"Kang Bewok bilang, 'Benci, atau Ketidaksukaan itu, oposisi Cinta.'" Rembulan buka suara setelah ucapkan Basmalah dan Salam, "'Adapun Cinta, adakah disana, definisi tentang Cinta?' kata kang Bewok. 'Sejauh ini, dalam hidup, kita semua punya rasa tentang apa itu Cinta, kita memahami maknanya. Ibnu Qayyim, rahimahullah, berpendapat bahwa ada hal-hal—seperti Cinta—yang tak perlu didefinisikan. Kita semua tahu tentangnya; kita telah mengalaminya. Berupaya 'tuk mendefinisikannya, semata mengaburkannya. Setelah melalui beragam definisinya, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa manakala seseorang mencoba mendefinisikan Cinta, ia menangkap sesuatu, namun melewatkan yang lain. Definisi itu ada, guna memberikan kejelasan. Akan tetapi, bila sesuatu itu, telah jelas, tak perlu ada definisi. Ibnu Hajar, rahimahullah, sepakat bahwa definisi Cinta itu, sulit dipahami, dan Cinta itu, sesuatu yang dirasakan, dan tak sepenuhnya diartikulasikan. Pendapat ini dapat ditelusuri kembali ke Al-Qusyairi, rahimahullah, dalam Risalah-nya, dimana ia menyatakan bahwa Cinta, sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya—tak memerlukan definisi. Definisi terbaiknya itu, dirinya sendiri: Cinta, ya Cinta. Selain dari itu, takkan sempurna dan takkan jelas.
Poin berharga inilah, tentang kebenaran, yang terbukti dengan sendirinya. Allah berfirman tentang Cinta dalam Al-Quran, tanpa mendefinisikannya, karena kita paham, apa itu Cinta. Nabi kita terkasih (ï·º) melakukan hal yang sama. Kita semua tahu, apa itu Cinta, sebab kita semua mengalaminya. Jika sesuatu itu, sangat bersahaja dan universal, ia tak butuh klarifikasi.
Menurut Ibnu Qayyim, bahasa Arab punya enam puluh kata yang berbeda untuk Cinta, namun bagaimanapun, tak semuanya, bernama Cinta. Semuanya melukiskan perkembangan Cinta, kondisinya, konsekuensinya, dan berbagai tahapan Cinta. Kata utama untuk Cinta itu, 'Hubb.' Ibnu Qayyim, dan terlebih dahulu, al-Qusyairi, menghubungkan etimologi 'Hubb' dengan pengalaman Cinta. 'Hubb' berasal dari, pertama, Kesucian dan Kegamblangan. Pengabdian sang kekasih terhadap kekasihnya itu, dibandingkan dengan kebeningan warna; Kedua, Pergolakan. Hal ini terjadi karena cinta menyebabkan gejolak atau pergerakan-qalbu; Ketiga, Kokoh di tempatnya. Cinta, bila sejati, menetap dalam qalbu dan tak beranjak; Keempat, kernel atau biji buah-buahan, yang terdalam. Cinta mencapai bagian terdalam qalbu, dan sang kekasih memberikan bagian terdalam mereka, demi yang dicintainya; Kelima, sebuah Bahtera, yang terisi penuh tanpa ada ruang tersisa. Saat cinta merasuki qalbu, ia memenuhi semuanya dan tak meninggalkan ruang bagi sesuatu yang lain; Keenam, bertumpu atau berpijak pada empat kaki, yang membawa dan menopang sebuah kendi. Sang kekasih membawa beban cinta laksana empat kaki yang membawa benda berat.
Ibnu Qayyim menambahkan, bahwa Hubb terdiri dari dua huruf: Ha dan Ba. Ha diucapkan dari bagian bawah tenggorokan, sedangkan Ba berasal dari bibir, bergerak saat engkau mengucapkan kata dari ujung yang satu, ke ujung lainnya. Begitu pula cinta, awal dan akhir: cinta dimulai dengan kekaguman dan kecenderungan, hingga seluruh makhluk, ditelan olehnya.
