Selasa, 29 Maret 2022

Dua Kadal

"Awalnya, pokok bahasan kali ini, hendak kupasangkan tajuk, 'Dua Pisang,' namun, setelah kutimang-timang, menirukan kata Bang Ucok, 'Tak tegalah awak!' Alasannya, meminjam kata rekan P'lembang, 'Dio'nyo, wong kito jugo!'" Rembulan mengawali kalimatnya, usai sampaikan Basmalah dan Salam. "Lalu kuputuskan, mengganti kata 'Pisang' menjadi 'Kadal.' Memang, ada perbedaan di antara keduanya, yang satu dari alam Nabatah, dan yang lain, dari alam Fauna.

Dalam simbolisme, Pisang punya bertandan makna, bahwa Pisang itu, simbol Buddhis bagi kesia-siaan segala hal duniawi. Pisang itu, simbol kedermawanan, kemakmuran dan kebebasan. Pohon pisang itu, cerminan dari komitmen kita. Umumnya, bermimpi tentang pisang, melambangkan keberlimpahan dalam cinta, gairah, dan kesenangan. Emoji buah pisang terkupas, merupakan emoji yang digunakan untuk mengekspresikan buah itu sendiri. Pula, emoji ini, sangat sering dipakai sebagai Kiasan bagi alat kelamin lelaki, namun selain berkonotasi seksual, pun, merujuk pada pola makan yang sehat. Banana Emoji, kata kawan Londho kita, dapat berarti, 'That's Bananas!' yang maknanya, bukan 'Enak gila!,' melainkan, 'Itu gila, tauk!'

Adapun Kadal, secara umum, istilah bahasa Inggris 'Lizard' mencakup kelompok cecak, tokek, bunglon, cecak-terbang, biawak, iguana, dan lain-lain. Sedangkan secara sempit, dalam bahasa Melayu, 'Kadal' atau 'Bengkarung' hanya merujuk kepada kelompok kadal yang umumnya bertubuh kecil, padat, bersisik licin dan berkilau, serta hidup di tanah. Kata Melayu 'Biawak,' merujuk pada kadal besar seperti dhubb di Arab, nyambik di Jawa, iguana di Meksiko, dll. Buaya, berbentuk seperti Kadal, dan di masa lalu, dipuja di Mesir. Ada di antaranya, punya panjang empat puluh kaki.
Simbolisme kadal tersebar luas dan menarik. Dalam beberapa tradisi, Kadal melambangkan cahaya yang bersinar. Dari dewi Romawi, Minerva, hingga orang Moche di Peru, Kadal punya aneka arti dan makna. Bagi orang Romawi, Kadal itu, simbol kehancuran, kematian, dan kekacauan. Bagi orang Yunani, Kadal merepresentasikan hikmah ilahi dan keberuntungan.

Jadi, mari kita kita lanjut ke tekapeh!

Konon, di penjuru sebuah hutan, di sepanjang tepi Sungai, terdapat Kerajaan Kadal, Bumi Balli namanya. Dua Kadal—bestie—sedang mengadakan pertemuan dengan para Kades Kadal. Salah satunya, sang Raja Kadal, dan yang satunya, sang Perdana Menteri.

'Para Sahabatku,' berkata sang Perdana Menteri kepada seluruh Kadal yang hadir. 'Betapa hina dan tak berharganya keberadaan kita! Adakah sesuatu yang seperti itu, di dunia! Dalam segala sudut pandang, kukira, kitalah makhluk hidup yang paling tak bahagia, yang pernah hidup. Memang, kita bernafas—dan kita dapat memanfaatkannya sebaik mungkin—namun cukup itu belaka; jarang ada yang mengenal kita. Tiada pangkat, tiada keistimewaan. nasib-buruk yang berulang, yang tak memberi kita takdir lain selain merangkak dan merayap di Dunia, bagaikan cacing!

Selain itu, seperti kata khalayak, ada di negara lain—dalam kedalaman laut—Kadal berukuran luar biasa besar, Buaya—kukira, mereka menyebutnya seperti itu, andai aku dilahirkan dalam jelma salah satu dari mereka, 'kan mungkin jadi sesuatu, yang boleh jadi, kukan mendapatkan bagianku, Kehormatan dan Penghormatan. Aku bakalan mengangkat Gaya lama, saat Umat Manusia menerima Hukum mereka dari Sungai Nil: Maka sepantasnyalah, aku dipuja dalam Kabut Cendana, bagai sebuah Pagoda, dan telah melanggengkan marwah Pangkat dan Maqam-ku yang tinggi.

'Para Sahabatku,' imbuh sang Perdana Menteri yang ambisius, 'Para oposisi, pernah bertanya dan berkata padaku, 'Apa penyebab dari segala Kegalauanmu? Mengapa engkau mengeluh demikian? Tidakkah engkau menganggap bermakna hidup dalam Kemerdekaan, bebas dari Kecemasan dan Masalah? Udara, serta seluruh Tumpah Darah dan Air, Matahari, semuanya milik kita. Karena itu, mari menikmatinya, tiada yang menyusahkan kita di sini.'

Dan aku memberikan jawaban kepada mereka, 'Engkau sekalian, seharusnya berterima kasih kepada Raja yang memerintah sekarang ini, lantaran sang Rajalah yang mampu mewujudkan ini semua!'

'Oleh karena itu, kepada seluruh sahabatku, yang hadir di sini, kita akan menarik Mata seluruh Dunia dan dipandang serta dikagumi. Betapa kita iri kepada Rusa Jantan dengan sikapnya yang angkuh, dan Tanduk mengancamnya, menyerang kita dengan Teror dan Ketercengangan. Betapa sering kita melihat makhluk bahagia itu, memandang dirinya sendiri di sungai yang jernih, mengagumi berbagai keindahannya, sementara kita, merasa iri dan gusar, siap menenggelamkan diri kita sendiri.

Jadi, mari kita bulatkan tekad, bahwa kita akan mempertahankan sang Raja, bersama anak dan mantunya, agar dapat terus memerintah Kerajaan Kadal yang kita sayangi ini. Selain itu, mari kita persembahkan penghargaan kepada sang Raja, sebagai 'Bapak Kadal Nasional.'

Rupanya, ada Kadal lain yang tak diharapkan hadir, mereka hanya memperhatikan dari jauh. Salah satu bertanya kepada yang lain, 'Mengapa sih, Perdana Menteri ngotot mempertahankan sang Raja, padahal kita tahu, sang Raja, nggak bisa ngapa-ngapain?' Yang lain berkomentar, 'Bila sang Raja turun tahta, maka habislah sang Perdana Menteri, di sisi lain, sang Raja sedang risau tentang kelanjutan proyek Mercusuarnya, dan kasus anak-anaknya!"
'Ooo begituu ... lihat, sang Raja sedang berdiri di atas mimbar!'

Belumlah lagi sang Raja membuka mulutnya, ia disela oleh suara anjing dan pemburu, serta seekor Rusa yang malang, lelah dikejar-kejar, tersungkur tepat di hadapan mereka. Para Kades kadal, langsung berhamburan mencari persembunyian, pertemuan jadi berantakan.

Menjadi mangsa para anjing, sang Rusa meratap, lalu mati. Saat sang Rusa meregang nyawa, Raja Kadal, Perdana Menteri, dan para Kades Kadal, mendatangi, namun baik manusia maupun anjing, tak ada yang menghiraukan, sementara satwa bertanduk yang sombong itu, mendapatkan isi perutnya, dipasok ke anjing-anjing lapar.

Segera setelah petualangan berdarah itu, berakhir, para Kadal yang tak menerima undangan, menyaksikan dari kejauhan, berkata satu sama lain, 'Nah, kawan, bagaimana menurutmu sekarang? Masih maukah engkau menjadi rusa jantan seperti omongan sang Perdana Menteri?' Yang lain menjawab, 'Aduh! Siapa sangka? Yah, bahagialah selamanya, jadilah sebuah 'Private Life.' Kita orang-orang kecil, memang benar, tapi, sedemikian itu pula, resiko yang kita hadapi.'
Kemudian, bersama-sama, mereka pulang sambil bernyanyi,
I used to rule the world
[Kupernah kuasai dunia]
Seas would rise when I gave the word
[Samudera 'kan bangkit bila kubertitah]
Now in the morning I sleep alone
[Kini, di pagi hari, kuterlelap dalam lengang]
Sweep the streets I used to own
[Menyapu jalan yang pernah kupunya]

I used to roll the dice
[Kupernah lempar dadu]
Feel the fear in my enemy's eyes
[Rasakan gentarnya mata musuhku]
Listen as the crowd would sing
[Dengarkan khalayak melagukan]
"Now the old king is dead! Long live the king!"
[Raja lama telah mangkat! Hidup sang raja!]

Revolutionaries wait
[Para Revolusioner sedang menanti]
For my head on a silver plate
[Demi kepalaku di atas wadah selaka]
Just a puppet on a lonely string
[Bagai golek dengan seutas-tali yang hina]
O who would ever want to be king? *)
[Duhai, siapakah lagi yang hendak jadi raja?]
Sang Purnama beranjak dengan tinggalkan tanya, 'Jika seorang Raja, sudah tak sanggup berbuat apa-apa selain bermuka-licin dengan ekor-berkedal, masih pantaskah, bertahan? Allahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
*) "Viva La Vida" karya Christopher Anthony John Martin, Guy Rupert Berryman, William Champion & Jonathan Mark Buckland.

Jumat, 25 Maret 2022

Takhayul Kekinian

"'Saking risaunya kita bila disebut sebagai kaum Puritan, bukannya melangkah maju, melainkan kita berjalan mundur,' kata sang Kodok kepada seorang rekannya, saat keluar dari balik tempurung kelapa-nya, berjemur di tepi kolam," sang Purnama memulai komentarnya, saat ia terbit, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Langkah mundur ini, bukanlah sebuah tarikan tali-busur guna melepaskan anak-panah, melainkan langkah mundur yang terus-menerus, hingga seseorang terperosok masuk ke dalam kolam," imbuh sang Kodok. "Sekarang, perkenankan aku menyampaikan padamu tentang, sesuatu yang sedang terjadi, di dalam sebuah Kolam tertentu.

