sang Gajah. Mereka mendebat, 'Itu tidak benar!' ... 'Ah, banyak bacot!' ... 'Bukan kami yang melakukannya!' ... 'Datamu salah!' ... 'Kami telah menyiapkan program baru!' ... Walhasil, beragam dalih dan janji, seperti biasa, kemudian bermunculan.
Sang Gajah, melihat keributan itu, mengakhiri pidatonya dengan perkataan, 'Nasihatku ini, ditujukan setara kepada semuanya, namun harap dicamkan, bahwa mereka yang merasa tersinggung oleh setiap ucapanku, mengakui kesalahannya. Yang jujur, akan biasa-biasa saja.'
Lalu, sang Gajah turun dari mimbar, seraya berdendang,
ꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦠꦤ꧀ꦢꦸꦫꦺꦮꦸꦱ꧀ꦱꦸꦩꦶꦭꦶꦂ
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
[Bangun, bangunlah, benihnya telah bersemi]
ꦠꦏ꧀ꦲꦶꦗꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴ
Tak ijo, royo royo
[Menghijau, berlimpah]
ꦠꦏ꧀ꦱꦺꦁꦒꦸꦃꦠꦺꦩꦤ꧀ꦠꦺꦤ꧀ꦲꦚꦂ
Tak sêngguh têmantèn anyar
[Laksana pengantin baru]

ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦧ꧀ꦭꦶꦩ꧀ꦧꦶꦁꦏꦸꦮꦶ
Cah angon, bocah angon, penekno blimbing kuwi
[Anak gembala, anak gembala, panjatlah pohon belimbing itu]
ꦭꦸꦚꦸꦭꦸꦚꦸꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦩ꧀ꦧꦱꦸꦃꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫ
Lunyu lunyu, penekno, kanggo mbasuh dodotiro
[Walau licin, panjatlah, (gunakan buah-belimbingnya) buat bersihkan (noda-noda pada) dodotmu*)]

ꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦏꦸꦩꦶꦠꦶꦂꦧꦺꦝꦃꦲꦶꦁꦥꦶꦁꦒꦶꦂ
Dodotiro, dodotiro, kumitir bêdhah ing pinggir
[Dodotmu, kain dodotmu, melambai sobek di bagian pinggir]
ꦢꦺꦴꦤ꧀ꦢꦺꦴꦩꦤꦗ꧀ꦭꦸꦩꦠꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦱꦺꦧꦩꦺꦁꦏꦺꦴꦱꦺꦴꦫꦺ
Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mêngko sore
[Rajutlah, benahilah, guna dikenakan menghadap, 'bentar sore]
ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦥꦝꦁꦫꦺꦩ꧀ꦧꦸꦭꦤꦺ
Mumpung padhang rêmbulane
[Senyampang Rembulannya benderang]
ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦗꦺꦩ꧀ꦧꦂꦏꦭꦔꦤꦺ
Mumpung jêmbar kalangane
[Selagi lingkaran (sang bulan) masih lebar]
ꦪꦱꦸꦫꦏꦱꦸꦫꦏ꧀ꦲꦶꦪ
Yo surako surak-iyo
[Maka berserulah dengan sorak 'Hiyo!']
Arkian, Rembulan berkata, "Jika ada kata-kata yang menjengkelkan, renungkan baik-baik tentang makna di baliknya. Ia yang dibuat tersinggung, hendaknya mencari pembetulan dari dalam dadanya sendiri; dan pada awalnya, dapat dipastikan, bahwa dirinyalah yang keliru, dan tak menghakimi, pada pidato panjang tersebut. Namun, ia yang selalu beroleh sanjungan, entah apapun yang ia lakukan, pastilah, takkan bisa menahan-diri. Wallahu a'lam."
Kutipan dan Rujukan:
- Al-Hafiz ibn Rajab al-Hanbali, Difference Between Advising and Shaming, accompanied with commentary of Dr. Salih ibn Sa'd al-Suhaymi, Dar as-Sunnah Publishers
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) Kain Dodot, di kenal sebagai pakaian tradisional Jawa dan Sunda, sedangkan di India Selatan, juga dikenal sebagai dhoti, dhuti, mardani, chaadra, dhotar atau panchei, sejenis sarung, yang diikat melingkar secara fisik menyerupai "celana longgar". Pakaian ini, pakaian bagian bawah, yang membentuk pakaian nasional atau tradisional, bagi kaum lelaki.