Lalu, mengapa orang mencinta? Al-Qadi ‘Iyad, rahimahullah, meringkas alasan Cinta menjadi tiga. Pertama, kecantikan fisik atau lahiriah, yang disaksikan seorang dengan mata (pemandangan yang indah), telinga (suara yang indah), dan lidah (makanan dan minuman yang lezat); Kedua, kecantikan non-fisik (internal) yang dilihat seseorang dengan pikirannya (budi-pekerti, moralitas, kejujuran); Ketiga, kedermawanan dan kemanfaatan yang dibawanya, karena diri, secara alami, tertarik pada siapa pun yang membantunya.
Al-Ghazali, rahimahullah, menambahkan dua alasan lagi, pertama, kita mencintai diri sendiri dan kelangsungan keberadaan kita. Apapun yang mendukung keberadaan ini, juga dicintai; Kedua, kecocokan antar kekasih. Hal ini, kadang, tersembunyi dan tak dapat dijelaskan. Dua orang bisa saling mencintai, bukan karena kecantikan atau keuntungan tertentu, tetapi semata karena diri mereka akur dan sehaluan.
Ia melanjutkan dengan menegaskan bahwa, Allah sepantasnya mendapatkan Cinta terbesar kita berdasarkan lima alasan ini. Dialah Pemilik Kecantikan Luar dan Dalam yang teragung, Dialah Satu-satunya Penolong sejati, Dialah Satu-satunya Penyebab keberadaan kita, dan Dialah Yang paling dekat dengan kita.
Lalu, bagaimana dengan 'Cinta pada pandangan pertama'? Ketika mempertimbangkan berbagai penyebab Cinta dan kedalamannya, 'Cinta pada pandangan pertama' tampak seperti bagian kecil dari realitas Cinta. Tak semua gugatan tentang 'cinta pada pandangan pertama' itu, orisinal. Namun bisa jika sang penggugat, jujur, cintanya oleh kecantikan luar, dan ada lapisan cinta yang belum dijalani. Kecantikan fisik bisa menjadi kausa untuk cinta yang lebih besar ketika diperkuat oleh kecantikan batin, atau dapat menjadi satu-satunya penyebab ketertarikan. Jika penyebabnya, kecantikan batin, maka gugatan itu, akan terbukti lemah. Pemasaran "cinta pada pandangan pertama" sebagai cinta sejati itu, sebuah perbuatan merugikan terhadap seberapa dalamnya Cinta.
Menurut Ibnu Qayyim, ragamnya Cinta itu, ada empat. Orang-orang yang sesat, 'kan tersesat, lantaran tak membedakannya. Yang pertama, mencintai Allah. Ini saja belum memadai untuk menyelamatkan dari azab Allah dan menggapai pahala-Nya. Kedua, mencintai apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang membuat seseorang jadi Muslim dan mengeluarkannya dari kekafiran. Yang terbaik dan yang terkuat di dalam Cinta inilah, yang paling dicintai Allah. Yang ketiga, mencintai manusia dan sesuatu, karena Allah, yang merupakan salah satu konsekuensi penting dari mencintai apa yang Dia cintai. Mencintai apa yang Allah cintai, takkan sempurna hingga seseorang mencintai manusia dan sesuatu, demi Dia. Keempat, mencintai sesama, bukan karena Allah. Inilah cinta kemusyrikan. Barang siapa yang mencintai sesuatu, mempersandingkannya dengan Allah, bukan untuk atau karena Allah, maka ia telah menjadikan sesuatu itu, sebagai tandingan selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Sekali lagi, menurut Ibnu Qayyim, Kelaziman Cinta itu, ada tiga macam. Yang pertama, cinta alami dan umum, semisal cinta orang yang lapar terhadap makanan, bagi yang haus terhadap air, dan sebagainya. Cinta ini, tak membutuhkan pemuliaan.
Yang kedua, cinta akan kasih-sayang dan kebaikan, semisal orangtua yang mencintai anaknya yang masih kecil dan seterusnya. Ini juga, tak membutuhkan pemuliaan.