Mengatakan bahwa takhayul itu, salah satu fakta sejarah, sama saja dengan menyatakan sesuatu yang jelas benar. Andai cuma itu, kita mungkin memperlakukan subjek dari sudut pandang filosofis atau historis murni, sebagai salah satu fenomena yang tak dapat dijelaskan dari zaman yang kecerdasannya, jauh lebih rendah dibanding zaman kita, dan lalu, membiarkannya.
Namun bila, pula, kita layak mengakui takhayul sebagai sebuah fakta yang hidup sekarang ini, yang mempengaruhi, jika tak mengendalikan, tindakan keseharian manusia, kita pantas menghadapi masalah yang belum terpecahkan, andaikata tak dapat dipecahkan.

Takhayul, kita tahu, jauh lebih renta dibanding catatan sejarah, dan kita sekarang berdiri di ambang abad keduapuluh-satu; namun sama seperti umat manusia telah melewati ruang waktu yang sangat besar ini, seiring dengan kemajuan, takhayul telah mengikuti laksana pantulan. Bayangannya, belum pudar.
Tiada guna menyangkal kecenderungan sifat manusia yang lemah, demi mengakui takhayul. Ia, pintu terbuka, dimana sebuah ketakjuban menemukan akses yang mudah. Teresap dalam buaian, ia bahkan tak terkubur di dalam pemakaman. 'Usia, tak bisa basi, atau adat, meranggas,' dongeng baheula tentang hantu, raksasa, goblin, dan brownies, yang kini diceritakan oleh ibu-ibu yang sayang kepada anak-anaknya, sama seperti yang diceritakan oleh para ibu, berabad-abad yang lalu.
Seseorang bilang—maaf sekali lagi maaf kata—bahwa perayaan tahunan terbesar, di seluruh dunia, akan tetap ada jika Santa Claus, Kris Kringle, dan St. Nicholas, diambil dari karakter tradisional mereka, namun sepenuhnya fiktif. Bahkan telur Paskah yang tampak tak berdosa, yang terus menikmati popularitas tak terbatas oleh para tua dan muda, berasal dari mitos Arya kuno; sedangkan penggantungan kaus-kaki, pada hari Natal, tak lebih dan tak kurang dari suatu perbuatan takhayul, yang berasal dari mitos lain; atau, dalam bahasa sederhananya, tiada Santa, tiada kaus-kaki.
Benih yang pertama kali tertanam dalam lahan perawan, bakal menghasilkan panen yang melimpah. Drama panggung, opera, puisi, roman, lukisan, dan pahatan, yang berhubungan dengan perintah supernatural, sangat populer, sekarang ini, sama seperti dahulu.

Takhayul, tak mudah didefinisikan. Mengatakan bahwa ia, sebuah sifat yang dipercaya lebih dari yang dibenarkan oleh akal, menjadikan kita, seperti yang pernah terjadi, sama tak berdayanya; sebab bilamana akal-sehat sudah impoten, kita tak punya apapun yang tersisa guna dijadikan sandaran. Sama sekali tiada penyangga untuk menyandarkan pengungkit. Beberapa agama dan filsafat, yang pada mulanya memupuk takhayul, telah lama berbalik melawan semua kekuatan yang mereka miliki. Bahkan sains pun, tak dapat berharap menggulingkan apa yang semata dapat dicapai melalui kesadaran batin para insan, lantaran sains tak banyak berhubungan dengan sisi spiritual manusia. Sesuatu yang tak berwujud itu, masih luput dari genggamannya. Andai seluruh kekuatan gabungan peradaban, sejauh ini, secara nyata, kandas dalam menghapus takhayul, maka peradaban 'kan memburuk.

Kita mungkin pula, merujuk pada upaya beberapa cendekiawan terpelajar, yang menafsirkan takhayul modern dengan bantuan mitologi komparatif. Sangat menarik, jika tak sepenuhnya meyakinkan, teori telah dibangun pada baris ini. Pula, yang mengandung pelajaran, fakta bahwa beberapa cerita kanak-kanak yang sangat akrab di telinga kita, dapat ditelusuri ke dalam cerita tradisoinal rakyat yang lebih tua. Bahkan kisah zaman antik yang jauh, diklaim sebagai kisah kanak-kanak 'Jack and Jill' yang masyhur; sementara yang sangat mirip dengan kisah 'Little Red Riding Hood' ditemukan keasliannya, dalam cerita rakyat, manusia serigala yang tumbuh besar di Jerman; lalu kisah 'Jonah's Gourd,' dari negeri Timur, yang sampai pada kita, mungkin cerita asli 'Jack and the Beanstalk,' yang ada di Barat.
Tetapi, fakta tentang bertahannya semua takhayul kolot ini, sejauh ini, di antaranya kembali, sehingga seluruh jejaknya, kemudian hilang, tentu saja sebagai bahan pemikiran, sebab mereka tampaknya menikmati popularitas yang sama besarnya, seperti yang sebelumnya.
Takhayul, dengan demikian, terbukti sebaya dengan sejarah manusia, pertanyaan yang secara alami muncul, bukan bagaimana ia mungkin berasal dari Abad Kegelapan, melainkan bagaimana ia mempertahankan cengkeramannya dengan begitu kuat, selama berabad-abad berikutnya, hingga zaman kita.
Kebanyakan orang, kendatipun orang barbar, percaya pada keadaan masa depan, pada prinsip kebaikan dan kejahatan, dan penghargaan dan ganjaran. Maka tak perlu ada argumen, menjelaskan kerinduan yang tak terpuaskan demi mengorek masa depan, dan menemukan misteri yang tersembunyi. Gagasan yang sama, yang meresahkan pikiran generasi-generasi sebelumnya, juga tak dapat dikatakan secara jujur, telah menghilang sebelum kearifan yang dibanggakan dari zaman utilitarian ini. Laksana buah terlarang, ia dapat dikatakan sebagai subjek kecemasan terbesar bagi umat manusia yang lemah.

Lalu, dengan jimat inikah, kita berusaha menembus kegaiban dunia di luar kita? 'Diri manusia itu, apa adanya, cuma sedikit lebih rendah dibanding para malaikat,' yang merasa, dikaruniai dengan kekuatan supranatural, memanggil citra-batin sesuka hati, baik yang hidup maupun yang mati, membangun istana udara, dan mengaturnya sesuai dengan fantasinya, sebagaimana di Cathay maupun di Spanyol, berdiri di samping seorang kawan yang telah tiada, di puncak Mont Blanc, sesaat di antara salju, selanjutnya melayang-layang melewati taman-taman di Italia yang cerah—jika demikian, ia mampu menteleport dirinya ke alam negeri yang mempesona, semata dengan menggunakan kedipan imajinasinya—sesuatu yang mampu melayaninya dengan lebih baik, sebagai media komunikasi dengan sang anonim, dan apa yang akan menghalanginya berusaha memahami misteri terdalamnya? Napoleon sungguh berkata bahwa, imajinasi, mengatur alam semesta. Setiap orang telah merajah citranya sendiri tentang surga dan neraka sebagaimana Dante atau Milton, atau misteri ilahi sebenar Leonardo atau Murillo. Tentunya, imajinasi tak bisa melangkah lebih jauh.

Dari status takhayul zaman now, yang paling dapat dikatakan dengan jujur, bahwa beberapa bentuk terburuknya hampir atau telah punah, ada yang tampak semakin berkurang, sementara yang mewakili, mungkin, ekstrem terluas—yang paling kekanak-kanakan dan paling vital, semisal, sebagaimana gosip hambar di kedai-kopi di satu sisi, dan gerak-hati yang menentukan, di sisi lain, sebagaimana biasanya, cukup aktif. Makhluk tak beradab, seharusnya, sekarang, menjadi satu-satunya yang masih memegang kepercayaan pada takhayul, meskipun masih ada, makhluk terkini, yang meyakininya.

Semua kepercayaan takhayul ini, dengan sungguh-sungguh diwariskan oleh para ayah kepada anak-anaknya, di bawah sanksi yang berat, bersama dengan semua akumulasi tradisi leluhur langsung mereka sendiri. Dan dalam beberapa bentuk atau sejenisnya, baik menyaru di bawah samaran atau angan-angan konyol, takhayul terus berlanjut sejak saat itu, hingga saat ini.
Salah satu hasil pengamatan di bidang penelitian ini, bahwa kaum wanita, jika tak pada sifatnya, lebih percaya takhayul ketimbang kaum lelaki, memegang tradisi lama ini, jauh lebih kuat dibanding kaum maskulin. Di pedalaman, wanitalah yang siap bergaduh denganmu, jika, pada saat lengah, engkau dengan gagah-berani meragukan potensi berbagai gejalanya. Di perkotaan, masih kaum kenya yang memberi suaminya, sarana pesona atau yang semacamnya, agar dikenakan pada rantai arlojinya, sebagai perlindungan terhadap penyakit, ketidakstabilan, keterlambatan, atau kejadian hidup lainnya, yang tak terhitung, agar meyakininya, seperti yang ia lakukan, kurang lebih secara implisit, dianggap mujarab. Dalam segala yang berhubungan dengan pernikahan, pula, para puan biasanya sangat berhati-hati dalam bagaimana mereka mengabaikan dikta-dikta yang diterima tentang masalah yang mengkhawatirkan kebahagiaan masa-depan mereka, sebagaimana yang bakal mungkin, muncul."

Song Kodok, diam, lalu mengambil dan meminum jus lemonnya, kemudian berdendang,
Des yeux qui font baisser les miens
[Mata yang menatap mataku]
Un rire qui se perd sur sa bouche
[Tawa yang lepas dari bibirnya]
Voila le portrait sans retouches
[Lihatlah potretnya, tanpa retusan]
De l'homme auquel j'appartiens!
[Dari lelaki yang jadi milikku!]