Yang ketiga, cinta akan kesopan-santunan dan keramah-tamahan. Permisalannya, cinta antar sahabat dalam sebuah usaha, disiplin ilmu, perusahaan, bisnis, perjalanan, dan cinta antar saudara. Ketiga jenis cinta ini, layak bagi makhluk ciptaan, antara satu sama lain, dan kehadirannya di antara mereka, bukanlah syirik dalam mencintai Allah.
Itulah sebabnya mengapa kekasih kita (ï·º) dulu, menyukai manisan dan madu, minuman yang paling di sukai beliau (ï·º), yang manis dan dingin, daging yang paling beliau (ï·º) sukai, daging pada bagian bahu, beliau (ï·º) mencintai istri-istrinya dan 'A'ishah, radhiyallahu ' anha, yang paling dicintai di antara mereka, dan beliau (ï·º) mencintai para sahabatnya dan yang paling dicintai di antara mereka, as-Siddiq, radhiyallahu 'anhu.
Adapun cinta istimewa, yang hanya pantas bagi Allah semata, dan seketika bila seseorang mencintai yang lain, maka akan menjadi Syirik, yang tak diampuni Allah, yaitu cinta ibadah dan yang membutuhkan kerendahan-hati, ketertundukan, keagungan, ketaatan penuh, dan mengutamakan Dia, di atas segalanya. Cinta ini, tak dapat diberikan kepada selain Allah, dan cinta inilah, yang dipersamakan oleh orang-orang musyrik, dengan Allah ada di dalamnya.'
'Jadi,' kata kang Bewok, 'apa yang ingin kukatakan, bahwa Cinta itu, ada pada bagian terdalam, dan bagian terdalam itu, Qalbu, yang semata ada dalam Genggaman Allah. Tak boleh ada yang menghalangi seseorang jatuh-cinta, dan aku tak akan menyerah!'"
Baru kali ini, Pungguk melihat Rembulan bertingkah manis-manjah. Kedua telapak tangannya, di tempelkan ke pipi, dan dengan riang, ia berkata, "Aiih, kang Bewok romantis pisaan euiy! Apa yang kita cintai dan benci, menentukan jalan yang kita ambil. Mencintai Iman dan Takwa, sangat penting untuk mengikuti Kebenaran dan menolak Godaan. Meminta Cinta ini, seyogyanya menjadi salah satu doa yang sering kita panjatkan.
Tapi, kang Bewok, bukan Cinta atuh yang dipermasalahkan, melainkan Konflik Kepentingan, Etika Bernegara, dan segudang persoalan lain, terutama jika ada yang minta nambah. Jadi, di pikir-pikir deui atuh akang!"
Seseorang mungkin saja, tak menyukai makanan, musim, dan penyakit tertentu, serta, kematian. Sebaliknya, mereka menyukai jenis makanan lain, musim lain, kesehatan, dan kehidupan. Ketidaksukaan seseorang terhadap hal-hal ini, dapat menjadi motif dari sebuah penghindaran—yakni, tak memakan makanan yang tak kita sukai—atau upaya-upaya pemberantasan—semisal melawan sakit dan penyakit. Ketidaksukaan dapat menjauhkan kita dari bahaya. Kita tak menyukai penyakit, maka kita menghindari penyebab dan pemicunya. Kita merencanakan dan mengejar impian kita, karena kita, benci kegagalan. Jenis ketidaksukaan ini, atau apa pun yang kita putuskan menyebutnya, pada dasarnya, tidak negatif. Cinta takkan ada tanpanya.
Cinta itu kompleks. Tiada yang sekompleks dengan yang ada dalam ruang hampa. Cinta-lah bagian dari jaringan berbagai emosi, ide, dan interaksi. Oleh karena itu, Cinta terjalin dengan Emosi lain, termasuk Benci.
Kita mencintai Kejujuran. Bencikah kita pada kebalikannya? Bukankah kita membenci kebohongan, pengkhianatan, dan penipuan? Kita mencintai keadilan dan membenci tirani serta ketidaksetaraan. Netralkah kita tentang pemerkosaan, pelecehan seksual, pedofilia, dan pembunuhan massal? Mengapa kita membencinya?
Bukankah karena kita mencintai lawannya: persetubuhan berdasarkan pernikahan, rasa hormat, dan kesucian hidup manusia? Mungkinkah mencintai sesuatu dan tak membenci kebalikannya? Atau cintakah sebagian dari membenci kebalikannya, dan membenci sebagian dari mencintai kebalikannya?
Cinta dan benci itu, saling terkait, dan kehadiran masing-masing, sangat penting dalam susunan yang lain. Kebencian berbisa terhadap rasisme dan jingoisme—pandangan yang terlalu mengagung-agungkan kebesaran dan kekuasaan negeri sendiri; rasa kesetiaan dan kecintaan kepada tanah air secara berlebih-lebihan—dipupuk oleh cinta yang ekstrem dan sesat terhadap etnis, bangsa, dan diri sendiri: setiap kebencian membutuhkan bentuk cinta. Seandainya cinta ekstrem ini tiada, kebencian yang menyertainya, pun takkan ada. Supremasi rasial didasarkan pada cinta, meskipun itu keliru. Cinta yang makbul memberi makan kebencian yang absah, dan cinta yang tak makbul memberi makan kebencian yang tak absah. Allah mengajarkan kita dalam Al-Qur'an bahwa tak semua cinta itu, valid dan pantas. Cinta yang diberikan orang-orang kepada sekutu mereka melawan Allah itulah, yang sesat dan tercela.
Adakalanya, Cinta itu buta, galat, dan merusak. Berbicara tentang Cinta sebagai kebaikan universal, yang bernuansa pengorbanan dan menyampaikan kesan yang salah dan berbahaya bahwa selama apa yang kita rasakan itu, Cinta, akan membenarkan segalanya. Cinta tak selalu baik, dan pula, Benci, tak selalu ngawur.
Kita Cinta, lantaran Benci, dan kita Benci, lantaran Cinta. Di kala Cinta kita kuat, demikian pula Benci kita terhadap kebalikannya. Dan saat Benci kita semakin kuat, Cinta kita terhadap kebalikannya, demikian pula adanya. Misalnya, cinta kita yang penuh gairah terhadap seseorang, membuat kita benci berpisah dengannya. Jika kita menggali lebih dalam, kita 'kan temukan bahwa, inti dari cinta ini, oleh keengganan kita menyendiri. Jika kesendirian tak disukai dan tak tertahankan, kita takkan menjalin persahabatan. Kebencian dan keengganan kita terhadap sesuatu, mendorong kita mencari lawannya. Karena kita membenci ketidakadilan, kita bergerak untuk menegakkan keadilan. Kita makan karena kita membenci kelaparan, mengumpulkan uang karena kita membenci kemiskinan, dan mencoba hidup sehat karena kita membenci penyakit dan kematian. Jika kita mencintai sesuatu, tiada yang bisa menghindari kenyataan bahwa kita terpaksa membenci kebalikannya.
Manusia hanya bisa dicintai sebagian dan dipatuhi sebagian. Mereka dicintai karena mereka mengarah pada sesuatu yang lain. Dan Allah-lah, akhir dari segala bentuk adimarga, akhir dari semua cinta, dan akhir dari semua pengejaran. Dia-lah tujuan kita. Kita hanya tak menyadarinya. Jika engkau memiliki-Nya, engkau 'kan punya segalanya. Dan bila engkau kehilangan Dia, engkau bersisa tanpa tujuan, dengan cinta yang tak sempurna. Hanya cinta Allah, yang membuat kita utuh.
Cinta dan Benci, hidup berdampingan secara bersamaan dalam banyak hal yang kita sukai. Kita biasanya tak masif mencintai atau membenci sesuatu, melainkan ada bauran emosi didalamnya. Kita mungkin lebih menyukai musim panas ketimbang musim dingin, akan tetapi, kita takkan menyukai segala hal tentang musim panas atau membenci segala hal tentang musim dingin. Kita suka permen tapi tak menyukai bila berat badan kita, bertambah. Kita mencintai pasangan dan anak-anak kita, tetapi bukan setiap detail kecil tentang mereka. Ada hal-hal yang disukai dan tak disukai tentang segala sesuatu di dunia ini. Terkadang Cinta mendominasi, dan terkadang Benci mendominasi. Persentase masing-masing menentukan seberapa besar kita mencintai atau membenci sesuatu. Kesadaran ini, mendasari kenyataan pengalaman kita. Cinta bukanlah emosi murni yang tak diwarnai dengan ketidaksukaan dan ketidaknyamanan. Cinta ada sebagai bagian dari rangkaian emosi manusia yang kompleks, semuanya terhubung dan saling bergantung.