Quand il me prend dans ses bras
[Saat ia 'bawaku dalam pelukannya]
Il me parle l'a tout bas
[Ia 'bicara lembut padaku]
Je vois la vie en rose *)
[Kulihat, 'hidup dalam rona mawar']
Tiba-tiba, "En kat!" sang sutradara tampil memberi arahan. "Mantap Boss! Adegan ini, akan kita aplod ke Twipper, Yountube, Instakilo, Faceduck, Toktok dan beberapa media sosial lain. Semoga viral, memperoleh banyak follower, dan Addendum Ketiga yang kita ajukan, tidak tekor."
"Sip!" sang kodok mengangkat jempolnya. "Selanjutnya, Tek Tuu!" kata sang sutradara, "Kameraaa ... Eksiooong!" dan kamerapun digerakkan ke atas, ke bawah, ke kanan dan ke kiri.

Rembulan lalu berkata, "Pawang-hujan, peramal-nasib, seni-ramal tapak-tangan, astrologi, telepati, hipnotisme, dan bahkan menentukan hari tertentu guna pengambilan keputusan atau pelantikan, terus berkembang, baik sebagai sarana mencari nafkah, maupun pengalihan yang disengaja ataupun tak di sengaja, meninggalkan jejaknya pada kesadaran batin, yang sama di antara satu kasus, dengan kasus lainnya.
Begitu banyak yang tak dapat disangkal, ia tegak dihadapan setiap penguji kebenaran yang melihat fakta-fakta ini, dengan mata tak berkedip. Kedunguan kita, tak berani memohon. Perintah akal-sehat, takkan memperkenankan kita, mengabaikan apa yang tak kita pahami dengan tertawa, mengangkat bahu, atau mencibir. 'Mencaci-maki itu, bukanlah sebuah jawaban.'
Mari kita, setidaknya, jujur tentang hal ini. Sesungguhnya, di dalam Takhayul ada pelajaran moral, namun ada pula, Pelajaran Moral sejati tanpa takhayul. Karenanya, Allah memerintahkan kepada mareka yang mau berpikir, agar mengerahkan nalarnya, mencermati gejala, dan menemukan benang-merah di antara keduanya, supaya Aqidah tak terlanggar, dan menjauhkan mereka dari ketergelinciran, bukan hanya ke dalam kolam, melainkan juga, ke dalam jurang Jahannam yang paling dalam. Diam, mungkin Emas, namun, tak membuat orang, bertobat. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Samuel Adams Drake, The Myths and Fables of To-day, Lee and Shepard
*) "La Vie en Rose" karya Edith Piaf

Selasa, 22 Maret 2022

Kang Bewok (2)

Rembulan berkata, "Oleh karenanya, sangatlah penting agar selalu mencamkan aspek-aspek Etika masyarakat dan negara. Selalu ada bahaya jika entitas organik yang kita sebut negara, dianggap sebagai entitas impersonal, dan tindakannya, tak punya makna moral. 

Masalah Etika negara dapat secara longgar dibagi menjadi dua kelas: kewajiban warga negara terhadap negara, dan kewajiban negara terhadap warganya. Lalu apa kewajiban warga negara terhadap negaranya?

Pertama, para warga hendaknya, mencintai negaranya. Kewajiban ini mendasar dan dalam arti tertentu, mencakup setiap kewajiban lainnya. Patriotisme, merupakan tema yang telah usang, namun orang tak dapat dengan mudah menetapkannya. Ia memiliki dua bentuk utama, bela-diri atau konservatif, dan patriotisme sipil atau konstruktif. Patriotisme bela-diri atau yang kita kenal bela-negara, pada waktu-waktu tertentu, menjadi lebih utama, namun bila diurutkan, berada di peringkat kedua. Fungsinya, untuk membela negara pada saat bahaya, namun tak boleh didorong ke arah Jingoisme. Seiring kemajuan peradaban, bentuk patriotisme bela-diri ini, surut. Ia tak terlalu dibutuhkan, tetapi sekali lagi, bentuk bela-diri patriotisme ini, surut sebelum semangat filantropi umum, lebih maju.
Patriotisme sipil atau konstruktif, tumbuh lebih lambat daripada bentuk yang baru saja disebutkan, tetapi lebih unggul dalam karakter dan nilai yang langgeng. Tujuan utamanya, bukan untuk melestarikan kehidupan negara, melainkan untuk meningkatkan karakter negara, membangunnya dalam Keadilan, Kebajikan, dan Kekuatan moral. Manusia berjuang demi melanggengkan negara, bukan untuk memperbaikinya. Jika "revolusi tak pernah mundur," kaum revolusioner jarang maju. Hasil progresif bersifat insidental, sudah ada sebelumnya dalam takdir, tak diragukan lagi, tetapi, tidak dalam benak mereka yang berjuang. Bukankah kita perlu berikhtiar? 
Kewajiban kedua warga negara itu, menaati negara. Ada tiga kemungkinan. Pertama, dimana suatu hukum diyakini bijaksana dan baik. Dalam hal ini, ketaatan yang sesuai dan seketika, merupakan kewajiban nyata warga negara, tak peduli seberapa beratnya itu, bagi dirinya sendiri secara pribadi.
Kemungkinan kedua, dimana suatu hukum diyakini tak bijaksana. Dalam hal ini, warga diminta agar tetap patuh. Tentu saja, suatu undang-undang yang sangat tidak bijak, pada akhirnya, bakal merugikan negara, dan harus dicabut. Tetapi tiap warga negara, yang tak dikaruniai infalibilitas, tak dapat dengan pasti memutuskan tentang tak bijaknya suatu hukum.
Kemungkinan ketiga, hukum yang tidak adil. Haruskah warga negara mematuhi hukum negara yang ia yakini salah? Sekarang, pertanyaan ini melibatkan pertanyaan yang lebih besar, yaitu, haruskah kecerdasan moral yang bebas, selalu menuruti hati nuraninya sendiri? Bila ia melakukannya, itu pasti akan membuatnya tersalahkan. Jika tidak, ia menolak satu-satunya penuntun moralnya, yang mungkin, melepaskan kejantanannya dan alih-alih menjadi seorang manusia, ia 'kan jadi benda-mati. Jawabannya, ia seyogyanya mengikuti hati-nuraninya, dalam setiap masalah. Jika, dalam contoh tertentu, ia disalahkan olehnya, maka kesalahannya melekat pada beberapa pembelotan kewajiban sebelumnya, dan bukan pada kesetiaannya pada hati-nurani.
Jika prinsip umum etika ini benar, maka jawaban negatif, hendaknya dikembalikan ke pertanyaan di hadapan kita. Warga negara tak boleh mematuhi hukum yang bengkok. Dalam menentukan karakter moralnya, ia seyogyanya mencari segala kemungkinan pencerahan pribadi, tetapi keputusan akhir, harus ditangannya sendiri. Negara tak bisa menjaga hati-nurani untuknya. Namun, bila ia tak menaati hukum, ia semestinya tak berusaha menghindari hukumannya. Biarlah ia berdiri-tegak bagai seorang jantan, dan menerima konsekuensi penuh dari ketidaktaatannya. Dengan demikian, ia 'kan jadi warga negara yang taat hukum, membuktikan kesetiaannya sendiri dan mengutuk hukum yang ia langgar.

Kewajiban ketiga warga negara itu, mendukung negara. Ada dua jenis dukungan yang akan diberikan, dukungan material dan moral. Negara tanpa dana, ibarat layar tanpa angin, mesin tanpa uap. Namun, negara tak punya sumber-dayanya sendiri, kecuali dari warganya. Negara ada, hanya demi keuntungan seluruh, bukan segolongan, warga negaranya. Negara melaksanakan pelayanan-pelayanan tertentu, yang sangat diperlukan demi mereka, yang untuk itu, suatu Kesetaraan, seyogyanya dipersembahkan dengan gembira, setidaknya, sejauh mungkin diperlukan demi mendukung negara. Menghindar dari pajak, yang tentu saja hendaknya berimbang, berarti merampok negara dari dukungan material yang menjadi hak setiap warga negara.

Kewajiban lain warga negara itu, bekerja sama dengan negara. Setiap orang seyogyanya menjadi politisi yang aktif. Warga negara dapat bekerja sama dengan negara, dengan berpartisipasi dalam pemungutan suara; dengan berafiliasi dengan partai politik; dengan menerima jabatan; dan yang paling penting, dengan bergabung secara pribadi dan tak resmi dengan warga negara lainnya.

Sekarang kita sampai pada kewajiban negara itu sendiri. Guna mempertimbangkannya dengan lebih cerdas, pertama-tama, kita asumsikan bahwa geografi, bahasa, ras, dan agama, ditiadakan. Lalu, harus ada masyarakat, organisasi, kedaulatan. Seseorang yang tinggal di sebuah gubuk di Treasure Island selama tujuh tahun, tak dapat membentuk sebuah negara. Orang-orang liar, bajak laut, atau gipsi yang tak terorganisir, juga tak dapat membentuk sebuah negara. Kedaulatan terorganisir itu, karakteristik penting dari negara. Kapanpun suatu kesepakatan sosial menjalankan kedaulatan atas para anggotanya, maka ia menjadi sebuah negara. Kapanpun ia berhenti melakukannya, maka ia pensiun jadi negara.

Kewajiban pertama negara itu, Kedaulatan. Inilah hak dan kewajiban, yang berkaitan dengan segala macam negara, terlepas dari ukuran, kekayaan, atau kekuasaannya. Dan hal ini, sangat berarti.
Negara berdaulat atas dirinya sendiri. Dengan ini, dimaksudkan bahwa tiada otoritas manusia di belakang negara dari mana hak-haknya diperoleh, dan tiada pengadilan di atas negara tempat musuh-musuhnya dapat mengajukan banding. Kedaulatan tertinggi, tentu saja, berada dalam genggaman Allah semata. Namun Dia telah mempercayakan kepada negara begitu banyak hal yang berkaitan dengan Tatanan Sosial. Dan tiada kekuatan manusia yang berhak ikut campur di dalamnya. Setiap tindakan negara itu, otoritas diri, pengendalian diri, titik. Andai ada kesalahan terjadi, hanya dapat diperbaiki oleh negara itu sendiri.  Jika ada tangan-tangan manusia yang mengendalikan negara, maka ia tak lagi berdaulat.
Negara berdaulat atas wilayahnya sendiri. Dan ini mencakup seluruh tanah, seluruh wilayah negara. Itu semua, awalnya milik negara. Baik sebagian maupun seluruhnya, bila dimiliki oleh individu, merupakan pertanyaan yang hendaknya ditentukan oleh negara sendiri.
Negara berdaulat atas warganya. Seseorang dilahirkan ke dalam masyarakat tanpa persetujuannya sendiri, dan tak dapat melarikan diri darinya. Aristoteles telah lama berkata, "Negara ada secara alami, dan manusia pada dasarnya, satwa politik." Ia mungkin membuang keberpihakannya, dengan berpindah dari satu negara ke negara lain. Namun ini cuma agar berganti majikan. Ia, dengan demikian, tak luput dari kedaulatan negara. Kedaulatan ini mencakup tiga hal, yaitu kehidupan, kemerdekaan, dan hak milik warga negara. Negara boleh mengambil nyawa warga negara dengan syarat ada alasannya. Tiada kekuatan lain yang bisa. Karenanya, tiada hak individu yang tersisa, kecuali dalam pembelaan diri yang diperlukan, untuk mengambil nyawanya sendiri atau nyawa orang lain. Negara juga dapat mengambil milik pribadi warga negara guna segala keperluan dengan lingkup kewenangan negara. Bahkan milik warga negara, tunduk pada negara. Negara yang adil, takkan pernah menjalankan wewenang atas warga negara atau miliknya, dengan cara sewenang-wenang atau tidak adil. Pemerintah hendaknya menahan-diri terhadap individualitas seperti itu, karena tak sejalan dengan masyarakat, sementara itu, mendorong kecenderungan evolusi sosial.

Kewajiban kedua negara itu, melindungi warganya. Demi tujuan perlindungan itulah, negara ada. Setidaknya, inilah tujuan utamanya. Tetapi untuk tujuan ini, ia tak perlu menjalankan kedaulatan, baik atas dirinya sendiri maupun atas rakyatnya. Tak seorang pun dapat melindungi dirinya sendiri atau mengamankan haknya sendiri. Kekuatan alam yang tak kenal lelah, binatang buas dan lebih banyak manusia buas, terus-menerus melawannya dan mengalahkan upaya terbaiknya. Ia membutuhkan lengan yang lebih kuat dari miliknya, guna menahan kekuatan ini, dalam penyesuaian yang tepat, dan mengamankan tindakan bebas dari kekuatannya sendiri. Lengan pelindung seperti inilah, yang hendaknya diperlengkapi oleh Pejabat negara. Perlindungan ini ada tiga, yaitu pribadi, harta-benda, dan kehormatan.

Kewajiban ketiga negara itu, mengamankan kemajuan warganya. Tugas ini tentu agak tak terbatas. Akan tetapi, kesejahteraan umum harus diupayakan oleh negara, sama seperti keselamatan publik.

Kewajiban keempat negara itu, menghormati hak-hak warganya. Ada dua kelas hak-hak ini, satu yang mereka miliki, pegang, dan jalankan hanya dalam kapasitas gabungan mereka sebagai badan politik, yaitu sebuah persaudaraan. Secara nyata, ada beberapa hal yang secara sah dapat dilakukan oleh masyarakat secara keseluruhan, namun sebaliknya, ada yang warga negara, tak berhak melakukannya. Hal-hal ini, milik negara dan berada dalam ruang lingkup kedaulatannya. Kehidupan, kemerdekaan, dan hak kepemilikan, ketika dirampas oleh warga negara lain atau ketika dibutuhkan oleh negara, bolehlah diperhitungkan dalam daftar ini. Namun ada hak-hak lain warga negara yang ia miliki, pegang, dan jalankan sebagai makhluk individu, personalitas pribadi. Ini tak dapat diasingkan oleh dirinya sendiri atau diterima oleh negara. Artinya, warga negara telah memberikan banyak kepada negara, tetapi ia belum menyerahkan kepribadiannya. Engkau boleh mengambil secara paksa hak-hak milikku, kebebasanku, hidupku, akan tetapi, engkau tak boleh menyentuh benteng batinku. Itu milik Allah dan milikku.

Negara tak boleh melampaui batas-batas hak publik atau menyerang batas-batas hak pribadi. Perhatikan apa makna larangan ganda ini. Secara umum bermakna bahwa negara, bisa saja berbuat kekeliruan. Jika ia tak bisa berbuat salah, ia secara nyata, sebuah mesin belaka, dan tak mampu berbuat benar. Jika ia tak dapat menyalahgunakan hak-haknya, ia juga tak dapat mempertahankannya. Doktrin lama bahwa 'Raja tak boleh salah,' jelas, melecehkan sang raja. Namun lebih khusus lagi, larangan ini bermakna bahwa negara, hendaknya menjalankan hanya hak-haknya sendiri, dan ini semata dengan cara yang legal dan demi tujuan yang valid. Ada beberapa hal yang tak boleh dilakukan negara, ada alam, yang tak boleh ia masuki. Kemaslahatan rakyat hendaknya didorong, dan kemudharatan sosial, seyogyanya dibendung. Terhadap kebajikan pribadi intrinsik, menurut sifat kasusnya, tak ada hubungannya dengan negara."

Rembulan menutup dengan berkata, "Kang Bewok yang baik, tiada maksud menggurui, namun sebagaimana perintah Allah akan pernikahan, dan beralaskan Cinta, Allah memerintahkan pula bahwa sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati demi Kebenaran, dan saling menasihati demi Kesabaran."

Sang Purnama beranjak seraya berdendang,
Bayangkan bila harimu penuh warna
Itulah yang saat ini kurasakan
D'ya membuat, tidurku tak nyenyak
D'ya membuat, makanku tak enak
Kuterpikat akan kehangatan
Yang s'lalu diya berikan

Kurasa 'ku sedang dimabuk cinta
Nikmatnya kini 'ku dimabuk cinta
Dimabuk cinta *)
Melihat Rembulan ber-acting aneh, sang Pungguk cemberut, cemburu, lalu berkata, "Wallahu a'lam!"
Kutipan & Rujukan:
- Dr. Ali Albarghouthi, This is Love, Dakwah Corner
- D. B. Purinton, Ethics of the State, the University of Chicago Press
*) "Mabuk Cinta" karya Mai Armada Band

Jumat, 18 Maret 2022

Kang Bewok (1)

"Kang Bewok bilang, 'Benci, atau Ketidaksukaan itu, oposisi Cinta.'" Rembulan buka suara setelah ucapkan Basmalah dan Salam, "'Adapun Cinta, adakah disana, definisi tentang Cinta?' kata kang Bewok. 'Sejauh ini, dalam hidup, kita semua punya rasa tentang apa itu Cinta, kita memahami maknanya. Ibnu Qayyim, rahimahullah, berpendapat bahwa ada hal-hal—seperti Cinta—yang tak perlu didefinisikan. Kita semua tahu tentangnya; kita telah mengalaminya. Berupaya 'tuk mendefinisikannya, semata mengaburkannya. Setelah melalui beragam definisinya, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa manakala seseorang mencoba mendefinisikan Cinta, ia menangkap sesuatu, namun melewatkan yang lain. Definisi itu ada, guna memberikan kejelasan. Akan tetapi, bila sesuatu itu, telah jelas, tak perlu ada definisi.
Ibnu Hajar, rahimahullah, sepakat bahwa definisi Cinta itu, sulit dipahami, dan Cinta itu, sesuatu yang dirasakan, dan tak sepenuhnya diartikulasikan. Pendapat ini dapat ditelusuri kembali ke Al-Qusyairi, rahimahullah, dalam Risalah-nya, dimana ia menyatakan bahwa Cinta, sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya—tak memerlukan definisi. Definisi terbaiknya itu, dirinya sendiri: Cinta, ya Cinta. Selain dari itu, takkan sempurna dan takkan jelas.
Poin berharga inilah, tentang kebenaran, yang terbukti dengan sendirinya. Allah berfirman tentang Cinta dalam Al-Quran, tanpa mendefinisikannya, karena kita paham, apa itu Cinta. Nabi kita terkasih (ï·º) melakukan hal yang sama. Kita semua tahu, apa itu Cinta, sebab kita semua mengalaminya. Jika sesuatu itu, sangat bersahaja dan universal, ia tak butuh klarifikasi.

Menurut Ibnu Qayyim, bahasa Arab punya enam puluh kata yang berbeda untuk Cinta, namun bagaimanapun, tak semuanya, bernama Cinta. Semuanya melukiskan perkembangan Cinta, kondisinya, konsekuensinya, dan berbagai tahapan Cinta. Kata utama untuk Cinta itu, 'Hubb.' Ibnu Qayyim, dan terlebih dahulu, al-Qusyairi, menghubungkan etimologi 'Hubb' dengan pengalaman Cinta. 'Hubb' berasal dari, pertama, Kesucian dan Kegamblangan. Pengabdian sang kekasih terhadap kekasihnya itu, dibandingkan dengan kebeningan warna; Kedua, Pergolakan. Hal ini terjadi karena cinta menyebabkan gejolak atau pergerakan-qalbu; Ketiga, Kokoh di tempatnya. Cinta, bila sejati, menetap dalam qalbu dan tak beranjak; Keempat, kernel atau biji buah-buahan, yang terdalam. Cinta mencapai bagian terdalam qalbu, dan sang kekasih memberikan bagian terdalam mereka, demi yang dicintainya; Kelima, sebuah Bahtera, yang terisi penuh tanpa ada ruang tersisa. Saat cinta merasuki qalbu, ia memenuhi semuanya dan tak meninggalkan ruang bagi sesuatu yang lain; Keenam, bertumpu atau berpijak pada empat kaki, yang membawa dan menopang sebuah kendi. Sang kekasih membawa beban cinta laksana empat kaki yang membawa benda berat.
Ibnu Qayyim menambahkan, bahwa Hubb terdiri dari dua huruf: Ha dan Ba. Ha diucapkan dari bagian bawah tenggorokan, sedangkan Ba berasal dari bibir, bergerak saat engkau mengucapkan kata dari ujung yang satu, ke ujung lainnya. Begitu pula cinta, awal dan akhir: cinta dimulai dengan kekaguman dan kecenderungan, hingga seluruh makhluk, ditelan olehnya.