Agar Cinta tampil dalam segala Keapikannya, maka kita memerlukan Etika. Sebagaimana yang telah kita semua ketahui, dalam kehidupan pribadi kita, Kejujuran, Kepedulian dan Kasih-sayang, Integritas, serta Tanggung jawab pribadi itu, nilai-nilai yang dapat membantu kita berperilaku etis saat menghadapi dilema etika. Lalu, bagaimana dengan Etika Bernegara?
Hukum Etika bersifat universal. Ia berkaitan dengan setiap tindakan sadar dan sukarela dari setiap kecerdasan bebas di seluruh alam semesta, namun setiap kecerdasan bebas itu, pro-aktif dan karenanya, merespon secara etis. Hukum Etika, tak dapat diubah. Ia berubah tak sesuai dengan kenyamanan, ketidaktahuan, atau tingkah laku subjeknya. Namun subjeknya dapat berubah. Dan sesungguhnya, mereka hendaknya berubah. Hukum tak dapat diubah, tetapi masyarakat, yang terkait dengannya, karena progresif, kebutuhan yang dapat berubah. Hukum Etika, tak dapat ditawar-tawar. Tuntutannya tak dapat dihindari atau lepas dari jeratannya. Hukum benar-benar tak dapat ditawar, terlepas dari pemikiran atau perbuatan manusia. Lebih jauh lagi, hukum Etika berlaku bagi setiap kemungkinan kombinasi kecerdasan bebas.
Setiap korporasi itu, jiwa agregat dari orang-orang yang menyusunnya. Tindakan korporasi tak jarang mengabaikan penilaian etis yang dikenal dari jiwa individu yang tersangkut di dalamnya. Tapi pengabaian seperti itu, selalu demi kepentingan kebenaran. Engkau takkan pernah bisa membentuk sebuah pasukan yang tak kredibel, dari orang-orang yang andal.
Prinsip yang sama berlaku terhadap masyarakat, komunitas, negara. Ada satu hukum abadi yang mengatur individu, korporasi, badan politik. Jika dua agen moral bergabung untuk melaksanakan tujuan yang tak dapat dicapai sendiri, jelas tiada kekuatan dalam kombinasi tersebut guna membebaskan agen atau tindakan mereka dari tanggung jawab agen moral.
Dan jika kombinasi tersebut mencakup seratus, seribu, atau satu juta agen, tanggung jawab moral tak bergeser atau berkurang olehnya. Aritmatika belaka tak dapat mempengaruhi kualitas moral suatu tindakan atau sistem tindakan. Jika pernyataan-pernyataan definitif ini benar, jelaslah bahwa ada yang namanya "Etika Bernegara".
Negara secara singkat dapat didefinisikan sebagai 'masyarakat terorganisir yang menjalankan kedaulatan atas para anggotanya'. Pemerintah itu, agen negara, dimana iktikadnya, diumumkan, kedaulatannya, ditegakkan.
Individu mungkin ada pada prinsip-prinsip kepentingan pribadi yang sederhana. Tetapi kekompakan sosial, menuntut pada bagian semua anggotanya, pengorbanan kepentingan individu secara terus-menerus, demi kepentingan umum, sehingga tiada prinsip moral yang akan menjamin pengorbanan yang dibutuhkan. Selain itu, ada altruisme etis tertentu, yang tanpanya, negara tak dapat berkembang. Alasannya takkan jauh bila dicari. Kemajuan intelektual menurut sifat kasusnya, eksklusif, sedangkan hukum moral itu, inklusif. Hanya sedikit warga negara yang dapat menanggapi seruan sains, tetapi banyak orang mungkin menanggapi seruan hukum moral. Dan kemudian, minoritas intelektual ini, oleh beberapa hukum hereditas yang aneh, cenderung berkurang dan berlari."