Lalu, mengapa orang mencinta? Al-Qadi ‘Iyad, rahimahullah, meringkas alasan Cinta menjadi tiga. Pertama, kecantikan fisik atau lahiriah, yang disaksikan seorang dengan mata (pemandangan yang indah), telinga (suara yang indah), dan lidah (makanan dan minuman yang lezat); Kedua, kecantikan non-fisik (internal) yang dilihat seseorang dengan pikirannya (budi-pekerti, moralitas, kejujuran); Ketiga, kedermawanan dan kemanfaatan yang dibawanya, karena diri, secara alami, tertarik pada siapa pun yang membantunya.
Al-Ghazali, rahimahullah, menambahkan dua alasan lagi, pertama, kita mencintai diri sendiri dan kelangsungan keberadaan kita. Apapun yang mendukung keberadaan ini, juga dicintai; Kedua, kecocokan antar kekasih. Hal ini, kadang, tersembunyi dan tak dapat dijelaskan. Dua orang bisa saling mencintai, bukan karena kecantikan atau keuntungan tertentu, tetapi semata karena diri mereka akur dan sehaluan.
Ia melanjutkan dengan menegaskan bahwa, Allah sepantasnya mendapatkan Cinta terbesar kita berdasarkan lima alasan ini. Dialah Pemilik Kecantikan Luar dan Dalam yang teragung, Dialah Satu-satunya Penolong sejati, Dialah Satu-satunya Penyebab keberadaan kita, dan Dialah Yang paling dekat dengan kita.

Lalu, bagaimana dengan 'Cinta pada pandangan pertama'? Ketika mempertimbangkan berbagai penyebab Cinta dan kedalamannya, 'Cinta pada pandangan pertama' tampak seperti bagian kecil dari realitas Cinta. Tak semua gugatan tentang 'cinta pada pandangan pertama' itu, orisinal. Namun bisa jika sang penggugat, jujur, cintanya oleh kecantikan luar, dan ada lapisan cinta yang belum dijalani. Kecantikan fisik bisa menjadi kausa untuk cinta yang lebih besar ketika diperkuat oleh kecantikan batin, atau dapat menjadi satu-satunya penyebab ketertarikan. Jika penyebabnya, kecantikan batin, maka gugatan itu, akan terbukti lemah. Pemasaran "cinta pada pandangan pertama" sebagai cinta sejati itu, sebuah perbuatan merugikan terhadap seberapa dalamnya Cinta.

Menurut Ibnu Qayyim, ragamnya Cinta itu, ada empat. Orang-orang yang sesat, 'kan tersesat, lantaran tak membedakannya. Yang pertama, mencintai Allah. Ini saja belum memadai untuk menyelamatkan dari azab Allah dan menggapai pahala-Nya. Kedua, mencintai apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang membuat seseorang jadi Muslim dan mengeluarkannya dari kekafiran. Yang terbaik dan yang terkuat di dalam Cinta inilah, yang paling dicintai Allah. Yang ketiga, mencintai manusia dan sesuatu, karena Allah, yang merupakan salah satu konsekuensi penting dari mencintai apa yang Dia cintai. Mencintai apa yang Allah cintai, takkan sempurna hingga seseorang mencintai manusia dan sesuatu, demi Dia. Keempat, mencintai sesama, bukan karena Allah. Inilah cinta kemusyrikan. Barang siapa yang mencintai sesuatu, mempersandingkannya dengan Allah, bukan untuk atau karena Allah, maka ia telah menjadikan sesuatu itu, sebagai tandingan selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.

Sekali lagi, menurut Ibnu Qayyim, Kelaziman Cinta itu, ada tiga macam. Yang pertama, cinta alami dan umum, semisal cinta orang yang lapar terhadap makanan, bagi yang haus terhadap air, dan sebagainya. Cinta ini, tak membutuhkan pemuliaan.
Yang kedua, cinta akan kasih-sayang dan kebaikan, semisal orangtua yang mencintai anaknya yang masih kecil dan seterusnya. Ini juga, tak membutuhkan pemuliaan.
Yang ketiga, cinta akan kesopan-santunan dan keramah-tamahan. Permisalannya, cinta antar sahabat dalam sebuah usaha, disiplin ilmu, perusahaan, bisnis, perjalanan, dan cinta antar saudara. Ketiga jenis cinta ini, layak bagi makhluk ciptaan, antara satu sama lain, dan kehadirannya di antara mereka, bukanlah syirik dalam mencintai Allah.
Itulah sebabnya mengapa kekasih kita (ï·º) dulu, menyukai manisan dan madu, minuman yang paling di sukai beliau (ï·º), yang manis dan dingin, daging yang paling beliau (ï·º) sukai, daging pada bagian bahu, beliau (ï·º) mencintai istri-istrinya dan 'A'ishah, radhiyallahu ' anha, yang paling dicintai di antara mereka, dan beliau (ï·º) mencintai para sahabatnya dan yang paling dicintai di antara mereka, as-Siddiq, radhiyallahu 'anhu.
Adapun cinta istimewa, yang hanya pantas bagi Allah semata, dan seketika bila seseorang mencintai yang lain, maka akan menjadi Syirik, yang tak diampuni Allah, yaitu cinta ibadah dan yang membutuhkan kerendahan-hati, ketertundukan, keagungan, ketaatan penuh, dan mengutamakan Dia, di atas segalanya. Cinta ini, tak dapat diberikan kepada selain Allah, dan cinta inilah, yang dipersamakan oleh orang-orang musyrik, dengan Allah ada di dalamnya.'

'Jadi,' kata kang Bewok, 'apa yang ingin kukatakan, bahwa Cinta itu, ada pada bagian terdalam, dan bagian terdalam itu, Qalbu, yang semata ada dalam Genggaman Allah. Tak boleh ada yang menghalangi seseorang jatuh-cinta, dan aku tak akan menyerah!'"

Baru kali ini, Pungguk melihat Rembulan bertingkah manis-manjah. Kedua telapak tangannya, di tempelkan ke pipi, dan dengan riang, ia berkata, "Aiih, kang Bewok romantis pisaan euiy! Apa yang kita cintai dan benci, menentukan jalan yang kita ambil. Mencintai Iman dan Takwa, sangat penting untuk mengikuti Kebenaran dan menolak Godaan. Meminta Cinta ini, seyogyanya menjadi salah satu doa yang sering kita panjatkan.

Tapi, kang Bewok, bukan Cinta atuh yang dipermasalahkan, melainkan Konflik Kepentingan, Etika Bernegara, dan segudang persoalan lain, terutama jika ada yang minta nambah. Jadi, di pikir-pikir deui atuh akang!"

Seseorang mungkin saja, tak menyukai makanan, musim, dan penyakit tertentu, serta, kematian. Sebaliknya, mereka menyukai jenis makanan lain, musim lain, kesehatan, dan kehidupan. Ketidaksukaan seseorang terhadap hal-hal ini, dapat menjadi motif dari sebuah penghindaran—yakni, tak memakan makanan yang tak kita sukai—atau upaya-upaya pemberantasan—semisal melawan sakit dan penyakit. Ketidaksukaan dapat menjauhkan kita dari bahaya. Kita tak menyukai penyakit, maka kita menghindari penyebab dan pemicunya. Kita merencanakan dan mengejar impian kita, karena kita, benci kegagalan. Jenis ketidaksukaan ini, atau apa pun yang kita putuskan menyebutnya, pada dasarnya, tidak negatif. Cinta takkan ada tanpanya.

Cinta itu kompleks. Tiada yang sekompleks dengan yang ada dalam ruang hampa. Cinta-lah bagian dari jaringan berbagai emosi, ide, dan interaksi. Oleh karena itu, Cinta terjalin dengan Emosi lain, termasuk Benci.
Kita mencintai Kejujuran. Bencikah kita pada kebalikannya? Bukankah kita membenci kebohongan, pengkhianatan, dan penipuan? Kita mencintai keadilan dan membenci tirani serta ketidaksetaraan. Netralkah kita tentang pemerkosaan, pelecehan seksual, pedofilia, dan pembunuhan massal? Mengapa kita membencinya?
Bukankah karena kita mencintai lawannya: persetubuhan berdasarkan pernikahan, rasa hormat, dan kesucian hidup manusia? Mungkinkah mencintai sesuatu dan tak membenci kebalikannya? Atau cintakah sebagian dari membenci kebalikannya, dan membenci sebagian dari mencintai kebalikannya?
Cinta dan benci itu, saling terkait, dan kehadiran masing-masing, sangat penting dalam susunan yang lain. Kebencian berbisa terhadap rasisme dan jingoisme—pandangan yang terlalu mengagung-agungkan kebesaran dan kekuasaan negeri sendiri; rasa kesetiaan dan kecintaan kepada tanah air secara berlebih-lebihan—dipupuk oleh cinta yang ekstrem dan sesat terhadap etnis, bangsa, dan diri sendiri: setiap kebencian membutuhkan bentuk cinta. Seandainya cinta ekstrem ini tiada, kebencian yang menyertainya, pun takkan ada. Supremasi rasial didasarkan pada cinta, meskipun itu keliru. Cinta yang makbul memberi makan kebencian yang absah, dan cinta yang tak makbul memberi makan kebencian yang tak absah. Allah mengajarkan kita dalam Al-Qur'an bahwa tak semua cinta itu, valid dan pantas. Cinta yang diberikan orang-orang kepada sekutu mereka melawan Allah itulah, yang sesat dan tercela.

Adakalanya, Cinta itu buta, galat, dan merusak. Berbicara tentang Cinta sebagai kebaikan universal, yang bernuansa pengorbanan dan menyampaikan kesan yang salah dan berbahaya bahwa selama apa yang kita rasakan itu, Cinta, akan membenarkan segalanya. Cinta tak selalu baik, dan pula, Benci, tak selalu ngawur.
Kita Cinta, lantaran Benci, dan kita Benci, lantaran Cinta. Di kala Cinta kita kuat, demikian pula Benci kita terhadap kebalikannya. Dan saat Benci kita semakin kuat, Cinta kita terhadap kebalikannya, demikian pula adanya. Misalnya, cinta kita yang penuh gairah terhadap seseorang, membuat kita benci berpisah dengannya. Jika kita menggali lebih dalam, kita 'kan temukan bahwa, inti dari cinta ini, oleh keengganan kita menyendiri. Jika kesendirian tak disukai dan tak tertahankan, kita takkan menjalin persahabatan. Kebencian dan keengganan kita terhadap sesuatu, mendorong kita mencari lawannya. Karena kita membenci ketidakadilan, kita bergerak untuk menegakkan keadilan. Kita makan karena kita membenci kelaparan, mengumpulkan uang karena kita membenci kemiskinan, dan mencoba hidup sehat karena kita membenci penyakit dan kematian. Jika kita mencintai sesuatu, tiada yang bisa menghindari kenyataan bahwa kita terpaksa membenci kebalikannya.

Manusia hanya bisa dicintai sebagian dan dipatuhi sebagian. Mereka dicintai karena mereka mengarah pada sesuatu yang lain. Dan Allah-lah, akhir dari segala bentuk adimarga, akhir dari semua cinta, dan akhir dari semua pengejaran. Dia-lah tujuan kita. Kita hanya tak menyadarinya. Jika engkau memiliki-Nya, engkau 'kan punya segalanya. Dan bila engkau kehilangan Dia, engkau bersisa tanpa tujuan, dengan cinta yang tak sempurna. Hanya cinta Allah, yang membuat kita utuh.

Cinta dan Benci, hidup berdampingan secara bersamaan dalam banyak hal yang kita sukai. Kita biasanya tak masif mencintai atau membenci sesuatu, melainkan ada bauran emosi didalamnya. Kita mungkin lebih menyukai musim panas ketimbang musim dingin, akan tetapi, kita takkan menyukai segala hal tentang musim panas atau membenci segala hal tentang musim dingin. Kita suka permen tapi tak menyukai bila berat badan kita, bertambah. Kita mencintai pasangan dan anak-anak kita, tetapi bukan setiap detail kecil tentang mereka. Ada hal-hal yang disukai dan tak disukai tentang segala sesuatu di dunia ini. Terkadang Cinta mendominasi, dan terkadang Benci mendominasi. Persentase masing-masing menentukan seberapa besar kita mencintai atau membenci sesuatu. Kesadaran ini, mendasari kenyataan pengalaman kita. Cinta bukanlah emosi murni yang tak diwarnai dengan ketidaksukaan dan ketidaknyamanan. Cinta ada sebagai bagian dari rangkaian emosi manusia yang kompleks, semuanya terhubung dan saling bergantung.

Agar Cinta tampil dalam segala Keapikannya, maka kita memerlukan Etika. Sebagaimana yang telah kita semua ketahui, dalam kehidupan pribadi kita, Kejujuran, Kepedulian dan Kasih-sayang, Integritas, serta Tanggung jawab pribadi itu, nilai-nilai yang dapat membantu kita berperilaku etis saat menghadapi dilema etika. Lalu, bagaimana dengan Etika Bernegara?

Hukum Etika bersifat universal. Ia berkaitan dengan setiap tindakan sadar dan sukarela dari setiap kecerdasan bebas di seluruh alam semesta, namun setiap kecerdasan bebas itu, pro-aktif dan karenanya, merespon secara etis. Hukum Etika, tak dapat diubah. Ia berubah tak sesuai dengan kenyamanan, ketidaktahuan, atau tingkah laku subjeknya. Namun subjeknya dapat berubah. Dan sesungguhnya, mereka hendaknya berubah. Hukum tak dapat diubah, tetapi masyarakat, yang terkait dengannya, karena progresif, kebutuhan yang dapat berubah. Hukum Etika, tak dapat ditawar-tawar. Tuntutannya tak dapat dihindari atau lepas dari jeratannya. Hukum benar-benar tak dapat ditawar, terlepas dari pemikiran atau perbuatan manusia. Lebih jauh lagi, hukum Etika berlaku bagi setiap kemungkinan kombinasi kecerdasan bebas.

Setiap korporasi itu, jiwa agregat dari orang-orang yang menyusunnya. Tindakan korporasi tak jarang mengabaikan penilaian etis yang dikenal dari jiwa individu yang tersangkut di dalamnya. Tapi pengabaian seperti itu, selalu demi kepentingan kebenaran. Engkau takkan pernah bisa membentuk sebuah pasukan yang tak kredibel, dari orang-orang yang andal.
Prinsip yang sama berlaku terhadap masyarakat, komunitas, negara. Ada satu hukum abadi yang mengatur individu, korporasi, badan politik. Jika dua agen moral bergabung untuk melaksanakan tujuan yang tak dapat dicapai sendiri, jelas tiada kekuatan dalam kombinasi tersebut guna membebaskan agen atau tindakan mereka dari tanggung jawab agen moral.
Dan jika kombinasi tersebut mencakup seratus, seribu, atau satu juta agen, tanggung jawab moral tak bergeser atau berkurang olehnya. Aritmatika belaka tak dapat mempengaruhi kualitas moral suatu tindakan atau sistem tindakan. Jika pernyataan-pernyataan definitif ini benar, jelaslah bahwa ada yang namanya "Etika Bernegara".

Negara secara singkat dapat didefinisikan sebagai 'masyarakat terorganisir yang menjalankan kedaulatan atas para anggotanya'. Pemerintah itu, agen negara, dimana iktikadnya, diumumkan, kedaulatannya, ditegakkan.

Individu mungkin ada pada prinsip-prinsip kepentingan pribadi yang sederhana. Tetapi kekompakan sosial, menuntut pada bagian semua anggotanya, pengorbanan kepentingan individu secara terus-menerus, demi kepentingan umum, sehingga tiada prinsip moral yang akan menjamin pengorbanan yang dibutuhkan. Selain itu, ada altruisme etis tertentu, yang tanpanya, negara tak dapat berkembang. Alasannya takkan jauh bila dicari. Kemajuan intelektual menurut sifat kasusnya, eksklusif, sedangkan hukum moral itu, inklusif. Hanya sedikit warga negara yang dapat menanggapi seruan sains, tetapi banyak orang mungkin menanggapi seruan hukum moral. Dan kemudian, minoritas intelektual ini, oleh beberapa hukum hereditas yang aneh, cenderung berkurang dan berlari."
[Bagian 2]

Selasa, 15 Maret 2022

Di Penginapan

"Suatu waktu," Rembulan membuka lembaran-kertasnya, usai menyampaikan Basmalah dan Salam. "Ada Setan yang bermalam di sebuah penginapan, dimana tak seorangpun mengenalnya, lantaran pemberadaban mereka, telah terabaikan. Ia disembah dalam sesat, dan untuk sementara, menguasai mereka sepenuhnya. Akhirnya, Pengurus penginapan mengawasi sang Setan, dan membawanya ke alam nyata.

Sang Pengurus penginapan memegang pucuk seutas tali. 'Sekarang, ku akan menghajarmu,' kata sang Pengurus penginapan. 'Engkau tak berhak jutek padaku,' kata sang Setan. 'Aku cuma Setan, dan berbuat Sesat itu, naluriku. Ijinkan aku menyampaikan sesuatu,
Seorang Lelaki bertemu dengan seorang Bocah, yang sedang menangis, 'Mengapa engkau menangis? ' tanyanya.
'Aku menangisi kekeliruan-kekeliruanku,' kata sang bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki.  
Hari kedua, mereka bertemu lagi. Sang bocah menangis, 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran di negeri ini, Yustisia telah ternista, Dike dan Arete, telah dikangkangi,'  jawab sang Bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki.  
Hari ketiga, mereka jumpa lagi. Sang bocah menangis, 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran di negeri ini, Keynes telah diselewengkan, Laissez-nous faire-nya Le Gendre, jadi sesembahan, mereka letakkan mahkota di atas kepalanya, meminta rakyat menyerahkan uangnya,' jawab sang Bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki.  
Hari keempat, mereka bersua lagi. Sang bocah menangis, 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran di negeri ini, impor tenaga kerja asing lebih utama ketimbang impor seragam Satpam, lalu 'Cintai produk sendiri,' dikumandangkan,' jawab sang Bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki.
Hari kelima, mereka bertemu kembali. Sang bocah menangis, 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran di negeri ini, Pajak menjadikan Rakyat dan Pengusaha-kecil, mati-lemas, sedangkan para Kroni, berdansa-ria,' jawab sang Bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki.
Hari keenam, mereka jumpa lagi. Sang bocah menangis, 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran di negeri ini, Harga-harga semakin melambung, kebutuhan pokok langka, dan Emak, sibuk mengantri!' tanggap sang Bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki.

Hari ketujuh, mereka bersua kembali. Sekali lagi, sang Bocah menangis. 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran di negeri ini, seseorang marah!' kata sang bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki. 
Hari kedelapan, lagi, mereka bertemu. Sekali lagi, sang Bocah menangis. 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran di negeri ini, para pemuda dan para cendekia, bermain petak-umpet!' kata sang bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki.

Kemudian, hari kesembilan, mereka bertemu. Berulangkali, sang bocah menangis. 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran di negeri ini, akan ada lomba-masak tanpa minyak-goreng, padahal aku suka bihun-goreng!' kata sang Bocah.
'Ah, engkau kurang kerjaan!' kata sang lelaki

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi. Berulangkali, sang bocah menangis. 'Mengapa engkau menangis?' tanya sang lelaki.
'Aku menangis lantaran tak punya apa-apa untuk dimakan,' kata sang Bocah.
'Itu yang kurasakan, ujung-ujungnya, bakalan sampai ke situ,' kata sang lelaki.
'Begitukah?' tanya Pengurus penginapan. 'So pasti boss, dijamin,' kata sang Setan.
'Tak sanggupkah engkau menahan-diri berbuat Sesat?' tanya sang Pengurus penginapan.
'Sama s'kali tak bisa,' kata sang Setan, 'Menghajar makhluk sepertiku, takkan pernah berguna.'
'Kata siyaapah!' tukas sang Pengurus penginapan. Lalu ia membuat jerat dan menggantung sang Setan.
'Nih, engkau pasti, kurang kerjaan!' kata sang Pengurus penginapan.

Walau menggantung di sana, sang Setan, masih bisa bernyanyi,
I wanna hide the Truth
[Ku hendak benamkan Kebenaran]
I wanna shelter you
[Ku hendak menaungimu]
But with the beast inside
[Namun kebiadaban yang ada didalam]
There's nowhere we can hide
[Tiada tempat kita sembunyi]
No matter what we breed
[Entah apapun jenis kita]
We still are made of greed
[Kita tetap lahir dari Keserakahan]
This is my kingdom come *)
[Inilah kerajaanku menjelang]
Rembulan meninggalkan sebuah pertanyaan, "Akankah ada disana, sebuah jawaban? Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Robert Louis Stevenson, Fables, Charles Scribner's Sons
*) "Demons" karya Alexander Junior Grant, Benjamin Arthur Mckee, Daniel Coulter Reynolds, Daniel Wayne Sermon & Joshua Francis Mosser.

Jumat, 11 Maret 2022

Nggondok

"Sang Pembaca melempar sebuah Buku ke lantai, berkata, 'Aku tak pernah membaca buku sesesat ini,'" Rembulan memulai lagi, setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "'Engkau tak perlu menyakitiku,' kata sang Buku, 'Bukankah engkau hanya memperoleh rangkap kedua dariku, dan aku tak menuliskannya sendiri.'
'Itu benar,' kata sang Pembaca. "Perselisihanku, dengan penulismu."
'Oh, baiklah,' kata sang Buku, 'Engkau tak perlu membeli kata-kata kasarnya.'
'Itu benar,' kata sang Pembaca. 'Tadinya kukira, ia seorang penulis yang menyenangkan;
'Kurasa, ia begitu,' kata sang Buku. 'Engkau pasti dibuat berbeda dariku,' kata sang Pembaca. 'Perkenankan aku menceritakan sebuah fabel,' kata sang Buku.
'Seorang lelaki bertengkar dengan temannya. 'Aku telah banyak tertipu olehmu,' kata sang lelaki. Dan sang teman, memalingkan muka dan pergi.
Tak lama kemudian, keduanya meninggal, dan berkumpul di hadapan Jaksa Agung Pendamai. Ia mulai mencari kesalahan sang teman, namun orang itu, untuk sementara waktu, ternyata punya karakter yang jelas dan jiwa yang baik.
'Disini aku menemukan ada beberapa catatan pertengkaran,' kata sang Jaksa sembari melihat catatannya. 'Siapa di antara kalian yang khilaf?'
"Orang iituuw,' kata sang lelaki "Ia berbicara buruk tentangku, di belakangku.'
'Apa iyyaaa?' kata sang Jaksa. 'Dan bagaimana ia berbicara tentang tetanggamu?
'Oh, lisannya selalu berkata mesum,' kata sang lelaki.
'Dan engkau memilihnya sebagai teman?' teriak sang Jaksa. 'Bung, kami takkan berada disini, sia-sia hanya untuk orang bodoh.'
Maka, sang lelaki dilemparkan ke dalam terowongan, dan sang teman, tertawa terbahak-bahak dalam gelap dan, masih diadili atas tuduhan lain.'
'Mereka berdua meninggal,' kata sang Pembaca, 'Begitulah,' kata sang Buku. 'Tak diragukan lagi. Dan demikian pula yang 'kan terjadi pada semua orang.'
'Itu benar,' kata sang Pembaca. 'Coba dorong sedikit lebih jauh 'tuk kali ini. Dan saat mereka semua mati, bagaimana? '
'Mereka berada dalam Genggaman Tuhan, sama seperti sebelumnya,' kata sang Buku.
'Tak banyak yang bisa dibanggakan, bila merujuk padamu,' teriak sang Pembaca, merasa kesal lantaran sang Buku, memberi jawaban yang itu-itu saja.
'Siapa yang nggondok sekarang?' kata sang Buku.
Dan sang Pembaca pun mencampakkan sang Buku ke dalam pembakaran, lalu demi menghilangkan kekesalannya, ia mencoba bersenandung,
I've become so numb
[Aku wis dadi mati-roso]
I can't feel you there
[Aku ora iso ngrasa'ke awakmu ono]
Become so tired
[Dadi kesel banget]
So much more aware
[Dadi luwih eling]

I'm becoming this
[Aku dadi koyo ngene]
All I want to do
[Kabeh sing karep tak lakoni]
Is be more like me
[Dadi luwih koyo aku]
And be less like you *)
[Lan dadi bedho ketimbang awakmu]
Sang Rembulan beranjak dengan berkata, 'Nggondok nih yee! ... Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Robert Louis Stevenson, Fables, Charles Scribner's Sons
*) "Numb" karya Joseph Hahn, Brad Delson, Dave Farrell, Mike Shinoda, Robert G. Bourdon & Chester Charles Bennington

Selasa, 08 Maret 2022

Janji-janji Besar

"Apa yang 'kan kuceritakan padamu, sebuah dongeng belaka," Rembulan mulai bercerita kala ia muncul setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Konon, sekali lagi, k-o-n-o-n, ko-non, di Negeri Tiongkok, jauh sebelum Luo Guanzhong menulis 'Romance of the Three Kingdoms,' yang kita kenal sebagai Samkok, di sana, memerintah seorang Raja, yang namanya tak diketahui, sebab ... ini 'kan cuma sebuah dongeng.
Sang Raja, katanya, sekali lagi, sang Raja, k-a-t-a-n-y-a, ka-ta-nya, punya kebiasaan aneh, suka berjanji, atau lebih tepatnya, janjinya sering meleset. Banyak janji-janjinya, yang belum terlaksana, atau lebih tepatnya, hanya angin lalu. Pernah, ia berkunjung ke sebuah perkampungan nelayan, dan berjanji, bahwa, di sana, ia akan membangun sebuah pelabuhan besar, daripada yang mana, setiap mata, belum pernah melihatnya. Namun setelah di tunggu-tunggu, selama lebih dari lima tahun, tak kunjung ada berita, dan para wakil nelayan merasa sebal dan minta kepada para Kasim Raja, agar segera mewujudkannya. Ujung-ujungnya, jawabannya, 'Masih dicarikan investor!' atau lebih tepatnya, 'Seng ada doe!' atau mungkin, bisa jadi, lebih tepatnya, 'Tunggu keputusan Opung!'

Bahwa, suatu hari, sang Raja jatuh sakit, gawat, yang menurut catatan perjalanan dunia, ketika para tabib telah menyerah, memaksanya berdoa, dan bersumpah akan mempersembahkan kurban Seribu Lembu, siap di atas mazbah secara serentak, cash on carry, baik untuk Tianzhu, Penguasa Langit, maupun Wenchang Wang, Dewa Kebudayaan dan Sastra, daripada yang mana, di antara keduanya, yang akan membebaskannya dari penyakit ini.
'Haiyyaa,' kata sang Permaisuri, 'jagalah apa yang lu janji'in, dimanakah lu bisa dapat lembu-lembu itu, kalo lu masih sakik aaa? Janganlah berakhir seperti Kura-kura dan Elang.
Kura-kura, yang jemu dengan keadaannya, dimana ia terbatas merangkak di atas tanah, dan berambisi agar punya masa-depan, dan melihat sekelilingnya, pasrah, bahwa andai ada Unggas yang mau membawanya terbang, dan menunjukkan padanya dunia, ia akan menghadiahinya dengan banyak temuan batu berharga, yang ia tahu, tersembunyi di tempat tertentu, di sebuah belahan bumi.
Elang, melakukan apa yang sang Kura-kura inginkan; dan tatkala sang Elang telah menunaikan tugasnya, menuntut hadiah. Namun menemukan sang Kura-kura tak dapat memangku ucapannya dengan baik, atau lebih tepatnya, 'Kura-kura lupa!'
Sang Elang kemudian menawarkannya terbang, lagi. Kura-kura setuju dan Elang melambung hampir mencapai awan, akan tetapi, seketika melepaskannya. Sang Kura-kura terhempas ke tanah, cangkangnya hancur berkeping-keping. Sang Elang, lalu mendarat dan menyantap sang Kura-kura yang nelangsa.
'Haiyyaaa,' kata sang Raja, 'lu ngomong mirip orang bodo aaa. Emangnya para dewa kagak punya kerjaan, ninggalin bisnisnya, dan turun cuma mau nagih hutang sama oee?'

Para dewa, menurut keyakinan mereka, kemudian membuat sang Raja pulih, dengan dalih akan menguji kejujuran dan itikad baiknya. Tak lama setelahnya, sang Raja bugar kembali, akan tetapi, lantaran kekurangan lembu, ia mengabaikan Syarat & Ketentuan yang telah ia buat sendiri, dan mempersembahkan hanya seekor lembu di atas altar. 
Marasa diledek, para dewa mengirim balasan, dan sang Raja bermimpi, bahwa ia berkelana, mencari suatu tempat, di dekat pantai, dan ia menemukan harta-karun, sendirian.

Sang Raja pun berangkat tanpa pengawalan, dan di tengah ia sedang mencari harta-karunnya, jatuh ke tangan Bajak-laut. Ia memohon dengan sangat, dan menawarkan seribu koin emas sebagai tebusan; namun mereka tak mau mempercayainya, dan karenanya, ia dibawa pergi, setelah itu, dijual sebagai budak dengan harga murah.

Para nelayan, yang mendengar akhir sang Raja, semata bisa mengelus dada. Seorang di antara mereka, berkata, 'Sebagaimana orang-orang terhormat yang hendaknya lebih mempertimbangkan sesuatu dengan cermat dan kalem, sebelum berani menyodorkan janji-janji mereka selama masih berkuasa, sebab janji-janji yang tak tertunaikan, 'kan cenderung membangkitkan kegelisahan di dalam diri mereka sendiri, dan menodai pamor mereka di mata orang lain; akibat kegegabahan yang singkat-akal dan kuncup-hati, jangan sampai kelancungan yang memalukan ini, akan menimpanya, oleh kebencian orang-orang yang mereka kecewakan, dan rasa sakit-hati itu, membuat mereka mengalami rasa-pedas tapi pantas. Orang-orang yang sedemikian slebornya membuat janji-bo'ong, dan pastilah 'kan terdeteksi, bakal menerima ganjaran atas kekonyolannya, tanpa belas-kasihan, oleh semua yang mengenalnya.'

Yang lain berkomentar, 'Kejujuran itu, kecendekiaan terbaik; dan salah seorang penyair terbaik, telah lebih jauh memberi nilai pada maksim yang baik, dengan pernyataannya bahwa 'orang yang jujur itu, karya Ilahi yang paling mulia.' Aku pernah mendengar sebuah cerita,
Seorang lelaki, sedang menebang pohon di tepi sungai, dan tanpa sengaja, kapaknya terlepas dari tangannya, yang jatuh ke dalam air, dan seketika tenggelam ke dasar sungai. Karenanya, merasa sangat sedih lantaran kehilangan alatnya, ia duduk dan meratapi diri dalam kepiluan.

Atas hal ini, Wenchang Wang, yang juga dikenal sebagai Wendi, muncul dihadapannya, dan usai disampaikan tentang penyebab keluhan sang lelaki, bergegas menyelam ke dasar sungai, dan timbul lagi, menunjukkan kapak emas kepada sang lelaki, meminta jawaban, benarkah kapak itu miliknya. Sang lelaki menolak itu miliknya. Kemudian Wendi menyelam untuk kedua kalinya, dan membawa sebuah kapak perak. Sang lelaki menolak, menduga kuat bahwa itu bukan miliknya. Ketiga kalinya, Wendi menyelam dan mengambil kapak yang hilang milik sang lelaki; saat melihatnya, sang lelaki yang malang, bersuka-ria, dan menerimanya dengan segala kerendahan-hati dan rasa-syukur. Wendi amat bahagia oleh kejujuran sang lelaki, sehingga ia menyerahkan dua kapak lainnya sebagai hasil dari tawar-menawar tadi, pula sebagai hadiah atas kesepakatannya yang setimpal. 

Sang lelaki pulang menemui rekan-rekannya, dan usai mewartakan apa yang telah terjadi, salah seorang di antara mereka, segera beranjak ke tepi sungai, dan dengan sengaja, membiarkan kapaknya jatuh ke sungai. Lalu, ia duduk di tepi sungai, menangis dan meratap, seolah-olah ia sungguh-sungguh merana.
Wendi muncul seperti sebelumnya, dan menyelam, membawakannya kapak emas, menanyakan benarkah kapak tersebut yang hilang. Tergoda oleh logam-mulia, ia menjawab, ya; dan akan beranjak pergi seraya berupaya merebutnya dengan kemaruk. Akan tetapi, Wendi, yang tak menyukai kebiadaban orang itu, bukan saja menolak menyerahkannya, melainkan pula, tak mau mengembalikan kapak milik orang tersebut.'
Para nelayan yang mendengarkan, menghela nafas, dan yang tertua di antara mereka berkata, 'Ini  pelajaran buat kita. Yuk, kembali bekerja!' Merekapun melaut, sambil bersenandung, 
So, after all is said and done
[Maka, usai semua terucap dan tertunaikan]
I know I'm not the only one
[Kutahu bukanlah cuma aku seorang]
Life indeed can be fun
[Sungguh hidup bisa menyenangkan]
If you really want to
[Jika engkau memang meniatkan]

Sometimes, living out your dreams
[Terkadang, mewujudkan impianmu]
Ain't as easy as it seems
[Tak semudah apa yang terlihat]
You wanna fly around the world
[Engkau hendak terbang keliling dunia]
In a beautiful balloon
[Dalam sebuah balon yang indah]

Life, oh life, oh life, oh life
[Kehidupan, oh kehidupan, oh kehidupan, oh kehidupan]
Doo-doo-doo-doo-doo *)
[Du-du-du-du-du]
Rembulan menyimpulkan dengan, "Jalan Kebenaran dan Integritas itu, sangat jelas, langsung dan mudah. sehingga orang yang mengejarnya, tak membutuhkan alat-alat rancung demi menipu dunia. Ia mendengarkan pantauan yang mukhlis, dan dengan menerapkannya, ia menjadikan profesinya lebih baik; kapak emas dan perak, takkan mampu menyimpangkannya; dan dalam situasi apapun yang mungkin dialaminya, pastilah ia memenuhi ketakziman semua orang dimana ia bergerak, dan pula, dengan adanya pengakuan dari dalam dadanya, ia akan merasakan kebahagiaan, yang tiada terkira. Kamsia. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Laura Gibbs, Mille Fabulae et Una: 1001 Aesop’s Fables in Latin, Lulu Publishers
- Josep Jacobs, The Fables of Aesop, Macmillan & Co
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) "Life" karya Des'ree Weekes & Prince Sampson

Jumat, 04 Maret 2022

Yang Sakit

"'Inilah situasi yang menarik,' Sang Pengelana menyampaikan sesuatu padaku, kala suatu hari, ia berkelana di Belantara Gambut Lamuri, dalam musim kemarau, saat Muson berdesir lantam," Rembulan memulai warita sampul-kertasnya, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam. "Ia telah jauh berkendara, oleh lelah dan lapar, lalu turun dari kuda demi mengisap pipa-rokoknya. Namun saat ia meraba-raba ke dalam sakunya, ia hanya menemukan dua batang korek-api. Ia memantik macis pertama, tapi tak memarak.

'Merana oleh rokok; cuma sebatang korek-api yang tersisa; dan itupun bakalan, luput! Pernahkah ada makhluk yang sarau? Namun,' gumam sang Pengelana, 'misalkan, aku menyalakan korek-api ini, dan mengisap pipaku, dan mengibaskannya ke atas ilalang ini—sang ilalang mungkin melalak, karena kering laksana rabuk; dan bila menghindar dari api yang, di hadapanku, menyambar, sang jago-merah mungkin mengelak dan menjelanak di belakangku, dan menjilat belukar beracun; sebelum aku mampu mencapainya, ia 'kan bergelegak; di atas semak.
Kusaksikan sebatang pohon pinus yang berlumur lumut; ia bakal pula diterjang oleh sang agni hingga ke dahan paling atas; dan nyala ketaya panjang itu—sebagaimana Muson 'kan membawa dan mengayunkannya melalui jenggala yang mudah terbakar! Dalam sekejap, aku mendengar deraman lembah-kecil tenggelam dalam deru gugusan sang bayu dan sang agni, aku melihat diriku, berpacu demi nyawaku, dan api yang melambung, mengejar dan mengepungku melalui perbukitan. Api menabun, menyebrang ke negeri jiran, demi setetes minyak-goreng, demi kepulan-asap Pongah dan Tamak, demi pembagian-lahan yang, kadarullah, terlontar oleh Mukidi karena baper, ketika sebuah tinjauan, terhatur.
Aku melihat Rimba yang menyenangkan ini, bergelora selama berhari-hari, dan ternak-ternak pun terpanggang, mata-air mengering, para petani ambruk, serta anak-anaknya, terbuang di dunia. Betapa Ibu Pertiwi, bersusah-hati, air-matanya berlinang, mas-intannya terkenang, mengelih semua ini!'

Sang Pengelana diam sejenak, lalu berkata padaku, 'Duhai Bulan Badar! Dengarkan tuturan berikut ini,
Pernah, ada seorang lelaki yang sakit, di dalam sebuah rumah yang terbakar, dan demi menolongnya, masuklah seorang petugas pemadam kebakaran. 'Jangan selamatkan abdi,' kata sang gering. 'Selamatkan mereka yang kuat.'
"Naha?" tanya petugas pemadam kebakaran, walau bagaimanapun, lelaki yang gering itu, anggota masyarakat sipil.
'Tiada yang lebih adil,' jawab sang gering. 'Yang kuat, kudu diutamakan dalam segala hal, sebab mereka, bakal lebih mampu mengabdi di dunia.'
Sang petugas pemadam kebakaran merenung sejenak, lantaran ia orang yang punya filosofi tertentu. 'Ditarima,' akhirnya ia berkata, ketika sebagian atap runtuh, 'namun demi kasopanan, sok atuh, berbaringlah di atas tandu, sebagai layanan bagi orang yang kuat! '
'Tiada yang lebih mudah,' balas sang gering, 'PELAYANAN YANG TEPAT BAGI YANG KUAT ITU, MENOLONG YANG LEMAH.'
Sekali lagi, sang petugas pemadam kebakaran, tercenung, sebab, makhluk extra-ordinary, yang dihadapinya ini, tak sedikitpun merasa panik. 'Aku bisa memaafkanmu karena gering,' katanya walhasil, tatkala sebagian dinding runtuh, 'akan tetapi, aku tak tahan, anjeun menjadi orang bodoh seperti itu.' Dan seketika, ia mengangkat kapak pemadam kebakarannya, lantaran ia sangat berhak melakukannya, kemudian, mencengkam sang gering ke atas tandu.'
Sang Pengelana melihat sekeliling, sang bayu menerpa wajahnya, dan mengibas rambutnya. Setelah itu, ia memantik korek-api terakhir, dan luput, tak nyala. 'Syukurlah,' kata sang Pengelana, dan memasukkan pipanya kembali dalam saku. Lalu, ia naik ke atas kendaraannya, memacunya, seraya bersenandung,
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini, Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa *)
Rembulan menutup dengan kata, "Duhai engkau para penggiat Kebenaran, bersemangat dan gigihlah, karena engkau, orang-orang yang Kuat! Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Robert Louis Stevenson, Fables, Charles Scribner's Sons
*) "Ibu Pertiwi" karya Kamsidi Samsuddin